WHAT BROTHERS ARE FOR


-Naruto belongs to Masashi Kishimoto-


Summary: Hidup bersama Bibi tiri yang memiliki penyakit kejiwaan— seperti Neraka bagi mereka berdua. Dan setelah Neraka itu pergi, mereka masih harus hidup terseok-seok seperti ini. Lagi-lagi, semuanya ditanggung sendirian oleh Itachi. /AU/


Rating: T

Genre: Family/Drama

-Itachi-Sasuke brotherhood, No pairing

-AU, OOC


THREE

The Flashbacks
-

[Sembilan bulan yang lalu...]

Siang itu, koridor sekolah dipenuhi suara ribut para siswa yang sibuk membicarakan rencana-rencana untuk akhir pekan.

"Hei... Kau mau main ke rumahku malam ini? Aku baru beli video game terbaru. Kau juga boleh bawa Sasuke kalau kau mau," kata Kisame sembari menutup pintu lokernya.

Itachi, yang tengah berjongkok di depan lokernya —memasukkan buku-buku ke dalam tas, tidak menjawab.

"Itachi!" Kisame membungkuk untuk melambaikan tangan di depan wajahnya, "Kau dengar nggak, sih?"

"Aku harus kerja, Kisame. Mungkin lain kali." jawab Itachi datar, masih sibuk berkutat dengan tasnya.

"Lagi...? Sudah berminggu-minggu kau bekerja terus! Bahkan kadang-kadang kau juga kerja hari Sabtu dan Minggu," Kisame mengernyit, "Sebenarnya apa yang terjadi saat liburan yang lalu sampai-sampai kau tiba-tiba jadi sibuk begitu, sih? Sebenarnya ada apa? Kenapa kau tidak mau menceritakan masalahmu, hah?" Dipandangnya Itachi dengan ekspresi serius.

Tubuh Itachi menegang sedikit, disusul oleh helaan napas pelan dari bibirnya. 'Soal ini lagi...'

Bulan ini sudah lebih dari enam kali mereka adu mulut soal pekerjaan baru Itachi. Kisame berulang kali menyatakan dengan kesal bahwa sejak Itachi mendapat pekerjaan, sikap Itachi telah berubah menjadi dingin dan wajahnya selalu tampak suram.

Biasanya, setiap kali Kisame mulai mengungkit-ungkit topik itu, Itachi akan mengelak – menutup pembicaraan mereka dengan mengatakan "Omong kosong," dan cepat-cepat pergi menghindari Kisame. Kali ini pun, Itachi sudah bertekad untuk segera menghindar.

"Tidak ada," gumam Itachi, nada bicaranya kaku, "Aku hanya memutuskan untuk bekerja." Ia menutup ritsleting tasnya dan bangkit berdiri.

Kisame menghela napas, ekspresinya bercampur antara kesal dan putus asa, "Kau akan membuat dirimu sendiri sakit." Ia mengernyitkan mata kepada Itachi dan menurunkan volume suaranya –memastikan bahwa hanya Itachi yang mendengarnya, "Kau pikir aku tidak tahu soal penyakit masa kecilmu itu, eh...?"

Tangan Itachi terhenti saat hendak membuka lokernya. Butuh waktu beberapa detik bagi Itachi untuk kemudian menolehkan kepala ke arah Kisame –akhirnya melakukan kontak mata.

"Aku tahu," kata Itachi pelan, sebelum terdiam kembali –ekspresinya sulit ditebak. Kisame melipat tangan didepan dadanya, menunggu Itachi untuk mengatakan sesuatu yang lain.

Namun, sesaat kemudian, Itachi sudah kembali berkonsentrasi ke lokernya.

Kisame berdecak kesal akan kurangnya respons Itachi terhadap kata-katanya. Kesabarannya sudah diambang batas.

"Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Apa Bibimu sudah tak mau mengurusimu lagi?" pertanyaan itu akhirnya terlontar juga dari mulut Kisame, setelah begitu lama dipendam-pendamnya.

'Itachi hanya butuh waktu. Lebih baik bersabar dan menunggunya untuk menceritakan masalahnya.' Kata-kata itu terus diulang-ulang Kisame didalam benaknya setiap kali Itachi menepiskan segala pertanyaannya dengan kata-kata yang dingin dan pergi menjauhinya.

Tapi sekarang, – ini sudah kelewatan. Sudah dua bulan Itachi terus mengacuhkannya seperti itu dan bersikap sangat dingin pada semua orang. Kemana perginya Itachi yang telah dikenalnya sejak sekolah dasar?— Itachi yang penyabar dan murah senyum itu...?

Itachi sedang mengalami masalah yang berat. Kisame tahu itu. Tapi masalah apa...? Kenapa Itachi harus selalu bersikap tertutup begitu? Bukannya teman-temannya berhak tahu agar dapat –kalau bisa— membantunya?

Kisame benar-benar tak mengerti.

Itachi menutup lokernya dengan agak terlalu keras dan mulai berjalan pergi .

"Bukan urusanmu."

Rahang Kisame menegang mendengar nada dingin itu. –Nada dingin mengesalkan yang melapisi segala perkataan yang keluar dari mulut Itachi selama dua bulan ini.

Entah kenapa, mendengar kata-kata itu dari Itachi terasa menyakitkan sekali.

Menggeretakkan gigi, Kisame berjalan menyusul Itachi dengan langkah-langkah panjang.

"Itachi!" Kisame merenggut bahu Itachi supaya pemuda berambut hitam itu berbalik menghadapnya. "Sebenarnya apa yang salah denganmu?" serunya marah, mengguncang bahu Itachi sedikit.

