"Semua cerita pasti memiliki akhir,"

"Dan... inilah akhir ceritaku..."

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Kira Desuke

Warning : OOC, AU, slight lime, misstypo?

Genre : Romance/Angst/Family

Main Pair(s) : ItaSaku, slight SasuSaku

.

.

FOR MY OTOUTO


Aku masih tidak bisa percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya beberapa menit lalu. Aku merasa bimbang, apa aku bisa mempercayai kata-kata itu? Apa... aku masih boleh berharap? Tapi kalau aku berharap, bagaimana dengan adikku? Adik yang paling kusayangi. Aku tidak mau mengkhianatinya lagi. Aku tidak mau menyakitinya lagi. Aku tidak mau. Aku tidak mau!

Sungguh?

Hentikan, kumohon hentikan!

Ini kesempatan emas, Itachi.

Tidak, tidak.

Kalian saling mencintai, buat apa memikirkan adik yang menyusahkan itu?

Hentikan! Diam!

Itachi...

"TIDAAAK!" aku terengah-engah di tengah apartemenku yang dingin ini. Keringat dingin lagi-lagi mengalir di pelipisku. Sungguh, aku merasa seperti bertarung dengan sisi diriku yang lain. Bisikan-bisikan itu terus menggangguku sedari tadi. Kenapa aku tidak bisa dibiarkan tenang sekali saja? Aku tidak mau memikirkan wanita itu lagi. Aku... Aku...

Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Dan sialnya, karena itu... bisikan-bisikan itu datang lagi. Mendengung di telingaku. Seolah-olah yang bisa kudengar hanyalah bisikan sialan itu. Aku meringkuk di tengah apartemenku.

Rebutlah wanita yang kau cintai dari adikmu itu...

...hei Uchiha Itachi.

.

.

.

Normal POV

"Iya tousan, aku sudah menyelesaikan rapat dengan Hyuuga Coorperation itu," ucap Sasuke pada lawan teleponnya. Gagang telepon itu berada di depan telinganya, ditahan dengan pundaknya sementara kedua tangannya sibuk membereskan berkas-berkas di atas meja, "mereka baru bilang akan memikirkannya, tapi tenang saja tousan. Aku cukup percaya diri presentasiku akan diterima." Lanjut Uchiha bungsu itu dengan nada yakin. Dia sudah membereskan mejanya dan bernafas lega.

Sang tousan di seberang sana akhirnya kembali menjawab, "Baik baik, tousan percaya padamu," Uchiha Fugaku—sang tousan mengulum senyum. "Cepatlah pulang, dari tadi aku mencium bau enak dari dapur. Sepertinya istri dan ibumu sedang memasak makanan yang spesial."

Sasuke tertawa renyah mendengarnya, "Pasti tousan, tapi sebelum itu aku ada perlu ke rumah sakit." Laki-laki berambut raven itu menghela nafas sesaat sebelum kembali melanjutkan, "Yeah, tousan tahu Naruto kan? Si dobe itu masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan minum bir, lambungnya bermasalah." Sasuke mendengus menahan tawa, "Sepulang dari rumah sakit, aku pasti pulang jangan khawatir."

Dan obrolan pun berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Sasuke menutup telepon itu. Sasuke menarik nafas dan mengeluarkannya lagi. Bola mata onyxnya menatap langit-langit kantornya dan beralih menatap jam dinding yang berada di seberangnya, "Sudah jam tujuh malam," gumam pemuda tersebut. Dia tersenyum tipis mengingat jam segitu biasanya dia sudah pulang dan disambut dengan senyuman hangat dari sang istri. Tapi karena rapat mendadak tadi sore dan berkat Naruto yang merengek minta dijenguk, Sasuke harus pulang telat hari ini.

Tak apalah, mungkin hanya hari ini—begitulah gumamnya dalam hati. Pria yang memiliki rambut berwarna biru donker itu beranjak dari kursinya. Dia menata barang-barang di mejanya sekali lagi—memastikan mejanya benar-benar sudah tertata rapi. Sasuke tersenyum simpul, merasa puas dengan keadaan meja kerjanya saat ini. Wajar saja, besok akan menjadi jadwal Uchiha Itachi—anikinya yang akan menempati meja ini. Mungkin saja kan Sasuke ingin terlihat baik di mata kakaknya.

Uchiha bungsu itu mengambil tas kerjanya yang berisi sebuah laptop dan beberapa lembar dokumen penting. Pemuda tampan itu berjalan cepat menuruni kantornya yang sudah sangat sepi jam segini. Dia berjalan terburu-buru melewati beberapa petugas yang membungkuk memberi hormat padanya. Sesampai di tempat parkir, laki-laki itupun langsung memasuki mobilnya tanpa basa-basi dan menyalakannya.

