Epilogue: When the Mockingbirds Stop Singing

Dia menginjakkan kakinya di atas jalan itu. Dirasakannya mesin mobil taksi di belakangnya mulai menyala, sebelum kabur dengan derungan suara kasar yang menusuk telinganya. Angin yang ditimbulkan mobil itu membawa daun-daun berwarna coklat untuk terbang, sehingga mengenainya di badan, atau bersarang di rambut. Agak kesal, ia mengibas-ngibaskan rambutnya dengan tangannya, membebaskannya dari perangkap daun mati. Dedaunan coklat jatuh ke bawah, seakan-akan bernostalgia tentang saat-saat pertama mereka lepas dari dahan pohon dan bertemu dengan tanah, pasangan hidup mereka sampai ajal menjemput di tempat sampah.

…Baiklah. Itu bukan metafora yang baik. Setidaknya terakhirnya tidak klise.

Dia mengambil napas. Hawa dingin udara Eropa menyengat hidungnya. Sebentar lagi musim dingin. Tetapi entah kenapa dingin sekali akhir-akhir ini, sehingga jadinya ia hanya ingin dipeluk oleh selimut futonnya di rumah. Jaket hitamnya ia rapatkan erat-erat ke tubuhnya—berharap bahwa bahan kulitnya dapat menangkal hawa dingin—sebelum berjalan ke depan, memasuki tempat itu dengan langkah goyah.

Dia tidak suka ini. Bukan udara dingin yang sampai menyengat tulang yang tidak ia sukai. Itu juga, sih. Dia lebih memilih tinggal di rumah dan bersembunyi di balik selimut. Tapi sebenarnya, rumah-rumah –tempat tinggal terakhir- yang berjejer di sebelah kiri dan kanannya benar-benar membuatnya tidak merasa nyaman, sama sekali. Ingatkan lagi kenapa dia datang ke sini? Oh, ya. Karena Netherlands menyuruhnya (baca: memaksanya, kalau tidak ia akan mengajukan embargo ke negaranya. Dia tahu betul bahwa yang akan mengalami kerugian lebih besar dengan adanya kebijakan ini adalah Netherlands sendiri, tapi…). Betul. Apa, Netherlands pikir dia bisa mengakhiri isolasinya lagi untuk kedua kalinya?

Dia mendengus muram. Agak betul, kalau ditanya apa jawabannya. Kalau tidak dia tidak akan ada di sini, di luar rumahnya. Setengahnya ia masih ragu, setengahnya ia masih tidak mau kalau saja tidak ada Netherlands.

Setengahnya ia masih ingin bersembunyi.

Sialan. Semuanya. Dia menyalahkan Netherlands yang dengan seenak jidat mengambil kereta lain jurusan Amsterdam saat ia sedang lengah dan sudah berada di kereta jurusan Berlin dan pintu keretanya sudah tertutup. Dia hanya bisa menggedor-gedor jendela keretanya kewalahan begitu melihat lelaki Eropa itu menempatkan dirinya di atas kursi di dalam gerbong seberang. Awalnya dia kira Netherlands salah memasuki kereta (karena setua-tuanya ia, ia tidak mungkin salah membaca jurusan keretanya yang jelas-jelas tertuliskan, dalam huruf kapital besar-besar, 'BERLIN'), tetapi kemudian ekspresi muka Netherlands yang ditunjukkan sembari mengacungkan jempol tanda 'berjuang!' benar-benar membuatnya…baik, bukan marah, tapi…entahlah, tapi kau tahu maksudnya.

Kau tahu, dia benar-benar akan mengajukan embargo sesaat ke Belanda kepada Kaisar.

Dia menggeleng. Baiklah, dia bersikap kekanak-kanakkan. Ini layaknya seorang anak kecil yang mainannya direbut dan kemudian berlari mengadu ke orang tuanya sambil merengek. Tolonglah, dia bukan anak kecil lagi. Atau tinggal bersama dengan China, kalau ada yang bertanya.

Mendongakkan mukanya, dia kembali melihat ke jalan sepanjang makam yang ada di depannya. Dia merasakan memori mulai mendatangi pikirannya—hal itu membuatnya menghela napas lelah, padahal dia tidak terlalu capai setelah berpergian. Padahal barulah satu kali pekuburan ini melihatnya—sudah sepuluh tahun yang lalu, tetapi dengan adanya angin musim gugur yang berhembus dari belakangnya, ke arah dalam kuburan, ia seakan-akan merasa 'disambut' oleh mereka, senang atau tidak.

Apakah dia semuram itu sampai para makam pun menyambutnya?

Mencoba untuk tidak mempedulikan pemikiran yang membuat depresi seperti itu, ia mempercepat langkahnya. Deretan makam di kiri dan kanan seakan-akan tak pernah habis, menjulang sampai ke ujung dunia. Itulah impresi yang ia dapat saat berjalan dengan wajah menunduk, merasakan bagaimana terisolasinya tempat ini dari dunia luar. Memang tidak ada orang yang suka untuk datang ke sini, pikirnya.

