Anak itu berhenti di depan sebuah rumah tua kecil berpintu reyot. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu itu. Namun baru setengah jalan, gerakannya terhenti. Kepalan tangannya menggantung di udara beberapa senti di depan pintu tersebut. Wajah sang pemilik tangan nampak ragu sejenak.

Hanya sejenak.

Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah menjadi penuh tekad. Tangannya pun digerakkan lagi.

Tok. Tok. Tok.

Anak itu menunggu. Tiada jawaban. Dia pun mengetuk lagi.

Tok. Tok.

"Tunggu sebentar," terdengar suara malas dari dalam, seperti suara orang baru bangun tidur. Jantung anak itu berdebar kencang, menunggu saat-saat pintu dibuka.

"Ya?"

Debarannya mereda seketika saat melihat makhluk di depannya ini. Seorang pria berambut perak acak-acakan dan ada bekas luka melintang di mata kirinya, dengan wajah mengantuk yang sangat kentara.

"Err... Tuan Hatake Kakashi?"

"Itu aku," jawab pria tersebut sambil menguap lebar. Anak itu menelan ludah.

"Perkenalkan, nama saya Haruno Sakumo, dan saya diminta oleh guru saya, Nona Tsunade, untuk..." anak itu memasang ekspresi tak rela, "...tinggal di sini bersama Anda sementara waktu."

Disclaimer: Kishimoto Masashi-sensei

Setting: Alternate Universe

.

~Camelia Putih~

Chapter 1

.

.

Hatake Kakashi menguap lagi, kemudian berusaha memicingkan mata ke arah kertas yang ada di tangannya. Beberapa meter di depannya, anak yang beberapa menit lalu tiba di depan pintu rumahnya menggerutu sendiri panjang pendek.

"Namamu Haruno Sakumo, benar?" Kakashi menatap anak itu dengan mata mengantuknya.

"Ya, Tuan. Guru saya sudah menulisnya di surat itu, kan?" nada sinis Sakumo terdengar jelas.

"Hm," hanya itu respon Kakashi. "Gurumu memintaku menampungmu di sini sambil mengajarimu ilmu bela diri, sementara dia mencari uang untuk membayar hutangnya," Kakashi melipat surat itu dan memasukkannya ke bagian dalam yukatanya.

"Lee! Chouji!" dia berseru. Tak berapa lama kemudian, muncullah dua pemuda yang kelihatannya sebaya Sakumo.

"Kalian mendapat teman baru," kata Kakashi malas. "Ini Haruno Sakumo."

Sakumo menundukkan kepala sopan kepada dua pemuda tersebut.

"Halo Sakumo! Namaku Rock Lee," sapa pemuda tinggi kurus beralis tebal dengan bola mata yang besar. Dia tersenyum lebar. Sudah jelas wataknya ramah.

"Aku Chouji," sambung yang satunya. Berbeda jauh dengan Rock Lee, pemuda ini sangat gendut. Matanya sipit dan dia sedang mengunyah sesuatu.

"Salam kenal," Sakumo tersenyum canggung.

"Dia akan tinggal bersama kita untuk sementara. Kalian antarkanlah dia ke kamar... aku mau melanjutkan tidurku," sambil menggaruk-garuk kepala, Kakashi kembali ke peraduannya sendiri, diiringi tatapan mencela dari Sakumo.

"Ayo," ajak Lee. "Mana barangmu? Biar kubantu bawakan."

"Tidak perlu, barangku hanya ini," Sakumo menggenggam erat-erat kain buntalannya, kemudian mengikuti dua pemuda itu ke sisi lain rumah tua tersebut.

"Ini kamar kita," kata Lee ketika mereka tiba di sebuah ruangan sempit. Sakumo sampai agak berjengit ketika masuk ke sana. "Kau beruntung Sakumo, kami punya satu persediaan futon lagi."

Sakumo hanya tersenyum kaku. Kamar ini sangat pengap, dan dia tidak mau membayangkan bagaimana kelak nanti malam ketika mereka harus berhimpitan di sana. Keputusasaan semakin melandanya ketika dia melihat ke arah Chouji yang masih sibuk mengunyah makanan.

Uh, nanti malam pasti akan jadi mimpi buruk.

"Kau taruh saja buntalanmu di situ, lalu mari kita ke gudang!"

"Gudang apa?" dahi Sakumo berkerut.

"Gudang pembuatan senjata, tentu saja. Guru Kakashi kan pembuat senjata!" dengan riang Lee mendahului keluar. "Ayo, Sakumo!"