Kedua mata onyx Itachi menatapnya dengan dingin, lagi-lagi tanpa ekspresi.

Ia menatap Kisame selama beberapa saat sebelum menjawab, "Tidak ada yang salah denganku."

"Tentu saja ada!" Kisame setengah membentaknya. "Ini...—" ditunjuknya wajah Itachi yang masih tampak pasif, "...bukan kau! Apa yang salah sehingga kau jadi berubah begini, hah...?"

Itachi menghela napas dan menyingkirkan lengan Kisame dari bahunya. "Tidak ada. Aku hanya tak bisa pergi ke rumahmu karena aku harus bekerja, OK? Sekarang bisakah kau tinggalkan aku sendiri?"

Deg.

Kisame terpana. Ia hanya diam di tempatnya saat Itachi kemudian berpaling membelakanginya dan mulai berjalan pergi.

Tangan Kisame terkulai ke sisi tubuhnya, matanya menatap punggung Itachi dengan sorot dingin.

'...Bukan urusanmu.'

Kisame mengepalkan tangannya.

'...Sekarang bisakah kau tinggalkan aku sendiri?'

...Jadi Itachi tak ingin ia ikut campur.

Sudah bertahun-tahun ia bersahabat dengan Itachi, dan mereka berdua sudah benar-benar seperti saudara.

Apa yang menjadi urusan Itachi tentu adalah urusannya juga. Dan demikian pula sebaliknya.

Namun, kalau Itachi tak menginginkannya untuk ikut campur, baiklah. Dia akan mundur.

Kalau Itachi tak mau lagi berteman dengannya... –

...maka ia tak akan memaksa.

Menghela napas, Kisame menyusuri koridor untuk berjalan pulang sendirian.


"Kau pasti bisa, Sasuke!" Seorang anak laki-laki berambut pirang berteriak dari ujung lapangan sepak bola.

Di ujung lapangan yang lainnya, Sasuke sedang menggiring bola ke wilayah gawang lawan. Berkelit dari seorang anggota tim musuh, ia menendang bola dengan sekuat tenaga ke kiri gawang. Bola melesat melewati dua orang pemain belakang dan luput dari tangkapan kiper musuh, menubruk jaring gawang dengan mulus.

"Yeah!" semua anggota tim Sasuke bersorak gembira. Sesaat kemudian, suara nyaring peluit terdengar dari tengah lapangan, – gol yang dicetak Sasuke tadi sekaligus menandai berakhirnya uji coba masuk tim sepak bola hari itu. Sekarang hanya tinggal menunggu hasil uji cobanya diumumkan.

Sasuke bertumpu pada lututnya dengan masih terengah-engah, wajahnya berseri-seri.

"Hebat, Sasuke!" seru salah seorang teman se-timnya —yang tadi berteriak mendukungnya dari seberang lapangan— sambil berlari-lari kecil ke arahnya.

"Terima kasih, Naruto!" kata Sasuke ceria, tersenyum lebar kepada teman baiknya itu. Naruto meletakkan tangan di bahu Sasuke dan memamerkan cengiran khasnya.

"Aku berani bertaruh kau pasti akan dimasukkan ke dalam tim sepak bola sekolah! Permainanmu hebat banget...!" pujinya.

"Permainanmu juga bagus, kok. Pasti kau juga akan dimasukkan ke tim sekolah," kata Sasuke, sebelum kemudian melihat ke bawah untuk mengamati seragam sepak bolanya. "Wah... Bajunya jadi basah kuyub begini gara-gara keringat..."

"Bajumu besar sekali, sih... Itu punya kakakmu, ya?" celetuk Naruto, mengamati kaus dan celana sepak bola Sasuke yang dua ukuran lebih besar daripada yang seharusnya.

"Ya," Sasuke mengambil botol minumannya dan menegak sisa air didalamnya, "Ini seragam kakakku waktu masih menjadi anggota tim sepak bola sekolah."

"Oh..."

"Uji cobanya lama juga, ya... Selesainya jauh lebih lama dari waktu latihan biasa," kata Sasuke, memandang ke langit yang sudah mulai menunjukkan semburat jingga.

"Hmm... Iya. Sebaiknya aku cepat-cepat pulang setelah pengumumannya. Bisa-bisa ayahku cemas," gumam Naruto. Sasuke hanya mengangguk.

Peluit dibunyikan dari tengah lapangan, dan salah seorang penguji yang membawa clipboard berseru meminta semua anak untuk berkumpul.

"Yuk, kita dengar pengumumannya!" ajak Naruto, menarik pergelangan tangan Sasuke.

"Ya..."

Mereka berdua pun berlari menyusul anak-anak yang telah berkumpul di tengah lapangan.


"Dimana Sasuke? Kok tumben dia nggak datang ke sini?" tanya Hana sementara ia mengecek persediaan saus tomat dan mustard di container dapur.

"Dia ikut ekskul sepak bola sejak dua minggu yang lalu," ujar Itachi. Ia menghela napas mengingat biaya yang telah dikeluarkannya untuk membayar sepatu olahraga Sasuke dan biaya pendaftaran. Jumlah gaji dan tips yang diperolehnya setiap hari memang lumayan –cukup untuk makan sehari-hari dan membayar tagihan air bersih—, tetapi masih belum cukup untuk melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan bibi tirinya. Ditambah lagi dompetnya semakin menipis karena membeli sepatu olahraga itu...

Hana menutup container berisi saus itu dan berpaling menghadap Itachi. "Ekskul sepak bola?" ia mengernyitkan dahi, "Bagaimana dengan biaya masuknya?"