Tak lama, sampai akhirnya ia berhasil mencapai makam yang ditujunya. Dia menatap makam itu dengan pandangan sedatar yang ia bisa, berusaha sekeras mungkin untuk tidak lagi mengingat waktu-waktu yang telah mereka jalani di masa lalu. Padahal hanya sebuah batu—makam berbentuk huruf 'm' yang di tiap setengah bagiannya terdapat masing-masing satu nama. Dan di tengah tempat kedua batu itu bersatu, tertulis:

'Adik dan sahabat tersayang. Keduanya telah bersama dalam damai.'

Bersama dalam damai, ya.

Dengan cara pergi yang seperti itu?

Sahabat tersayang. Mungkin mereka akan berkata lain, tetapi baginya, mereka berdua adalah sahabat tersayangnya.

Dia menghela napasnya sedih. Hal itu sudah tidak perlu—tidak bisa dikatakan lagi, 'kan? Seperti yang telah dikatakan China padanya, pendulumnya tidak bisa berputar kembali.

Dia tidak akan pernah bisa melihat mereka lagi.

Saat dia menunduk untuk membersihkan daun-daun coklat yang ada di depan makam –sekadar sebagai sebuah penghormatan kepada mereka yang telah berlayar jauh ke tanah seberang-, tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang sudah sangat familiar di telinganya,

"Japan?"

Japan meluruskan tubuhnya, dan berbalik, untuk melihat seseorang yang sudah sangat ia kenal berjalan dari arah ia datang. Orang yang familiar itu memakai jaket hitam, dengan topi beret berwarna sama, sangat kontras dengan dua buket bunga yang dipegangnya di tangan kanan. Masing-masing berisikan bunga lili putih dan forget-me-not biru.

Dia tampak senang melihatnya, tetapi Japan malah mengernyitkan alisnya khawatir. Dia sudah lama sekali tidak pernah bertemu dengannya. Apakah bajunya sudah cukup rapi untuk acara seperti ini? Aah, dia memang seharusnya membeli jas baru. Tunggu sebentar, dia tidak membawa oleh-oleh atau apa. Apakah itu membuatnya menjadi seperti orang yang tidak sopan? Sebenarnya, masalah yang lebih penting, tampang apa yang sebaiknya ia pasang di wajahnya? Tapi tidak ada lagi waktu berpikir, karena orang itu sudah berada tepat di depannya.

"Ano…," dia mendesah. Kakinya berganti-gantian menopang berat tubuhnya. Salam saja, ya? "Konnichiwa, P-uh, Germany-san."

Orang yang dipanggilnya menampilkan wajah lega, sebelum menyunggingkan senyum yang menjejerkan sederet gigi seputih mutiara. Orang itu menamplokkan buket bunga itu di atas kepalanya, membuatnya mengeluarkan suara seperti tikus terjepit. Orang itu tertawa. "Jangan bersikap formal padaku, Japan," katanya masih sambil tersenyum lebar. "Walaupun sudah lama, kau boleh memanggilku dengan '-kun'-mu itu, kok. Lihatlah! Aku tidak berubah sama sekali. Masih awesome seperti biasa. Kau juga masih kurus seperti biasa. Euh. Mungkin 'sedikit' lebih kurusan lagi. Kita, 'kan, masih teman, nein?"

Japan mendengus agak kesal, sebelum mencoba mengalihkan pandangannya –malu- dari tatapan mata personifikasi salah satu negara Eropa itu. Japan menyentuh kepalanya, di tempat orang itu menamplokkan dua buket bunga yang salah satunya –yang berisikan forget-me-not- tengah ia letakkan di depan makam.

Dia baru sadar, di depan makam itu juga terletak dua buah Iron Cross, di kedua samping buket bunga. Dia hanya membawa buket bunga itu tadi, jadi pasti Japan tidak menyadari keberadaan dua buah benda itu.

"Bagaimana kabarmu, Japan?"

Dia bertatap pandang dengannya. Kedua tangannya dimasukkan ke jaketnya, dan badannya agak sedikit condong ke belakang, kaki depannya turun-naik bermain-main. Japan merengut, memaksakan senyum yang membuat sisi bibirnya berkedut.

"Baik-baik saja."

Orang itu mengernyitkan alis, dengan mudah dapat melihat akting payahnya. Dia menatapnya, lalu menempatkan tangannya di atas kepala Japan.

Ia mengusapnya.

"Kau tahu, 'kan, dulu aku dibesarkan di sebuah pastoral? Dalam Ordo Ksatria Teutonik? Melihat sesi orang menyatakan kesalahannya hampir setiap hari? Wajah berbohong yang satu-satu kulihat sampai bosan-," desahnya sambil tersenyum melankolis. "Kamu tidak perlu memaksakan senyum kalau kau tidak mau."

