Night Melody

Opus 01: Boy Meets Girl

Disclaimer:

Tsubasa Reservoir Chronicle © CLAMP


Pada malam berbintang yang indah, seorang pemuda yang tersesat, ditemukan oleh seorang gadis yang melantunkan melodi indah.

Dituntun lirik lagu yang menenangkan dan suara lembut bagai malaikat, dibawah sinar bulan dan kelap-kelip bintang, kedua orang yang sudah ditakdirkan akhirnya bertemu…


Syaoran, seorang pemuda tangguh yang berhati kuat. Akhir-akhir ini dia sedang bersedih karena ayahnya, Fujitaka, masuk rumah sakit karena kelelahan bekerja. Siang hari, Syaoran tetap bekerja menggantikan ayahnya, sore dan malam hari, Syaoran menetap di rumah sakit untuk menemani sang ayah. Betapa lelahnya dia.

Suatu malam…

"Bulannya cantik sekali…" gumam Syaoran, menatapi bulan purnama yang terlihat begitu besar dan bersinar sangat cantik. "…aku akan pergi ke atas atap untuk melihatnya lebih jelas. Tidak apa 'kan, Ayah?" lirih Syaoran.

Lalu Syaoran menaiki tangga dan sampai di atap gedung rumah sakit. Tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian seorang gadis, tepat sebelum Syaoran membuka pintu atap. Dia menelan ludah, lalu membuka pintu perlahan. Ia tercengang, kaget dan kagum, melihat seorang gadis, berdiri seperti tepat dibawah bulan yang bersinar sangat terang, membentangkan kedua tangannya, alunan melodi yang lembut terdengar darinya. Seakan-akan, gadis itu bisa terbang kapan saja dan pergi menuju bulan yang menunggunya.

Menyadari ada kehadiran seseorang, gadis itu berhenti menyanyi dan menoleh. Syaoran gugup tapi tidak mungkin kabur. Ia yakin gadis itu manusia. Anak perempuan berwajah manis yang memakai piyama putih dengan motif bunga sakura di bagian dadanya itu berjalan mendekati Syaoran, lalu tersenyum saat melihatnya. Spontan wajah Syaoran memerah.

"Kamu siapa ya?" tanyanya sambil tersenyum.

"Aku Syaoran, kamu sendiri?" balik Syaoran bertanya.

"Sakura. Syaoran bukan pasien disini ya?" tanya gadis bernama Sakura itu lagi. Syaoran hanya menggeleng.

"Berarti… menemani pasien ya?" tanyanya lagi. Syaoran mengangguk. "Oh.." dia tersenyum. Sangat manis!

"Anu…kamu…" Syaoran tergagap. "Ya?" Sakura menoleh. Wajahnya disinari cahaya bulan. Lagi-lagi wajah Syaoran memerah. "…tadi kamu…yang menyanyi?" tanya Syaoran akhirnya.

"Ahaha kedengaran ya? Jadi malu. Iya, aku suka menyanyi disini. Maaf, suaraku jelek ya?" tawa Sakura riang. Syaoran menggeleng cepat, "suaramu bagus sekali," jawabnya sambil tersenyum. Syaoran menyadari apa yang baru ia katakan dan menunduk dengan wajah merah. Sakura ikut-ikutan menunduk dan malu-malu.

Sakura mengangkat wajahnya, lalu tersenyum malu-malu, "um…terima kasih…" ucapnya. Syaoran hanya mengangguk.

Sakura berjalan menuju tempatnya tadi, membentangkan kedua tangannya lagi. Sesaat Syaoran kira Sakura akan menyanyi lagi, ternyata tidak. Ia hanya tersenyum ke arahnya, pandangan matanya lurus, sepasang mata yang tajam tapi lembut serta senyuman yang ramah dari Sakura, membuat hati Syaoran jadi berdegup lebih cepat lagi.

"Ini tempat favoritku," ujar Sakura. Dia menutup mata, menengadah ke atas, kedua tangannya masih membentang. "karena disini, entah kenapa aku merasa sangat… 'bebas'." Sambungnya.

"Kau pasien?" tanya Syaoran. Sakura menoleh ke arah pemuda itu, lalu tersenyum tipis.