"Lumayan banyak juga..." gumam Itachi sambil menyandarkan diri di counter, tangannya memijat dahinya dengan letih.

"Lalu bagaimana dengan hutangnya?" tanya Hana pelan, berjalan mendekat untuk ikut bersandar pada counter dapur. Itachi tak menjawab pertanyaannya.

"Ah! Aku tahu!" Hana menjentikkan jarinya, tersenyum ceria. "Mulai sekarang, biar aku saja yang membayarkan biaya makan siang dan makan malam kalian disini! Dengan begitu, kau akan bisa menghemat cukup banyak uang!" tawarnya.

Itachi memandang Hana sejenak, tampak agak terkejut. "Tapi aku tidak akan sanggup untuk menggantikan uangmu, Hana..."

"Kau tidak perlu menggantinya!" kata Hana cepat-cepat. "Aku tidak keberatan, kok. Sama sekali tidak! Aku hanya ingin menolong kalian, Itachi..."

"Bukankah kau bilang kau sedang menabung untuk masuk universitas nanti?" kata Itachi, mengernyitkan dahi "Kau tidak usah—"

"Itu bukan masalah!" potong Hana cepat-cepat. "Sebenarnya Ibuku sanggup membayarkan biaya masuk universitasku nanti, kok. Hanya saja—kalau bisa— aku tidak ingin terlalu merepotkan ibuku... Jadi aku memutuskan untuk bekerja disini dan ikut mengumpulkan uang agar dapat membantu semampuku. Sekalian menambah pengalaman kerja..." jelasnya.

"Terimakasih, Hana..." Itachi tersenyum singkat dan menegakkan diri dari meja counter, berjalan menjauh, "Kau baik sekali. Tapi aku benar-benar tak ingin merepotkanmu, —apalagi Ibumu..."

"Tunggu! Itachi—" Hana buru-buru menegakkan diri dengan ekspresi serius, sementara Itachi dengan cepat menyambar tumpukan tissue dari laci dan memakai celemeknya. "—Itachi! Kan aku sudah bilang kalau—,"

Belum sempat Hana menyelesaikan kalimatnya, Itachi sudah membuka pintu menuju ruang café.

"Aku pergi duluan, Hana."

"—Itachi! Tung—"

Pintu sudah kembali menutup, dengan Itachi menghilang dibaliknya.

Hana mendengus pelan dan bersandar kembali ke counter.

"Cepat sekali ia kabur." gumamnya pada diri sendiri. Disisirnya rambut coklatnya yang panjang dengan jari-jarinya, mengerutkan dahi.

'Mengapa Itachi selalu bersifat begitu, sih?' pikirnya, berdecak kesal. 'Di saat-saat berat seperti ini, dia justru menolak semua pertolongan dari orang lain. Terlalu ... independent.'

Hana benar-benar tak habis pikir.

Itachi sudah tahu soal perceraian orangtua Hana—Hana tahu itu. Sekarang Ibu Hana berperan sebagai single parent bagi Hana dan adik laki-lakinya yang masih kecil, Kiba. Sepertinya Itachi menolak bantuan dari Hana karena tak ingin menyusahkan ibunya, meskipun Hana sudah meyakinkannya bahwa ibunya tak akan keberatan.

Tapi bukan Inuzuka Hana namanya kalau menyerah begitu saja.

Kali ini ia pasti akan membantu Itachi. Pasti.


Itachi berjalan dari meja ke meja untuk memenuhi dispenser tissue yang kosong. Dari sudut matanya, ia dapat melihat Kisame duduk di salah satu meja didekat pintu keluar. Itachi dalam hati bersyukur bahwa dispenser-dispenser tissue di area tempat Kisame duduk masih penuh.

Bisnis café masih stabil, tapi hari ini tidak terlalu banyak pelanggan yang datang. Bahkan Sasori, Deidara, Pein, dan Konan juga tidak ada. Entah kenapa, selama dua minggu ini, mereka mampir ke café itu hampir setiap hari –entah bersama-sama atau secara terpisah. Sepertinya mereka semua sedang di rumah mereka masing-masing , belajar untuk ujian matematika besok.

Berpaling kearah meja kasir, Itachi tidak memperhatikan ketika pintu depan café terbuka dengan tiba-tiba, diiringi kedatangan Sasuke yang berlari masuk dengan wajah berseri-seri.

"Itachi-nii!" panggilnya, agak terengah-engah, mata onyx-nya yang besar mencari-cari sosok kakaknya diantara orang-orang dan para waiter yang berlalu-lalang. Sasuke tidak menghiraukan pandangan para pengunjung café yang otomatis tertuju kepadanya –tidak, ia sedang terlalu bersemangat untuk memperhatikan hal-hal sepele begitu. Karena ia punya berita bagus untuk kakaknya!

Sayangnya, sepertinya Itachi tidak mendengarnya, dan ia juga tidak menemukan Itachi –jadi Sasuke memutuskan untuk menceritakannya pada orang lain saja.

"Kisame! Kisame! KISAME!" ia berlari dengan antusias menuju meja tempat Kisame sedang meminum teh.

"Ah! Ada apa, Sasuke-chan?" tanya Kisame, menurunkan cangkir the yang dipegangnya dan memamerkan cengiran khasnya.

"Aku berhasil masuk tim sepakbola sekolah! Tim Taka! Seperti tim sepakbolamu dan kakak dulu!" Sasuke setengah melompat-lompat saking senangnya. Kisame hanya tertawa melihat sikap Sasuke.