Japan menunduk malu sambil menggamit tangannya yang lain. Dia menggigit bibirnya, melihat kaki-kakinya yang bergerak-gerak tak nyaman di bawahnya. Apa yang harus ia jawab dengan pernyataan seperti itu?

Dia memang bukan teman yang baik, bukan? Menghilang selama sepuluh tahun ini dan tak pernah keluar sekalipun dari Jepang, bahkan Tokyo!—memang pantas Netherlands menganggapnya sebagai seorang hikkikomori lagi. Perjalanan ke Jerman ini benar-benar adalah pertama kalinya ia ke luar Jepang semenjak sepuluh tahun yang lalu, setelah kejadian itu. Menaiki pesawat membuatnya bergidik ngeri, meskipun Netherlands sudah duduk bersamanya di sebelahnya, bahkan sampai-sampai meremas tangannya untuk menenangkannya. Tapi tetap saja ia menggigil takut. Dia tahu itu bukanlah ketakutan seperti paranoid bahwa pesawatnya akan terjatuh atau apa, tetapi lebih tepatnya apa yang akan ditemuinya setelah turun dari pesawat.

Alasannya untuk bersembunyi dari dunia luar untuk yang kedua kalinya tetaplah sama dengan alasannya bersembunyi untuk pertama kali. Dia takut.

Dia masih ingat dengan jelas kejadian itu. Dirinya berjalan di tengah-tengah koridor yang putih nan hampa, membawa dua buah gelas plastik di tangannya; masing-masing berisi kopi hitam pekat dan teh hijau.

Kemudian terdengar suara tembakan.

Suara itu bergema di sekitar lorong rumah sakit yang sepi. Menggedor-gedor gendang telinganya minta diperhatikan. Berhentilah dia sesaat –tangan yang memegang gelas kaku- pelan-pelan mencoba agar seluruh sarafnya menyerap suara itu masuk sebelum menghantarkannya baik-baik ke otak. Sampai akhirnya dia sadar, dan langsung berlari sangat cepat menuju ke tempat di mana suara itu terdengar.

Tempat yang paling ia takutkan.

Dia membuka gagang pintu dengan menyikutnya dan mendorong dengan keras, tapi begitu ia masuk—

dia mendengar suara tembakan—dia melihat sebuah tembakan—

Japan ingat tentang pipinya yang terciprat oleh sesuatu, merah dan agak lengket.

—"Vee, vee~! Japan! Selamat datang, vee! Aku sedang buat fettucini, loh! Kau mau?"

—"Guten morgen, Japan. Hari ini kita latihan lagi?"

—kedua gelas plastik itu jatuh dari tangannya. Dia ingat begitu panasnya kakinya merasa, tetapi rasanya hanya seperti tersengat gigi-gigi jarum seekor semut (dia sedang menyusun rencana di Tokyo ketika hal itu terjadi—rasa sakit terbakar yang tiba-tiba menjalar di punggungnya—merasakan Hiroshima menghilang dalam luapan asap berbentuk jamur…). Pandangan di depannya jauh lebih memikat perhatiannya, oleh karena warna merah yang tersemir di dinding.

…ada sebuah pistol—

…'piiiiiiiiiiiiiiiiiiip'…

Germany ada di sana. Italy juga ada di sana. Lelaki yang berambut pirang itu hanya tengah berlutut di sisi ranjang, dengan kepalanya ditempatkannya di atas dada lelaki berambut coklat yang piyama rumah sakitnya hanya terkena suatu noda—aah, dia tahu; selai rasberi, mungkin? Ya, ya. Dan Germany hanya kelelahan. Istirahat seperti yang telah disarankannya sebelumnya. Kepalanya yang bersimbah warna merah itu tentu saja juga hanya sebuah ilusi optik. Begitu juga dengan sesuatu berwarna merah muda yang berbentuk seperti organ yang berceceran di lantai. Japan hanya kelelahan, itu saja. Terkadang hal itu terjadi jika hipertensinya kambuh lagi. Tentu saja suara statis yang ditimbulkan dari pendeteksi detak jantung di sebelah ranjang itu juga sebenarnya hanya suara denging ruangan yang mengganggu telinganya. Itu saja. Itu saja.

Itu saja.

Tidak—tidak—tidak ada yang mati. Hanya halusinasi. Halusinasi.

Japan mengangkat jarinya untuk menghapus selai rasberi yang terciprat di pipinya. Warna merah, dan cair. Tentu saja—jika dia menjilatnya, dia akan mengecap rasa asam-manis buah rasberi yang enak—bukan bau amis darah yang membuatnya ingin muntah.

Hanya sayangnya, indra pengecapnya tidak setuju dengan pikirannya, begitu juga dengan dunia.

