The Cursed Soul

Disclaimer : Ok, berapa kali saya harus bilang kalau Bleach bukan milik saya melainkan punya Tite Kubo sensei? Saya hanya meminjam karakter-karakternya untuk kepentingan pembuatan fic ini. Setelah itu saya kembalikan ke pemilik asalnya. Dan yang satu lagi, game 'fire emblem' itu juga bukan punya saya!

Pairing? Sepertinya sih UlquiHime. Err, ada GinRan, dan IchiRuki juga sih ...

Rate : M for bloody and gore. (mungkin, tapi kalau ada yang ngerasa kurang bloody ... ya, maafkan saya!)

Setting : Di Inggris abad pertengahan, sekitar tahun 1600.

-FSG&&%%%%&&GSF-

Chapter 1 : The Beginning

Ulquiorra's POV

Lonceng gereja berdentang berkali-kali pagi ini, menandakan bahwa misa pagi akan segera dimulai. Aku segera merapikan kamarku dan bersiap-siap untuk menuju ke kapel untuk berdoa bersama para jemaat lainnya.

Kulepas baju tidur yang kukenakan dan aku mulai membersihkan diriku dengan air yang sudah tersedia di dalam baskom yang ada di meja. Kudekati sebuah cermin besar di dekat ranjang yang menampakkan bayanganku seutuhnya. Seorang pemuda berkulit pucat dengan rambut hitam panjang seketiak yang agak berantakan, wajah sangar bak penjahat, dan mata hijau bagaikan batu zamrud yang indah. Sungguh, dari seluruh penampilanku saat ini ... hanya mata itu saja yang aku sukai.

Aku menghela nafas panjang. Wajahku saat ini sungguh tak enak dilihat. Mirip sekali dengan penjahat yang terus-menerus menghantuiku belakangan ini. Aku tak ingin terus-menerus dihantui bayang-bayang seperti itu. Lebih tepatnya lagi, aku tak ingin lagi menjadi 'diriku di masa lalu'.

"Saatnya untuk merapikan diri sendiri," gumamku perlahan sambil memejamkan mata sejenak.

Aku mengambil gunting tembaga dan sisir yang tergeletak di atas meja, dan mulai memotong rambutku. Paling tidak, aku tidak akan dibayangi lagi oleh wajah sangar sang penjahat ... begitu pikirku.

Beberapa saat kemudian, aku kembali menatap cermin dan mendapati sosok yang 'berbeda' dengan sosok sangar yang sebelumnya terlihat di cermin. Wajah yang terpantul di cermin kini adalah seorang pemuda berwajah 'polos' dengan rambut seleher, dan yaahh, kupikir siapapun yang melihatku dengan penampilan ini sekarang ... tak akan ada yang tahu kalau aku ini dulunya seorang pendosa.

Kubersihkan sisa rambut yang menempel di tubuhku dan kuambil pakaian yang terlipat rapi di atas kursi. Saat aku sedang mengenakan pakaian, seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Masuklah," kataku pelan. Tanganku masih sibuk mengancingkan baju yang sedang kukenakan.

Seorang pastor muda membuka pintu, dan masuk ke kamarku. Ia memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku, yang merasa tak nyaman ditatap seperti demikian, bertanya padanya.

"Kenapa Bapa menatapku seperti itu?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu apakah kondisimu sudah membaik?" pastor itu membalikkan pertanyaanku.

Aku menghela nafas. "Seperti yang Bapa lihat, aku baik-baik saja. Luka-lukaku yang waktu itu sudah sembuh, kok! Jadi Bapa tak perlu khawatir."

"Baiklah kalau begitu," kudengar pastor muda itu mendesah panjang. Dia menunduk sejenak sebelum mata abu-abu cemerlangnya kembali menatap ke arah mata hijau zamrudku. "Bergegaslah menuju kapel. Misa pagi akan segera dimulai," kata pastor itu seraya membalikkan tubuhnya, dan berjalan menuju ke arah pintu kamarku yang masih terbuka.

