Senin, pukul 06.45,

Orihime berjalan melintasi jalan setapak di perbatasan pusat Karakura dengan Las Noches. Sepertinya kali ini gadis itu terlambat—atau mungkin sengaja terlambat—berangkat sekolah. Dia sama sekali tak terlihat tergesa-gesa. Pandangan kosongnya menatap lurus ke depan. Tak sekali pun dia menoleh untuk sekedar melihat pemandangan padang rumput yang lumayan luas di kanan kiri jalan. Kawasan itu memang sama sepinya dengan Las Noches. Hanya ada satu-dua rumah yang jaraknya berjauhan.

Tak lama kemudian gadis itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana berhalaman sangat luas. Rumah itu tampak sepi. Mungkin penghuninya pergi. Orihime menatap sejenak rumah itu dari depan gerbang berkaratnya yang terbuka lebar. Kemudian ia merogoh tasnya, mengeluarkan sekuntum mawar hitam yang masih basah. Dia meletakkan mawar itu di kotak surat. Sejenak ia menatap nama keluarga yang tertera di kotak surat itu lalu bergegas pergi. 'Keluarga Hirako'.


.B.L.A.C.K. : .R.O.S.E.S.

a fic by Ankoku Naito

Bleach © Tite Kubo

4 | An Unpredictable Gift


Kali ini keributan melanda kelas XII IA-1. Kenapa? Tentu saja karena tiga jam pelajaran terakhir ini kosong. Dan tak ada kelas yang tidak akan ribut dalam keadaan begini. Mulai dari bergosip, main kartu, hingga mencoret-coret papan tulis dilakukan. Walaupun ada beberapa orang yang tertidur pulas seperti Ikkaku—yang kemudian kepala botaknya jadi korban keusilan ketiga temannya; Grimmjow, Ichigo, dan Shinji.

"Nah, begini baru keren!" desis Shinji sambil menggambar sepasang mata di kepala Ikkaku. Ichigo memegangi perut dan mulutnya agar tidak tertawa. Sedangkan Grimmjow memasang tampang serius ke LCD kameranya dan memotret Ikkaku dengan posisi dan tampilan 'sempurna'.

"Pasang di facebook..." ujar Grimmjow sambil terkikik.

Tatsuki yang ada di belakang mereka hanya bisa tersenyum geli sambil membaca majalah sport-nya.

"Tatsuki," gadis tomboy itu langsung menoleh kaget saat seseorang mendesis di sebelahnya.

"Eh?" dia menatap bingung Orihime yang ternyata memanggilnya. "Ada apa?" tanyanya kemudian duduk menghadap gadis gothic itu.

"Ngg... apa kita bisa pulang bersama?" katanya. Wajahnya masih tidak berekspresi walaupun suaranya sudah sedikit bernada.

'Tidak biasanya dia bicara?' batinnya aneh.

"Tentu saja!" jawab Tatsuki sambil tersenyum lebar. Dia membuang pikiran negatifnya. "Tapi aku lewat Las Noches," sambungnya.

Orihime mengangguk, "Rumahku di sekitar sana," katanya.

"Kau tinggal dengan siapa?" tanya Tatsuki saat perjalanan pulang.

"Sendirian," jawab Orihime tanpa menoleh.

Tatsuki hanya mengangguk sambil memikirkan topik apa yang bisa mereka obrolkan. Pasalnya sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Keadaan yang membuat Tatsuki jadi salah tingkah.

"Eh, penampilanmu sedikit berbeda," Tatsuki baru menyadari kali ini Orihime mengenakan gaun merah walaupun modelnya seperti pakaian biasanya. Dan pita yang terikat di lehernya membuat gadis itu tampak lebih ekstrim dari biasanya. Lalu jepit rambutnya yang berbentuk mawar hitam mengingatkan Tatsuki pada pembunuhan Rangiku. Tapi gadis itu buru-buru mengusir prasangkanya.