.

.

Itachi POV

Saat ini aku tengah membereskan kebutuhan-kebutuhanku untuk bekerja di kantor besok. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bekerja, padahal baru saja libur dua minggu. Aku tersenyum tipis, sedikit berharap bahwa dengan bekerja seharian penuh aku bisa melewatkan hari-hariku dengan tenang dan bisikan-bisikan sialan itu tidak akan menggangguku lagi.

TING TONG

Suara bel apartemen menyadarkanku. Aku menoleh dan segera berjalan untuk membuka pintu. Tak terpikir sama sekali bagiku siapa yang mungkin datang. Aku membukanya dan terpaku sesaat, "Ah, Sakura..." perasaan bersalah sedikit menghinggapiku waktu itu. Kenapa Sakura selalu datang ke rumahku sementara aku sekalipun tidak pernah datang ke rumahnya?

Memalukan.

"Konbawa Itachi, apa aku mengganggu?" tanya Sakura dengan nada pelan. Aku menelan ludah sebelum akhirnya aku menggeleng dan menjawab dengan nada pelan juga, "Tidak, tentu tidak. Masuk?"

Sakura tersenyum kecil dan mengangguk. Sial, kenapa aku dan dia jadi canggung begini sih? Aku menarik nafas dalam-dalam saat Sakura melewati tubuhku sehingga aku bisa mencium bau cherry dari tubuhnya. Aku... ingin menghirup wangi itu lagi. Wajahku memerah seraya menutupi pintu apartemenku perlahan tapi pasti. Aku berjalan mengikuti Sakura yang berakhir dengan duduk di sofa tengahku seperti tadi pagi. Aku menatap wajahnya yang selalu cantik di setiap saat—bagiku. Tersenyum tipis, aku ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih kemudian duduk di sampingnya.

Aku menatap perutnya, sungguh aku tidak bisa menahan senyum kali ini, "Hei," ucapku membuka pembicaraan, dia menengadah menatapku, "ada apa? Bukankah tadi siang baru saja kau ke sini? Apalagi sekarang sudah malam, Sasuke tidak bertanya apa-apa?" tanyaku bertubi-tubi. Sakura mendengus menahan tawa.

"Hmph, hari ini Sasuke-kun pulang telat. Dan aku..." Sakura kembali menunduk. Aku menatapnya heran dengan alis sebelah terangkat, apalagi wajah Sakura memerah—tidak berani menatapku. Selain itu, dia juga mencengkram ujung-ujung bajunya hingga mengkerut, "...merindukanmu." Mendengar itu, wajahku ikut memerah. Dan untuk beberapa saat kami berdua tenggelam ke dalam keheningan.

Aku menggeser posisi dudukku. Jujur saja—aku ingin dekat—sangat dekat dengannya saat ini. Dia mendongakkan kepalanya. Wajahnya benar-benar merah saat menatapku dalam jarak sesempit ini. Aku tersenyum dan tanpa basa-basi lagi, aku kembali menghilangkan jarak di antara kami hingga aku dapat menggapai bibirnya. Kami berciuman.

Sesaat rasanya kehangatan kembali menjalar di tubuhku. Kehangatan terlarang, aku tahu itu. Tapi aku tidak bisa menahan lagi, rasanya berbagai macam pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya tertelan begitu saja. Aku ingin melupakan semuanya sejenak. Melupakan kenyataan, tenggelam jauh di dalam mimpi. Aku sudah terlanjur kotor, dengan cara apa agar aku kembali bersih? Tidak ada, tentu saja.

Kau mencintai wanita itu.

Bisikan itu datang lagi. Tubuhku gemetar. Sisi lain diriku setuju dengan bisikan dan tindakan ini, namun sisi yang lain sangat ingin melawan. Tapi sepertinya aku...

Pada akhirnya kau sendiri yang melanggar janjimu...

Ukh, aku... tidak tahu. Tubuhku tidak bisa berhenti. Bisikan-bisikan ini seperti mendukung hatiku, tapi entah kenapa di saat yang sama juga menyindir perbuatan busukku. Bibirku turun dari bibirnya, mengikuti garis dagunya, dan kini aku mengecup leher jenjangnya.

Kau harusnya sadar dari dulu, wangi tubuhnya bisa membuatmu gila.

Iya, itu benar. Aku terus mengecup lehernya, menghisap dalam-dalam bau yang menguar di tubuhnya. Dia terus melenguh pelan di tengah perlakuanku. Tanpa bisa kutahan, bibirku terus ke bawah hingga sampai di perbatasan bajunya.

Lalu bagaimana dengan adikmu?

