Moshi-moshi! Saya kembali lagi ke fandom ini ^^
I hope you like my new story :)
Oke, Happy Reading! ^^
.
Desclaimer:
Jun Mochizuki-sensei
Warning:
Aneh, abal, OOC (maybe),
Typos (maybe), Gaje
Don't like? Don't read, please :)
.
.
If you look yourself in the mirror
The mirror will show you a reflection
But,
Who will it be?
Yourself, or…
.
"Bagaimana?"
"Pitamu agak miring. Sedikit ke kiri… Yak!"
"Oke, aku pe—"
"Tunggu! Apakah kau menyisir rambutmu? Karena aku merasa rambutku agak kusut."
"Geez, Alyss! Apakah menyisir rambut itu perlu?"
"Ya, tidak untukmu. Tapi bagiku rambut adalah mahkota."
"Yuck! Itu menjijikan!"
"Terserah. Yang penting sekarang sisir rambutmu!"
"Huh, baiklah."
"Hati-hati dengan kepangannya!"
"Berisik!"
"Alice!"
"Iya, iya!"
"Oke! Ayo berangkat!"
.
Queliet Kuro Shiroyama present
An Alice and Alyss story
.
Kagami
.
One: The Brown-haired Girl and The White-haired Girl
-A-
Pagi yang cerah adalah waktu yang tepat untuk mengawali aktifitas. Di Latowidge, seorang gadis berambut coklat tengah berjalan di koridor. Mata violetnya menatap lurus ke depan dengan tatapan malas. Ia berjalan dengan gayanya yang angkuh. Menandakan ia adalah seorang anak yang sulit untuk ditaklukan.
"Hei, Alice!" sapa sebuah suara dari belakangnya.
"Hoo… ternyata kau, manservant." gadis itu membalikkan tubuhnya dan mendapati seorang anak laki-laki berambut emas tengah menghampirinya.
"Kau sudah sarapan?" tanya lak-laki itu.
"Huh? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" gadis berambut coklat itu —Alice— balas bertanya pada laki-laki bermata hijau di depannya.
"Tidak… hanya saja, kalau kau belum sarapan, aku ingin mengajakmu ke kantin." jelas laki-laki itu sambil mengembangkan sebuah senyum ramah.
"Kau mau mentraktirku?" Alice menyilangkan tangannya di depan dadanya. Salah satu pose angkuh andalannya.
"Yah, asal kau tidak beli yang mahal-mahal, sih…" laki-laki itu menggaruk belakang kepalanya dan melempar pandangannya ke arah lain.
"Heh! Baik juga kau! Kukira kau salah satu dari orang-orang pelit yang ada di dunia." Alice menyunggingkan sebuah senyum. Senyum kemenangan.
"Hahaha… Apakah aku pernah tidak membelikanmu sesuatu?" laki-laki bermata hijau itu tertawa.
"Baiklah, manservant! Sekarang pukul enam lewat lima belas. Masih ada waktu tujuh puluh lima menit lagi sebelum kelas dimulai. Kurasa itu waktu yang cukup." Alice melirik jam yang melingkar di tangannya.
"Sangat cukup, menurutku." tambah laki-laki berambut emas itu.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang agar aku bisa makan daging dengan porsi besar, manservant!" Alice menarik tangan laki-laki berambut emas itu. Namun laki-laki itu tidak beranjak dari tempatnya.
"Kenapa? Ayo cepat!" tanya Alice sambil menarik tangan pelayannya.
"Sebut namaku!" pinta laki-laki itu.
"Apa? Kau bercanda? Di dunia ini tidak ada pelayan yang memerintah majikannya!" seru gadis bermata violet itu.
"Ada!"
"Siapa?"
"Reo."
"Kalau si mahluk Nightray itu pengecualian! Kalau pelayannya tidak memerintahnya, ia pasti sudah mati akibat perbuatannya sendiri. Dia terlalu ceroboh!" seru gadis berambut coklat itu dengan nada yang sedikit tinggi.
"Tidakkah kau juga begitu, Alice?" tanya laki-laki itu dengan nada mengejek.