Ia merasakan sekumpulan orang berbaju putih berhambur masuk dengan terburu-buru. Ada yang berteriak, walau Japan tahu mereka sebenarnya tidak peduli sama sekali—pasien hanyalah pelanggan berharga dari penjarahan uang rumah sakit yang korup. Lalu dirinya didorong ke samping oleh sekumpulan personifikasi negara yang lain. Dia ingat salah satunya –Romano- segera berteriak sebelum jatuh tak sadarkan diri. Spain membungkuk lemas di depannya dengan pandangan yang tak terbaca, sedang tangannya merangkul Romano yang pingsan seerat yang ia bisa, seakan-akan dengan begitu dia bisa menahan tangisan yang sudah mendesak ingin keluar dari mata coklatnya yang berkaca-kaca. Russia hanya memalingkan mukanya sedih, sebelum menyeret England yang menyumpah tiada henti-hentinya keluar dari ruangan.

Dia ingat Prussia berdiri di sebelahnya, sama tak berdayanya dengan dirinya yang tak pernah sekalipun mengucapkan sepatah kata sejak ia masuk ke dalam ruangan itu dan melihat langsung apa yang dilakukan oleh Germany. Ia bahkan tidak merasakan keberadaannya ketika para dokter mulai mendorongnya keluar dari ruangan.

Sebenarnya untuk apa mereka mendorongnya keluar dari ruangan? Mengadakan operasi berdarah yang tidak boleh disaksikan oleh setengah pasang dari mata mana pun? Memangnya dengan begitu mereka akan selamat? Bodoh. Manusia bodoh. Jantung mereka bahkan sudah tak berdetak.

Kemudian Prussia menjerit. Japan mendengarnya menjerit, menjerit, dan menjerit, sebelum memukul dinding berwarna putih yang sekarang warnanya terasa begitu memuakkan. Dia cukup lega melihat dinding putih yang memuakkan itu retak dalam pola seperti jaring laba-laba.

Tapi tidak selega itu.

Japan hanya bisa duduk di atas kursi tunggu yang disediakan di depan kamar, melihat dalam bisu bagaimana Prussia menyalurkan tantrumnya pada dinding berwarna putih yang terus ia pukul dengan tangannya yang telah mengeluarkan darah. Yang lainnya juga hanya diam melihat Prussia mengamuk, bahkan Spain sendiri, yang notabene adalah salah satu personifikasi negara paling ceria yang pernah Japan lihat dan juga satu-satunya sahabat terbaik Prussia sekarang.

Tidak lama sampai manusia-manusia itu keluar dari ruangan dan memberitakan (tidak perlu—sungguh) bahwa Ludwig dan Feliciano sudah mati.

Dia melihat Germany mati mengenaskan dengan kedua matanya sendiri.

Inspeksi lebih lanjut dari pistol yang ditemukan di ruangan? Ya, Germany juga membunuh Italy, seperti yang telah ia pikirkan sebelumnya.

Semuanya mati.

Bagaimana dia tidak takut?

"Aku, ah…takut," dia membeokan apa yang ada di pikirannya dengan suara lemah. "Germany-kun."

Orang itu melihat kepadanya dengan mata merahnya itu. Merah, seperti…

"Darah, Germany-kun," lanjutnya. Dia menangkup kepalanya sendiri dengan kedua tangannya. Ia bergetar. "Aku sudah muak dengannya. Darah itu. Aku hidup lebih dari dua ribu tahun bukan untuk melihat hal ini semua… Itu bukan tujuanku… Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, Germany-kun—bukan, Gilbert! Setelah Perang Dunia Kedua, aku sudah tidak mau lagi… Aku sudah tidak mau lagi melukai sekutu—teman-temanku… Aku tidak mau mengulanginya lagi, melihat darah itu…" Bayangan dirinya menyerang Yao di punggungnya dengan katananya. Luka yang ditimbulkannya. "Dunia ini sudah cukup melihat darah, Gilbert." Luka bakar yang membuatnya ingin mati? Hiroshima dan Nagasaki. Alfred. "Berapa dendam lagi yang akan lahir hanya karena darah?" Sebuah pisau. Francis. Feliciano. Senyuman sedih lelaki Italia itu, tersembunyi di balik gordin beludru warna merah darah. Dia menutup matanya rapat-rapat, meremas rambutnya lebih kencang. "Dan nyawa yang akan terambil karenanya?" Lily. Pistol. Ludwig. Pistol. Dia ingin berteriak. Darah, "lagi…"

Tanpa sadar, air mata menyusuri pipinya.