Sasuke!—aku berteriak dalam hati. Aku mengepalkan tanganku erat-erat. Kepalaku pusing. Apa yang telah kulakukan? Keringat dingin mengalir di pelipisku. Meski tanganku bergetar—tidak ingin melakukan lebih jauh, tetap saja tanganku hampir membuka baju malam yang Sakura kenakan. Untunglah, suara Sakura dapat menghentikanku, "I-Itachi..."

"Hn?" berlaku seolah tidak ada apa-apa, aku mengangkat wajahku. Mundur sedikit dari tubuhnya. Ternyata dugaanku salah. Aku baru sadar kalau aku sudah membuka dua kancing atas bajunya. Aku menggigit bibir bawahku. Betapa bodohnya aku, bisa kalah dari hawa nafsu itu.

"E...Eto, aku..." Sakura memainkan dua telunjuknya. Dia terlihat menelan ludah, "aku ingin mie goreng?" tanyanya. Aku langsung speechless. Melihat reaksiku, wajah Sakura langsung memerah sepenuhnya seperti kepiting rebus. Sangat menggemaskan. Melihat itu, spontan aku tertawa.

"Hahahaha kupikir apa, baik baik," rasanya bebanku meluap begitu saja. Aku tidak bisa menahan senyumku untuk tidak lebih dari ini, "tunggulah, aku akan memasaknya," ucapku. Sakura tersenyum polos dan mengangguk. Aku beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur.

Sedikit berharap, aku ingin terus seperti ini.

.

.

Normal POV

Sasuke memastikan mobilnya sudah terkunci untuk ke sekian kalinya. Setelah yakin, pria itu berjalan dari basement tempat parkir menuju pintu masuk terdekat. Ah, Sasuke baru sadar kalau rumah sakit tempat Naruto dirawat ini adalah Konoha Hospital—tempat yang sama saat dia memeriksa keadaan sel-sel reproduksinya dengan Sakura. Tapi Sasuke tidak memikirkan itu lebih lanjut, dia memilih untuk segera mencari kamar Naruto, menjenguknya dan pulang ke rumah.

Sasuke menatap layar Hpnya. Dia membaca pesan terakhir Naruto yang menuliskan nomor kamarnya, "Hnn, dua puluh matahari, dua puluh matahari..." gumam Sasuke berkali-kali mengulang nomor dan nama kamar salah satu sahabatnya itu seraya kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari kamar yang dimaksud. Sasuke terdiam begitu melihat kamar di sampingnya. Di depan kamar itu tertulis angka '20' dan saat Sasuke melihat sekeliling, ternyata dia sekarang ada di lorong matahari. Akhirnya Uchiha bungsu itu mulai merasa yakin saat melihat nama 'Uzumaki Naruto' di bawah kenop pintu.

Pria berambut biru donker itu membuka pintunya, "Permisi..." ucapnya saat dia melangkah masuk ke dalam. Sebuah kasur berukuran sedang langsung menghadap ke arah pintu, begitu Sasuke mendongak ternyata laki-laki yang kerap dipanggil 'dobe' itu sedang duduk di sana—menjadikan bantal sebagai sandaran punggungnya. Pria berambut spike kuning itu tersenyum lebar melihat siapa yang datang.

"TEMEEE! Ah, akhirnya kau datang menjengukku!" Naruto terlonjak senang. Membuat kasur yang didudukinya bergetar dan seorang wanita berambut indigo di sampingnya langsung panik, "Ehehe gomen ne, Hinata-chan! Oh ya ini Sasuke-teme yang sering kuceritakan itu. Teme, ini Hinata-chan—istriku!" ucap Naruto dengan suara yang cukup kencang. Wanita bernama Hinata itu menunduk malu dengan muka memerah sementara Sasuke menghela nafas panjang.

"Tetap bersemangat seperti biasa," ketus Sasuke. Pria berambut raven itu mendengus dan menyeringai, "kalau begini, aku jadi meragukan kalau kau benar-benar sakit. Apa aku pulang saja ya?" ucap laki-laki dingin itu seraya memegang kenop pintu di belakangnya.

Senyum Naruto menghilang, tergantikan dengan rengekan yang sangat keras, "Hieeee? A-aku benar-benar sakit kok teme! Lihat! Aku tidak bisa bangun!" Naruto langsung membaringkan tubuhnya kasar dan bergelayutan tak jelas. Lagi-lagi Sasuke menghela nafas dan akhirnya dia duduk di samping kasur Naruto.