"Aku berbeda! Aku bebas melakukan apapun yang aku mau! Kau kira aku ini siapa? Aku ini Alice! Alice sang B-Rabbit! Sebutkan yang lain!" bentak Alice pada laki-laki di hadapannya.
"Aku?"
"Aku benar-benar akan membunuhmu, manservant."
"Kalau kau membunuhku, aku tidak akan mentraktirmu."
"Akh! Ayolah! Nanti waktu kita habis!"
"Kalau begitu, sebut namaku."
"Kh…"
"Kau mau makan tidak?"
"Baiklah…—" Alice mengucapkan sesuatu dengan sangat pelan.
"Apa? Aku tidak mendengarnya." laki-laki itu mendekatkan telinga kirinya ke mulut Alice.
"OZ! OZ VESSALIUS! PUAS?" teriak Alice tepat di depan telinga laki-laki bermabut emas yang diketahui bernama Oz itu. Tidak peduli dengan murid-murid lain yang memandanginya dengan tatapan gadis-itu-sudah-gila.
"Geez, Alice… teriakanmu membuat gendang telingaku pecah…" keluh Oz sambil menutup telinga kirinya yang berdengung.
"Salahmu, manservant! Ayo pergi! Berkat kau waktu kita tinggal satu jam lagi!" Alice menarik tangan Oz dan menyeretnya ke kantin.
"Iya, nona Alice…" ucap Oz pasrah.
-L-
"Fuwah! Kenyang sekali!" seru seorang gadis berambut coklat setelah ia melahap potongan terakhir dari daging panggang ukuran besar yang ia pesan.
"Haha… kau merampokku, ya?" tanya Oz dengan senyumnya ketika ia melihat bill dengan jumlah yang cukup besar.
"Kau yang bilang akan mentraktirku. Resiko." ucap Alice seraya meneguk minumannya.
"Tapi aku tidak pernah menyangka kalau kau akan menghabiskan uangku sebanyak ini. Aku saja hanya pesan sandwich yang harganya dua puluh kali lebih murah." Oz mengacak-acak rambut emasnya sambil menyesali perbuatannya.
"Kenapa tadi aku mengajaknya, ya?" batinnya.
"Fufufu… tingkahmu tetap tidak anggun seperti biasa, ya, Alice?" sebuah suara mengganggu aktifitas sesal-meyesal Oz. Dicarinya siapa orang yang berkata demikian. Dilihatnya gadis didepannya yang tengah menatap tajam ke arahnya.
"E… Eh? Alice, kau kenapa? Ada sesuatu di wajahku?" tanya Oz. Namun gadis itu tetap menatap tajam kearahnya.
"Al—"
"Vincent Nigthray." sela Alice.
"Huh?" Oz yang bingung akhirnya memutar kepalanya. Menoleh kebelakangnya. Dan ia pun mendapati seorang laki-laki berambut pirang panjang yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang perempuan manis berambut pink. Perempuan itu tampak… kesal?
"Vincent? Charlotte?"
"Lotti!" seru gadis berambut pink itu cepat.
"Ada apa kau—"
DUGH
Lagi-lagi perkataan Oz disela. Namun kali ini, perkataannya disela oleh suara hentakan kaki gadis berambut coklat yang sedang bersamanya. Diliriknya gadis itu dan Oz mendapati kakinya sedang bertengger manis diatas meja. Pose angkuhnya yang lain.
"Apa maumu, tikus got?" tanya Alice dengan nada penuh kebencian.
"Wah, wah! Kasar sekali untuk seorang wanita." Vincent masih menatap Alice dengan matanya yang berbeda warna. Dan tidak lupa sebuah senyum manis seperti biasa.
"Vincent! Kalau kau hanya ingin membuat keributan, lebih baik kita pergi dari sini." Lotti —yang sepertinya sedang marah besar— menarik tangan kekasihnya. Namun Vincent tidak bergeming sedikit pun. Ia masih menatap gadis berambut coklat di hadapannya.
"Ukh!" Lotti yang sudah kehilangan kesabaran pun mulai bertindak.