"Dan satu hal lagi yang harus aku sampaikan," pastor muda berambut hitam sebahu itu kembali menoleh ke arahku. Aku segera bersiap mendengarkan, kalau-kalau informasi yang ia sampaikan bersifat sangat penting. "Setelah misa nanti, kau ikut kami ke halaman belakang gereja. Ada yang ingin Uskup Yamamoto sampaikan padamu," lanjutnya dengan nada serius.

"Baiklah, nanti aku akan ke sana. Terima kasih sudah memberitahuku, Pastor Byakuya," ucapku seraya mengenakan sepatu dan bersiap untuk segera ke kapel.

Pastor muda itu, Byakuya, meninggalkan kamarku tanpa berkata apa-apa lagi. Aku mendesah perlahan, dan tidak berpikir macam-macam dengan apa yang dikatakan oleh Pastor Byakuya.

Aku bergegas meninggalkan kamarku dan berjalan menyusuri koridor gereja yang menuju ke arah kapel. Sesekali aku menyalami suster-suster yang lewat, dan membalas senyuman mereka dengan senyumku, walau aku tahu kalau senyumku saat ini adalah senyum yang dipaksakan.

Saat aku sedang menuju kapel, pikiranku kembali melayang pada hari itu di mana semuanya berawal. Semua yang berhubungan dengan kutukan yang 'makhluk' itu ucapkan padaku sebelum aku meninggalkan kastil terkutuk itu beberapa hari yang lalu.


Flashback ...

Afrika Utara, tahun 1600 ... waktu itu aku masih menjadi seorang prajurit bayaran. Dan aku juga terkenal sebagai Ulquiorra Schiffer, seorang pembunuh berdarah dingin dan juga penjahat yang tak pernah takut dan tak pernah mengenal dengan apa yang namanya dosa. Jalan yang kupilih saat itu adalah jalan yang dipenuhi darah, karena saat itu banyak orang yang sudah habis kubantai dengan pedangku atau pecah kepalanya tertembus peluru dari pistolku.

Di hari itu ... aku dan anak buah-anak buahku menyerang prajurit Afrika Utara. Kami di sana bertugas membantu prajurit Inggris untuk menaklukan Afrika Utara. Namun, aku memiliki maksud yang lain di samping menaklukan musuh. Mengincar harta karun yang tersembunyi di dalam kastil yang kini sedang kuserang bersama anak buahku.

Aku membunuh semua yang menghalangi jalanku. Kutebas leher mereka dengan pedangku, kutusuk dan kucincang mereka tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Kugorok leher mereka bagaikan menyembelih hewan, semuanya kulakukan tanpa ada rasa berdosa sedikit pun. Seperti yang kulakukan saat ini ...

"Tahan mereka! Jangan sampai mereka masuk ke dalam kastil!" kudengar suara seorang pria berteriak pada anak buahnya untuk menutup pintu kastil yang sedang kami tuju. Nampaknya pria itu adalah pemimpin mereka.

Para tentara itu menuruti perintah pemimpinnya dengan sigap. Mereka menutup pintu gerbang kastil. Mereka pikir setelah mereka mengunci kastil, aku tidak akan bisa masuk? Naif sekali ...

Kuperintahkan pada anak buahku untuk mengisi mesiu pada meriam dan menembakkannya ke pintu kastil. Pintu yang terbuat dari kayu mahogani itu pun hancur berkeping-keping terkena tembakan meriam, dan kami segera menyerbu ke dalam kastil. Potongan kepala, tangan, kaki, dan organ tubuh berceceran di dalam kastil. Ditambah lagi dengan genangan darah bagaikan danau merah yang memenuhi lantai kastil, karena kami membantai setiap prajurit yang menghalangi jalan kami untuk masuk ke dalam kastil.

Kuhampiri salah seorang serdadu yang tengah menggeliat kesakitan, ia nampak ketakutan saat melihatku. Aku berpikir ia mungkin takut dibunuh olehku, setelah semua teman-temannya tewas dibantai oleh anak buahku. Yaah, dugaannya hampir sepenuhnya benar. Tapi, aku menginginkan sesuatu darinya sebelum ia berakhir di ujung pedangku atau di mulut pistolku.