"Oh! Kerja bagus, Sasuke-chan!" Kisame menepuk-nepuk kepala Sasuke, membuat anak itu tersenyum makin lebar.

"Sasuke?"

Kisame dan Sasuke langsung menoleh berbarengan, hanya untuk melihat Itachi berjalan menghampiri mereka dengan membawa semprotan pembersih kaca. Sasuke langsung melesat dari sisi Kisame dan berlari menubruk kakaknya—memeluk pinggang Itachi (karena hanya itu yang dapat diraihnya) erat-erat.

"Itachii-niiii~ Aku berhasil masuk tim sepakbola sekolah! Tim Taka!" seru Sasuke, cukup keras untuk membuat separuh pengunjung café menoleh kearah mereka dengan penasaran. Wajah Itachi seketika berubah cerah.

"A-ah... Hebat sekali, Sasuke!" kata Itachi gembira sambil balas memeluk Sasuke. Mangacak rambut adiknya sedikit, ia berjongkok untuk menyamai tingginya dengan Sasuke dan tersenyum. "Nah, sekarang bagaimana kalau kau kerjakan PR-mu dulu? Aku ingin dengar rincian ceritanya waktu istirahat makan malam nanti."

Sasuke mengangguk antusias dan segera pergi ke ruang staff.

Segera setelah Sasuke menghilang dibalik pintu ruang staff, Itachi bangkit berdiri, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Kisame sementara ia berpaling untuk pergi.

"Itachi..." panggil Kisame, terdengar agak ragu-ragu.

Itachi menghela napas pasrah. Kali ini ia tidak bisa menghindar. Tidak mungkin seorang waiter mengacuhkan pelanggan, kan?

"Ya? Apa ada pesanan lain?" tanya Itachi sambil mengeluarkan pena dan buku notes dari sakunya, memaksakan diri untuk tersenyum.

"Bu-bukan itu... Aku hanya—" Kisame tampak sedang berpikir keras untuk menyusun kata-katanya, namun kemudian menghela napas dan menyerah, "Umm... Tidak jadi. Aku ingin minta tambahan gula saja." katanya, mengalihkan pandangan dari Itachi.

"Baik." kata Itachi kalem, sebelum ia menyimpan kembali alat tulisnya dan berjalan untuk mengambil kemasan gula dari ruang penyimpanan.


Sasuke berguling di kasurnya untuk berbaring menghadap ke dinding, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Ia sangat gembira bisa masuk ke tim sepakbola sekolah hari itu, tapi ketika tes uji coba telah usai, ia mengingat bagaimana sebagaian besar temannya dijemput oleh orang tua atau saudara mereka masing-masing.

Sasuke hanya dapat melihat, sementara sebagian orangtua memeluk dan memuji anaknya yang berhasil masuk tim, dan sebagian lagi menghibur anaknya yang tidak berhasil lulus tes.

Hanya dia yang berjalan sendirian melewati pagar sekolah, pulang menuju café tempat kakaknya bekerja.

Melihat teman-temannya yang mempunyai keluarga yang utuh, Sasuke selalu berpikir—

...Bagaimana rasanya jika Ayah dan Ibunya masih ada saat ini?

Sasuke membuka matanya.

Ah, sudah begitu lama sejak mereka pergi. Ia sudah tak dapat mengingat dengan jelas wajah kedua orangtuanya.

Wajah Sasuke berubah muram.

...Menyedihkan.

Ia bahkan tak ingat wajah orangtuanya sendiri.

Tapi tentunya mereka mencintainya, kan...? Tidak seperti Bibi Yui, yang selalu memandangnya dan Itachi-nii dengan tatapan benci dan jijik.

Sepeninggal orangtuanya, Sasuke kemudian menganggap Bibi Yui sebagai pengganti ibunya, karena ialah satu-satunya figur dewasa yang menjaga mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, Sasuke mulai menyadari bahwa Bibi Yui membenci mereka.

Bibi Yui mau menjadi bibi angkat mereka hanya karena ia memiliki hutang kepada Ibu Sasuke dan Itachi, Uchiha Mikoto. Ia terpaksa memungut mereka berdua dan membiayai kehidupan mereka.

Baginya, mereka berdua hanya parasit yang mengganggu. Hanya menghabiskan waktu, tenaga dan uang saja.

Ah... Bahkan mungkin sudah ratusan kali mereka menjadi sasaran amarah Bibi Yui.

Sasuke kembali mengingat malam-malam dimana ia duduk menangis dibalik pintu kamarnya, sementara terdengar suara lecutan dan bentakan dari ruang tamu ketika Bibi Yui memukuli Itachi yang tak bersalah apa-apa.

Saat Itachi kembali, dengan lebam-lebam berwarna merah mewarnai pipi dan tangannya yang pucat—bahkan kadang-kadang mengeluarkan darah— , Sasuke akan menghambur memeluknya, sedangkan Itachi hanya tersenyum menenangkan dan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.

Tidak jarang juga Itachi menerima cakaran atau sabetan dengan ikat pinggang. Bahkan –dua kali – siraman dengan air panas. Semua diterimanya agar Sasuke tidak ikut menjadi sasaran amukan Bibi Yui yang meledak-ledak tak terkontrol.

Rasanya begitu mengerikan. Hidup bersama Bibi tiri yang memiliki penyakit kejiwaan, —tak dapat mengontrol diri saat emosinya sedang tinggi.

Seperti Neraka bagi mereka berdua.

Dan sekarang, setelah neraka itu pergi, mereka masih harus hidup dengan terseok-seok seperti ini; dengan begitu banyak hutang yang membebani.