Kedua sahabat itu membicarakan banyak hal. Mulai dari masalah rumah tangga, pekerjaan, dan sebagai macamnya. Naruto lebih banyak berbicara dan mengeluh ketimbang Sasuke hanya menanggapi dengan malas seperti "Ya," atau, "Tidak," atau malah hanya, "Hn." Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sasuke melirik jam dinding yang ada di seberangnya lalu menatap Naruto, "Dobe, sudah jam segini. Aku harus pulang sekarang," pamit Sasuke seraya berdiri. Naruto sempat mengeluh kecewa, tapi wajahnya kembali ceria saat Sasuke mengatakan... "Aku akan datang lagi kalau dua hari ke depan kau masih rawat inap di sini."

Sasuke berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang mulai sepi. Langkah kakinya membawanya ke arah ruang-ruang persalinan, kandungan dan sebegainya. Langkahnya terhenti ketika dia melihat seseorang yang rasanya pernah dilihatnya sebelumnya. Mata Sasuke membulat begitu menyadari siapa orang itu, "Dokter Kabuto!"

"Eh?" pria yang bernama panjang Yakushi Kabuto itu menoleh begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Dia melihat Sasuke yang dari kejauhan berlari ke arahnya. Laki-laki berambut abu-abu itu mengangkat alisnya bingung begitu Sasuke sudah berada di depannya dan kini sedang mengatur nafas setelah berlari, "Err, ada perlu apa dengan saya?" tanya Kabuto hati-hati.

"Dokter! Saya Uchiha Sasuke yang waktu itu mengecek keadaan sel sperma dan sel telur istri saya, apa dokter masih ingat?" tanya Sasuke dengan nada terburu-buru hingga dia kesulitan mengambil nafas. Kabuto terlihat berpikir sejenak, dia menutup mata—berpikir lebih keras, "Kalau tak salah, aku meminta tolong anikiku—Uchiha Itachi—untuk mengambil hasil pemeriksaanku," lanjut Sasuke lagi berusaha membantu dokter di depannya untuk mengingat.

Kabuto menjentikkan jarinya, "Ah aku ingat, Uchiha Itachi dan Uchiha Sakura, apa benar?" tanya Kabuto. Sasuke tersenyum lega dan menganggukkan kepalanya, "Iya, beberapa hari lalu mereka sudah mengambil hasil pemeriksaan anda dan istri anda. Ada apa?" tanya Kabuto lagi.

Sasuke akan membuka mulutnya sebelum dia menyadari sesuatu. 'Tunggu, bukankah aniki dan Sakura memberi tahuku kalau dokter Kabuto sedang pergi sampai sebulan? Apa maksudnya ini? Mereka berbohong padaku?' batin Sasuke dalam hati. Pria raven itu menunduk dan mengernyitkan alisnya, tanpa sadar tangannya terkepal erat. Meski begitu... "Aku ingin mengetahui hasil pemeriksaanku, sepertinya aniki dan istriku menghilangkan lembarannya," dusta Sasuke.

Awalnya Kabuto tidak mengerti, tapi akhirnya dia memutuskan untuk memberikannya lagi. Toh, pria di depannya ini memiliki hak untuk tahu. Dokter itu kembali memasuki ruangannya yang baru saja tadi dikunci karena dia akan segera pulang. Sasuke menunggu dengan sabar saat Yakushi itu membuka-buka laci meja kerjanya, mencari lembar demi lembar, dan akhirnya dia menarik sebuah map. Sasuke memperhatikan Kabuto yang memakai kacamatanya dan membaca setiap baris tulisan yang ada di sana. Jari Kabuto berhenti dan menarik selembar kertas, "Ini..."

Sasuke menerima kertas itu dari Kabuto. Perasaan tidak ingin melihat kebenaran sempat terlintas dari benaknya. Walau begitu, dia tidak berniat untuk melarikan diri, Sasuke membaca kertas itu. Dan bola mata onyxnya langsung membulat kaget tatkala membaca kesimpulan hasil pemeriksaan tersebut.

"Tidak... mungkin."

.

.

Itachi POV

"Sudah kenyang?" tanyaku setelah dia meneguk air putihnya sampai habis. Kulihat wajahnya memerah lalu mengangguk. Aku tersenyum membalasnya, "Syukurlah..." bisikku.

"Ano..." Sakura kembali memainkan jarinya, lalu dia menggaruk belakang kepalanya, "sudah waktunya aku untuk pulang," ucapnya seraya berdiri. Ah iya, dia benar. Ini bukan rumahnya. Menyadari itu, aku tertawa kecil—tawa yang dipaksakan.

"Ahaha kau benar," ucapku canggung. Dia tersenyum menatapku lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang, setidaknya sampai akhir aku menutup pintu apartemen ini darimu—aku ingin terus melihatmu.