Aku menunduk dan berjongkok di dekat tubuh sang serdadu dan menjambak rambutnya. "Katakan. Di mana harta karun kastil ini disimpan?" tanyaku sambil menatap tajam ke arah serdadu itu. Kulihat serdadu itu terdiam cukup lama, ia malah memalingkan wajahnya dariku. Kuraih wajah serdadu itu dan memaksanya untuk menatap ke arahku. "Jawab pertanyaanku! Aku tak akan mengulangi pertanyaanku dua kali!" gertakku seraya mengacungkan pedang ke arah matanya.

Kurasakan getaran tubuh serdadu itu bertambah, ia menatapku dengan penuh ketakutan. Ya, ekspresi yang sangat kusukai, rasa takut akan kematian dan juga penderitaan. Tangan kanannya menunjuk ke sebuah arah, aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Sesaat aku mengernyitkan alis. Kenapa di tempat seperti ini ada gua? aku bertanya-tanya dalam hati.

"Ha, hati-hatilah ... di sana banyak 'sesuatu' yang mengerikan! Bahkan orang macam kau sekalipun tak akan bisa mengatasi 'horror' yang ada di sana," kata serdadu itu mengingatkan kami dengan suara tergagap-gagap.

"Benarkah? Terima kasih atas peringatannya," ucapku dingin tanpa meninggalkan nada datar sedikit pun. Aku menatap serdadu itu dengan penuh rasa tidak percaya. Kupejamkan mataku sejenak. Kucabut pistol yang terselip di pinggangku, dan kuarahkan langsung ke kepala sang serdadu.

"Sampaikan salamku pada Tuhan, setelah kau sampai di dunia sana," kataku tanpa ekspresi. Mata serdadu itu melotot seram ke arahku, dan sedetik kemudian terdengar suara letusan senjata api di ruangan itu.

Aku menatap dingin kepala serdadu yang baru saja kuhancurkan dengan pistol milikku, dan menyelipkan lagi senjataku yang satu itu di pinggangku. Aku memberi isyarat pada semua anak buahku untuk mengikutiku ke arah yang ditunjuk oleh serdadu tadi.


Kususuri gua itu bersama anak buah-anak buahku. Dan kami pun tiba di sebuah ruangan besar yang amat sangat aneh. Kukatakan aneh karena yang ada di hadapan kami hanyalah cermin-cermin besar yang terpajang di kanan-kiri jalan. Cermin-cermin yang berdiri gagah, seolah mereka telah dipasangkan di tempat itu sejak lama. Perasaan aneh mulai menyelimuti diriku, namun aku mengabaikannya dan menyuruh semua anak buahku untuk mengikutiku.

Aku dan anak buah-anak buahku menyusuri ruangan itu seraya mengawasi keadaan sekitar. Kudengar ada suara-suara aneh bergema di ruangan itu, namun aku berusaha untuk mengabaikannya dan tetap maju. Saat itulah, satu per satu anak buahku ditarik oleh sesuatu yang keluar dari dalam cermin. Aku mengenalinya sebagai iblis yang haus akan darah dan juga daging manusia. Anak buah-anakbuahku mulai ketakutan, apalagi setelah mereka dan juga aku melihat separuh dari teman-teman mereka diseret masuk ke dalam cermin itu.

"Tuan Schiffer, bagaimana ini? Kita tidak mungkin melanjutkan perjalanan kita! Kita bisa mati!" ujar salah satu anak buahku yang bernama Yylford.

"Jangan gentar! Ayo, kita maju!" sahutku tidak peduli. Aku terus melangkah menuju pintu besar yang terbuka di ujung sana. Namun beberapa saat, kuhentikan langkahku dan kembali menatap ke arah anak buahku yang tersisa. "Kalian tunggu apa lagi? Ayo cepat ikuti aku!" titahku tak sabar.

Kulihat mereka saling berpandangan, dan berbisik-bisik. Salah seorang dari mereka, Findor, memandangku dengan tatapan menantang.

"Sudah cukup! Aku tak mau lagi ikut denganmu! Aku masih sayang dengan nyawaku sendiri!" seru Findor dengan beraninya di hadapanku.

Kucengkeram kerah bajunya dan kutatap dia dengan tajam. Kutanyakan lagi alasannya ikut denganku hingga sejauh ini. Di luar dugaan, ternyata dia ikut denganku hanya ingin mendapatkan keuntungan yang akan kudapatkan saat ini! Brengsek!