"Iya," Orihime tersenyum tipis, "Saudaraku yang merancangnya."

"Saudaramu suka gothic lolita?" tanya Tatsuki heran.

"Begitulah," jawab Orihime singkat.

"Kita berpisah di sini, ya?" kata Orihime saat menyadari bahwa mereka sudah berada di depan gang sempit yang terlihat gelap.

Tatsuki melongok ke arah gang yang dibatasi pagar besi tua yang sudah dirambati sulur tanaman itu. "Rumahmu ke sana?" tanyanya.

"Tidak terlalu jauh kalau lewat sini," ujar Orihime, "Aku duluan ya," pamitnya.

"Baiklah," kata Tatsuki ragu.

"Oh, aku melupakan sesuatu," Orihime menarik sesuatu dari tasnya. Sesuatu yang membuat Tatsuki tak bisa menelan ludah saking shock-nya. Mawar hitam.

"Ini untukmu," dia menyodorkannya pada Tatsuki.

Gadis tomboy itu terpaku sesaat sampai Orihime memanggilnya.

"Te-terima kasih," suara Tatsuki sedikit bergetar.

"Kuharap kita bisa jadi teman yang baik," Orihime tersenyum. Kemudian ia membungkukkan badan dan memasuki gang itu setelah melambai pada Tatsuki. Sedangkan Tatsuki menatap mawar hitam di tangannya dengan jantung berdegup kencang dan peluh dingin yang mulai mengalir di wajahnya.

'Apa maksudnya ini?' batinnya sambil melanjutkan langkahnya pulang.

Belum berapa meter berjalan ia kembali dikagetkan oleh pandangannya. Tampak dari sela-sela pepohonan kalau gang itu ternyata gerbang menuju Castillo de Las Noches.

'Dia tidak mungkin tinggal di sana kan?'

— 46.44 —

"Apa! Shinji-hage-nii belum pulang juga!" seorang gadis kecil mengomel di depan gerbang rumah sederhananya, rumah Keluarga Hirako.

Gadis berambut pirang berkuncir dua itu masih memakai seragam SD. Wajahnya terlihat sama brutalnya dengan Shinji Hirako. Ya, dialah Hiyori Hirako, adik Shinji. Dia selalu pulang saat jam SMU berakhir agar tidak sendirian di rumah. Tapi nyatanya kakaknya memang tidak bertanggung jawab.

Hiyori melangkah sebal ke arah kotak surat—kegiatan rutinnya tiap pulang sekolah. Dia selalu mengirim 'surat pengaduan' ke orang tuanya yang ada di luar negeri. Tapi yang didapatinya kali ini bukan surat balasan, melainkan sekuntum mawar hitam yang membuat gadis itu tertegun.

"Apa ini?" tanyanya sambil meraih mawar itu.

"Mashiro-sensei tidak pernah bilang kalau ada mawar yang seperti ini," dia bergumam kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Dia memutar-mutar mawar itu. Mengamatinya dengan takjub sekaligus bingung. Kemudian gadis kecil itu tersenyum senang, "Kakak pasti senang mendapatkan mawar indah ini," dengan bersemangat dia pun membawa mawar itu ke dalam rumah.

— 46.44 —

Hari sudah gelap. Tapi Tatsuki belum keluar dari kamarnya sejak pulang sekolah. Dia hanya duduk di ranjangnya sambil memandang mawar hitam yang ada dalam vas di meja belajarnya. Ia begitu bingung dan takut. Tak habis pikirnya mengira-ngira kenapa Orihime memberinya benda itu. Apalagi setelah pembunuhan Rangiku yang menyisakan mawar hitam.

'Tidak mungkin kalau Orihime tidak tahu kasus pembunuhan itu kan?' batinnya.

'Atau ini sekedar iseng?' tanyanya.