Sakura sudah berdiri di depan pintu apartemen, dia membalikkan badannya dan kami kembali bertatapan. Dia mencium bibirku sekilas—lumayan lama. Setelah dia melepaskan senyumannya, aku langsung teringat sesuatu, "Ah iya, jangan lupa memberitahukan kabar kehamilanmu pada Sasuke ya,"

Seketika itu juga wajah Sakura kembali murung. Aku tahu apa yang kuucapkan memang salah, tapi itu sudah sewajarnya. "Sakura..." aku memanggil namanya, tapi dia tidak mendongak sedikitpun untuk menatapku, "...kuharap kau mengerti. Kita—"

"Iya, Itachi. Aku mengerti," terbesit perasaan lega saat Sakura mengucapkan itu. Dia memaksakan senyum—aku tahu—dan menatapku, "aku akan memberi tahu kehamilan ini pada Sasuke-kun."

"Kau hamil anak siapa, Sakura?"

Apa? Suara ini... Aku sangat mengenal suara ini. Bola mata onyxku membulat begitu pula bola mata hijau emerald di depanku. Kami serentak menoleh, melihat Uchiha Sasuke sudah berdiri di sana—beberapa meter di samping apartemenku. Detak jantungku berdegup kencang tidak menentu, tatapan Sasuke... serasa ingin membunuhku. Aku menelan ludah, berusaha menghindar dari kegugupan. Kulirik Sakura yang ketakutan, tubuhnya bergetar hebat. Aku tetap berusaha tenang, "Tentu saja anakmu Sasuke, anak siapa lagi?" tanyaku balik berusaha mengeluarkan nada canda di sana. Tapi Sasuke sama sekali tidak bereaksi. Dia hanya terdiam dan melangkah mendekat ke arah kami.

Sakura`terus menunduk takut. Entah sadar atau tidak, Sasuke berhenti melangkah sekitar dua meter di depan Sakura. Tatapan matanya kosong. Sasuke, jangan bilang kalau kau... "Anakku eh?" Sasuke menggertakan giginya. Aku tersentak saat tiba-tiba Sasuke melemparkan sebuah kertas tepat di depan mukaku. Aku terpaku. Kertas ini... hasil pemeriksaan Sasuke dan Sakura... "Kalau begitu, kau harus belajar membaca lagi Itachi. Lalu bacalah hasil pemeriksaan itu." ucap Sasuke dengan penekanan di setiap kata-katanya.

Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Semua sudah terkuak sekarang. Tidak ada gunanya lagi bersandiwara di depan adikku ini. "Aku berusaha untuk tidak percaya..." Sasuke berkata lagi, aku menatapnya, "seandainya aku tidak tahu hasil pemeriksaan itu sampai sekarang, mungkin seperti dugaan kalian aku akan tersenyum bahagia ketika mendengar kabar kehamilan ini,"

"Sasu..." aku tidak melanjutkan kata-kataku. Semua tertelan begitu saja. Aku merasa, semua yang akan kukatakan pada Sasuke tidak ada artinya lagi. Adikku ini, pasti sudah membenciku sekarang—hal yang selalu kutakutkan. Kalaupun aku meminta maaf sampai bersujud juga, dalam situasi ini adik yang keras kepala itu tidak akan mendengarku.

Sasuke menoleh ke arahku. Aku... bahkan tidak bisa lagi membaca pikiran adik semata wayangku itu, tatapannya terlalu kosong. Aku bisa memastikan dia sangat terpukul—seperti perasaanku dulu, "Aku pikir saat aku sudah menikahi Sakura, kau sudah merelakannya untukku," Sasuke memberi jeda yang selalu bisa membuat tubuhku lemas untuk sesaat, "ternyata tidak, dan... aku tidak pernah menyangka kau akan menusukku dari belakang seperti ini."

"Sasuke, tunggu! Kau tidak mengerti!" aku berusaha menyentuh bahu adikku itu. Sasuke, aku ingin kau mengerti! Ini semua semata-mata untukmu, tidak kurang dan tidak lebih. Namun saat aku menyentuh bahumu, "JANGAN SENTUH AKU, DASAR SAMPAH!" kau membentakku dan menepis tanganku. Bahkan kau mendorong tubuhku hingga aku jatuh terduduk. Kau menghalangi Sakura yang ingin menghampiriku dan berdiri di depanku.

Mungkin kau berpikir aku sedang menahan sakit yang menyerang tubuh luarku. Tapi kenyataannya tidak begitu. Aku menahan rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan dari semua itu, rasa sakit di dalam dada serasa mengoyak. Aku ingin melepas semua kesakitan ini, ingin menangis tapi tidak bisa. Semua terasa begitu menyiksa, "Begitu ya, kau memanfaatkan kesempatan ini untuk meniduri istriku dan jika dia hamil, tinggal bilang saja kalau anak itu adalah anakku. Iya kan? Apa aku salah, hm?" Aku tidak menjawab apapun, karena aku tahu. Meskipun aku menjawab kenyataannya, kau akan selalu menyangkalku. Aku memilih diam sampai akhir, mendengar hinaan-hinaan yang akan kau lontarkan.

