'Waktu yang tersisa, lima puluh empat hari. Tidak ada peserta yang gugur. Total peserta gugur adalah dua.'

(-)

"Eh, Kiku... Gimana kalo disini sebenernya ada laba-laba raksasa?" Tanya Alfred tiba-tiba setelah menelan sepotong daging ikan bakar yang ia gigit. Saat ini ia memegang sebuah ranting dengan seekor ikan yang telah mereka bakar sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

"A-Apa? Saya tidak bisa membayangkan sesuatu yang seperti itu nyata adanya..." Jawab Kiku gelagapan, tidak siap dengan datangnya pertanyaan ngaco tersebut.

"Tapi, uler segede itu aja bisa ada! Mungkin jauh di pelosok hutan rimba begini, ada binatang-binatang asing yang sama sekali nggak terungkap sama ilmuwan!" Balas Alfred dengan semangat mengebu-ngebu, membuat potongan-potongan kecil ikan di mulutnya berhamburan. Apa boleh buat, mengingat salah satu hobi Negara Paman Sam ini adalah berpetualang dan arkeologi.

Kiku berpikir sejenak, "Mungkin saja ya... Dunia kan, luas... Memangnya binatang seperti apa yang kamu harapkan, Alfred-kun?"

Entitas humanoid berambut pirang itu tertawa sambil menyeringai. "Laba-Laba raksasa, Bigfoot... Ah, daerah tropis kayak begini rasanya nggak mungkin ada Bigfoot... Mungkin monyet gede setinggi 20 meter! Eh, atau mungkin, Dinosaurus hidup!"

Sang Matahari Terbit hanya bisa tertawa memaksa. "Itu akan menjadi penemuan besar abad ini bila terjadi... Namun bagi saya itu kurang besar..."

"Haaaah?" Alfred berjalan lebih cepat agar sejajar dengan Kiku yang tadinya berjalan didepannya. "Emang, menurut lo penemuan besar itu kayak apa?"

"Hmmmm... Entahlah..." Kiku kembali berpikir sejenak. "Mungkin, seperti naga mahasakti penjaga harta karun atau makhluk mutan besar berkepala seratus..."

"... What?"

"Tapi, mungkin saja bukan makhluk hidup yang akan kita temukan... Misalnya gerbang rahasia menuju neraka atau portal menuju dimensi lain..."

"... K-Kiku, lo kira ini dunia RPG?"

"Ah, benar juga! Seharusnya sekarang saya sudah mengurung diri di rumah dan memainkan RPG-RPG keluaran terbaru!"

"RPG keluaran terbaru... Oh Skyrim..."

'No news is good news'. Barangkali dampak pepatah ini dirasakan dengan mantap oleh Alfred dan Kiku saat ini. Semenjak berita gugurnya Ukraina, untuk pertama kali mereka bersama-sama melalui dua hari tanpa kabar buruk. Kedua Negara Maju tersebut seakan melupakan kenyataan bahwa mereka masih terperangkap di pulau tak berpenghuni dan dipaksa untuk saling membunuh, meskipun sebenarnya mereka tidak melupakan kondisi tersebut sama sekali. Agaknya sejalan dengan kemampuan kaum mereka yang dapat menyembuhkan luka fisik dengan cepat, begitu juga mereka pulih dari luka dan kesakitan mental, ditambah lagi dengan pengalaman hidup sebuah Negara yang penuh dengan darah dan perang.

Saat ini Alfred dan Kiku masih dalam perjalanan menyusuri sungai, dan meskipun nyawa mereka masih dalam ancaman baik binatang buas di dalam hutan maupun Negara lain yang tidak segan membunuh, terlihat dari wajah dan tingkah laku mereka yang terasa sangat ringan seakan tidak mengenal beban yang masih melekat pada punggung.

Kali ini sungai mengantarkan kedua Negara Maju tersebut ke wilayah yang sedikit menurun. Dinding tanah mengapit sungai sehingga jalan satu-satunya adalah menyusuri pinggir sungai. Biar kemiringannya hanya sedikit, mereka berdua harus berhati-hati agar tidak terpeleset, mengingat kondisi hutan hujan tropis yang sangat lembab, ada atau tidaknya hujan. Ditambah lagi dengan kondisi tanahnya yang penuh batu, kerikil, dan lumut, menambah tingkat kelicinan, dan tingkat luka memar yang harus rela didapat jika sampai terpeleset. Kiku meniti turunan dahulu dan Alfred berada tepat dibelakangnya.