"Hmph," Tatsuki merebahkan dirinya. Dia butuh seseorang untuk diajak bicara saat ini juga. Dia perlu menjernihkan pikirannya. Tapi tak mungkin dengan Ichigo. Terakhir kali mereka kontak Ichigo kena semprot Rukia karena mereka sedang kencan. Dia tidak ingin mengulang kejadian itu lagi. Shinji? Dia takkan menganggap serius masalahnya. Yang tersisa hanya Grimmjow.

"Grimmjow..." gumam Tatsuki sambil mencari nomor di ponselnya. Dia menghela napas sambil menimbang-nimbang. Belakangan dia memang dekat dengan pemuda berambut biru itu—setelah kejadian Ichigo tadi. Tapi dia tidak ingin mengganggu Grimmjow dengan curhatnya. Yah, walaupun dia hampir sama perhatiannya dengan Ichigo.

"Peduli amat!" seru Tatsuki jengkel kemudian mengetik sms kemudian mengirimnya ke Grimmjow.

Beberapa menit dia menunggu dengan bimbang akhirnya datang juga balasan dari pemuda itu, "Maaf lama, aku baru saja makan malam. Ada apa?"

Tanpa basa-basi Tatsuki menceritakan kejadian tadi siang termasuk mawar yang diterimanya. Dia sudah siap mental jika Grimmjow menganggapnya paranoid. Tapi sebaliknya, pemuda itu menanggapinya serius. Dia menelepon Tatsuki dan bahkan menceritakan penyelidikannya bersama Shinji dan Ichigo. Akhirnya mereka sepakat untuk menyelidiki siapa Orihime sebenarnya. Kebetulan Shinji ada bersama Grimmjow sehingga mereka bisa saling memperjelas masalah.

"Sementara kau berhati-hatilah padanya, Tatsuki. Sampai di sini dulu, ya? Kita lanjutkan sisanya di sekolah. Oyasumi!" Grimmjow mengakhiri pembicaraan mereka karena malam sudah larut.

"Terima kasih," kata Tatsuki kemudian menutup ponselnya. Perasaannya sudah lega untuk sementara ini. Tinggal menunggu apa yang akan terjadi besok.

— 46.44 —

Jam sudah menunjukkan pukul 23.25 ketika Shinji sampai di depan rumahnya. Tugas Ukitate-sensei yang tidak tanggung-tanggung banyak dan sulitnya mengharuskan dia mengerjakannya bersama dengan Grimmjow. Selain karena tugas kelompok juga karena komputernya rusak.

Shinji melangkah lunglai ke dalam rumahnya yang masih terang benderang. Kebiasaan Hiyori yang tidak pernah mau mematikan lampu saat di rumah sendirian. Padahal adiknya itu sudah terlelap. Pemuda itu berdiri terpaku di pintu kamar Hiyori, mengamati gadis kecil yang jadi tanggung jawabnya itu tertidur dengan pulas. Shinji tersenyum melihat wajah polos Hiyori—yang takkan bisa dilihatnya ketika ia terbangun. Lalu ia segera menuju dapur dan menyiapkan makan tengah malam—karena biasanya Hiyori takkan makan sebelum kakaknya pulang.

"Semoga dia tidak mengadu pada ayah-ibu lagi," gumam Shinji tiba-tiba teringat kejadian bulan lalu ketika orang tuanya pulang dan dia dimarahi habis-habisan gara-gara sering meninggalkan Hiyori sendirian.

"What a busy day—" desah pemuda itu setengah bersenandung. Dia segera menuju kamar Hiyori setelah selesai menyiapkan makanan. Pemuda itu sudah berdiri di sebelah ranjang Hiyori saat matanya menangkap sekuntum mawar yang tergeletak di meja belajar adiknya itu.

'Mawar... hitam?' batinnya kaget. Ingatan tentang percakapannya dengan Grimmjow langsung menyergapnya. Semua hipotesis tentang Orihime dan mawar hitam yang diberikan gadis itu pada Tatsuki mendadak membuatnya takut. Makan malamnya pun seolah tersingkir begitu saja.

