"Nah, sudah saatnya kau melakukan tugasmu," pemuda itu layaknya berbicara sendiri di dalam ruang gelap dan pengap itu. Dia sedang mengacak-acak sesuatu di depannya, sebuah peti mati. Peti mati yang tampak aneh dengan banyak rantai dan gembok yang mengelilinginya. Seolah penghuni di dalamnya adalah hewan buas yang siap menerjang ketika dibuka.

Dia menarik sesuatu dari dalamnya. Tubuh seorang gadis yang agak ringan menyeruak di antara puluhan atau bahkan ratusan bunga mawar berwarna hitam di dalam peti. Wajahnya begitu pucat dan kosong. Tampaknya bukan tubuh yang masih bernyawa.

Sesungging senyum menghiasi wajah pemuda itu. Dia mengusap rambut si gadis kemudian meletakkan sekuntum mawar hitam di rambutnya. Pemuda itu memeluknya sejenak. Dia memejamkan matanya, tampak amat tenang.

"Mi eterna marioneta*," katanya lirih.


.B.L.A.C.K. : .R.O.S.E.S.

a fic by Ankoku Naito

Bleach © Tite Kubo

0 | Prologue


She is like a black rose

Reborn from those who have died

Growing in the black of darkness

She, who blooms because of the hatred

She, who lives in nothingness


Wanita itu mendesah cemas. Dia merapatkan wajahnya yang putih hingga menempel pada kaca jendela rumahnya untuk melihat keadaan luar—tak ingin membuka jendela itu sedikitpun. 'Terlalu berbahaya', begitu pikirnya. Cuaca memang semakin tak bersahabat beberapa hari ini—hujan deras dan angin kencang yang membuat suasana makin mencekam.

Las Noches—daerah timur Kota Karakura memang wilayah yang paling menakutkan dan kuno, begitulah para warga mendeskripsikannya. Hanya dipenuhi kebun-kebun—yang mungkin bisa disebut hutan kecil—dan lahan kosong yang luas, benar-benar suasana desa. Hanya ada sedikit orang yang bersedia tinggal di daerah itu. Hanya mereka yang mencari ketenangan. Kebanyakan orang menghindari daerah itu karena banyaknya catatan penemuan korban pembunuhan di sana. Padahal hal itu berlangsung hampir lima puluh tahun lalu, tahun 1960-an.

"Aku jadi ingin pindah," wanita itu bergidik saat mata birunya menangkap bayang-bayang pepohonan di jalan. Lampu jalan yang tidak stabil membuat bayangan itu tampak bergerak mengancam.

Semuanya memang hal yang sering dihadapi si wanita selama enam bulan hidupnya di Las Noches, tapi tetap saja dia tak terbiasa. Wanita muda itu tinggal sendirian di rumahnya dan selalu ketakutan ketika cuaca buruk. Tadinya dia berniat mencari ketenangan dengan tinggal di sana, bukannya tenang dia malah depresi. Belakangan dia berniat untuk pindah ke tengah kota.

Dia beranjak ke depan televisi, menyalakannya dengan suara keras mengalahkan deru hujan, berusaha mengusir rasa takutnya—kebiasaannya di tengah malam seperti ini. Berkali-kali dia mengumpat karena semua channel begitu monoton dengan laporan buruknya cuaca. Berkali-kali pula dia mengutuk dirinya yang mengidap insomnia sehingga tak bisa tidur awal.

"Tok! Tok! Tok!"

Wanita itu hampir saja menjatuhkan remote-nya saat suara ketukan terdengar. Dia berdiri dengan sigap karena kaget dan nyaris saja berlari membuka pintu. Dihentikannya langkahnya dan mulai berpikir bahwa sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi. Dia melirik meja di ruang tengah itu kemudian meraih pisau surat dan menyelipkannya di balik sweater-nya.

Dia mengambil napas panjang, berusaha tenang. Seseorang mengetuk pintu saat tengah malam bukanlah hal yang biasa. Dia membuka pintu sedikit, melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Dahinya yang tadi berkerut tegang perlahan mengendur. Seorang gadis bermata cokelat yang berdiri di bawah payung menatapnya kosong.