Masalahnya, Alfred mengenakan sepatu bot tentara yang memang didesain untuk segala medan berat, sementara alas kaki Kiku hanya sandal jerami. Dengan sangat hati-hati Kiku menapakkan kakinya batu demi batu, dan gara-garanya kecepatan jalan mereka menjadi lebih pelan. Beberapa kali Kiku hampir terpeleset, sehingga kali ini Alfred menggenggam pergelangan tangannya.

"... Hei Kiku, santai aja, gue pegangin kok." Kata Alfred beberapa langkah kemudian.

"A-Ah!" Kiku tersentak kaget. "Tenang saja, Alfred-kun... Saya tidak tegang, kok." Selain suara air yang mengalir di sungai, suasana hutan di sekeliling mereka memang cukup sepi, sahut-sahutan binatang terdengar kecil dan jarang, dan suara Alfred memang terkenal besar. Tapi masa' begitu saja sampai kaget?

"Udahlah, daritadi gue pegangin tangan loe, getaran tangannya kerasa banget." Balasnya.

"M-Masa...?" Sebenarnya, Kiku sendiri tidak merasakan bahwa dirinya gemetaran. "S-Sumimasen. Turunan ini cukup terjal dan licin, dan alas kaki saya tidak terlalu mendukung..."

Alfred tertawa kecil. "Ah, gimana sih? Padahal loe kan ninja, bajunya aja mendukung, tuh. Yang kayak gini harusnya gampang dilaluin ninja, kan?"

"Yang benar saja, Alfred-kun..." Kiku jadi agak galau. Memang, dengan kostum dan senjatanya, Kiku terlihat bagai ninja sungguhan. Tidak, dia memang ninja sungguhan. Ada masa-masa dimana Kiku dengan lihai memanjat atap istana dan menyelinap masuk kedalam benteng dengan mudah. "Kalau saya benar-benar ninja yang seperti itu, saya tidak akan melalui turunan licin seperti ini... Lebih praktis meloncat-loncat dari dahan pohon ke dahan pohon lainnya."

Pria berambut pirang yang bersangkutan tertawa lebih keras. Kemudian, raut wajahnya tiba-tiba berubah dan ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Eh eh, Kiku, menurut loe-"

"Nanti saja, Alfred-kun..." Kiku memotong cepat. "Lebih baik kita cepat-cepat melalui turunan ini. Saya tidak suka terus-terusan menapak di bebatuan licin begini." Lanjutnya dengan nada gugup sambil kembali menapak turun.

"Yeah, sure."

(-)

Beberapa lama kemudian, akhirnya kaki kedua Negara tersebut menapak di tanah rata. Matahari sudah terlihat agak condong ke barat. Alfred dan Kiku kembali berjalan, lalu istirahat setelah beberapa puluh meter ditempuh. Kali ini mereka beristirahat di tempat yang agak jauh dari sungai, di tanah yang lebih kering dan rata. Toh, sungainya tidak akan berpindah kemana-mana.

Kiku duduk di sebongkah batu dan melepas kaus kakinya yang basah, lalu ia jemur di salah satu dahan pohon yang paling rendah. Alfred memilih untuk tidak melepas sepatu botnya, ia takut bau kakinya membunuh Kiku. Untungnya mereka pernah mandi dan sering mencuci muka, jadi tubuh mereka tidak terlalu bau dan penampilan mereka tidak terlalu kotor dan dan usang. Rambut pirang Alfred terlihat berantakan, sedangkan rambut Kiku yang hitam legam entah bagaimana tetap lurus dan terjaga. Bahkan dalam situasi hidup dan mati dalam hutan belantara, Kiku masih dapat menjaga penampilannya serapi mungkin.

"Ya, Alfred-kun... Tadi kamu ingin bertanya apa?" Kiku berbicara duluan setelah ia juga menjemur sandal jerami-nya di atas bebatuan.

Alfred memandang Kiku selama beberapa detik. "Oooh... Iya, gue jadi lupa." Negara muda tersebut menggaruk-garuk kepalanya yang agak gatal. "Begini, lho... Soal bom nuklir yang mereka pasang di ibukota kita, katanya..."

