Nggak usah banyak komentar di awal… ==;

Karena ini chappie terakhir… jadi, langsung ajah…

Let's go!

disclaimer # Gosho Aoyama-sensei^^

genre # Mystery, Friendship and Supernatural

Ginko no Rhapsody

Rhapsody 4: Lacrymosa

Pagi harinya, setelah berpamitan dengan nenek Ayako dan bibi Kayoko aku segera meninggalkan kediaman Suzuki untuk kembali ke Tokyo. Walaupun hanya semalam, mereka telah begitu baik membantuku dan banyak bercerita tentang Sonoko. Dari cerita itu aku tahu bahwa, kotak musik yang sering dibawa-bawa Sonoko adalah hadiah pemberian nenek Ayako. Nenek Ayako memberikan kotak musik itu pada Sonoko untuk menghibur hati Sonoko yang tidak diizinkan untuk menjadi seorang pianis oleh kedua orang tuanya. Ya, aku rasa… aku bisa mengerti alasannya.

Jaman dahulu, perbedaan jenis kelamin menjadi sebuah masalah yang utama. Seorang perempuan tidak boleh memiliki derajat dan kemampuan di atas kaum laki-laki. Yamato nadeshiko adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap perempuan Jepang pada zaman dahulu. Sedangkan Sonoko… di mataku tidak terlihat seperti itu. Jelas sekali ia menolak untuk menikah di usia muda dan lebih memilih menjadi seorang pianis…

Oh ya, hanya bibi Kayoko yang mengantarkan kepulanganku sampai stasiun kereta terdekat. Nenek Ayako tentu saja tidak bisa ikut mengantarku, karena aku tahu, untuk pergi ke kamar mandi saja mungkin dia sudah melakukannya dengan susah payah. Sedangkan anaknya bibi Kayoko yang bernama Rena itu jelas-jelas tidak akan mau ikut, karena sepertinya ia memang benar-benar menganggapku sebagai seorang salesman pembohong.

Bibi Kayoko bilang bahwa aku boleh datang lagi. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Bibi Kayoko pun balas tersenyum padaku. Mungkin memang sudah gen keluarga Suzuki untuk bersikap ramah kepada sesamanya, batinku. Tentu saja… kecuali Mizunashi Rena.

###

Aku sampai di Tokyo siang harinya. Karena sudah tidak mungkin lagi untuk datang ke sekolah, akhirnya aku hanya bisa tergeletak tidur di atas kasurku. Melepas semua rasa lelah, baik secara jasmani, pikiran maupun hati. Pandanganku semakin kabur saat melihat langit-langit kamar. Tidak… aku harus terjaga… memikirkan pemecahan masalahnya… menyusun kepingan puzzle itu…

Mataku semakin lama semakin berat. Tubuhku juga telah terlalu lelah untuk digerakkan. Aku pun mulai memejamkan mataku.

Tiba-tiba saja, sayup-sayup… aku mendengar sebuah alunan permainan biola… walaupun tidak terdengar seperti permainan seorang yang pro, tapi sudah cukup untuk membuatku merasa tenang… Kemudian, kubuka mataku sedikit dan aku pun… melihat sebuah ilusi yang aneh…

Sonoko… sedang berdiri di samping tempat tidurku sambil memainkan sebuah biola. Ia tersenyum padaku. Anehnya, aku balas tersenyum.

"Selamat tidur, Makoto."

###

Pohon ginko…

Kotak musik…

Sonoko…

"SONOKO!" teriakku begitu kencang. Aku tersentak bangun dari tidurku. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar sambil memijat-mijat keningku yang terasa sedikit pusing. Tidak ada keanehan.

Aku pun kemudian memandang jam weker yang berdiri tegap di atas meja. Jam lima pagi? Aku menghela napas panjang seraya bangun dari tempat tidurku. Ternyata, aku telah tertidur lebih dari setengah hari sambil masih mengenakan pakaian kemarin.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian sekolahku, aku segera melangkahkan kakiku secepat mungkin ke sekolah. Setelah sebelumnya, aku memasukkan sebuah sekop kecil ke dalam tas sekolahku. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin pergi ke sekolah lebih pagi dan membawa sekop itu. Aku tidak ambil pusing dan menuruti saja naluriku yang lagi-lagi berbuat sesuatu yang aneh.