"Ya, aku sudah disini sekitar satu tahun lamanya." Jawab Sakura santai.

"Penyakit apa?" tanya Syaoran lagi. Sakura tidak menjawab, dia hanya tersenyum sedih. "Maafkan aku," kata Syaoran. Sakura menggeleng, menggenggam tangan Syaoran, lalu tersenyum tulus.

"Hei, kemarilah. Pemandangannya indah lho," Sakura menarik tangan Syaoran. Syaoran menurut saja.

"Bisa lihat gedung yang disana?" Sakura menunjuk sebuah gedung yang tak jauh dari rumah sakit itu. Syaoran mengangguk. "itu SD ku lho, hihi." Sakura tertawa kecil. Tapi tawanya seperti dipaksakan.

"Sudah lama sekali aku tidak sekolah. Dulu aku benci sekolah, sekarang kangen. Ironis ya?" Sakura tersenyum sedih. Syaoran terdiam sejenak. Lalu menjawab, "kalau begitu sembuhlah. Agar kau bisa masuk sekolah lagi." Sakura yang mendengarnya tersenyum.

Malam itu, mereka berdua mengobrol panjang lebar, saling menceritakan diri sendiri. Meski lebih banyak Sakura yang bercerita. Tapi Syaoran senang mendengarkan gadis itu berceloteh. Entah kenapa menenangkan hatinya yang terus-menerus gelisah dan khawatir memikirkan ayahnya.

Sejak malam itu, Syaoran datang ke rumah sakit bukan hanya menjenguk dan menemani ayahnya, tapi juga untuk menemui Sakura.


Suatu hari, Syaoran membawakan tiga tangkai bunga mawar pink untuk Sakura. Dia terlihat begitu gugup dan tidak sabar bertemu Sakura. Begitu sampai di kamar rawat Sakura, dia mendengar seseorang bercakap-cakap.

"Kakak tidak bisa datang lagi?" terdengar suara Sakura dari dalam kamar.

"Kakak dan Ayahmu sibuk bekerja. Kumohon, mengertilah. Lihat, aku bawakan buket bunga ini dari Ayahmu. Lalu ada cokelat impor dari Kakakmu." Terdengar juga suara seorang pria dari dalam kamar. Dia terdengar membela ayah dan kakak Sakura yang dibicarakan ini.

"Tidak mau." Sahut Sakura ketus.

"Sakura!"

TOK! TOK! Tiba-tiba Syaoran memberanikan diri untuk mengetuk pintu. "Ehem," dia berdehem. Sakura, dan seorang pria berkacamata menoleh ke arahnya. Pria berkacamata itu jadi agak canggung, sementara Sakura terlihat senang melihat Syaoran.

"Syaoran! Kamu datang lagi ya? Senangnya! Ayo kesini!" seru Sakura riang. Syaoran bisa langsung tahu, keceriaannya itu dibuat-buat. Syaoran hanya tersenyum. "Ya, tapi sepertinya aku mengganggu ya?" tanya Syaoran, sambil melirik ke pria berkacamata itu. Sakura tidak menjawab.

"Teman Sakura ya? Ng… aku Yukito, teman baik Kakaknya. Baiklah, aku pulang sekarang saja ya." Pria bernama Yukito itu beranjak dari kursi di sisi tempat tidur Sakura, meninggalkan buket bunga besar dan cokelat impor di meja samping tempat tidur. "Sakura, kumohon, mengertilah keadaan Ayah dan Kakakmu." Ujarnya seraya berjalan menuju pintu keluar.

"Jangan memintaku mengerti kalau kau sendiri tak mengerti! Siapa yang bisa mengerti perasaanku yang terus terpenjara disini?!" bentak Sakura. Yukito tidak menjawab lagi, bahkan ia tidak menoleh. Lalu dia pun pergi.

Keadaan canggung sesaat. Tapi tiba-tiba Sakura tersenyum pada Syaoran. Dia mengisyaratkan Syaoran agar duduk di kursi tempat Yukito duduk tadi. Syaoran menurut. Dia menyembunyikan tiga tangkai mawar pink-nya dari Sakura. Bukan waktunya untuk menyerahkan itu. Lagipula Syaoran merasa minder karena ada buket bunga besar dari Ayah Sakura.