"Hmm... Benar juga, saya hampir lupa persoalan tersebut."

"Gue juga baru kepikiran lagi."Alfred menarik napas.

"Kiku, buat gue, that's the greatest, dumbest bullshit I've ever heard!" Alfred agak meninggikan nada suaranya. "Nggak mungkin orang-orang tolol itu bisa masang bom nuklir di setiap ibukota negara dan nggak ketahuan sama sekali!"

Kiku berpikir sebentar, sementara Alfred terus berbicara dengan setengah berteriak.

"Pertama kali mereka ngomong gitu, waktu itu gue terlalu capek buat mikir banyak-banyak, tapi setelah dipikir-pikir lagi, itu mustahil banget! Darimana mereka dapet sebegitu banyak nuklir buat ditaro di kota-kota besar? Darimana uangnya? Berapa lama mereka pasang itu bom?" Amerika Serikat menarik napas lagi, kali ini sambil mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangan.

"... Itu benar, Alfred-kun, menurut saya, hal itu nyaris tidak mungkin dilakukan, seberapa besar atau berkuasa mereka." Kini Jepang alih berbicara. "Bagaimana mereka memasang bom tanpa kita ketahui? Apakah bomnya sangat dalam di bawah tanah sehingga tidak terdeteksi, lalu yang mereka ledakkan adalah tanahnya sehingga seluruh kota tenggelam kebawah? Atau selama ini mereka bersekongkol dengan pemerintah?"

"Loe percaya dengan omong kosong mereka itu? Nggak mungkinlah, Kiku! Itu semua pasti bohong!" Alfred berdiri mantap lalu menatap langit. "WOI! ORANG-ORANG BRENGSEK! ROBOT GEDEG!" Teriakannya sangat keras, beberapa burung terbang menjauh darinya. Kalau Kiku punya sayap, mungkin dia juga akan terbang menjauh dengan spontan, terkejut dengan tingkah Alfred yang tiba-tiba tersebut.

"SINI LOE, SAMPAH! GUE PENGEN NANYA!" Teriaknya makin keras. Kiku hanya cengo melihat tingkah Alfred yang berteriak memanggil angin. Kiku melihat-lihat langit, barangkali robot bernama Chikyuu tersebut benar-benar mendatangi mereka. Namun, tidak ada tanda-tanda robot bola tersebut mendekat.

"GUE PENGEN NANYA SESUATU! KELUARIN BOLA TERBANG LOE!" Nihil. Tidak ada benda terbang apapun yang mendatangi mereka. Akhirnya Alfred mulai naik pitam.

"K**T*L! KECUT LOE, HAH? NJING! KAGAK ADA NYALINYA!" Kiku mulai khawatir. Menurutnya, mereka dipanggil pun tidak akan datang. Tidak, Kiku lebih khawatir soal Alfred. Lelaki muda tersebut mulai meneriakkan kata-kata kotor yang dapat didengar ke seluruh penjuru hutan. Kalaupun binatang buas di hutan tidak akan menghampiri mereka karenanya, ini masih menjadi sesuatu yang sangat memalukan.

"GODDAMN FAGS! MOTHERF**KERS! WHERE ARE YOUR F**KING BALLS, HUH? YOU DON'T HAVE ANY BALLS OR WHAT? COME HERE YOU SH*THEADS! I'M GONNA F**K YOU REAL HARD WITH MY CHAINSAW!"

"H-Hentikan, Alfred-kun! Jaga bahasamu!" Kiku buru-buru mencoba menarik Alfred untuk kembali duduk dan menenangkan diri. Alfred terlihat seperti orang kalap, giginya gemeretak dan nafasnya cepat dan berat. Kelihatannya ia berusaha melepaskan seluruh ketegangan dan stresnya dengan memaki-maki orang-orang yang membuatnya terjebak di pulau ini. Padahal, dari tadi ia terlihat biasa-biasa saja.

Akhirnya Alfred sedikit tenang dan duduk setelah berkali-kali Kiku mencoba menariknya. Kiku mengusap-usap punggungnya untuk membantunya tenang. Sementara Alfred mengatur nafasnya kembali dan sesekali menghela nafas panjang. Ia mengubur wajahnya ke kedua telapak tangannya selama beberapa lama.