Aku terkesiap saat melihat sosok seseorang sedang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Sosoknya diselimuti kabut, membuatku tidak bisa mengenalinya. Aku pun mempercepat langkahku. Sosok itu semakin jelas seraya kabut pagi yang semakin menghilang. Sonoko?

Aku terdiam melihat Sonoko yang hanya berdiri saja. Ia memandangku dengan mata beningnya. Tapi, pandangan matanya berbeda. Pandangan matanya seperti ingin menangis. Sama seperti sosok Sonoko yang kulihat di kamar nenek Ayako. Ia… juga menggumamkan kata-kata yang hampir sama sambil menunjuk ke arah pohon ginko yang paling besar di halaman belakang sekolah.

"Sepi… Gelap… Aku takut…"

Setelah mengatakan itu, Sonoko berlari ke arah pohon ginko besar. Aku pun mengikutinya, tapi sosoknya kemudian menghilang. Tidak ada siapapun. Hanya aku… dan pohon ginko besar yang menjatuhkan daun-daun emasnya…

Kupandang pohon ginko itu dari atas sampai bawah. Kudekati dan kemudian aku bersimpuh di bawahnya. Kuambil sekop kecil dari dalam tasku dan kemudian menggali tanah di bawah pohon ginko besar itu. Menggali? Apa yang kulakukan? Ingin sekali kuhentikan perbuatan naluriku yang bodoh ini, tapi tidak bisa. Tanganku terus bergerak sendiri menggali tanah yang semakin lama semakin dalam. Aku tidak bisa membayangkan hukuman apa yang akan diberikan Kisaki-sensei padaku saat ia tahu aku mengacak-ngacak tanah pohon ginko keramat ini… dan aku tidak mau membayangkannya. Menggali tanah ini saja sudah cukup membuatku untuk tidak dapat berpikir sebagaimana mestinya apalagi untuk membayangkan sesuatu…

Keringat perlahan bercucuran di pelipisku. Napasku menderu-deru. Tidak lama setelah itu, sekopku seperti menyentuh sesuatu yang keras. Tanda tidak bisa digali lagi. Aku pun menggunakan tanganku untuk membersihkan tanah yang menutupi sesuatu itu. Aku tercengang, mataku terbelalak kaget. Kayu?

Kugali tanah semakin lebar hingga memperlihatkan sebuah kayu yang berbentuk lingkaran. Di kedua sisinya ada sebuah pegangan yang terbuat dari besi. Aku seketika merinding membayangkan sesuatu yang tidak mau kubayangkan.

Kupegang kedua sisi pegangan itu yang ternyata cukup ringan. Semakin lama semakin terangkat dan semakin terlihat sosok sebenarnya dari lingkaran kayu itu. Sebuah tong kayu yang cukup besar telah terangkat dari dasar tanah. Aku mengatur napasku dan mengelap keringat dengan jas sekolahku yang sudah penuh dengan noda tanah. Rasa terkejut dan degup jantungku yang tidak mau berhenti membuatku tidak merasakan hawa dingin sama sekali. Apakah… karena hari ini adalah hari pertama musim semi? Atau… karena aku begitu takut untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya?

Aku menelan ludahku dan membuka tong yang terbuat dari kayu itu untuk melihat apa isinya. Di dalam hati, aku terus-menerus berdoa agar apa yang kupikirkan tidak menjadi kenyataan. Jika benar firasatku…

"Mustahil…" gumamku saat melihat ke dalam tong kayu. Tubuhku gemetar. Jantungku semakin cepat menghentak, membuat aliran darah di dalam tubuhku semakin cepat mengalir. Aku ingin tidak mempercayainya… tidak mungkin…

Di dalam tong kayu itu, duduk sebuah tengkorak manusia dengan berbalut seragam sekolah musim semi. Seragam itu berwarna biru tua. Atasannya seragam sailor dengan rok yang berupa seperti gaun panjang hingga ke mata kaki. Di tangan tengkorak itu, terdapat sebuah kotak musik dengan ukiran bunga sakura di sekitarnya.