"Hei, jangan diam saja." Nada suaramu terdengar bergetar. Lalu kau menendang bahuku pelan... tapi tetap menyakitkan, "JAWAB AKU, BAKA ANIKI!" kau berteriak kencang—menggema di apartemenku. Samar-samar aku mendengar suara Sakura yang berusaha menahanmu, tapi kau terus menepisnya. "Kenapa? Padahal aku percaya padamu..." suaramu kembali memelan. Aku masih diam, menatap lantai apartemen yang kududuki saat ini, "...kau memang brengsek."

Aku menarik nafas, "Seandainya aku memberi jawaban, apa kau mau mendengarnya, otouto?" tanyaku pelan. Sasuke sepertinya terkesiap mendengar jawabanku, aku hanya mendengar suara gertakan giginya sebelum akhirnya dia kembali berkata, "...Terlambat, aku sudah tidak mau mendengar ocehan dari sampah brengsek sepertimu. Mati saja sana." Dan kalimat pedas itu serasa menusuk dadaku, aku menggertakan gigi berusaha untuk tidak berteriak. Kucengkeram erat karpet kasar di bawahku, tak kupedulikan lecet-lecet yang mulai menghiasi telapak tanganku.

"Dan perempuan murahan sepertimu jangan berani-berani datang ke rumah Uchiha lagi, kalau perlu mati saja berdua dengan ayah dari anakmu itu." Sasuke berkata sinis. Entah kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya atau bagaimana, yang bisa kupastikan... Adikku itu masih mencintai Sakura—terlihat dari bola mata onyxnya. Sasuke sempat terdiam menatap Sakura yang mulai menangis sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan kami berdua. Aku menunduk dalam, tidak pernah kusangka rasanya akan sesakit ini.

"Gomenasai Itachi, gomen..." Sakura mendekat ke arahku, dia juga menunduk di depanku. Aku menatapnya diam, rasanya air mataku sudah terlanjur kering, sampai-sampai aku tidak bisa mengeluarkan apapun lagi. Kujulurkan tanganku untuk menyentuh pucuk kepala wanita yang sangat dicintai olehku dan adikku itu.

"Tidak, bukan salahmu." Aku masih mengelus pucuk kepala Sakura. Bagaikan sebuah tombol, saat aku membentuk senyuman, air mata justru mengalir dengan lancarnya dari bola mataku. Aku memeluk tubuh mungil yang rapuh di depanku ini, mengelus punggungnya yang bergetar. Apakah ini adalah balasan... dari semua pengorbananku untukmu, hei adikku?

Apa aku memang pantas menerimanya?

Sampai kau tidak memanggilku 'aniki' lagi.

...Bahkan kau menyuruhku mati.

Apa ini balasan untukku?

Aku menghela nafas. Entah sudah berapa lama kami menangis dalam diam. Kulirik Sakura yang tertidur di atas tubuhku. Tersenyum tipis, kugendong tubuhnya dan kuletakkan dia di atas tempat tidurku. Aku menatap wajahnya. Jejak-jejak air mata terlihat jelas di bawah matanya, perlahan tapi pasti kuusap jejak-jejak itu sampai sedikit memudar. Dia pasti kelelahan dengan semua hal yang terjadi hari ini, padahal dia baru saja hamil muda. Saat aku sedang memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan, tiba-tiba Hpku berdering. Aku berdiri dan mengambilnya yang terletak di atas meja di samping tempat tidurku.

Aku mengernyitkan alis melihat nama 'Tousan' di layar Hpku. Apakah... Sasuke sudah memberitahukan semuanya kepada tousan dan kaasan? Aku menarik nafas, bersiap-siap dengan hinaan yang akan kuterima lagi. Kuangkat telepon itu.

"Moshi-moshi?" tanyaku tidak bersemangat. Aku mendengar dengan seksama kata-kata yang diucapkan tousan di seberang sana. Mataku membulat kaget. Tanganku bergetar dan tubuhku meringsut jatuh.

"Mobil Sasuke... meledak?" tanyaku lagi untuk memastikan. Suara tousan terdengar bergetar, apalagi saat dia mengatakan—menurut polisi yang ada di tempat, ada korban yang masih berada di dalam mobil itu. Dan dari kartu identitas, korban itu adalah... Bisa kudengar, kaasan menangis histeris di samping tousan. Tanganku lemas, seolah tidak ada tenaga. Hp jatuh terbanting di sampingku.