Kiku hanya bisa pasrah dan prihatin akan keadaannya. Jujur saja, andai ia memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang berlebih, ia juga akan berteriak dan mencaci maki seperti Negara muda tersebut, bahkan mungkin akan lebih keras lagi. Meski mereka dapat pulih dari trauma mental yang terparah sekalipun, bukan berarti hilang sama sekali. Bagaimanapun, jelmaan Negara ini memiliki memori dan perasaan seperti manusia. Trauma mental tidak bisa hilang selamanya, apalagi jika terlalu berat bagi makhluk non-biologis sekalipun. Kalau bisa, tidak mungkin ada jelmaan yang mentalnya bisa sangat labil seperti Ivan, bukan?

"Sudah agak tenang, Alfred-kun...?" Tanya Kiku cemas, masih mengusap punggung Alfred dengan lebih perlahan.

Alfred kembali menghela nafas panjang. "Yeah... Maaf Kiku... Entah kenapa gue jadi meledak begitu."

"Daijobu, Alfred-kun." Kiku tersenyum simpul. "Ada kalanya, lebih baik melepas unek-unek daripada terus dipendam dan menjadi kerak di hati."

"Ha ha ha ha ! Ya, Kiku... Rasanya gue jadi lebih enteng sedikit gara-gara tadi." Alfred tertawa lepas dan tersenyum lebar, kembali ke dirinya yang normal. Melihatnya, Kiku ikut lega. Melihat Alfred yang dikuasai amarah sama sekali bukan pengalaman yang menyenangkan baginya.

Alfred melepas ransel dan diletakkannya di sampingnya. Lalu, ia merebahkan tubuhnya ke tanah yang ditumbuhi rumput tanpa peduli kemungkinan semut-semut akan menggerayangi badannya. Persetan dengan semut, ia ingin melegakan tubuh dan pikirannya sejenak. Sementara Kiku duduk bersandar di pohon dengan santai, ranselnya ia taruh di depannya dan ia peluk. Bunyi 'ping' pada tracker mereka nyaris tidak lagi terdengar dalam telinga saking seringnya benda itu berbunyi sehingga mereka terbiasa.

Kesunyian segera menyelimuti kedua Negara maju tersebut. Bukan kesunyian yang dingin dan mencekam, namun suasana sepi yang damai dan tenteram.

...

Kiku yang matanya setengah terpejam sayup-sayup mendengar suara yang agak asing. Tidak seperti suara binatang hutan atau suara alam apapun. Tapi mungkin saja itu hanya angin.

... He... lp...

Help? Tolong? Apakah angin secara kebetulan membentuk suara 'Help? Kiku langsung membuka matanya dan melihat sekitar. Apa ia tidak salah dengar?

... Some ...dy...

Tiba-tiba Alfred terbangun, mata terbuka lebar. Ia menengok kanan-kiri sejenak, lalu memandang Kiku. "Loe denger itu tadi, Kiku?"

"Alfred-kun juga mendengarnya? Apa benar-benar ada yang minta pertolongan?" Kiku balik bertanya, sambil melihat-lihat sekeliling.

Alfred tidak mau membuang waktu, ia segera berdiri dan menenteng ranselnya, juga meraih gergaji mesinnya. "Nggak salah lagi, Kiku! Ayo kita cari dia!"

"Hai'!" Kiku ikut berdiri. "... Ah, saya harus pakai kaus kaki dulu!" Lanjutnya saat ia menyadari kaki telanjangnya kini menyentuh langsung tanah dibawahnya.

"Hah? Tapi kita harus cepetan! Gimana kalo dia lagi diserang sesuatu?"

"Duluanlah, Alfred-kun! Meski saya tidak akan lama, tapi kamu benar, bisa saja ia sedang dalam bahaya." Kata Kiku sambil buru-buru mengambil kaus kakinya yang masih setengah basah.

"Uh, okay!" Alfred langsung berlari masuk kedalam hutan. Sebenarnya, ia sama sekali tidak tahu arah mana yang harus ia tuju, suara tadi terlalu pelan dan sayup untuk diketahui dari arah mana asalnya.

"HOOOOOIII! DIMANA KAMU?" Jerit Alfred sambil berjalan cepat, berharap sumber tersebut membalasnya.

... Tolong... !

Alfred memasang tajam telinganya, sambil terus berjalan kearah sumber suara yang ia rasa semakin keras.