"Sonoko…"

Entah mengapa, dadaku terasa begitu sakit saat melihat tengkorak itu. Tidak salah lagi. Tengkorak itu adalah tengkorak Sonoko. Tubuhku bergemuruh, tak bisa lagi berkata-kata. Tenggorokanku seperti tercekat oleh sesuatu yang amat menyakitkan.

Kuambil kotak musik itu. Kubersihkan debu yang menutupinya. Ya, bentuknya sama seperti yang pernah kulihat sebelumnya, hanya yang ini lebih kotor. Kotak musik hadiah dari nenek Ayako untuk Sonoko.

Kubuka kotak musik itu dengan hati-hati. Suara alunan permainan piano yang indah pun mulai mengalun dari kotak musik itu. Sama, seperti yang kudengar beberapa hari yang lalu, saat hari pertama aku mengajari Sonoko bermain biola. Nada-nada indah Requiem yang bersusun menjadi satu, menjadi sebuah rangkaian nada-nada yang memukau. Terdengar begitu menyayat dan menggetarkan hati. Membawaku masuk ke dalam sebuah ilusi…

Masa lalu… Suzuki Sonoko…

###

Kubuka mataku perlahan…

Dimana aku?

Mengapa hanya ada kegelapan di sekelilingku?

Sonoko? Itukah kau?

Kukejar Sonoko yang sedang berlari menembus kegelapan. Berkali-kali kuteriakkan namanya, tapi ia tidak juga menoleh ke arahku. "Sonoko!," semakin kencang kuteriakkan namanya, semakin cepat ia berlari meninggalkanku dan semakin sakit tenggorokanku.

Tiba-tiba saja, di hadapan Sonoko yang berhenti berlari muncul sebuah pintu. Ia menatapku sesaat sebelum membuka pintu itu dan segera masuk ke dalamnya ketika aku hampir sampai di tempatnya.

Tanpa pikir panjang, kubuka pintu aneh itu. Dan… seberkas cahaya menyilaukan… menutupi pandanganku…

"KYAAAAAAAA!"

Itu… suara teriakan Sonoko.

"Ku… Kudo-sensei… hiks."

Sialan! Aku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Cahaya ini sungguh mengganggu!

"Mengapa masih ada orang di sini?"

"Si… siapa kalian? Mengapa kalian membunuh Kudo-sensei?"

Eh? Membunuh?

Di tengah kebingunganku, cahaya menyilaukan yang menutupi pandanganku itu semakin lama semakin menghilang, memperlihatkan sebuah pemandangan yang benar-benar bagaikan sebuah ilusi…

Aku berada di sebuah ruangan kelas berdinding kayu. Sonoko terduduk di hadapanku sambil mengacungkan sebuah pedang kayu yang dipakai untuk bermain kendo. Seorang pria yang berlumuran darah begitu banyak terbaring di dekat kakinya. Di depannya berdiri arogan dua orang pria menakutkan. Dua orang pria itu mengenakan jubah hitam yang menakutkan. Pria yang satu berpostur badan gemuk dengan kacamata hitam dan yang satu lagi, wajahnya tidak begitu terlihat karena tertutup oleh topinya. Tapi yang jelas, ia berbadan lebih kurus daripada si pria berkacamata hitam yang sekarang sedang menembakkan tokallevnya ke arah Sonoko.

'DOR!'

"SONOKO!"

Sonoko segera berlari keluar. Tapi ia sedikit terlambat sehingga peluru tokallev si pria gemuk berhasil mengenai kaki kirinya.

"Cih! Dia lari Gin," runtuk si pria gemuk. "Aku tidak mengira bahwa di sekolah ini masih ada saksi mata."

"Tidak usah banyak bicara, Vodka. Pembunuhan ini tidak boleh diketahui oleh orang lain bahkan oleh bocah sekalipun. Lakukan saja tugasmu, segera temukan dan bunuh bocah berambut pirang itu. Ia tidak akan bisa lari jauh dengan kaki seperti itu." ucap si pria lebih kurus yang diketahui bernama Gin.