"Hiyori," Shinji mengguncang bahu Hiyori, berusaha membangunkannya selembut mungkin. Tapi suaranya terdengar memaksa.

"Hiyori," katanya sedikit lebih kencang.

Gadis kecil itu pun terbangun. Matanya mengerjap bingung, "Kakak sudah pulang?"

"Eh, iya," ujar Shinji seraya mengusap rambut Hiyori.

"Dari mana mawar itu?" tanya pemuda itu cepat-cepat. Hiyori menatap mawar hitam di meja belajarnya dengan tatapan setengah mengantuk. Dia terdiam sesaat untuk memulihkan kesadarannya.

"Ada yang meletakkannya di kotak surat kita. Sore tadi aku mengambilnya," jawabnya pelan, "Bagus kan, Kak?" tanyanya polos.

Kini keringat dingin perlahan membasahi sekujur tubuh Shinji. Jantung pemuda itu berdegup kencang. Perasaannya makin buruk saja. Hiyori yang melihat ekspresi aneh Shinji menatapnya dengan bingung, "Ada apa, Kak?" tanyanya.

Shinji menelan ludah dan terlihat bingung, "Hiyori, kau ingat apa yang kakak ajarkan tentang 'situasi darurat'?" katanya sambil memegang pundak adiknya. Dari getaran tangan Shinji, Hiyori tahu kalau sesuatu yang tidak baik sedang terjadi. Gadis kecil itu mengangguk mantap—walaupun dia tidak paham.

"Nah," Shinji menuntun Hiyori ke almari di pojok kamar itu, "tolong lakukan sekarang," katanya sambil membuka pintu almari.

Bagian dalam almari itu sangat luas. Hiyori masuk ke dalamnya tanpa protes. Dia tahu apa yang harus dilakukannya seperti yang pernah dijelaskan Shinji saat 'situasi darurat' terjadi; dia hanya perlu duduk diam di dalamnya, mengunci pintu almari dari dalam, dan menghajar siapa saja yang membuka almari itu dan berniat melukainya. Ya, di dalam almari itu ada beberapa benda tajam—dan Hiyori sudah bisa menggunakannya untuk sebatas membela diri.

Shinji meraih kapak yang tersandar di pojok almari. Kemudian ia berjongkok, mengeluarkan ponselnya lalu mengetik sesuatu—sms ke Grimmjow. "Mawar hitam itu ada di rumahku. Hiyori menemukannya di kotak surat kami tadi sore," dia berhenti sejenak. Lalu dengan napas tertahan dia kembali menggerakkan jarinya, "Kalau dugaan kita benar, kalau aku tidak lolos, tolong jaga Hiyori," dia menekan tombol Send.

"Kalau kakak tidak kembali sampai pagi kau baru boleh keluar, oke?" dia menyerahkan ponselnya pada Hiyori dengan senyum yang dipaksakan. Sedangkan Hiyori, bukannya balas tersenyum tapi malah menangis.

"Aku tidak mau ditinggal seharian seperti petak umpet dulu!" katanya sesenggukan. Shinji memeluk adiknya itu. Sekilas dia teringat permainan yang membuat Hiyori trauma ditinggal sendiri itu.

"Kali ini kakak tidak bercanda. Jadi jangan keluar sebelum kakak datang. Kalau sampai pagi kakak belum datang kau telepon Grimmjow saja, dia akan menjemputmu," ucap Shinji berat kemudian melepas pelukannya.

"Sekarang tutup pintunya," ujar Shinji sambil mengusap kepala Hiyori lalu berdiri.

"Kakak—" rengek Hiyori sebelum menutup pintu almari.

"Aku menyayangimu," kata Shinji—lagi-lagi dengan senyum yang dipaksakan.

Hiyori mengusap air matanya, "Aku benci petak umpet!" serunya kemudian membanting pintu. Shinji hanya bisa menatap kosong pintu itu. Dia menunggu hingga suara kunci terakhir bertaut. Lalu dia berbalik dengan wajah brutal dan dinginnya yang biasa.