"Selamat malam," sapa gadis itu lirih. Si wanita hampir tak dapat mendengar suaranya yang tertelan hujan.

Mata wanita itu meniti setiap jengkal tubuh si gadis. Melongo untuk beberapa saat karena penampilan si gadis yang begitu gothic hingga dia tak ingin memercayai masih ada orang yang berpakaian sekuno itu di zaman semodern ini.

"Malam," jawabnya memaksakan diri untuk tersenyum.

"Boleh aku berteduh sebentar?" tanya gadis itu dengan nada datar.

Wanita berambut pirang itu menimbang-nimbang. "Oke, masuklah."

Gadis misterius itu masuk ke ruang tamu begitu si wanita membukakan pintu lebih lebar. Tubuhnya yang basah mengeluarkan aura dingin. Dia duduk tegap, tidak menggigil walaupun wajah pucatnya menunjukkan bahwa ia kedinginan.

"Sedang apa kau di luar selarut ini?" wanita itu duduk di sofa seberang si gadis.

"Dalam perjalanan menuju rumah saudaraku," jawab si gadis tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan serumpun mawar merah besar yang tertempel di dinding belakang si wanita. Tatapannya kosong, seperti tak ada apapun yang memantul di bola matanya, membuat bulu kuduk pemilik rumah itu berdiri.

"Kurasa kau kedinginan," ucap wanita itu lambat-lambat, "Biar kubuatkan cokelat panas untukmu," lanjutnya kemudian beranjak menuju dapur meninggalkan tamunya yang masih menatap lukisan mawar tanpa berkedip sekali pun.

Tiba-tiba mata gadis itu berubah menjadi abu-abu muda. Tatapannya berubah sadis—seolah kerasukan sesuatu.

"Warna yang lezat…" dia mendesis. Begitu lirih dan tercampur dengan suara pemuda.

"Karena merah adalah darah."

'Apa-apaan gadis itu! Membuatku merinding saat mendengar suaranya,' si wanita membayangkan wajah tamunya itu kemudian bergidik.

Cepat-cepat wanita itu meletakan cokelat panas beserta sepiring kue di nampan dan kembali ke ruang tamu.

"Nah, ini di…" kata-kata wanita itu terputus begitu melihat bahwa ruang tamu telah kosong.

"Kemana gadis itu?" tanyanya bingung.

Dia meletakkan nampan kemudian menuju pintu depan yang terbuka lebar. Dia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut halaman. Tak ada siapapun di sana selain gemerisik dedaunan tertimpa hujan. Dia juga tak melihat siapapun di jalan. Wanita itu mengernyit kemudian bergegas menutup pintu karena petir menyambar tanpa ampun.

Wanita itu mengacak rambutnya sendiri—dia bingung. Tapi kemudian dia mengedikan bahu tanda tak peduli. Dihampirinya meja tamu dan disantapnya kue dan cokelat panas itu.

Sesaat kemudian dia berhenti mengunyah karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya—benda yang menyembul di balik nampan. Dia menarik benda itu. Kini sekuntum bunga mawar sudah berada di tangannya. Dia terdiam untuk beberapa saat kemudian mulai terkekeh.

'Paling cuma iseng,' katanya dalam hati. Dia mengamati kelopak mawar yang menurutnya benar-benar aneh itu. Warnanya hitam—dan tentu saja tak ada mawar dengan warna itu. Tapi dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin saja cat atau pewarna lain walaupun kelopaknya terasa amat alami di jemarinya.

"Ada-ada saja," dia berdiri dan berjalan menuju dapur—berniat untuk membuang mawar itu. Tapi…

"Au…!" jarinya tertusuk duri mawar itu dan mengeluarkan darah. Mawar itu terjatuh.

Dengan hati-hati wanita itu menekan perlahan lukanya agar tak banyak mengeluarkan darah. Tanpa disadari setetes darahnya jatuh ke kelopak mawar itu. Memberi sedikit nuansa merah di atasnya.

"S-sial!" umpat wanita itu sambil meringis menahan perih.

Di kejauhan, gadis misterius tadi menatap rumah si wanita. Kali ini matanya yang masih berwarna abu-abu muda terlihat amat senang. Bibirnya tersungging licik. Tangan kirinya menggenggam erat payung hitamnya yang bergerak-gerak diterpa angin malam dan hujan. Sedangkan tangan kanannya memegang serangkai bunga mawar hitam yang tersusun rapi.