"Kau gila apa? Kau tidak akan bisa membunuh Sonoko!" teriakku sambil melayangkan tendangan ke arah Gin. Aku terkesiap. Ternyata tendanganku menembus tubuhnya. Keringat dingin kembali mengalir keluar dari sekujur tubuhku. Oh ya, aku baru ingat sekarang. Ini adalah 93 tahun yang lalu. Malam dimana Sonoko dibunuh. Ini semua… adalah masa lalu Sonoko. Ingatan roh milik Sonoko. Jelas saja Sonoko tidak bisa mendengar suaraku. Aku bahkan belum dilahirkan saat ini.

Gin dan Vodka segera berlari keluar ruangan mencari Sonoko. Aku pun mengikuti mereka. Sebenarnya begitu berat rasanya kaki ini untuk melangkah. Ini belum apa-apa. Aku bahkan sudah ingin menjerit sekeras-kerasnya. Membayangkan malam mengerikan ini dialami oleh Sonoko di detik-detik sebelum kematiannya. Sonoko yang selalu tersenyum padaku itu. Ini semua membuat hatiku terasa begitu sakit bagaikan teriris-iris oleh jutaan pisau tajam yang baru saja diasah.

Tak terasa, kami telah sampai di halaman pohon ginko. Vodka segera mengangkat tokallevnya ke atas sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Hei, keluar kau! Kau pasti bersembunyi di sekitar sini kan?"

Gin yang berdiri di sebelahnya hanya terdiam sambil menatap sebuah pohon ginko besar yang ada di hadapannya.

Tidak! Sonoko!

Aku ingin berlari menghampiri Sonoko yang sedang bersembunyi di balik pohon ginko itu. Tapi tidak bisa. Kedua telapak kakiku seolah-olah menempel ke tanah. Kutarik lebih keras. Tapi tetap saja tidak mau terangkat.

"Sial! Lari Sonoko!" teriakku begitu kencang. Aku tahu ini percuma. Tapi aku tidak mau semua ini berakhir begitu saja. Kau belum boleh mati. Kau harus hidup Sonoko. Kau harus memainkan Requiem dengan biola di hari ulang tahun kakakmu!

Sebuah sentuhan yang begitu lembut menjalari di tangan kananku. Aku tergelak dan kemudian menoleh. Sonoko dengan wajah yang begitu pucat sedang berdiri di sampingku sambil menggenggam tangan kananku. Wajahnya begitu sedih. Ia tidak bicara, bibirnya diam, tapi entah mengapa aku bisa mendengar suaranya.

"Waktu itu aku ingin lari. Tapi tidak bisa. Kaki kiriku yang terkena tembakan menghalangiku."

"Gin? mau kemana?" tanya Vodka saat melihat Gin berjalan meninggalkannya ke arah pohon ginko itu. Ia pun mengikuti langkahnya dari belakang.

Tenggorokanku tercekat. Suaraku terkunci. Aku tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Aku hanya bisa melihat dan mendengar suara roh Sonoko yang berdiri pucat di sebelahku.

"Aku tidak mengira bahwa ia membawa stun-gun. Seketika pandanganku menjadi kabur. Reaksi aliran listrik yang dikeluarkan oleh stun-gun itu telah membebani syaraf-syaraf di seluruh tubuhku secara berlebihan untuk sementara waktu. Saat itu aku merasakan sakit yang luar biasa, bagaikan terkena sebuah sambaran halilintar."

"GYAAAAA!"

Seraya dengan jeritan kerasnya, roh Sonoko yang ada di sebelahku semakin erat menggenggam tangan kananku dan ia memejamkan matanya seolah-olah tidak sanggup untuk membayangkan rasa sakit stun-gun itu untuk yang kedua kalinya.

"Kejadian itu terjadi begitu cepat. Tubuhku pun lemas. Aku tidak bisa menggerakkan semua anggota tubuhku. Aku masih ingat dengan jelas, hanya indera pendengaranku yang masih sedikit berfungsi."

"Gin, kau menggunakan stun-gun?" tanya Vodka sambil mendekati Gin dan menendang tubuh Sonoko yang sudah tergeletak tidak berdaya.