"Maaf ya, kau jadi melihat adegan tadi." Kata Sakura, memecah keheningan. "Tidak apa." Jawab Syaoran. Sakura menoleh, lalu tersenyum sedih. "Mau dengar ceritanya?" tanya Sakura. "Kalau kau tidak mau bercerita, tidak apa-apa." Jawab Syaoran penuh pengertian. Suaranya lembut dan hangat. Sakura tersenyum, lalu memalingkan pandangan.

"Aku… sudah tidak punya Ibu lagi. Ibuku meninggal karena sakit keras saat aku masih kecil. Ibu berjuang untuk melawan penyakitnya. Ibu itu lemah, makanya tidak bisa melakukan banyak aktivitas. Bahkan sebenarnya, untuk melahirkanku, Ibu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." Sakura mulai bercerita. Dia menoleh ke luar jendela, pandangannya menerawang. Sepertinya dia tidak mau terlihat menangis di depan Syaoran.

"Tapi aku tidak apa-apa. Tidak merasa kesepian. Karena ada Ayah dan Kakak. Ayahku baik, sangaaat baik, dan lembut. Kakakku juga, meski usil dan menyebalkan, dia itu perhatian padaku." Lanjut Sakura, dia tersenyum ceria saat menceritakan Ayah dan Kakaknya.

"Sejak kecil aku juga sakit-sakitan. Aku sering ditinggal Ayah yang bekerja, tapi masih ada Kakak yang terus menemaniku. Bahkan Kakak pernah membatalkan ikut turnamen sepak bola gara-gara aku demam waktu itu." Sakura tertawa kecil.

"Beranjak remaja, tubuhku mulai kuat. Aku senang sekali, dan ikut klub-klub olahraga. Tapi ternyata, tubuhku tidak sekuat itu. Aku jatuh pingsan saat berlari pada perlombaan. Ternyata aku mengidap penyakit yang sama dengan Ibu, dan aku harus dirawat di rumah sakit. Duniaku runtuh. Semuanya seakan jadi gelap gulita." Suara Sakura mulai terdengar bergetar. Syaoran hanya bisa menunduk dan mengepalkan tangannya.

"Kupikir aku sudah tidak apa-apa, sudah bisa berdiri tanpa dibantu, sudah bisa berlari sendiri. Nyatanya tidak… berdiri lama-lama pun aku tak sanggup. Awalnya tidak masalah, karena semua orang merawatku dengan penuh kasih. Ayah sering meluangkan waktunya kemari, dan Kakak menjagaku disini. Teman-temanku pun sering menjenguk. Tapi tidak berlangsung lama." Sakura menggigit bagian bawah bibirnya. Menghela napas sejenak, lalu melanjutkan ceritanya.

"Ayah jadi semakin jarang kemari. Kakak juga sama, karena harus menghadapi ujian. Teman-temanku pun semakin sibuk dan jarang menjenguk. Semua orang jadi sibuk dan sibuk. Sibuk menghadapi kenyataan. Sibuk menghadapi dunia nyata yang tidak kuhadapi. Aku iri, dan kesal sekali. Begitu sadar, aku…" Sakura terhenti sejenak. "…sudah sendirian." Syaoran menggigit bibirnya.

"Tanpa sepengetahuanku, Ayah pergi dinas ke luar negeri. Aku baru diberitahu oleh Kakak, seminggu setelahnya. Aku menangis berhari-hari. Teganya pergi tanpa memberitahuku. Lalu Kakak juga semakin jarang menjengukku karena sibuk kuliah, dan belajar untuk meneruskan perusahaan Ayah." Lagi-lagi Sakura menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. "Satu tahun berlalu… sampai sekarang, Ayah belum pulang dan menemuiku lagi. Begitu juga Kakak. Aku tak tahu kapan bisa pulang ke rumah. Tapi kupikir-pikir, ke rumah pun… tidak ada siapa-siapa ya."

"Sakura tidak sendirian." ujar Syaoran tiba-tiba. Sakura yang mulai menitikkan air mata menoleh dan bengong. "Ada aku 'kan?" Syaoran menggenggam tangan Sakura. "Iya. Iya!" Sakura menghapus air matanya, lalu tersenyum lebar.