Dan lagi-lagi, semuanya ditanggung sendirian oleh Itachi.

Sasuke kembali berguling di kasurnya, kali ini membelakangi dinding. Ia memandang ke lantai di sebelah tempat tidur, tempat kakaknya sedang duduk bersila, membaca buku pelajarannya dengan wajah mengantuk.

Itachi.

Sasuke tersenyum.

Hampir setiap hari di sekolahnya, Sasuke mendengar anak-anak (baik kecil maupun remaja) mengeluh tentang keluarga dan kehidupan mereka. Mereka marah-marah karena tak dibelikan ini dan itu... Kesal karena orangtua yang over-protective... Merengek karena PR yang terlalu banyak... Sebal dengan kakak atau adiknya... dan begitu banyak hal sepele lainnya.

Jika ada orang yang pantas untuk mengeluh atas kehidupan mereka, Itachi dan Sasuke adalah salah satu diantara mereka.

Namun Itachi tidak pernah melakukannya, dan Sasuke juga tidak.

Lagipula, apa gunanya mengeluh?

Mata Sasuke perlahan menutup.

...Sebab selama Itachi ada disisinya, semua sudah cukup.


Sasuke menguap untuk yang kesekian kalinya pagi itu.

Ia menyandarkan dagunya di bahu Itachi sementara kakaknya itu menggendongnya di punggung, tas sekolah Sasuke dikalungkan di lehernya.

"Itachi-nii...?"

"Hm?"

"Aku ngantuk sekali hari ini," kata Sasuke, mengucek matanya agar tetap terbuka.

"Kau kelelahan karena latihan uji coba kemarin," ujar Itachi, menolehkan kepalanya sedikit untuk memandang Sasuke. "Dan kau kurang tidur." tambahnya.

Sasuke mengernyitkan dahi. "Aku tidak kurang tidur!" katanya, " Justru kakak yang tidak tidur, kan, semalam..."

Itachi hanya tersenyum kecil, tak dapat membantahnya.

Sisa perjalanan mereka dilalui dalam diam.

"Sasuke..."

"..."

"Sasuke?"

"..."

"Kita sudah sampai, Sasuke."

"...Hng...?"

Sasuke perlahan membuka matanya. Mereka memang sudah hampir mencapai gerbang elementary school. Rupanya tadi ia tertidur lagi di perjalanan.

Itachi kemudian berhenti dan berjongkok, mengizinkan Sasuke turun dari punggungnya dan menyerahkan tas sekolah Sasuke.

"Bye, Kak!" seru Sasuke, melambaikan tangan dan berlari memasuki gerbang sekolah—kemudian berhenti untuk menemui Naruto dan Sakura yang juga sedang berjalan melintasi halaman menuju lobby depan.

Itachi menegakkan diri dan menghela napas lega setelah tidak ada lagi beban di punggungnya. Ia kembali berjalan menuju daerah high school, dan baru saja ia mencapai gerbang, terdengar suara tawa mengejek dari belakangnya.

Itachi menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati seseorang menyelengkat kakinya dan menyikutnya hingga jatuh terjerembab ke atas permukaan trotoar yang kasar dan berdebu.

"U-ugh..." Itachi mengerang pelan dan sekilas melihat Sakon berdiri beberapa meter didepannya, menyeringai kearahnya.

"Perhatikan langkahmu, Uchiha." katanya, sebelum tertawa dan berpaling untuk lanjut berjalan.

Sementara Itachi mencoba untuk bangkit, debu kering dari trotoar terhirup olehnya, membuat paru-parunya serasa tertusuk. Dadanya terasa nyeri sekali, dan ia mulai terbatuk-batuk keras.

Sakon baru berjalan beberapa langkah ketika tawanya mereda, mendengar Itachi tak juga berhenti terbatuk-batuk. Ia menoleh, dan mendapati Itachi masih membungkuk di tanah, tubuhnya berguncang hebat setiap kali ia terbatuk ke dalam tangannya.

Sekarang Sakon mulai merasa khawatir. Ia perlahan berjalan menuju Itachi, takut jika perbuatannya tadi benar-benar berdampak serius.

"—Kau tak apa-apa...?" tanya Sakon pelan, agak ngeri ketika Itachi masih belum berhenti batuk juga. Beberapa anak yang lewat di dekat situ berhenti untuk melihat atau menunjuk-nunjuk ke arah Itachi.

"A—UHUKK—a-air..." Itachi meraih-raih ke dalam tasnya dengan tangan agak gemetar dan menarik keluar sebuah botol minuman. Ia buru-buru membuka tutupnya dan meneguknya isinya banyak-banyak, beberapa tetes tumpah ke atas jalanan.

Ia perlahan berlutut sementara ia menutup kembali botolnya dan mengembalikannya ke dalam tasnya. Batuknya akhirnya terhenti setelah meminum lebih dari setengah botol air. Dengan kaki yang agak gemetar, ia perlahan berdiri.

Sakon masih terpaku di tempat, bingung harus melakukan apa, ketika Itachi kemudian berjalan melewatinya –terhuyung sedikit.

Beberapa orang yang tadi berhenti untuk menonton sudah kembali pada urusannya masing-masing, melihat Itachi ternyata tidak apa-apa.

"Hoi, Sakon!"

Sakon mengangkat kepalanya utuk melihat temannya yang berambut merah jambu, Tayuya, berlari menghampirinya.

"Sebenarnya apa yang terjadi tadi?" tanya gadis itu penasaran, tampaknya juga menyaksikan insiden dengan Itachi tadi dari jauh.