Germany melihat ke arahnya dengan pandangan mata merahnya itu lagi. Rambut putih cepaknya bergoyang karena angin, sekaligus menangkap beberapa helai daun coklat. Dia mengibas-ngibaskan rambutnya, lalu tersenyum simpatik ke arahnya. "Kita semua takut, Japan." Dia berdiri, mengorek-ngorek kantong jaketnya, dan memberikan sapu tangan berwarna merah muda yang ia keluarkan dari sana. "Pakailah. Uuuh. Jangan pedulikan warnanya. Hungary menyulamnya untukku. A-aku tidak pernah pakai, bener! A-aku hanya membawanya biar tidak digampar olehnya…"

Meskipun masih sesenggukan dalam tangisannya, Japan tertawa mendengar alasan Germany, sebelum menerimanya sambil berterimakasih dan menghapus air matanya dengan sapu tangan itu.

"Kau tahu, Japan, kadang-kadang hal itu terjadi pada seorang personifikasi negara," dia mendengar Germany berbicara. "Kau hidup lebih lama dariku; kau tahu hal itu lebih baik daripadaku."

'Hal itu' adalah hal yang sama dengan yang terjadi dengannya. Kegilaan itu pernah menghampirinya dulu.

Ya, dia tahu hal itu lebih baik daripada orang lain. Bagaimana terkadang kegilaan itu mengambil alih seluruh indra, mengesampingkan emosi dan perasaan, dibutakan oleh insting yang membisikkan pelan kata-kata manis bahwa tujuan mereka ini benar? Mereka tidak salah! Mereka hanya bertujuan untuk membuat dunia ini lebih baik… Lebih baik, demi orang yang dicintai…

"Ludwig-san mencintai Feliciano," katanya sedih. "Sangat mencintainya. Seharusnya dia tidak perlu melakukan sampai sejauh itu."

"Mungkin dia pikir itu adalah jalan yang terbaik," balas Gilbert, dengan nada agak sedikit berharap. "Atau mungkin dia terlalu terpengaruh dengan jurnal milik kakekku itu."

Kiku menatapnya bingung. "Eh?" Gilbert menggaruk kepalanya, sama bingungnya. "Apa—hah, jangan bilang si Netherlands yang tidak awesome itu tidak menyerahkan kopian terjemahannya kepadamu?" Kiku menggeleng, masih tidak mengerti apa yang dikatakannya. Gilbert menggaruk kepalanya lagi. "Oh, sialan. Padahal aku sudah menitipkan padanya sembilan tahun yang lalu. Oh, ya, sudahlah. Itu kopian terjemahan dari jurnal Germania—lembaran kertas papirus yang kalian berdua temukan di gua itu, loh. Isinya cukup…menarik."

"Oh." Kata Kiku datar. Mungkin Netherlands tidak menyerahkannya karena dia tidak mau membuatnya khawatir. Dia akan membicarakannya dengannya nanti.

Kemudian Gilbert berkata lagi. "Yah, kita bisa bicarakan hal itu nanti. Aku mau lanjut ke tempat Lily. Kau mau ikut?" ajaknya. "Atau kau mau langsung pulang?"

"Oh, tidak apa-apa," sambutnya, sebelum berjalan mengikuti Gilbert yang bergerak ke tempat lain. Ada sebuah kuburan kecil tak jauh dari kuburan Ludwig dan Feliciano. Siapa namanya, Liechtenstein? Pada saat-saat interval waktu dua minggu menghilangnya America dan Italy, agaknya (dia dengar) Switzerland sendirilah yang mengadakan penguburan sendiri, tidak dibuka untuk umum. Kecil dan berbentuk kotak, dengan tulisan 'Adik tersayang, seorang malaikat dan bunga lili.' Diikatkan di makam itu sebuah pita berwarna biru yang dulu sering terlihat bertengger di rambut pirangnya—rambut pirang bagai gandum emas.

Gilbert meletakkan buket bunga lili di kuburan Lily, agak redundan. Kiku baru ingat dia tidak membawa dupa untuk memberikan penghormatannya. Dia menghela napasnya lelah, merasa pikirannya memang sudah terlalu tua untuk mengingat hal-hal kecil seperti itu.

Lalu Gilbert berkata kepadanya, "Mmm. Ayo pulang. Kau sudah ada hotel? Eeh, setelah kupikirkan, kau menginap di rumahku saja, Japan. Agak gila juga aku kalau tiap malam berbicara dengan anjing, hahaha. Eh, temani aku main game horor yang kau buat itu, Heta-Oni! Kata America menyeramkannya setengah mati? Awesome! Ooh, dan satu lagi," Prussia mengedipkan matanya. "Kau tahu, aku tak masalah kalau kau tetap memanggilku Prussia, Kiku."

Japan menatapnya sedih.