"Tenang saja. Aku tidak merasakan apapun lagi saat itu." ucap roh Sonoko sambil memandangku dengan mata sayunya. Seolah-olah ia tahu aku tidak suka atas perlakuan Vodka pada tubuhnya tadi.

"Ya… aku tidak mau mengambil resiko menggunakan pistol yang tidak menggunakan peredam suara dan pada akhirnya hanya akan mengundang orang. Dia sudah tahu wajah kita. Segera bereskan tanpa sisa."

"Maksudmu?"

"Kubur bocah ini di sini, tidak akan ada yang tahu."

"Setelah itu, kejadiannya seperti yang kau tahu. Mereka segera menguburku di bawah pohon ginko ini. Mungkin mereka sedikit kasihan denganku. Maka dari itu, mereka mengeluarkan kotak musik yang ada di sakuku dan meletakkannya di atas tubuhku sebagai hadiah perpisahan. Hahaha… mengapa hal ini terjadi padaku?"

"Aku takut. Di sana bukanlah tempat yang menyenangkan. Gelap dan dingin. Bertahun-tahun aku menunggu datangnya pertolongan. Aku rindu akan cahaya matahari, rindu akan alunan musik. Lalu, kau datang Makoto."

Roh Sonoko beralih menatapku. Ia tersenyum.

"Tidak ada yang bisa kuperbuat untukmu," entah mengapa suaraku kembali keluar. Aku memandangnya lembut dengan beragam perasaan yang aneh.

"Tidak, aku sangat berterimakasih. Karena permainan biolamu yang begitu indah itulah yang telah menolongku. Aku benar-benar berterimakasih. Berkatmu, aku bisa kembali bertemu dengan kakak. Aku tidak tahu… kalau aku telah membuat kakak begitu menderita."

"Sudah kubilang, aku tidak melakukan apapun untukmu. Aku bahkan tidak bisa mengajarimu bermain biola dengan baik."

Sonoko kembali tersenyum. "Hahaha… apa boleh buat. Aku mungkin tidak berbakat bermain biola. Tapi aku tahu kalau aku berbakat bermain piano."

"Percaya diri sekali…"

"Karena seseorang pernah mengatakan padaku seperti ini, 'Walau yang mengerti itu hebat. Tapi bukan berarti yang tidak mengerti itu bodoh. Asal aku punya kemauan, ia yakin aku pasti bisa melakukannya'."

Aku hanya bisa meringis, "Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata seperti itu."

"Mungkin saja."

Kami berdua kembali terdiam, angin musim semi menyelimuti kami.

"Makoto, sudah waktunya aku pergi. Semoga kita bisa bertemu lagi ya?. Saat itu, aku pasti sudah menjadi seorang pianis yang hebat dan bisa mengungguli permainan biolamu. Terimakasih banyak, Makoto."

Aku tidak bisa lagi berkata-kata. Roh Sonoko kemudian melepaskan genggaman tangannya dan menghilang. Aku pun memejamkan mataku. Dan saat kubuka mataku, aku telah kembali ke duniaku yang kukenal. Sama. Sambil tetap memegang kotak musik yang baru saja memainkan nada-nada terakhirnya.

"Ya, semoga saja."

###

Setahun kemudian…

"Kyogoku-san? Kau masih latihan?" tanya seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi di telingaku. Kehadirannya membuatku menghentikan permainan biolaku. Aku pun menoleh, menatap wajah yang selalu dihiasi senyuman sepanjang masa itu.

"Ya, aku ingin menjadi juara di kontes musik tahun ini."

Ketua osis menghampiriku masuk. Kulihat tangan kanannya merogoh sesuatu di kantong jasnya. Aku pun menurunkan biolaku dan menatapnya ingin tahu.

"Setelah kupikir-pikir lagi… Sepertinya memang inilah pilihan yang tepat. Aku yang akan bertanggung jawab pada kepala sekolah. Sini, kemarikan tanganmu." ucap ketua osis sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya itu dan meletakkannya di atas telapak tanganku yang terbuka.

"Kunci?"

"Itu kunci ruangan ini. Aku memberikannya padamu karena kupikir kau pasti tidak akan mau kalau ruangan ini dihancurkan bukan?"