"Entahlah," Sakon mengernyitkan dahi, "Aku sendiri juga tidak tahu."


"Kalian semua sudah mengerjakan laporanBiologi kalian?" tanya seorang wanita bermata merah dengan rambut hitam panjang, – guru Biologi. Para siswa mengangguk bersamaan. "Bagus. Sekarang kumpulkan. Oper tugas kalian ke meja paling depan."

Terdengar suara gemerisik kertas-kertas laporan yang diberikan secara estafet ke meja di deretan terdepan. Kurenai bangkit dari meja guru, sepatu hak tingginya menimbulkan suara 'klik' pelan setiap kali beradu dengan lantai keramik sementara ia mengumpulkan hasil kerja para siswa.

Dari sudut matanya ia melihat Itachi menumpukan kepala pada lengannya yang terlipat di meja. Matanya tampak sayu, seolah sudah akan jatuh tertidur lagi. Kurenai berjalan ke meja Itachi dan menjentikkan jari di dekat telinganya, membuat Itachi langsung menegakkan diri di kursinya.

"Kau harus tetap bangun, kau akan menyimak pelajaran, dan kau tidak akan tidur lagi di kelasku —Atau aku akan menghantui mimpimu." kata Kurenai kalem. Beberapa murid yang lain terkikik geli.

Hal yang aneh tentang guru ini adalah, jika dia bilang akan menghantui mimpimu saat kau tertidur di kelasnya, —dia benar-benar akan menghantui mimpimu. Sebagian besar murid senior mengatakan bahwa Kurenai-sensei punya kemampuan bermain-main dengan pikiran orang atau semacamnya.

"Y-ya, Sensei. Maafkan saya," kata Itachi cepat-cepat, membungkuk sedikit. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin didetensi oleh salah satu guru paling menakutkan di sekolah.

Mereka kemudian diberi tugas berpasangan (dikerjakan berdua) yang mengharuskan mereka membuat essay sebanyak 4 halaman.

Itachi menghela napas. Biasanya tak ada yang mau berpasangan dengannya –mungkin gara-gara rumor buruk yang beredar tentangnya—, sehingga ia tak mau repot-repot mencari partner. Toh akhirnya ia akan mengerjakannya sendirian juga.

Itachi segera mengeluarkan empat lembar kertas kosong dari tasnya dan mulai mengerjakan tugasnya sendirian, sementara kelas masih hiruk pikuk oleh siswa-siswi yang berlalu lalang mencari pasangan masing-masing. Ia tak menyadari kedatangan seseorang dari belakangnya.

"Hei."

Merasa bukan dia yang tengah dipanggil, Itachi tak menggubrisnya. Berbulan-bulan tidak berbicara dengan teman-teman sekelasnya membuatnya tak acuh pada keadaan disekitarnya. Karena itu, dia agak terkejut juga ketika suara itu kembali memanggilnya, —dan kali ini menyebut namanya.

"Uchi—umm, Itachi..."

Itachi akhirnya meletakkan pulpennya dan menoleh ke arah sumber suara. Dan ia –hampir— mengangkat alis.

"Sasori?" ujarnya kalem, duduk agak menyamping di kursinya untuk menatap Sasori dengan penasaran.

Tidak biasanya...

Sasori sama sekali bukan tipe orang yang suka menghampiri orang lain ataupun mengajak bicara duluan. –Bahkan ia biasanya tidak bicara sama sekali (kecuali benar-benar ada kepentingan khusus).

Yah... Bisa dibilang ini kejadian langka.

Pemuda berambut merah menyala itu menyisir sekilas rambutnya dengan jari-jari rampingnya yang pucat, tampaknya agak salah tingkah.

"Uch—Itachi..." Sasori lagi-lagi memperbaiki kata-katanya, "Kau sudah ada teman sekelompok...?" tanyanya, tampaknya berusaha cukup keras untuk tampil cuek dan tenang seperti biasa.

' Jadi sekarang kembali jadi "Itachi", ya...?' sudut bibir Itachi sejenak membentuk senyum tipis, yang untungnya luput dari perhatian Sasori.

"Tidak. Aku tidak—" Itachi kemudian menutup mulutnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan kalimatnya. "Umm... Kau sendiri?" ia balik bertanya sebagai gantinya.

Sasori mengangkat bahu sekilas. "Aku juga tidak ada teman."

... Bohong.

Itachi dapat melihat Deidara dari sudut matanya, sedang berjalan menyusuri meja-meja dua deret dari situ. Konan, Pein, dan Kisame juga saat itu ada di kelas mereka. 'Apanya yang tidak ada teman?'

Melihat Itachi tak juga bereaksi, Sasori berdehem pelan dan menggaruk belakang kepalanya sedikit. Ia tampaknya merasa agak gugup melihat kurangnya respon dari Itachi.

"Kau mau satu kelompok denganku?" tawar Sasori.

Kali ini Itachi benar-benar mengangkat alis.

Melihat reaksi Itachi, Sasori menghela napas pelan, sekelebat kekecewaan tersirat di matanya.

"Kalau kau tak mau, ya su—"

"A-ah... Bukan begitu!" kata Itachi cepat-cepat, menghentikan Sasori yang sudah hendak berjalan kembali ke tempat duduknya. Sasori memandang Itachi dengan bingung.

"Aku tidak keberatan," kata Itachi pelan. Ekspresi wajah Sasori melunak, tampaknya lega.

"...tapi bagaimana dengan Deidara?" lanjut Itachi.

"Deidara bisa bersama Kisame," kata Sasori tenang. "Tidak apa-apa, kan, kalau sesekali aku sekelompok dengan orang lain...?"