Gilbert mendongakkan wajahnya untuk melihat gumpalan kapas abu-abu yang berarak di atasnya. Tangannya meremas Iron Cross yang terkalung di lehernya, erat-erat, seperti tidak ingin ia lepaskan selamanya—seakan-akan itu adalah tanda bahwa adiknya hidup di dalam dirinya. "Tebak, Kiku. Siapa namaku?" Angin kembali berhembus pada saat itu, membawa daun mati dan hawa dingin. Japan tidak menjawab pertanyaan Prussia, mengisyaratkannya untuk berlanjut. "Teutonic Knights; Prussia; East Germany; Kaliningrad; atau Germany? Nama-nama itu berputar di dalam kepalaku. Rasanya jadi tidak punya identitas. Posisi personifikasi negara Jerman memang sudah berpindah kepadaku, tapi aku tidak merasa pantas dengan nama itu—nama yang sudah dipanggul oleh adikku sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Aku merasa aku bukan Germany. Siapa aku? Tidak, tidak. Lebih tepatnya, apa aku?"

"Kau-," balas Kiku, memandangnya dengan mata monokrom hitam yang tegas. "-selamanya adalah Gilbert Beilschmidt."

Prussia menyorotkan deretan gigi putihnya senang. "Betul. Dan Gilbert Beilschmidt yang awesome ini memilih nama Prussia yang awesome sebagai aliasnya. Aku ingin agar Vater Fritz tahu aku tidak akan pernah, pernah, pernah melupakannya."

Sang personifikasi negara Prussia mengulurkan tangannya, sekaligus mempersembahkan senyuman paling melegakan yang pernah Japan lihat dalam sepuluh tahun terakhir ini.

"Nah, mau pulang?"


Aku segera kembali ke Jepang sepulangnya dari pemakaman. Ger—maksudku, Prussia-kun sudah berbaik hati mau mengantarkanku ke bandar udara dengan mobil pribadinya. Saat menunggu untuk keberangkatan, aku menggunakan kesempatan itu untuk menelpon Netherlands. Aku menanyakan tentang kopian jurnal milik Germania itu, dan ternyata memang benar dia menyimpannya. Katanya tidak mau aku terlalu memikirkan kejadian itu. Selama itu, dia berbicara dengan nadanya yang datar seperti biasa, tetapi entah kenapa aku bisa melihat senyum sombongnya di ujung kabel telepon. Dia menyayangkan diriku yang tidak menginap di Amsterdam dahulu sebelum kembali ke Tokyo, tapi aku menolaknya. Aku butuh waktu sendiri. Dan teh. Teh hijau paling baik untuk menenangkan diriku.

Tiga bulan sesudahnya, aku kembali bekerja di dunia internasional. Ada perasaan membayang-bayang saat aku berdiri di depan pintu ruang rapat. Merasa tidak enak saja—menghilang sepuluh tahun dan tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan dunia luar selain dengan Netherlands. Saat aku masuk, ada beberapa wajah yang terkejut; ada juga yang biasa-biasa saja, paling-paling hanya menatapku dengan pandangan penasaran sebelum kembali lagi bersenda gurau dengan negara-negara yang lain. Tetapi mereka semua menyambutku dengan baik, dan aku merasa diterima di sini. Terutama Greece. Baiklah, yang itu tidak usah dibahas.

Suasana rapat tidak pernah berubah, kurasa; serba sibuk mencoba bekerja di tengah-tengah kekacauan yang menghembuskan napas nostalgia. Ternyata ada alasan juga mengapa Prussia-kun bersikeras memintaku memanggilnya dengan 'Prussia' saja, karena meskipun status personifikasi negara Jerman sekarang telah berpindah padanya, semua orang tetap memanggilnya 'Prussia si Awesome' (tentu saja yang terakhir itu dia yang menambahkannya sendiri).

Kondisi yang sama, di lain soal, tidak berlaku bagi Italy Romano. Semua orang memanggilnya Italy, paling tidak sama seperti bagaimana semua orang memanggil 'Italy' yang dulu. Tentu saja, ada beberapa pengecualian, seperti Spain yang masih memanggilnya 'Romano', atau Poland, yang kudengar memang adalah teman yang cukup dekat dengan Ita—um, Veneziano-san dulu. Entah kenapa dari seluruh orang yang aku kira akan memanggilnya dengan nama 'Romano', Hungary dan Austria tidak melakukan hal itu. Mereka berdua memanggilnya dengan 'Italy'. Aku tidak tahu Romano lebih menyukai sebutannya yang mana, tapi yang manapun juga, namanya tetap adalah Lovino Vargas bagiku, personifikasi seluruh Italia. Dan aku akan memanggilnya Italy.

Aku tahu China-nii segera pergi dari rumah sakit sekitar tiga minggu setelah kejadian itu. Aku tidak melihat adanya perbedaan sedikitpun dengan matanya yang dulu dengan yang sekarang. Masih tetap bersinar coklat dengan aura keibuan. Eem, keayahan. Dia duduk di sebelah Russia, yang sedang menusuk dengan jarinya permukaan eye-patch milik America yang, seperti biasa, sedang bertengkar dengannya.