Aku menatap kunci itu sesaat. Hatiku bergemuruh, seperti ada sesuatu yang mengisi jiwaku. Sesuatu yang kurindukan. Sesuatu yang telah lama kunantikan. Sesuatu yang… tidak pernah bisa kulupakan.

Tanpa kusadari ketua osis sudah berdiri di ambang pintu. Ia masih tersenyum padaku. Aku pun memandangnya lembut penuh rasa terimakasih.

"Sebenarnya aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu. Sejak kejadian aneh setahun yang lalu, menurutku kau jadi lebih banyak tersenyum, tidak seperti saat pertama kali kedatanganmu kemari. Dan itu adalah perubahan yang bagus bukan? Makanya, kupikir tempat ini pasti adalah tempat yang berharga bagimu."

Ya… kupikir kau dan sekolah ini adalah sesuatu yang menyebalkan.

Tapi tentu saja aku tidak akan berkata seperti itu.

Karena kenyataannya telah berubah…

Dan yang telah merubahnya adalah seorang gadis hebat bermata jenaka yang sangat mencintai piano…

"Terimakasih, ketua osis."

Ya… merubah ketakutan menjadi sebuah kekuatan.

###

~owari~

TADAAA! Akhirnya cerita gaje ini selesaaaaaaaaaiiiiiiii…. Gaje banget ya akhirnya? Hahahaha, maap deh. Tapi, mudah-mudahan para readers sekalian suka^^

Oh ya, pasti banyak readers yang bertanya-tanya (pede amat…) bagaimana kelanjutan kisah kekejaman kuro no soshiki dan kudo-sensei yang malang itu. Saya tidak akan menceritakannya. Itu seperti menjadi cerita tersendiri. Kayak… kumpulan cerita-cerita korban kekejaman kuro no soshiki gitu,, jadi, Ginko no Rhapsody adalah salah satunya. Hahaha… mengerti apa yang saya katakan?

Inilah balasan review chapter 3:

Azalea Yukiko, apakah 93 tahun adalah waktu yang terlalu panjang? Saya memang sudah lama ingin membuat cerita tentang jepang zaman taisho. Tapi, karena kekuarangan bahan, jadinya hanya dijadikan slip ajah. Hahahaha XD gimana cerita endingnya?

Rei Sakaki, ha-ha-ha… saya juga capek nunggu kelanjutannya X3. bagaimana? Apakah chapter yang ini juga pendek? Kyaaaa… senangnya dipuji Rei-san! Suka dengan endingnya?

Shiho Kudo, wah! Hontou ni arigatou! Eh? Memangnya selama itu? Saya kan juga butuh waktu untuk mencari ide lajutan ceritanya… hehehhehe. Endingnya suka gak?

Sagee-chan, wah, ini lanjutannya… dan langsung tamat! Gimana hebat kan? Suka dengan endingnya?

Yah… berakhirlah sudah kisah saya dengan Makoto dan Sonoko. Saya sangat senang membuat fic dengan kedua tokoh ini. Pertama, karena mereka adalah pairing yang jarang dibuat fic. Kedua, karena kepribadian mereka berdua yang begitu kompleks. Dan ketiga… karena saya adalah penggemar Makoto!

Tadinya saya ingin membuat cerita tentang Makoto yang ikut pertandingan karate. Namun, karena saya sendiri udah lama nggak latihan… jadinya saya lupa sama semua nama gerakan dan jurus-jurusnya.. hahhahahaa XD (bakal diomelin lagi ama senpai nih). Daripada saya ngarang dan ujung-ujungnya dituntut sama Inkai dan Forki, mendingan nggak usah ajah… hohohoho X3

Terakhir, saya mau mengucapkan 'Hontou ni Arigatou' untuk para readers dan para author sekalian… baik yang telah mereview maupun yang tidak. Makasih ya!

Oh ya, baca juga cerita saya yang lain ya, seperti "Fantasie Impromptu" di fandom Bleach dan "Rendezvous" di fandom Suzumiya Haruhi series. Ditunggu loh reviewnya ya….^^

Sayooouuunaraaaa! (/O_o)

Douzo… tekan tulisan 'review' di bawah ini untuk yang terakhir… (-/\-)