Dan kemudian, —yang membuat Itachi terpana— Sasori menyunggingkan senyuman kecilnya yang langka.

Entah sudah berapa lama ia tidak melihat senyum itu.

Itachi merasakan sudut bibirnya sendiri tertarik membentuk sebuah senyuman.


"Kisame..."

"Hhm?"

"Suatu hari nanti, kalau kau jadi orang kaya, dan aku jadi miskin, maukah kau memberikanku pekerjaan?" tanya Itachi, saat itu berusia 10 tahun, dengan memangku adiknya yang berusia 4 tahun.

"Lho? Kenapa kau berpikir kau akan jadi orang miskin?" Kisame menatapnya dengan alis terangkat, " Siapa tahu nantinya kau akan jadi orang sukses. Kau, kan, Uchiha!"

Itachi tersenyum kecut. "Bukan lagi." Ia mengelus-elus rambut Sasuke yang masih tertidur. "Orangtuaku sudah tidak ada. Aku hanya dirawat oleh Bibi Yui sekarang. Kami juga hidup serba terbatas..." Sepasang mata onyx-nya menatap Kisame "Sedangkan kau... –Hoshigaki corp. yang dikelola ayahmu sekarang sukses besar, kan? Suatu hari pasti akan diwariskan kepadamu. Kau kan anak tunggal,"

"Belum tentu, kok." gumam Kisame, "Aku tidak terlalu dekat dengan ayahku. Lagipula, aku tidak ingin bekerja di bidang bisnis kalau aku dewasa nanti..."

Itachi tertawa kecil, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat perjanjian? Kalau nanti kau menjadi kaya, kau berikan aku pekerjaan, sedangkan jika nanti aku jadi orang kaya, aku akan memberikanmu pekerjaan." sarannya.

"Hehe... Bagus juga idemu, Itachi!" kata Kisame.

Itachi tersenyum lebar. "Janji?"

Kisame mengangguk yakin, "Janji."


Kisame menghela napas ketika ia mengingat janji yang dibuatnya bersama Itachi ketika mereka masih di sekolah dasar.

Ia sekarang tengah duduk di salah satu cabang besar dari pohon tua favoritnya di halaman sekolah, sambil meminum soda kalengan.

Sudah seminggu sejak ayahnya sendiri memecatnya dari pekerjaan paruh-waktunya di Hoshigaki corp.

Ayahnya sendiri yang menyuruhnya untuk belajar bekerja mulai dari sekarang, berhubung usianya sudah 16 tahun. Dan kebetulan ada lowongan kerja di perusahaannya. Baru dua minggu bekerja di sana, ayahnya sendiri langsung 'menendang'nya keluar gara-gara Kisame dianggap tak becus dalam menjalankan bisnis.

Sebenarnya Kisame tak begitu peduli, sih. Toh ia memang sama sekali tak tertarik untuk menjadi bussiness man.

Masalahnya, Ayahnya memaksanya untuk mencari pekerjaan di tempat lain, dan bahkan tak mau lagi memberikan uang saku bagi Kisame.

Ia harus bekerja untuk mendapat uang dan membayar segala kebutuhannya sendiri. Termasuk bensin untuk mobilnya.

Sudah beberapa hari Kisame harus jauh-jauh berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah karena bensin di mobilnya sudah habis (dan ia sudah tak punya uang untuk membelinya).

Apa dia lebih baik meminta tolong pada Itachi untuk mencarikannya lowongan pekerjaan...?

Kisame mengernyitkan dahi, wajahnya berubah muram.

Apakah Itachi masih mau menolongnya?

Setelah ia merusak pertemanan mereka, dan berbuat begitu jahat pada Itachi hanya karena salah paham...?

Setiap kali mengingat kejadian itu, Kisame rasanya begitu membenci dirinya sendiri. Karena kejadian itulah, Itachi bahkan tak pernah mau memandangnya lagi sekarang...

Permohonan maaf yang setulus apa pun tidak akan bisa memperbaiki apa-apa.

Kisame memejamkan mata.

Andai saja waktu itu ia tidak bertindak sembarangan mengikuti ledakan emosinya...

Andai semua dapat dimulai lagi dari awal...


[Tiga tahun yang lalu...]

"Ah... Aku benci makanan sekolah..." gumam Itachi, memandang lasagna dingin di lunch tray-nya dengan tatapan tak berselera.

"Hee... Tumben. Biasanya kau tidak pernah mengeluh soal apapun," kata Kisame sambil nyengir, meskipun ia sendiri mual melihat menu makan siang hari itu. Itachi tersenyum.

"Sebenarnya aku agak perfeksionis soal makanan. Dulu masakan Ibuku enak sekali, sih..." katanya.

"Haduh... Kasihan sekali kau... Di hari ulang tahunmu begini malah harus makan makanan cafetaria yang menjijikkan..." Kisame menepuk-nepuk bahu Itachi, "Jangan khawatir... Nanti kau ke rumahku saja. Ibuku pasti sudah membuatkan cake ulang tahun untukmu. Kan sudah berkali-kali kita merayakan ulang tahunmu di rumahku,"

"Wah... Terima kasih banyak, Kisame!" kata Itachi, wajahnya langsung cerah, "Keluargamu memang baik sekali!" pujinya. Kisame bergumam, "Kecuali Ayah..."

Itachi tertawa kecil.

"Rasanya kau jadi lebih sering tinggal di rumahku daripada di tempat Yui-san, ya..." kata Kisame, sementara mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan berjalan berdua untuk meninggalkan kantin. Itachi hanya tersenyum.