Dengan enggan, Sakumo mengikuti. Chouji di belakangnya, kali ini bersendawa keras. Sakumo mengurut dada.

Sabar, Sakura, sabar. Kau harus sabar!

"Nah, inilah gudang pembuatan senjata kita," Lee memperkenalkan ruangan luas yang terpisah beberapa meter di belakang rumah. "Tiap pagi kami bekerja di sini membantu Guru Kakashi. Sore harinya barulah dia mengajarkan kami banyak hal."

Sakumo berusaha menahan keinginannya menutup hidung. Tempat ini sungguh bau besi bakar.

"Menyenangkan lho, membuat senjata," Lee berseri-seri. "Iya kan, Chouji?"

Yang ditanya hanya menggumam saja. Mulutnya masih terus beraktivitas.

Sementara Sakumo memandang sekeliling tanpa minat. Dia sama sekali tak pernah menduga, kelak akan disuruh bekerja di tempat seperti ini. Tempat yang seharusnya hanya untuk laki-laki.

"Bagaimana Sakumo? Kau suka?"

Menghindari menjawabnya, Sakumo mengalihkan pembicaraan.

"Ng... Lee, apakah Tuan Kakashi hebat?" dia bertanya. Gengsinya masih terlalu tinggi untuk menyebut Kakashi sebagai 'Guru'.

"Ya, tentu saja!" sahut Lee langsung. "Dia adalah ahli pembuat senjata yang sangat terkenal. Ilmu bela dirinya pun luar biasa. Hampir setiap hari selalu ada banyak pesanan masuk ke sini, membuat kami sangat sibuk."

Sakumo hanya manggut-manggut, padahal dalam hatinya dia tak percaya.

"Kenapa kau bertanya seolah ragu begitu?"

Senyum canggung muncul di wajah Sakumo.

"Yah… aku hanya merasa dia beda jauh dari perkiraanku. Ketika tadi melihatnya untuk pertama kali..."

Lee mengangguk.

"Aku mengerti perasaanmu. Dulu aku juga merasa begitu," ujarnya. "Tapi percayalah, dia guru yang hebat. Dia sangat hebat!" Lee mengakhiri kalimatnya dengan mengacungkan ibu jari dan mengedipkan mata, seolah yakin sekali dengan perkataannya barusan.

Namun Sakumo sama sekali meragukan itu.

###

Sementara itu di kamarnya, Hatake Kakashi berusaha melanjutkan tidurnya yang terganggu. Tapi entah mengapa, dia tidak bisa terlelap kembali. Meski sudah memejamkan mata, tetap saja otaknya terus bekerja.

Haruno Sakumo.

Sa-ku-mo.

Mendengar nama itu membuat hati Kakashi selalu merasa tak nyaman. Sakumo, nama yang sama dengan nama almarhum ayahnya. Ayah yang sangat dicintainya, yang telah meninggal beberapa tahun lalu di depan matanya.

Sungguh dibunuh di depan mata kepalanya sendiri.

Selama ini Kakashi telah berhasil melanjutkan hidupnya sendirian, sampai Lee dan Chouji datang. Bertiga, mereka meneruskan usaha membuat senjata yang dulu dirintis oleh Hatake Sakumo. Kini segalanya sudah berjalan lancar dan baik-baik saja. Kakashi telah berhasil sembuh dari mimpi-mimpi buruknya mengenai kematian sang ayah.

Tetapi sekarang datanglah seorang pemuda bernama sama. Kakashi yakin, hal ini tentu akan mengubah hidupnya kembali. Pastinya sulit bukan, memanggil muridmu dengan nama ayahmu yang tewas di depan matamu?

Dan entah bagaimana, Kakashi merasa perubahan yang akan terjadi bukanlah sekadar dalam hal itu saja. Meskipun dia tidak tahu apakah bentuk perubahan itu kelak. Yang jelas, pasti ada sangkut pautnya dengan anak laki-laki aneh berambut merah jambu itu.

"Hoahm..." Kakashi menguap lagi, namun tak kunjung bisa tidur. Akhirnya dia bangkit, menggaruk-garuk kepalanya, lalu mengambil buku yang belum selesai dibacanya.

Sebuah buku berjudul Icha-icha Tactics!

###

Malam itu Sakumo tidak bisa tidur. Kepanasan, dengkuran Chouji, futon yang sempit, kamar yang bau...

Ah, betul-betul mimpi buruk.

Kalau tahu begini, seharusnya dia memaksa ikut dengan gurunya saja. Setidaknya, Nona Tsunade tak akan pernah membawanya tidur di tempat seperti ini.