DUG
"Ouch!" rintih Vincent ketika Lotti menginjak kakinya menggunakan high heels putih berpita pink yang gadis itu kenakan.
"Lo… Lotti? Kau marah lagi?" tanya Vincent dengan polos. Dan pertanyaannya dijawab oleh pukulan keras dikepalanya.
"Aw!" Vincent pun kembali merintih. Lalu, Lotti menarik kerah bajunya, menyeretnya pergi dari kantin dengan tangan kirinya.
"Kita pergi. Maaf sudah mengganggu." ucapnya sambil mengangkat tangan kanannya.
"Wah… sepertinya perempuan disini semuanya menyeramkan." gumam Oz yang melihat kepergian Vincent yang sangat tidak elit. Lalu, ia merasakan sebuah aura yang sangat tidak enak. Dicarinya sumber dari aura negatif itu dan didapatinya Alice yang sedang mengeluarkan aura kebencian dalam skala besar. Membuat Oz semakin takut dengan perempuan di Latowidge.
"Nona Alice?" sapa sebuah suara yang lembut. Yang di panggil masih memandangi arah dimana Vincent menghilang. Sedangkan yang tidak di panggil menoleh.
"Sharon?" dapat dilihat seorang gadis berambut peach dengan seorang pemuda berambut putih yang tengah tersenyum kearahnya.
"Break?"
"Ada apa dengan nona Alice, tuan Oz?" tanya Sharon dengan nada khawatir.
"Ternyata masih ada wanita lembut, manis, dan anggun disini" batin Oz lega.
"Apakah nona akan menghampirinya dan membantunya lagi seperti biasa? Sifatmu itu benar-benar seperti seorang tante-tan—"
PLAK
Kata-kata Break yang belum lengkap itu dihadiahi sebuah hantaman harisen oleh Sharon.
"Diam, Break!" bentak Sharon yang lalu kembali ke image lembutnya.
"Eh?" Oz benar-benar takut dengan perempuan di Latowidge.
"Jadi, apa yang terjadi pada nona Alice hingga wajahnya kusut seperti itu?" tanya Sharon dengan lembut. Semua yang melihat kejadian tadi pasti tidak akan menyangka kalau Sharon memiliki 2 sifat.
-I-
"Jadi, tuan Vincent Nightray yang membuatnya seperti itu?" tanya Sharon setelah mendapat penjelasan dari Oz.
"Tuan Vincent benar-benar…" ucap Sharon lembut.
"Ya. Dia benar-benar bodoh karena dapat di lumpuhkan oleh Charlotte Baskerville. Dan dia juga bodoh karena mau saja dengan wanita garang seperti—"
PLAK
Lagi, kata-kata Break yang belum lengkap dihadiahi oleh hantaman harisen oleh gadis berambut peach itu.
"Diam, Kevin!" bahkan sekarang gadis itu memanggilnya dengan nama aslinya.
"A… Lebih baik aku membawa Alice ke kelas agar dia bisa lebih tenang. Ayo, Alice…" Oz berdiri dari tempat duduknya dan mengulurkan tangannya pada Alice.
PLAK
"Eh?" Oz tidak mengerti Alice yang selalu bersikap dingin ketika bertemu dengan adik dari pelayannya. Alice selalu menepis uluran tangan Oz lalu pergi sendiri sampai bel masuk berbunyi.
"Mau kemana, nona Alice?" tanya Sharon.
"Toilet." jawab Alice singkat. Ia pun beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju toilet.
"Alice…" gumam Oz pelan.
-C-
Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di toilet, Alice mengunci pintu dan mengurung diri di dalam. Ia menatap kosong kearah cermin yang menempel di wastafel. Cermin berbentuk persegi dengan ukuran yang cukup besar. Cermin yang dapat memantulkan gambaran orang yang berhadapan dengannya. Setidaknya itu yang dijelaskan Liam-sensei di pelajaran fisika. Namun, Alice yang malang, ia sangat menentang teori itu. Karena, yang terpantul saat ia bercermin adalah…
"Kau tidak apa-apa?" tanya Alice.