"Kalau begitu, silakan cari jalan yang menurutmu aman, Findor ... Aku tak akan melarangmu," ujarku pelan tetap dengan nada datarku yang biasa.

Tanpa basa-basi, ia segera berlari meninggalkanku menuju ke arah pintu keluar. Aku tentu saja tidak bisa membiarkan seorang pengkhianat lari begitu saja. Dengan cepat segera kutarik pistolku dan kutembak batok kepalanya hingga isi kepalanya pecah berhamburan. Semua anak buahku yang tersisa memandangku dengan tatapan ngeri dan juga takut. Aku menatap tajam kepada semua anak buahku yang tersisa.

"Ada lagi yang ingin seperti dia?" tanyaku dingin seraya menunjuk ke arah mayat Findor yang tergeletak di lantai. Mereka semua diam, tak berani menjawab. "Kalau begitu, ikuti aku!" seruku seraya menunjuk ke arah pintu besar yang terbuka di depanku.

Kulangkahkan kakiku menuju ke ruangan besar yang ada di depanku saat ini, kuberi isyarat pasa semua anak buahku yang masih tersisa untuk mengikutiku. Mereka menganggukkan kepalanya pelan dan mengikutiku dari belakang. Namun saat aku berhasil masuk ke dalam ruangan besar itu, tiba-tiba saja pintu besar itu tertutup dan semua anak buahku terkurung di dalam ruangan yang penuh cermin itu. Aku menggedor-gedor pintu itu dan mencoba mendobraknya. Walaupun aku terlihat seperti ini, aku sangat mengkhawatirkan keadaan anak buah-anak buahku.

Namun semuanya sia-sia. Pintu itu tetap tak bergeming, dan suara teriakan horror dari semua anak buahku pun terdengar dari seberang sana. Aku hanya memejamkan mataku perlahan.

"Semoga kalian menemukan kedamaian di alam sana, Sobat!" ucapku lirih.

Sebuah suara tawa melengking menggema di ruangan itu, membuatku segera memasang sikap waspada. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan itu, berusaha untuk mencari sosok yang tertawa tadi. Namun aku tak menemukan siapa-siapa di sini. Hanya ada aku seorang, dan juga tumpukan harta karun yang berlimpah di hadapanku.

Masih memasang sikap waspada, kudekati tumpukan harta karun itu. Setelah yakin tak ada siapapun di sekelilingku, aku berjongkok dan mengaduk emas yang berserakan di depanku. Bibirku menyunggingkan senyum gembira, aku akan kaya dengan harta yang sekarang akan kuambil saat ini.

Senyumku terus mengembang dan memandang kagum pada emas yang berkilauan di depan mataku. Saat melihat mayat raja berlumuran darah yangtergeletak di depanku, aku merasakan ada yang aneh. Darah raja itu membeku, dan kulitnya menguning, matanya pun memutih. Aku merasakan ada yang nggak beres dengan suhu ruangan ini dan meniupkan nafasku ke tanganku, nafasku berubah menjadi uap putih. Seakan aku berada di tengah-tengah padang salju yang luar biasa dingin.

Aku berdiri dan melihat sekelilingku. Beberapa bayangan hitam berkelebatan mengelilingiku, bayangan itulah yang tertawa melengking tadi. Perlahan-lahan bayangan hitam lain keluar dari celah-celah dinding dan lantai batu, diikuti dengan membekunya lantai dan dinding tersebut. Aku segera mundur ke belakang, menanti apa yang akan terjadi berikutnya.


Perlahan-lahan, semua bayangan hitam itu berkumpul di satu titik dan membentuk sebuah sosok. Sosok bertudung yang mengenakan pakaian hitam dari atas hingga bawah. Sosok itu duduk di singgasana yang ada di depanku.

Aku mengacungkan pedangku ke arahnya. "Siapa kau?" tanyaku dingin. "Apakah kau setan yang telah memangsa semua anak buahku?"

Sosok itu tak menjawab pertanyaanku. Dia mengacungkan tangannya padaku dan menggumamkan mantera yang artinya tidak kumengerti. Segera saja tubuhku serasa ditikam ribuan tombak es, dan jatuh terduduk di lantai.