Sakumo berdiri dari futonnya, menendang pelan kaki Chouji yang melintang, lalu melewati Lee yang tersenyum dalam tidurnya. Entah anak itu bermimpi apa. Sakumo mendorong pintu kamar yang rapuh dengan hati-hati, kemudian beranjak menuju kamar mandi yang terpisah di belakang. Badannya gatal dan penuh keringat, apalagi gara-gara suasana kamar yang tidak menyenangkan itu.

Saat air mengguyur sekujur tubuhnya, Sakumo baru merasa kembali hidup setelah seharian ini mood-nya buruk sekali. Sejak tadi malam, sebetulnya, ketika Nona Tsunade pulang ke penginapan dengan raut wajah panik luar biasa.

"Sakura! Berkemas, cepat!" wanita itu memerintah seraya tangannya sendiri sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas kain.

"Ada apa, Nona Tsunade? Mana Kak Shizune?" Sakura—itu nama asli Sakumo—bertanya cemas.

"Nanti saja ceritanya! Sekarang kita harus pergi dari sini dulu!"

Akhirnya Sakura menuruti kemauan gurunya. Terburu-buru mereka berkemas, lalu segera menyelinap keluar penginapan lewat pintu belakang. Setelah itu berlari secepat kilat sekian meter, menuju hutan yang gelap dan menakutkan.

"Berhenti," Tsunade memberi isyarat. Sakura langsung mengucap syukur. Paru-parunya serasa sudah mau meledak karena berlari sejauh itu.

"Sekarang... hosh... ceritakan... padaku... hosh... apa... hosh... yang terjadi... hosh... Nona Tsunade... hosh," dengan terengah-engah Sakura meminta. Tsunade tidak langsung menggubrisnya. Dia terus melihat kanan-kiri-depan-belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Setelah dirasanya aman, dia menarik muridnya bersandar ke sebatang pohon.

"Dengar, Sakura," katanya serius dan cepat. "Aku kalah berjudi lagi. Dalam jumlah yang sangat besar."

Sambil masih terus menormalkan napasnya, Sakura memutar mata. Dia sudah bosan dan terlalu jengkel mendengar kebiasaan buruk gurunya ini.

"Tapi kali ini tidak seperti biasa. Kali ini aku kalah berjudi melawan Kakuzu, mafia judi yang reputasinya sudah sangat terkenal di kalangan dunia hitam."

"Nona Tsunade keterlaluan," komentar Sakura, kehabisan kata yang lebih buruk.

"Sakura, ini serius. Kau pasti tahu aku tidak bisa membayar hutang judi itu. Dan..." Tsuande menghela napas, "sebagai gantinya, mereka menawan Shizune."

"APA!?" kali ini Sakura terbelalak. "Bagaimana mungkin Anda bisa—"

"Sstt," Tsunade menempelkan telunjuk ke bibir, menyuruhnya diam. "Aku tak punya pilihan lain. Mereka hanya akan melepaskan Shizune kalau aku sudah melunasi semuanya."

"Nona Tsunade sudah gila," bisik Sakura penuh kemarahan. Dia segera berdiri. "Ayo kita datangi Kakuzu itu dan minta Kak Shizune kembali! Aku tak percaya Nona Tsunade rela meninggalkannya di sana!"

"Sstt, dengar dulu!" Tsunade menarik Sakura hingga duduk lagi. "Aku sendiri sangat marah, Sakura! Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa—"

"Siapa suruh berjudi," tandas Sakura dengan nada suara sepedas yang ia bisa.

"Bukan itu masalahnya sekarang! Kau dengarkan aku baik-baik, Sakura. Setelah ini aku akan mencari uang atau cara untuk membebaskan Shizune kembali. Dan aku bisa pastikan, hal ini akan menjadi sangat berbahaya, karena aku juga harus menghindar dari si brengsek Kakuzu itu. Makanya, Sakura, kau tidak bisa ikut kali ini."

"Eh!? Mana mungkin aku tidak ikut!" Sakura langsung protes keras. Itu sudah sewajarnya. Sejak dia menjadi yatim piatu, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain guru ilmu pengobatannya, Tsunade serta kakak seperguruannya, Shizune. Sudah bertahun-tahun mereka mengembara bersama dari satu daerah ke daerah lain, mengobati penduduk yang sakit sambil Sakura dan Shizune belajar. Mana bisa tiba-tiba saja Sakura ditinggal!?