Bahkan sampai akhir, Kami-sama masih setia memberi siksaan padaku.

"AAAAAAAAAAARGGHHHH!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

One year later...

Aku menutup pintu mobilku dan menguncinya. Aku berbalik, menatap gundukan-gundukan tanah yang bersebaran di depanku. Menarik nafas, aku melangkahkan kaki. Lumayan jauh dari tempat mobilku berada tadi. Hari masih siang, panas menyengat tidak kuhiraukan. Kugenggam erat bunga melati putih di tanganku. Langkahku terhenti saat dari kejauhan aku melihat seseorang yang kukenal sudah berada di samping gundukan tanah yang menjadi tujuanku. Aku tersenyum kecil, lagi-lagi aku didahului olehnya.

Wanita berbaju hitam itu menoleh saat merasakan aku sudah berdiri di sampingnya, "Itachi..." ucapnya menyebut namaku. Aku tersenyum ramah padanya, lalu ikut berjongkok di sampingnya. Kutaruh seikat bunga melati yang tadi kugenggam di atas gundukan tanah itu—lebih tepatnya di depan batu nisannya. Wanita itu menatapku sedih.

Aku menundukkan kepala dan merapatkan kedua telapak tanganku—posisi berdoa. Kupejamkan mataku, berdoa dari lubuk hati yang terdalam untuk kebahagiaan orang yang kini sudah berada di dunia yang berbeda denganku itu. Begitu kubuka mata, wanita yang tadi berada di sampingku kini sudah berpindah posisi ada di depanku. Dia ikut berdoa denganku rupanya. Wanita berambut soft pink itu akhirnya membuka mata, memperlihatkan bola mata hijau emeraldnya yang selalu bisa meneduhkan hatiku.

"Sudah lama tidak bertemu," ucapku membuka pembicaraan. Masih dalam posisi tadi, wanita itu terdiam sampai aku bicara lagi, "bagaimana kabarmu?" Haruno Sakura—nama wanita itu—akhirnya tersenyum.

"Baik," jawabnya apa adanya. Aku mengangguk mengerti. Dia menoleh untuk menatap nama di atas batu nisan di sana, aku mengikutinya. Hatiku mencelos melihat batu nisan itu.

.

.

R.I.P

Uchiha Sasuke

Born : July 23rd 19xx

Death : April 6th 20xx

.

.

Kalau dipikir-pikir lagi. Sebelum kematiannya, aku belum mengucapkan apa-apa padanya. Kata maaf, penjelasan... hanya kenyataan bahwa aku mengkhianatinya saja yang dia tahu. Aku berhutang banyak padanya. Bukan cuma itu, sebelum kematiannya dia sempat menyuruhku untuk mati. Kalau begitu seharusnya, akulah yang pantas mati. Bukan Sasuke.

Aku menundukkan kepalaku. Berbagai macam kesalahan memenuhi pikiran dan benakku. Aku bukan korban. Bukan juga pahlawan kebenaran. Aku sebagai antagonist di sini. Ya, itu aku. Aku tidak bisa memberikan Sasuke kebahagiaan sebagaimana yang selalu kuinginkan dalam hidupku. Sebaliknya, aku malah memberikan penderitaan, pengkhianatan, keegoisan padanya. Kucengkeram tanah di bawahku. Bagaimana caranya agar aku bisa meminta maaf kepadamu, Sasuke? Bagaimana caranya aku memutar waktu? Kalau ada caranya, beri tahu aku. Akan kulakukan apapun, meski harus menukarkan nyawaku.

Aku menginginkan kebahagiaan orang-orang yang kusayangi. Hanya itu alasanku untuk melakukan semua dosa, tenggelam di dalamnya. Senyummu dan Sakura adalah segalanya bagiku. Salah satu dari kalian menghilang, bagiku sama saja dengan kehilangan eksistensi. Kalian berdua menghilang, bagiku sama saja dengan mati. Aku...

"Oeek!" Aku tersentak dan kuangkat kepalaku melihat suara siapa itu. Sakura terlihat panik dan berusaha menghibur bayi di gendongannya. Aku tersenyum simpul melihat itu, "Sepertinya dia semakin tumbuh saja," gumamku tanpa sadar. Sakura menghentikan kegiatannya yang tengah menenangkan sang bayi dan menatapku.

Dia tersenyum canggung, "I-Iya," wajahnya memerah—wajah yang kurindukan di setiap malamku, "entah perasaanku atau bukan, dia semakin mirip denganmu," lanjutnya.

"Jangan bicara begitu," aku tertawa kecil. Aku menunduk lagi untuk berpikir, sebelum akhirnya bertanya, "boleh aku menggendongnya?" Sakura sempat tertegun. Namun dia langsung tersenyum senang lalu mengangguk dan memberikan bayi itu.