Ah, ya. Tentang dirinya… America tampak cukup 'bahagia' dengan pandangannya yang sekarang telah hilang setengah. Dia tidak berubah. Sama sekali. Sekarang dia pergi berlarian ke sini dan ke sana menggunakan sebuah eye-patch layaknya seorang bajak laut, dan berteriak-teriak "Yaarr!", yang menurutku cukup menggelikan. Tapi itu membuatnya bisa memaksa England bermain 'Bajak Laut dan Harta Karun'. England, seperti biasa, bersikap layaknya tsundere normal menanggapi sikap America ini.

Ngomong-ngomong tentang England-san, aku berbicara dengannya setelah rapat selesai. Dia tidak berubah. Dia juga berkata kepadaku bahwa dia masih menyesal tidak bisa menyelamatkan France—secara tidak langsung mengakui bahwa ia juga menyesal tidak bisa membunuh…pelakunya dengan tangannya sendiri, tetapi katanya dia akan mencoba mengkompensasikannya dengan "menyibukkan diriku mengurus Françoise sehingga dia tidak bertumbuh cacat seperti ayahnya dulu"—kukutip langsung kata-kata ini darinya.

Aah, kurasa aku belum pernah mengenalkan Françoise-chan. Aku melihatnya pertama kali pada saat rapat—duduk di atas kursi dimana almarhumah Francis-san dulu sering duduk; seorang gadis manis yang terlihat berumur tak lebih dari enam tahun dengan rambut coklat bergelombang yang diikatnya menjadi sebuah kuncir kuda. Wajahnya sama dengan almarhumah Francis-san yang dulu. Dia adalah personifikasi baru negara Prancis yang ditemukan oleh Picardy empat tahun lalu di muara sungai Rhine. Gadis itu punya mata yang sama yang dengan ayahnya—berwarna violet ungu seperti anggrek. France yang sekarang juga menganggap Monaco dan Seychelles sebagai kakak-kakaknya. Tak urung lagi, England-san cukup dekat dengan France-chan, malah seperti seorang figur ayah baginya, sering-seringnya mencoba menghalau Prussia dan Spain yang sering mengajarkan hal-hal yang 'tidak benar' kepada France-chan. Sayangnya hal ini membuat America-kun menjadi lebih…agresif terhadap England. Tsundere yang cemburu. Hmm. Tapi America-kun terlihat cukup dekat pula dengan France-chan, kok. Aku sering melihatnya menggendongnya di punggung dan bermain kuda-kudaan. Hal itu mengingatkanku saat-saat dulu bermain dengan China-nii dan Korea.

Tentang personifikasi negara baru, aku perhatikan tentang kehilangan salah satu personifikasi negara di rapat. Kursi negara Eropa. Keluarga Jerman. Tepat di tengah-tengah Austria dan Switzerland. Liechtenstein, lebih tepatnya. Aku mempertanyakan hal ini kepada Prussia-kun. Katanya, memang sepuluh tahun terakhir ini belum ada petunjuk tanda-tanda keberadaan personifikasi negara Liechtenstein. Switzerland, tak urung lagi, terlihat menyedihkan. Tidak dilebih-lebihkan, mungkin sedikit dikurang-kurangi. Jalannya selalu menunduk, senapan selalu terkokang di tangannya walau tak pernah ia pegang erat. Mata hijaunya berkantung di bawah, dan dia (kuperhatikan) tidak mempedulikan rapat sama sekali. Tetapi kata Prussia, Switzerland tidak menyalahkan Italy-san sama sekali. "Ini salahku karena tidak menjaganya lebih baik," katanya, membuktikan bahwa Switzerland tidak segila tembak seperti yang orang-orang pikirkan. Tetapi kata Prussia juga, Austria sekarang cukup sering berkunjung ke rumahnya. Dalam usaha menggembirakannya kalau kata Prussia, meskipun Austria menyangkalnya mentah-mentah.

Prussia juga berkata bahwa ia menyangka bahwa hal itu adalah cara bagaimana Austria mencoba menangani kehilangan dua orang yang sudah seperti anaknya sendiri.

Sedangkan aku…

Untuk mengatakannya, hari-hariku menjadi sedikit lebih sepi daripada biasanya. Itu…adalah hal yang aneh, kalau perlu dibilang. Maksudku, sebelum kejadian itu, aku kebanyakan menghabiskan waktuku dengan Germany-san dan Italy-san. Makan siang, cemilan, kadang-kadang pergi ke rumah Italy-san, meskipun aku tahu tidak ada keuntungannya sama sekali bagiku (dan bagi mereka) untuk berkumpul bersama seperti saat dulu kami masih menjadi anggota Blok Axis. Tapi aku senang bersama dengan mereka; mereka membuat hari-hariku yang biasanya sepi menjadi jauh lebih menyenangkan dengan segala kelakuan bodoh yang dilakukan oleh Italy-san (meskipun entah sekarang aku berpikir bahwa semuanya hanyalah kebohongan—sikap bodoh itu—tapi aku mencoba meyakinkan diriku bahwa senyum itu –senyum manis Feliciano-san- benar-benar dikeluarkannya secara tulus).