"Eh, bunga itu…" Sakura melirik ke bunga mawar pink yang dibawa Syaoran. "Eh ini… tadinya untukmu. Ng…" Syaoran terlihat gugup dan malu-malu. "Tadinya? Sekarang enggak?" tanya Sakura, dengan ekspresi kecewa. "Bukan begitu! Habis, Sakura sudah dapat buket bunga besar begini, bunga kecil begini…" Syaoran terlihat minder dan kecewa. Sakura tertawa kecil, lalu meraih tiga tangkai mawar pink itu. "Aku mau kok." Ujarnya. Refleks, Syaoran memerah wajahnya.


"Mesranya…" komentar polos itu terlontar begitu saja. Syaoran dan Sakura menoleh bersamaan dengan wajah merah. Mereka berdua juga buru-buru melepas genggaman tangan mereka. Terlihat sesosok pria berambut pirang, tinggi dan kurus, yang membawa boneka kelinci (?) putih bersama seorang pria tinggi besar berambut spike. Mereka berdua terlihat membawa beberapa barang.

"Fay-san! Kurogane-san!" seru Sakura riang. "Selamat siang, Sakura-chan! Maaf ya, kami mengganggu?" tanya Fay sambil tersenyum lebar. "Tidak! Tidak!" Sakura menjawab buru-buru dengan menggelengkan kepala. Wajahnya memerah merona. Begitu juga Syaoran.

"Oh iya, mari kuperkenalkan…" sahut Sakura. "Ini Fay-san dan Kurogane-san. Mereka mantan preman yang pernah dirawat disini. Fay-san, Kurogane-san, ini Syaoran, putra dari salah satu pasien disini." Sakura memperkenalkan mereka dengan ramah.

"Ah! Itu Mokona, robot buatan Fay-san yang bisa bicara dan bergerak." Sakura menunjuk ke boneka kelinci (?) putih yang dibawa Fay. "Salam kenaaal, aku Mokona Modoki!" seru benda (?) itu. Syaoran terlihat takjub melihatnya.

"Mantan… preman?" ulang Syaoran. Memastikan pendengarannya tidak salah. "Ya. Kami dirawat bersamaan karena saat itu sedang adu tinju (?) dibawah hujan deras di kota tak berpenghuni. Luka kami cukup parah, jadi dirawat lumayan lama. Dirawatnya barengan di rumah sakit yang sama pula! Terus kami dihampiri Sakura yang suka kabur dari kamar rawatnya. Kemudian, kami dibuka matanya, lalu insyaf deh jadi preman!" cerita Fay panjang lebar.

"Adu tinju dibawah hujan deras di kota tak berpenghuni apanya. Kau terlalu melebih-lebihkan!" sahut Kurogane kesal. "Masa? Menurutku bagus ah, dramatis!" jawab Fay santai. "Dramatis apanyaaaaa!!" geram Kurogane.

"Hihihi, mereka memang selalu begini. Biarkan saja ya?" Sakura tertawa riang sambil memangku Mokona. "Lihat 'kan?" gumam Syaoran. "Eh?" Sakura menoleh. "Kau tidak sendiri." Sakura terbengong-bengong melihat Syaoran yang menatapnya dengan pandangan lurus. Sakura mengangguk pelan dengan wajah merah. Dia jadi malu sendiri.

Apa ini adalah awal kisah cinta yang mendebarkan di rumah sakit? Bagaimana dengan Ayah dan Kakak Sakura yang masih belum mengunjunginya?

To be continued…


A/N:

Arigatou sudah dibacaaaaaa!! w

Nah nah nah~ ceritanya ini berdasar real-life, jadi Mokona dibuatnya robot. Tadinya ada rencana Mokona itu cuma boneka biasa sih, tapi 'kan gak asik ya kalau Moko-chan itu diem doang =.=

Fay dan Kurogane itu mantan preman yang dulunya masuk RS karena adu tinju dibawah hujan deras lho! Bisa bayangin gak?! Kyahahaha~ XDD *lah*

Nah, Read&Review ya. Sankyuu~ ^.^