"Tidak sopan!" sahut sosok itu. Suaranya terdengar kering sekali bagaikan kertas pasir, namun nadanya sangat tegas. Perlahan, sosok itu bangkit dari singgasananya dan mendekatiku yang masih terduduk di lantai. Aku menatap tajam ke arah sosok bertudung itu. "Aku adalah Devil's Reaper. Aku adalah iblis yang bertugas untuk mengambil jiwa manusia yang dirasuki setan," lanjutnya seraya menelengkan kepalanya ke arahku.

"Jadi kau bermaksud untuk mengambil jiwaku?" tanyaku geram. Aku berusaha untuk berdiri, namun rasanya seluruh tubuhku sulit sekali untuk digerakkan.

"Tepat! Aku akan mengambil jiwamu dan membawamu ke neraka, Ulquiorra Schiffer!" jawab Devil's Reaper tanpa belas kasihan.

Aku tertegun mendengar ucapan iblis ini. Dia ... ingin membawaku ke neraka? Apakah dosaku sebanyak itu? pikirku dalam hati. Saat itulah ... ketakutan mulai bersarang di hatiku.

Aku segera memasang sikap siaga saat iblis itu semakin dekat denganku. Kuacungkan pedangku ke arahnya, dan kutantang dia. "Kau tidak akan bisa membawaku ke neraka, Iblis!" ujarku dingin.

"Tentu saja aku bisa, Ulquiorra! Aku punya cara agar kau bisa aku bawa!" ucap Devil's Reaper penuh percaya diri.

"Oh, ya? Bagaimana?" tanyaku sinis.

Sosok hitam-hitam itu menyeringai, dia mengacungkan tangan kirinya ke arahku dan mengucapkan mantera lagi. Sekujur tubuhku langsung terasa panas. Panas yang tak tertahankan! Aku jadi kembali teringat bagaimana rasanya ditato dengan besi panas waktu aku masih kecil dulu oleh Nnoitra, Kakakku. Namun berbeda dengan saat itu, rasa panas itu terasa di sekujur tubuhku. Seolah, hampir seluruh tubuhku ditato dengan besi panas.

Beberapa saat kemudian, iblis itu menurunkan tangannya. Tubuhku limbung dan ambruk ke lantai. Namun aku masih mampu untuk mempertahankan kesadaranku, dengan sisa-sisa tenagaku ... kupaksakan diriku untuk setengah berdiri.

Iblis itu tertawa perlahan. "Selama simbol-simbol itu masih tertera di tubuhmu, kau tak akan bisa lari dariku dan juga anak buahku, Ulquiorra! Jiwamu akan tetap berada di neraka selamanya. Kutukanmu tak akan bisa dilepas, kecuali jika kau berhadapan lagi denganku atau ikut bersama kami ke neraka!" ucap Devil's Reaper kejam.

"Maksudmu, jiwaku akan selamanya terkutuk dan menjadi incaran para iblis. Begitu?" tanyaku dengan gigi gemertak menahan emosi yang meluap.

"Ya," jawab Devil's Reaper pendek. Dia memunculkan sebuah pedang api yang masih menyala-nyala dan mencoba menebas kepalaku dengan pedang itu. "Aku akan segera mengakhiri riwayatmu, Ulquiorra Schiffer! Bersiaplah untuk mati!" seru Devil's Reaper dibarengi tawa sinisnya.

Aku segera menahan laju pedang itu dengan kedua pedangku. "Tak akan kubiarkan kau mengambil jiwaku semudah itu, Iblis!" ucapku geram. Aku tak akan membiarkannya membawaku ke neraka semudah itu.

"Oh, ya?" Devil's Reaper menyunggingkan senyum licik padaku. Dia menekan pedangku dengan pedang apinya, membuat kedua pedangku mulai meleleh akibat panas luar biasa yang dipancarkan oleh pedang itu. "Aku tak yakin itu!" ucapnya masih dengan seringaian licik di bibirnya.

Ia menepis kedua pedangku dengan pedangnya. Mata hijauku melebar, aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapinya. Yang kupikirkan saat ini hanyalah ... lari!