Aku jadi mengerti tentang obsesi Prussia-san terhadap buku harian dan jurnal. Detik-detik semuanya tersimpan dalam lembaran buku harian miliknya yang sudah menguning ataupun bolong oleh rayap, tersimpan dengan aman di suatu rak sempit di tengah-tengah perpustakaan khusus miliknya. Setelah kupikir, hmm, mungkinkah ia juga tengah menulis buku harian sekarang?

Itu adalah caranya sendiri menyimpan memori itu baik-baik di hatinya. Kehidupan yang layaknya sebuah kanvas yang berisi tawa, sendu dan romansa. Detik-detik kehidupan sambil berkelana bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Orang yang suatu saat adalah kawan; orang yang suatu saat adalah lawan. Orang yang suatu saat ia peluk; orang yang suatu ia tusuk.

Menyimpan kebahagiaan, mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya berisi darah, kebencian, dan dendam.

Aku ingin meyakinkan diriku bahwa semua hal yang telah kita bertiga lewatkan bersama –Ludwig-san, Feliciano-san- benar-benar tulus.

Dan kalian tahu? Aku benar-benar menikmatinya, sungguh.

Kuakhiri hari pertamaku kembali ke dunia internasional dengan menghabiskan waktuku meminum teh di kamar hotel yang kutempati bersama dengan Netherlands (dia memaksa untuk selalu berada di dekatku seandai-andainya hikkikkomori-ku akan kambuh lagi). Netherlands tahu untuk meninggalkanku sendirian, memilih untuk menenggelamkan diri di balik selimut kasur. Aku meminum teh dengan tenang sembari melihat ke arah jendela. Di luar, pepohonan bercahaya oranye terang, diselimuti matahari yang juga tengah menutup dirinya di balik selimut malam.

Sesaat aku mendengar suara tangisan yang bergetar cepat.

~end


Sebelum ada yang bertanya tentang plot-hole: Ya, Françoise Bonnefoy adalah nyotalia!France. Dan ingat, Germany tidak pernah berbicara kepada siapapun tentang Holy Roman Empire, jadi semua orang tidak bisa menebak (dengan benar) alasan kenapa dia bunuh diri. Dan, bagi pertanyaan yang saia dapatkan beberapa chapter yang lalu, yang di atas sana adalah jawaban bagi apa yang akan terjadi jika personifikasi negara mati: antara satu, digantikan dengan orang lain yang berhubungan (Prussia dan Romano. Kalau anda belum sadar sekarang, ya, saia punya head!canon Prussia adalah East Germany, dan Romano secara canon adalah South Italy) atau dua, personifikasi negara baru akan 'lahir' dari tanah (nyotalia!France dan nyotalia!Liechtenstein—untuk penutup cerita Liechtenstein kita ini, kira-kira lima tahun setelah epilogue, Switzerland tidak akan sendirian lagi ditemani oleh bayi nyotalia!Liechtenstein)

Dan, akhirnya, minna-san: cerita saia di fandom Hetalia berjudul Rattling Cry ini, penembus rekor kata-kata saya yang paling baru –90k+ lebih- sudah SELESAI. Fin. Tamat. End. Over. Tidak terasa satu tahun sudah berlalu sejak saia pertama kali menge-post prologue Rattling Cry (yang, ngebaca ulang, rasanya adalah bagian paling garing nomer dua setelah chapter pertama, hahaha). Saia berterimakasih banyak dengan orang-orang sekalian yang menyempatkan diri untuk ripiu, yang membuat saia bener-bener merasa bersalah dalam masa waktu hiatus 6 bulan cerita ini (Januari-awal Juni), dan juga terutama untuk HaEfalent-san yang benar-benar menemani saia dari akhir sampai awal-eh, maksud saia awal sampai akhir, yang setiap reviewnya selalu memberikan senyum dan cekikkikan geli (baca: gila –plak-).Tidak lupa berterimakasih benar-benar banyak terhadap seyboncchii-san yang review berisi saran dan kritiknya sudah membantu saia memperbaiki banyak gaya tulisan saia. Di manapun anda berada, saia mengucapkan terimakasih banyak :D

Dan begitulah akhir dari author notes ini. Satu tahun ini berkutat menulis Rattling Cry sungguh menyenangkan, sungguh. Sedih juga harus berpisah dengan yandere!Italy dan yandere!HRE yang dengan bahagianya saia mutilasi karakternya –plak- hingga bisa menjadi Feliciano dan Reicher yang kita semua sayangi dan cintai ini –digampar-. Yah, saia berharap saia dan readers sekalian dapat bertemu lagi dalam fanfic-fanfic saia selanjutnya di fandom Hetalia ini—atau juga di fandom manapun kalau anda berkesempatan membaca fic abal saia! Terimakasih banyak dan sampai jumpa di proyek fanfic saia yang selanjutnya!