Kutatap bayi kecil di dalam gendonganku, tak bisa kutahan senyum yang keluar dari bibirku. Kulitnya sedikit coklat—mungkin ini yang membuatnya tidak terlihat mirip dengan Sasuke dan Sakura karena mereka berdua sama-sama berkulit putih, bola mata onyx, rambut hitam yang rapi. Dia menatapku, tangan kecilnya menggapai-gapai hidungku yang mendekat pada wajahnya sebelum akhirnya kukecup pipinya pelan. Tangisnya tiba-tiba saja mereda. Kucium pipinya lagi, kali ini lebih dalam dan lebih lama. Dia tertidur sangat nyenyak di gendonganku. Merasa sudah tenang, kuberikan bayi itu kembali pada ibunya. Nama bayi itu...

"Sepertinya Sasuke memang ingin berada di sampingmu," ucap Sakura. Aku hanya terdiam, pandanganku tidak bisa lepas dari bayi yang tertidur nyenyak itu, "wajar saja, dia pasti merindukan ayahnya." Lanjut Sakura yang menurutku terdengar nada menyindir dari sana. Aku tersenyum mendengar itu seraya berdiri.

"Tolong jaga Sasuke," dan aku pun berbalik dari sana. Melangkah untuk menjauhi kuburan yang akan membuatku semakin terpuruk karena dosa masa lalu. Langkahku terhenti saat aku mendengar suara Sakura yang berlari mengejarku, "Tunggu!"

"Sampai kapan kau akan melarikan diri, Itachi?" tanya Sakura di belakangku. Sudah kesekian kalinya Sakura menanyakan pertanyaan yang sama. Tapi memang harus kuakui, dari dulu aku tidak pernah menjawab pertanyaan ini. Aku menghela nafas dan kubalikkan badanku. "Aku tidak pernah melarikan diri." Jawabku akhirnya.

"Lalu kau sebut ini semua apa? Kau menyuruhku menjaga Sasuke, tidak pernah kembali ke rumah Uchiha, apa maumu?" Sakura memotong jawabanku. Keringat mengalir di pelipisnya. Dia terengah-engah mungkin karena kelelahan sehabis berteriak. Aku hanya tersenyum.

"Aku mau bahagia, kau dan Sasuke di dunia sana juga berbahagia." Aku melangkahkan kakiku untuk maju, satu langkah, "Jika aku berdiri di sampingmu sebagai suamimu dan menjaga Sasuke kecil, maka otoutoku di dunia sana akan bersedih," dua langkah, "sebagai gantinya, aku akan berdiri di sampingmu sebagai kakak iparmu, kakak dari Uchiha Sasuke, dan juga paman... dari Uchiha Sasuke junior," tiga langkah. Aku mengelus kepala kecil Sasuke di gendongan Sakura. Lalu kutatap bola mata hijau emerald di depanku.

"Anggap saja..."

Kucium dahi Sakura yang mulai menitikkan air mata. Kini, aku bisa mengusap air mata itu. Hal yang selalu tidak bisa kulakukan, karena Sasuke selalu lebih dulu mengusapnya hingga kering.

"...aku adalah kakak ipar yang mencintaimu, sampai kapanpun."

"Itachi..." wanita itu menunduk lalu sedetik kemudian dia mengangguk, membuatku tersenyum puas. Angin memainkan rambut-rambut kami. Daun-daun berguguran seolah mengiringi kepergianku dari pemakaman ini. Aku berbalik dan melambaikan tangan, "Sampai jumpa, Sakura... Sasuke..."

.

.

"If it's for the sake of happiness for my otouto,"

"I'll become evil or more..."

.

.

.

.

.

The End


Special thanks to :

Cia-can, Thia Nokoru, sakura bungaq, el cierto, Ka Hime Shiseiten, Xia-Sen'ryaku, mysticahime, Rizu Hatake-hime, Kurosaki Naruto-nichan, Tabita Pinkybunny, Chiwe-SasuSaku, Kurousa Hime, mimi, dobelianaru, rizukauchiha29, Dhevitry 'The Tomato Knight, kimichi-kun, hika-chan, shizukari fourteen, Kurosaki Kuchiki, Mona Rukisa-chan, sava kaladze, mayu akira

Juga untuk semua yang sudah setia membaca dan menunggu fic ini sampai akhir, arigato gozaimasu :)

Yak, seperti biasa saya telat update =w= #kicked

Ini adalah last chap, jadi no comment deh. Saya juga gak ngerti ini happy ending atau sad ending #dor

Mind to RnR for the last time, minna?

See you in my next fic, jaa nee! :D