Gadis itu memejamkan matanya sejenak. Hidungnya bergerak seperti mengendus.

"El olor de la sangre.**"

— 0 —

Tiga hari kemudian,

"Cih, lukanya tak mau menutup!" wanita itu mengumpat sembari mengganti perban di jarinya yang tertusuk duri mawar tiga hari lalu. Sebenarnya amat mustahil kalau luka sekecil itu tidak dapat menutup dalam waktu tiga hari.

'Gara-gara dia,' batinnya kembali teringat pada gadis misterius pembawa mawar hitam itu.

Selama tiga hari ini si wanita mengutuk tamu tengah malamnya itu. Sebenarnya bukan masalah besar, hanya saja ada yang aneh dengan luka itu; selalu berdarah saat tengah malam—waktu yang sama ketika gadis itu datang. Hari ini hari ketiganya bangun di tengah malam dengan rasa perih yang amat sangat. Dan cuacanya tidak lebih baik dari tiga hari lalu. Bahkan purnama yang timbul tenggelam di awan menambah horornya suasana.

"Tok! Tok! Tok!" lagi-lagi ketukan di tengah malam.

'Jangan-jangan dia…' pikir wanita itu. Dia bergegas membereskan sisa perbannya kemudian menyelipkan sebilah pisau di balik sweater-nya. Lalu dia melangkahkan kakinya ke pintu depan—berharap kalau dugaannya salah.

"Selamat malam," ternyata memang gadis misterius itu yang datang.

Wanita itu berusaha bersikap sebiasa mungkin, "Malam," balasnya.

"Aku ingin mengambil barangku yang tertinggal di sini," katanya kemudian meletakkan payungnya.

Si wanita menatap aneh gadis itu. Kali ini dia memakai sarung tangan dan menenteng keranjang di tangan kanannya; sebuah keranjang piknik berisi empat botol anggur kosong berukuran cukup besar dan sebuah…

'Belati?' ekspresi wanita itu berubah khawatir.

"Barang apa?" tanya wanita itu segera mengalihkan pandangannya.

"Kau yakin tidak melihatnya, Nona?" tanya gadis itu kemudian melangkah maju. Wanita itu mundur selangkah dan mulai meraba pisaunya.

"Benda yang membuat jarimu berdarah," gadis itu menatap sedih jari si wanita yang terluka. Darah merembes ke permukaan perbannya.

Si wanita menatap takut gadis itu, "Maksudmu mawar hitam itu?" suaranya bergetar.

Gadis itu mengangguk pelan.

"A-aku sudah membuangnya," jawab wanita itu terbata.

Mata gadis itu menatap lurus ke si wanita. Tatapannya mengerikan. Aura gadis itu pun berubah drastis menjadi aura membunuh.

"Kalau begitu…" mata gadis itu berubah menjadi abu-abu muda membuat si wanita terbelalak kaget, "beri aku darahmu," lalu ia melangkah perlahan mendekati si wanita.

"Tidak!" wanita itu terlonjak. Dia mencabut pisaunya. Dan…

"JRASS!" pisau itu melesak menembus jantung si gadis. Tapi lukanya tak mengeluarkan darah. Langkahnya terhenti, kepalanya tertunduk. Gadis itu kini tampak seperti sebuah marionette tanpa puppet master yang mengendalikannya. Layaknya sebuah benda mati.

Tangan wanita itu gemetar. Dia tak percaya apa yang ia lakukan barusan. Dia melangkah mundur hingga menabrak rak berisi DVD Player dan buku-buku di sebelah pintu menuju ruang tengah. Tubuhnya melemas. Jantungnya berdegup kencang memikirkan apa akibat tindakannya itu.

Namun, ternyata belum berakhir.

"Sreet," tiba-tiba gadis itu bergerak, menyeret kakinya mendatangi si wanita. Kepalanya perlahan terangkat. Matanya yang menakutkan itu menatap dingin dan kosong. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Kau berani sekali," katanya.