"Tidak ada jalan lain, Sakura. Aku sudah kehilangan Shizune, aku tidak mau kehilanganmu juga," kali ini ekspresi Tsunade menjadi sangat sedih, sampai Sakura sangat tidak tega melihatnya. "Kalian berdua sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Aku akan selalu melindungi kalian. Kali ini memang kesalahanku sehingga Shizune ditawan, dan aku akan menebusnya. Tapi, tidak dengan menyeretmu ke dalam bahaya lain, Sakura."

Sakura menelan ludah.

"Dengar. Kau harus menemui Hatake Kakashi. Dia tinggal di lereng Bukit Konoha. Bawalah surat ini," Tsunade menyodorkan sebuah amplop. "Dia akan menerimamu."

"Tidak, Nona Tsunade. Bawalah aku bersama Anda. Anda tahu aku bisa menjaga diri."

"Ini hanya sementara, Sakura. Kalau aku sudah punya uang atau cara untuk menebus Shizune, aku akan menjemputmu."

"Aku tak peduli! Aku akan tetap ikut Nona Tsunade!"

"Sakura! Jangan bodoh! Turuti kata-kataku!"

"Tapi—"

"Kumohon," kini Tsunade memeluk Sakura erat. "Kumohon, Sakura."

Sakura menghela napas panjang. Hatinya terasa pedih sekali. Setelah Tsunade melepas pelukannya, Sakura menatapnya lama, lalu akhirnya mengambil amplop di tangan gurunya itu.

"Itu baru muridku," Tsunade tersenyum tipis, tetapi jelas gurat kelelahan tersurat di wajahnya. "Besok aku akan mengantarmu ke kaki Bukit Konoha, lalu kaudaki sendiri bukit itu hingga ke kediaman Hatake Kakashi."

Pasrah, Sakura mengangguk.

"Oh ya, satu hal lagi yang sangat penting, Sakura. Kau, HARUS menyamar sebagai laki-laki selama berada di sana."

"APA!?" ini kali kedua Sakura berseru begitu.

"Orang-orang Kakuzu bisa ada di mana saja," jelas Tsunade. "Dan Kakuzu mengenal keluarga Hatake, meskipun aku menyangsikan dia akan mencariku di sana. Yah, yang jelas, aku ingin kau aman, Sakura. Jadi kau harus menyamar seperti itu tanpa ketahuan, sampai aku menjemputmu."

Dan begitulah. Hari ini Sakura memulai identitas barunya sebagai Haruno Sakumo. Nama itu adalah peninggalan terakhir dari Tsunade sebelum mereka berpisah di kaki Bukit Konoha tadi pagi.

Sakura mendesah panjang seraya mengguyur segayung penuh air lagi, dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Ternyata menjadi laki-laki itu sangat tidak mudah. Bajunya kebesaran, kerjanya lebih banyak, dan tidak ada perlakuan khusus sama sekali. Sakura tidak menyukainya. Untung saja dia berhasil membujuk Nona Tsunade untuk tidak usah memakai rambut palsu. Meskipun pasti aneh melihat lelaki berambut merah jambu, tapi Sakura tak peduli. Pakaiannya sudah cukup tidak nyaman, tak perlulah ditambah dengan wig lagi. Dia beruntung karena lelaki pada zaman ini banyak yang berambut panjang, jadi tidak aneh jika dia datang dengan rambut sepunggung terikat.

Hal menjengkelkan berikutnya adalah Hatake Kakashi yang aneh itu. Tentu saja! Sakura pikir, Kakashi itu muda, tampan, ramah, murah senyum, rajin, kekar, dan berkumis. Ternyata tidak. Oke, dia memang muda dan tampan, tapi dia hobi tidur, selalu mengantuk, dan... tidak ada tampang hebatnya sama sekali! Sebaliknya, dia nampak sangat pemalas dan payah.

Hhh. Sakura menghela napas panjang. Entah sampai kapan dirinya harus bersabar dengan kehidupan seperti ini. Menjadi laki-laki, berbagi kamar dengan Lee serta Chouji, dan berguru kepada Kakashi yang menyebalkan itu.

Dan kehidupan ini baru saja dimulai lho...

TBC

#

#

A/N: Hola! Wah, saya nggak nyangka saya nulis mulchap lagi. Fic ini dibuat berdasarkan rikues seseorang yang pernah minta saya membuat KakaSaku. ^^ Entah kenapa idenya berkembang seperti ini, jadi saya lanjutgan aja!

Sakura yang menyamar jadi cowok ini terinspirasi dari drama Korea 'Painter of the Wind' yang sedang memenuhi otak saya saat ini. Tapi cuma bagian ininya doang, yang lainnya mah mikir sendiri. =)

Makasih bagi yang baca, lebih makasih bagi yang review!