Devil's Reaper bergerak mendekatiku dengan pedang api tetap teracung ke arahku. Ia menyeringai mengerikan. "Tamatlah riwayatmu, Ulquiorra!" serunya seraya menghunuskan pedang itu ke arahku.

Aku segera berlari menuju jendela kastil, memecahkannya, dan terjun ke laut dari jendela itu. Sayup-sayup kudengar iblis itu menggeram marah karena incarannya kabur dan dia mengucapkan kutukan yang masih kuingat sampai sekarang. "Ingatlah! Ke mana pun kau pergi, kau akan selalu diikuti iblis! Jiwamu sudah dikutuk untuk berada di neraka. Kau tak punya pilihan lain selain melawan kami, atau ikut bersama kami ke neraka! Aku akan selalu mengejarmu, karena jiwamu adalah milikku, Ulquiorra Schiffer!"

End of Flashback ...


Kuhentikan langkahku sejenak, dan kuedarkan pandanganku ke sekeliling gereja. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya kembali. Sudah lebih 3 minggu sejak kejadian itu berlalu, namun aku masih merasakan kutukan yang menyertaiku hingga saat ini.

Tapi, bukankah aku akan aman di sini? Iblis-iblis itu tak akan bisa mengusikku jika aku berada di sini, kan? Entahlah, aku sendiri tidak yakin.

Namun ada satu hal yang jelas. Tiga minggu berada di gereja ini, membuat jiwaku tenang dan rasanya aku mulai paham arti nyawa setiap makhluk hidup. Aku pun mulai merasa nyaman di sini. Para pastor di gereja ini telah memberiku pencerahan dan mengajariku dengan baik. Aku telah memutuskan untuk belajar agama lebih dalam lagi dan tidak membunuh lagi.

Aku ingin menebus semua dosa yang kuperbuat di masa lalu, karena aku ingin mendapatkan kedamaian dalam hidup. Aku masih belum siap jika aku harus berhadapan lagi dengan iblis. Ataupun masuk ke neraka pada saat aku mati nanti. Setidaknya dengan berada di sini ... aku bisa melupakan sedikit kenangan pahit masa laluku.

Kulanjutkan langkah kakiku dan kubuka pintu besar di depanku. Aku memasuki ruangan kapel itu dan ikut berdoa bersama para jemaat lainnya di kapel itu. Hatiku terasa hangat. Perasaan hangat yang terlupakan, kenapa aku bisa melupakannya semudah itu?

Sudahlah. Itu tak penting. Yang jelas, aku ... mulai saat ini akan mengabdikan hidupku untuk Tuhan dan berharap mendapat pengampunan atas dosa-dosa yang telah aku lakukan selama menjadi prajurit bayaran.


Setelah misa pagi selesai, aku memasukkan Bible ke dalam saku bajuku. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, aku segera beranjak dari kapel dan bermaksud untuk menemui Pastor Byakuya dan Uskup Yamamoto yang telah menungguku di halaman belakang gereja.

Kupercepat langkahku dan kutemukan kedua orang itu sedang berbincang-bincang di dekat pohon maple yang membeku. Aku mendekati mereka dan menyapanya.

"Selamat pagi, Pastor Byakuya! Uskup Yamamoto!"

Kedua orang itu berbalik dan tersenyum ke arahku. Mereka membalas sapaanku. "Selamat pagi, Ulquiorra!"

"Saya tinggalkan Anda berdua," kata Pastor Byakuya seraya memohon diri. Pastor muda berambut sebahu itu segera bergegas meninggalkan kami di tempat itu.

"Saya dengar dari Pastor Byakuya, Anda memanggil saya. Ada apa Bapa? Saya boleh tahu?" tanyaku sopan.

"Tentu saja," jawabnya pelan. Beliau membuka matanya yang sipit dan menatap lurus ke arah mata hijauku. "Bagaimana perasaanmu setelah tinggal di sini? Kau merasa kerasan?" tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Ya, saya merasa sangat nyaman dan betah di sini, Bapa," jawabku sopan. Senyum bahagia terpancang di bibirku. Aku menatap heran ke arah kepala pastor gereja ini. "Kenapa Bapa bertanya seperti itu?" tanyaku heran.

