D e v o i s

.

Yang terlihat padaku hanya langit abu-abu dan jari-jemari pepohonan hitam yang mendongak menatapnya. Dari kapas gelap di atas sana kupikir akan turun serpihan salju putih, yang kutunggu namun tidak juga muncul. Dinginnya udara menembus sepatu dan pakaianku. Mungkin seharusnya aku mengenakan sesuatu yang lebih tebal sebelumnya.

Tidak kudengar rumput yang berbisik. Hanya desahan udara yang berjuang masuk ke dalamku, dan yang enggan meninggalkannya. Bagian yang terbuka di perut dan dadaku semakin menyiksa setiap kali angin berhembus menyelimutiku, bergulung-gulung ingin mengetahui isi serat merah yang kini menganga.

Kupanggil namanya, tapi yang keluar adalah suara mengerikan yang tidak kukenal, dan jawaban yang muncul hanya rasa asam di gigi dan lidah. Kuputar mataku sejauh yang kubisa. Tidak kulihat siapa-siapa. Kurasa memang hanya aku di sini.

Kali ini udara itu membawa peranakan. Dedaunan mati terhanyut dengan pasrah, berlabuh di sekitarku. Yang kupikir tidak ada suara, muncul perbincangan makhluk angin. Naik, turun tekanannya, tidak jelas kutangkap apa. Kurasakan mereka berjalan-jalan di sekelilingku, lagi-lagi membuat lubang yang menganga menjerit terluka. Kusipitkan mata, menolak segala macam rasa, kecuali kekosongan yang hampa, yang mulai memenuhi.

Tidak kuhitung berapa lama aku melihat langit seperti ini. Kubah yang gelap dan suram, yang angkuh dan menyimpan cahaya untuk dirinya. Semakin lelah, ia semakin tua. Sebentar lagi mungkin aku tidak akan melihat apa-apa.

Sedikit pikiran mengingatkanku, membantuku melupakan sesak yang mencengkeram. Dua sosok yang kukasihi terbayang remang-remang. Mereka yang menggantikan mereka yang telah hilang di masa lalu. Kupikir hujan yang lalu tiba, karena kurasa suatu titik yang basah mengaliri pelipisku. Begitu cepat kah? Padahal masih ada perkamen yang belum kubacakan pada mereka. Beribu kata dan sentuhan yang belum kuberikan. Kini, kutahu ku takkan bisa.

Aku mulai lelah. Mataku berat. Kurasa aku boleh istirahat sekarang. Namun seperti tidak ingin dilupakan, sebuah sosok lagi muncul. Lalu yang lain. Kemudian benakku dipenuhinya. Mereka tertawa, nampaknya bahagia. Menyenangkan sekali.

Deru angin semakin kencang, badanku terangkat. Tidak bisa kupejamkan mata, melihat langit yang terbuka. Dari sana dua orang yang lain ada. Mereka menungguku. Tidak kurasa lagi dingin. Aku melayang. Aku tidak perlu lagi berlari. Kudengar musik-musik seruling yang halus, menyanyikan hidupku. Bahkan angin dan cahaya menari di sekelilingku. Kurentangkan tanganku, menghambur dalam sambutan hangat. Rantai di kakiku terlepas. Aku bebas.

.

.

Ia berjalan tertatih-tatih, kaki depannya patah. Napasnya memburu. Tapi ia tetap maju.

Ia menemukannya, dikelilingi kerumunan pohon tua yang berduka, berbaring di atas kasur rumput pucat. Semangatnya perlahan pudar.

Kini badan anak itu dinaunginya. Mata rubah yang tenang itu kosong, menatap angkasa. Warna hilang dari tubuhnya. Bahkan sungai merah yang tadi mengalir telah berhenti.

"Buku Teman-mu sudah kudapatkan," katanya pelan. Sebuah buku yang lusuh dilepaskan dari gigitannya, terjatuh tanpa suara.

Tidak ada jawaban.

Ia tetap menunggu keajaiban. Direbahkan dirinya, melingkari anak itu. Mungkin kalau ia menunggu sedikit lebih lama lagi, ia akan bangun. Dan hujan pun jatuh dalam batinnya. Ia memanggil namanya, namun yang menjawab hanya angin dingin. Ia pejamkan mata, berharap bisa tidur setenang dirinya yang telah hilang. Setelah ini, mungkin tidak ada lagi yang menyentuhnya dengan hangat. Tidak ada yang bisa menggantikannya.

Lagi-lagi mereka benar, dan ia salah. Lagipula, hidup manusia hanya kedipan mata baginya.

End.