Belum hilang rasa kaget wanita itu, tiba-tiba si gadis meraih belati di dalam keranjangnya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Tubuh wanita itu seolah beku. Dia ingin menjerit, tapi suaranya menghilang.

"Aku hanya meminta darahmu…"

"JRASS!"

"BRUKK!" wanita itu jatuh berlutut dalam satu tusukan. Cairan kental berwarna merah muncrat ke wajah si gadis, memberikan sedikit warna 'hidup'. Gadis itu menatap mata si wanita, sinarnya mulai meredup. Mulut wanita itu menganga dan mengeluarkan darah.

Dengan kasar gadis itu menarik belatinya yang menancap di jantung si wanita. Perlahan tangan wanita itu merosot dari rak dan tak sengaja jemarinya menekan tombol play di DVD Player-nya. Dan sebuah musik pun mengalun. Sejenak gadis itu berdiri mematung mendengarkan melodi indah bernuansa kematian itu.

"Playing DELUHI – Living Dead," dia tersenyum melihat judul lagu itu.

Gadis itu berlutut di sebelah tubuh si wanita yang bersimbah darah. Dia menatap senang darah yang mengucur deras dari lubang di dadanya. Kemudian dia menggerakan jemarinya, mengoles sedikit darah itu dan menjilatnya. Dia sangat menikmatinya seolah itu adalah sirup stoberi. Dia memiringkan sedikit tubuh wanita itu lalu mengganjalnya dengan sebuah mangkuk kecil—menampung darahnya.

Gadis itu menatap dadanya, masih ada pisau yang menancap di sana. Dia pun menariknya perlahan tanpa ekspresi kesakitan. Ditatapnya pisau itu sejenak. Dia melirik pergelangan tangan si wanita kemudian mengiris nadinya. Begitu lambat—dan ia amat menikmati suara pisau yang berdesir lembut membelah jaringan kulit si wanita yang perlahan meneteskan darah. Dia mengangkat tangan wanita itu lalu membiarkan darahnya mengalir memenuhi botol anggurnya. Dia terus melakukannya—mengiris anggota badan lainnya—untuk mengisi botol anggur itu.

Beberapa saat kemudian gadis itu melirik jam dinding, pukul 00.25. Tatapannya menjadi sendu. Dia kembali menatap tubuh wanita itu lalu memasukkan botol beserta belati dan mangkuknya ke dalam keranjang setelah membersihkan darah di permukaannya.

"Sebenarnya aku masih ingin bermain," ujarnya sedih sambil memandang wajah wanita itu.

"Tapi Tuanku membutuhkanku," lanjutnya kemudian menancapkan sekuntum mawar hitam di bekas tusukan di dada si wanita hingga bunga itu berdiri tegak.

Dia pun berdiri sambil masih memandang wanita itu. Senyum kembali menghiasi wajahnya. Dia membungkuk memberi hormat, "Terima kasih atas semuanya, Nona." Gadis itu berbalik, menenteng keranjangnya, dan melangkah menuju pintu depan. Namun ia berhenti sejenak saat sudah membuka pintu itu. Dia menoleh.

"Merah—warna yang indah untuk menghias rambut pirangmu."

Lalu dia menutup pintu. Meninggalkan tubuh wanita bersimbah darah itu. Hujan turun makin deras menghilangkan bau anyir darah yang menyusup keluar. Dan petir menyambar seirama lagu yang terus mengalun mengantar kepergian wanita itu.

— 0 —

Kyo mo tsume wo tateru te wo tori negau, kimi no shiawase wo

-Today too, I want to take up those scratching hands, your happiness-


.to-be-continued.


N's Corner:

Hahau! Akhirnya saya bangkit dari alam kemalasan! *dilemparin kaleng*

Kena WB setelah hiatus itu menyengsarakan. Apalagi kalau harus menghabiskan waktu seminggu buat dapetin 1900 words, itu benar-benar menyebalkan! Tapi saya berhasil buat fic gaje plus nggak menggenah ini… XD

Untuk chapter ini saya memang sengaja belum menghadirkan nama kedua tokoh tadi, biar Anda sekalian mengira-ngira siapa mereka. *dikeroyok gara-gara sok mistis*

Nah, riida-san, repiu yah… *puppy eyes*

Note: * My eternal marionette - ** Smell of blood