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, aku akan mengatakan sesuatu yang lain tentang dirimu," Uskup tua itu menarik nafas sejenak. "Aku melihat ada perkembangan pada dirimu. Kau jadi lebih lembut, sopan, dan ramah pada siapa pun. Bahkan kau tak keberatan ketika kami memintamu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat di gereja ini," kata Uskup Yamamoto bangga.

Aku menyunggingkan senyum tipis. "Karena saya ingin menjadi orang yang baik. Saya tak ingin kembali menjadi saya yang dulu. Pemuda yang tersesat, dan jatuh ke lembah dosa. Saya ingin memperbaiki diri saya, Bapa!" ujarku pelan, masih dengan senyum di bibir.

"Baguslah, jika kau ingin berubah, Nak Ulquiorra!" Uskup Yamamoto menghela nafas panjang dan berat. Aku kembali menatapnya heran. Ada apa, ya? Kok sepertinya berbicara denganku berat sekali? Apa aku melakukan kesalahan? Tapi, apa? tanyaku heran dalam hati.

Kami terus berjalan hingga akhirnya kami sampai di areal pemakaman. Aku terus menantikan kata-kata yang berikutnya keluar dari Uskup Yamamoto. Mata abu-abu lelaki tua itu menatapku tajam dan ia mengatakan sesuatu yang membuatku sangat terkejut.

"Aku minta agar kau meninggalkan gereja ini dengan segera, Ulquiorra Schiffer!"

**To Be Continued**

Anne : Fyuuhh, akhirnya saya bisa publish nie cerita juga. (nyeka keringat di dahi) Maklum liburan dari penelitian saya cuma 3 hari, jadi saya sempatkan buat bikin fic ini. Maafkan saya kalau agak gaje dan sulit dimengerti. Baru pertama kali ini saya membuat fic rate M. Saya harap para readers suka dengan cerita ini. (ngebungkuk hormat)

Ulquiorra : (stress kuadrat) Your Black Wings belum selesai, Death Silence baru dimulai, sekarang kamu publish fic baru lagiiiii?

Anne : Kenapa? Nggak boleh, un? (Deidara mode : on)

Ulquiorra : (sigh hard) Hhhh, bukannya nggak boleh sih. Tapi, kenapa saya dulunya sangar keik begitu? Jadi penjahat tulen pula! Tega kamu, Anne! Hiks, hiks! (nangis gulung-gulung)

Byakuya : (ngelus kepala Ulqui) Sabar, Nak Ulqui. Hidup memang berat.

Ulquiorra : (masih nangis sesengukan)

Grimmjow : (tampang stoic) Nggak nyangka kalau si Emospada bakalan tobat, nggak nyangka juga kalau si Byakushi bakalan jadi Pastor.

Ulqui+Byaku : (ngelayangin death glare) URUSAI! SHUT UP AND GET OUT FROM OUR FACE, BLUE CAT!

Grimmjow : (ngambek di pojokkan)

Ggio : (geleng-geleng kepala heran) Nggak nyangka ya, Ulquiorra-sama dulunya berambut panjang ... (ngelirik Anne) By the way, kira-kira kapan Ulquiorra-sama bakalan ketemu dengan Hime-sama?

Anne : Maybe chapter depan. Tapi lihat saja kondisinya.

Ggio : (sweatdrop segede gunung)

Byakuya : Ok, readers. Terima kasih sudah mau mampir ke fic milik Anne-san yang nggak seberapa ini. Maafkan author bila ada kesalahan dalam pembuatan fic ini. Aku harap kalian semua mau memberi masukan pada author kita yang saat ini sedang dalam tahap mencapai cita-cita (?). Jadi tolong berikan REVIEW sebanyak-banyaknya untuk menyemangati author.

Anne : Maafkan saya dan karya saya yang abal bin gaje ini ya, Readers. Saya ingin tahu apa fic yang ini harus dilanjutkan atau tidak. So, please review if don't mind. Review anda adalah jawaban bagi saya.

Ulquiorra : Baiklah para Readers! Terima kasih anda semua sudah mau membaca fic ini. Tapi saya tetap menyarankan anda untuk ... REVIEW dan TEKAN TOMBOL BIRU DI BAWAH DENGAN SEMANGAT!