"Ayo kita bermain," desisnya kemudian memanggul kapaknya ke arah ruang tamu.

"Deng! Deng! Deng!" lonceng jam antik di ruang tengah berbunyi nyaring, pukul 00.00.

Shinji duduk siaga di ruang tamu. Kapaknya tersandar di sebelahnya. Matanya terpaku pada pintu depan. Dia sedang menanti 'tamunya'. Sepertinya dia berpedoman pada kasus Rangiku Matsumoto yang diperkirakan terbunuh saat tengah malam. Pemuda itu memang tidak mengharapkan 'tamunya' itu muncul. Tapi dia juga tidak bisa berharap kalau mawar hitam itu adalah bahan olokan saja.

Wajah Orihime berkali-kali membayanginya. Entah kenapa pemuda itu membenci siswi baru tersebut. Dan kalau benar gadis itu adalah 'tamunya', dia akan dengan senang hati menghabisinya. Shinji memang bukan siapa-siapa dalam kasus pembunuhan itu, tapi rasa penasarannya karena penyelidikan Grimmjow sepertinya tumbuh menjadi obsesi.

Sepuluh menit telah berlalu tanpa ada sesuatu yang aneh kecuali hujan yang tiba-tiba turun dengan deras. Sedikit mengganggu pikiran pemuda itu karena seingatnya sejam lalu langit masih terlihat terang.

Tepat saat Shinji melangkah ke pintu depan...

"BRAKK!" terdengar suara benda jatuh dari halaman samping.

Shinji terdiam sejenak—mengira-ngira apa itu, 'Mungkin tumpukan kayu yang jatuh,' batinnya. Tapi kemudian dia meraih gerendel pintu. Dia bergegas keluar dan menutup pintu itu. Sejenak ia ragu dengan apa yang dilakukannya. Melihat langit yang seolah mengamuk tiba-tiba. Akhirnya pemuda itu berjalan menuju halaman samping. Dia memicingkan matanya. Dia tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sana. Hanya ada bayang-bayang pohon yang bergerak tertiup angin.

"Blarr!" kilat menyambar menerangi halaman itu. Sekilas Shinji melihat seseorang di dekat lubang pembuangan daun dan kayu. Pemuda itu maju perlahan ke tengah halaman. Air hujan memperburuk penglihatannya, beruntung matanya mulai terbiasa dengan keadaan gelap itu.

Petir kembali menyambar dan sosok itu tampak lebih jelas sekarang.

"Deg!" jantung Shinji seakan berhenti berdetak.

"Buenas noches *, Shinji Hirako—"

— 46.44 —

Fukaku tsukisasatta toge wo nuki nanika wo miidasu oroka na sama.

-Pulled out the thorn deeply pierced; foolish one who discovers something.-

[Sadie - Meisai]


.to-be-continued.


N's Corner:

Naito: Ahahay minna-san! Kali ini saya sendirian lho! Berhubung Sasa belum sembuh gara-gara di-cero bang Ulqui~ *ketawa setan*

Hiyori: Aku mau protes!

Naito: Lha? Belum jatahnya ente keluar adik kecil~

Hiyori: *tendang Nana* Kenapa yang jadi kakakku si Hage!

Shinji: Harusnya kau bangga punya kakak setampan aku.

Hiyori: *lempar sendal ke Shinji* Diam kau, Hage!

Naito: Seharusnya Sasa aja yang siaran~ *nangis gaje*

Hiyori: Bai de wey, kok aku yang dimasukin lemari?

Shinji: Tentu saja karena kau pendek!

Hiyori: Apah? *hollowfication*

Naito: He-hey! *teriak pake toa* JANGAN RIBUT DI SINI!

S&H: *lempar Nana dari jendela* HAGE!

Naito: Review minna-san~ Untuk mengobati luka ini~ *pingsan*

Note: * Good night