"Iya juga, ya..."

Tiba-tiba saja –sesaat setelah mereka mencapai pintu kantin—, seseorang sudah mendorong sebuah lunchtray penuh berbagai makanan tepat ke wajah dan dada Itachi, membuatnya jatuh terjungkal ke lantai dibelakangnya dengan suara berkelontangan –berbagai makanan mengotori wajah dan pakaiannya.

Tawa meledak di dalam cafetaria sementara Itachi masih terduduk di lantai dengan tray meluncur ke pangkuannya, –berlumuran pasta, tomat, dan beberapa jenis saus yang sudah tak dapat dikenali.

Itachi tak mengatakan apa-apa, hanya mengelap saus yang berceceran di wajahnya.

"Hey!" bentak Kisame, mencengkeram kerah baju si pembuat ulah, "Apa maumu, hah!"

"Heh. Hanya bersenang-senang sedikit, Hoshigaki." kata Sakon, menyeringai. Kisame mengepalkan tinju dengan tangannya yang bebas dan menghantamkannya kuat-kuat ke perut Sakon. Sakon berteriak kesakitan, memegangi perutnya ketika Kisame menjatuhkannya ke lantai.

"Kalau begitu bersenang-senanglah di tempat lain, dasar sial," geram Kisame, membuat Sakon cepat-cepat berlari meninggalkan cafetaria.

Sementara itu, Itachi masih terduduk di lantai, sebisa mungkin mencoba untuk menyingkirkan makanan-makanan yang menempel di baju dan rambutnya. Anak-anak lain di dalam cafetaria masih juga mentertawakannya.

Kisame mendelik ke arah mereka. "Apa yang kalian tertawakan, HAH!" bentaknya, membuat orang-orang seketika terdiam. Kisame mengambil setumpuk kain serbet dari meja terdekat, dan berjongkok di sebelah Itachi. "Kau tak apa-apa?"

"Ya... Aku baik-baik saja." kata Itachi pelan, mengambil salah satu kain serbet itu dan memakainya untuk menyingkirkan sisa pasta dari rambutnya

"Ayo." Kisame mengulurkan tangannya untuk membantu Itachi berdiri dan membawanya ke wastafel di kamar kecil terdekat. "Aku punya T-shirt cadangan di lokerku. Kau boleh meminjamnya," kata Kisame lagi.

"Terimakasih," kata Itachi setelah ia selesai membilas wajahnya dari sisa saus yang menempel, tersenyum sekilas kepada Kisame. "Memangnya aku salah apa, sih, pada anak itu sampai-sampai aku dikerjai seperti ini?" tanyanya pelan.

"Paling juga tidak ada. Dia cuma anak usil yang brengsek." gumam Kisame, "Kau tunggu disini, ya. Aku akan ambilkan T-shirtnya."

"...ya. Terimakasih banyak, Kisame."


[Delapan bulan yang lalu...]

Itachi menghela napas letih. Ia berjalan menyusuri kantin sendirian, dengan lunch tray yang entah-berisi-apa, mencari-cari meja yang masih belum ditempati di dalam cafetaria high school.

Sekarang hari ulang tahunnya yang ke-15, dan ia akan merayakannya dengan memulai pekerjaan barunya di sebuah café. Ia berjalan dengan agak terhuyung, hari itu kepalanya terasa pusing sekali.

Dia hampir tiba ke mejanya ketika seseorang menghantamkan tray makanan yang sedang dibawanya tepat ke wajahnya, membuatnya jatuh terduduk di lantai cafetaria yang licin.

Tray dan mangkuk seng diatasnya jatuh berkelontangan ke lantai, diiringi suara tawa para siswa yang membahana di dalam ruang cafetaria. Itachi mendongakkan wajahnya yang masih separuh berlumuran makanan, tertegun ketika melihat Kisame berdiri tak lebih dari dua meter di depannya, menyeringai lebar.

"Selamat ulang tahun."

Itachi tak mempercayai pengelihatannya.

Kisame berpaling, dan berjalan pergi. Meninggalkan Itachi yang masih terduduk di lantai—disakiti dan dipermalukan.

Itachi bangkit dari lantai, meninggalkan tray makanannya tergeletak begitu saja. Secepat mungkin ia pergi meninggalkan cafetaria.

Cairan yang panas terbendung di sudut bawah matanya, membuat pandangannya menjadi kabur.

Memasuki toilet terdekat, ia membanting pintu menutup dan berdiri di depan salah satu wastafel.

"Memangnya apa salahku...?" bisiknya. Dua butir air mata jatuh ke dalam wastafel.

"Apa yang pernah kulakukan padamu?"


TBC..


A/N: Hosh... Hosh... *sekarat *

Minna-san! Akhirnya saya kembali setelah hiatus sepanjang liburan... =.="

Maaf kalau ada typo dan kesalahan-kesalahan lainnya... Chapter ini saya paksain bikin dalam 1 HARI karena udah terlalu lama nggak update. Maap juga kalau ceritanya rada-rada pointless... Nggak ada ide, nih...

Makasih buat semua review-nya! You guys ROCK! :D

Bahkan review-review yang cuma bertuliskan "Update!" saja juga sudah memberi saya semangat! Apalagi kalau ditambah feedback, kritik yang membangun, dan lain-lain... ;D

Chapter ini didedikasikan untuk semua yang sudah me-review chapter sebelumnya. Terutama Kakak saya: lightAGITO.

Dan yang terakhir, saya juga berterima kasih pada SETIAP orang yang sudah mau mampir untuk membaca fic ini.

Sign

~Black'MirR0r