"Alyss?" lanjut gadis berambut coklat itu.
"Ya. Terima kasih, Alice" jawab pantulan di cermin.
"Hhh…" Alice menghela nafas.
"Jangan sok tegar. Matamu berkaca-kaca, tahu!" tambahnya.
"Tidak… apa-apa… hal seperti ini sudah biasa…" ujar sosok dalam cermin itu.
"Haah… kalau kau tidak menumpahkannya, mataku tidak enak, nih! Banyak air yang menggenang!" seru Alice sambil mengusap matanya. Lalu, ia menyentuh cermin itu dengan ujung jari nya. Permukaan cermin itu secara ajaib berubah menjadi seperti air. Lingkaran gelombang muncul di sekeliling jari gadis berambut coklat itu.
"Tukaran dulu, yuk!" gadis berambut coklat itu pun menghilang. Tersedot ke dalam cermin. Beberapa saat kemudian, sesosok gadis berambut putih keluar dari cermin.
"Terima kasih… Alice…" gadis itu tersenyum pada pantulannya di cermin. Pantulannya yang berambut coklat.
"Yeah… Sama-sama." ucap pantulannya. Lalu, gadis berambut putih itu pun menangis sejadinya.
"Aku benci Vincent! Benci! Huwaaaa…" air mata gadis berambut putih itu mengalir tanpa henti.
"Huwaaaaa… Vincent menyebalkan! Aku benci! Benci! Benci!" Alyss menumpahkan segala emosinya. Ia memukul-mukul dinding kamar mandi.
"Alyss! Tanganku sakit!" geram gadis bermata violet dari dalam cermin.
"Huu… Aku… benci…" Alyss menghapus air matanya yang tidak henti-hentinya membasahi pipinya.
"Sudahlah. Mataku bisa bengkak, nih! Kalau mereka melihatku seperti itu bagaimana? Bisa hancur image-ku!" seru gadis di dalam cermin itu.
"Huu… Hiks…" Alyss masih menghapus air matanya. Mengusap-usap matanya dengan kedua tangannya. Setidaknya sampai ia mengulurkan tangan kanannya. Menyentuhkan ujung jari-jarinya ke permukaan cermin. Hal yang sama seperti ketika Alice menyentuhkan ujung jarinya ke permukaan cermin. Permukaan cermin tersebut berubah menjadi seperti air. Lingkaran gelombang pun muncul disekeliling jarinya yang bersentuhan dengan cermin. Gadis berambut putih itu pun menghilang. Tersedot ke dalam cermin. Dan sosok gadis berambut coklat kembali dari dalam cermin.
"Mataku…" gumamnya sambil mengusap-usap matanya yang lembab.
"Hihi… maaf, Alice…" gadis di dalam cermin itu tertawa kecil dan mengutarakan maaf sambil tersenyum manis.
"Heh… kau sudah bisa tertawa rupanya?" gadis berambut coklat itu memutar kran air dan membasuh mukanya.
"Ya… ini semua berkat kamu, Alice. Perasaanku lebih tenang sekarang. Terima kasih." gadis berambut putih itu tersenyum.
KRIIING
Bel sekolah berbunyi. Melakukan tugasnya. Membuat gadis berambut coklat yang sedang membasuh mukanya tersentak kaget.
"Man! Bel itu sungguh berisik! Menyebalkan sekali!" geram sang gadis.
"Lebih baik kau bergegas, Alice. Jangan sampai kau telat." Alyss kembali mengembangkan senyumnya.
"Kau benar. Sampai jumpa, Alyss." Alice membuka kunci pintu kamar mandi dan berjalan menuju kelasnya.
-E-
.
Everytime she saw a mirror
That poor girl never sees her reflection
Because the mirror never reflect herself
The reflection of brown is white
.
To Be Continued
Yosha! Saya tahu ini gaje. Maaf, ya! (^_^")
Juga maaf buat kesalahan dalam berbagai macam bentuk.
Oke, saya bingung mau ngomong apa lagi
Last, your review will be very very VERY nice ^^