"BERTAHANLAH!" Alfred kembali berteriak agar siapapun yang menjerit minta tolong tersebut tahu ia menuju ketempatnya. Namun, karena gema yang dihasilkan hutan, tidak terlalu jelas dimana sumber suaranya. Biar begitu, Alfred mengikuti instingnya dan berlari ke arah yang ia rasa merupakan asal suara tersebut.

Suara itu tidak terdengar lagi. Alfred mencoba memanggilnya kembali, namun tidak terdengar apa-apa. Hampir dilanda putus asa, samar-samar di langit terlihat sekelompok burung hering terbang mengitari suatu titik. Dan ia tengah menuju titik tersebut. Alfred segera mempercepat langkahnya, menabrak segala ranting dan tanaman rambat lain yang menghalanginya. Semakin dekat mulai tercium bau anyir dan amis yang ia pernah cium selama di hutan ini. Bau darah.

Sesampainya di titik tersebut, yang menyambutnya adalah sekawanan burung hering yang terlihat mengerubungi sesuatu. Tidak perlu pengamatan yang lebih tajam untuk melihat bahwa yang mereka kerubungi adalah tubuh manusia. Darah menggenang di sekitar tubuh tersebut, dan jumlahnya tidak sedikit. Beberapa burung hering terbang tinggi mengelilingi tubuh itu, sementara banyak diantaranya mematuk-matuk tubuh yang entah mati atau masi hidup tersebut. Saking banyaknya burung tidak terlihat siapa sebenarnya yang naas terluka parah tersebut. Tanpa basa-basi Alfred menyalakan gergaji mesinnya.

"BUBAR LOE SEMUANYA!"

Suara gergaji itu sangat berisik, menutupi jeritan sang pemegang. Spontan burung-burung tersebut berhamburan ketakutan. Alfred mengibas-kibaskan gergajinya ke arah kawanan burung yang panik tersebut untuk menakuti mereka lebih jauh, hingga burung terakhir terbang ketakutan menjauhi tubuh tersebut. Alfred menghentikan gergajinya dan mengalihkan pandangannya kepada orang malang tersebut.

Matanya langsung terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Kaget, ngeri.

"RODERICH!" Jeritnya pilu. Sang Amerika Serikat langsung menghampiri pria yang ia sebut Roderich tersebut dan berlutut disebelahnya.

Kondisinya sangat naas. Jelmaan Negara Austria tersebut terbaring lemas dengan kepala tersandar pada pohon, berbagai luka tertoreh pada dada dan perutnya. Terdapat luka tusuk pada dada kanannya, pundak kiri dan dua diantaranya berada di perut. Luka sayat tertoreh di sekujur dada hingga ulu atinya, namun tidak terlalu dalam. Dan akibat kerubungan burung hering, ia juga mendapat banyak bekas patuk di sana-sini yang merobek-robek bajunya, banyak diantaranya cukup parah hingga dan kulitnya ikut robek. Darah masih mengalir dari luka-lukanya, membasahi mantel panjangnya yang awalnya berwarna biru, kini dipenuhi bercak-bercak merah tua dan coklat. Aliran darah tersebut menggenangi sekelilingnya hingga seluruh punggungnya basah oleh darahnya sendiri. Roderich Edelstein - alias dari Negara Austria tersebut - bernafas dengan sangat berat, dadanya yang terluka kembang kempis akibat tarikan nafas yang dipaksakan tersebut. Sesekali ia terbatuk, mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

"God, what happened? Bertahanlah, Roderich!" Alfred berada disana tepat waktu, Roderich masih hidup, namun kini ia bingung apa yang harus dilakukan. Pertolongan macam apa yang harus ia lakukan kepada Roderich yang sudah setengah mati ini, ia sama sekali tidak tahu. Terlalu banyak luka yang harus dirawat, sedangkan tidak ada peralatan untuk merawatnya. Untungnya, Kiku segera menyusul Alfred dan menghampiri mereka berdua.

"R-Roderich-san!" Kiku mengulangi reaksi Alfred ketika melihat kondisi Roderich.

"K-Kiku! Gimana nih! Kita harus apain luka-lukanya?" Tanya Alfred dengan sangat panik.

"Alfred-kun, pertama tolong buka mantel Roderich-san!". Alfred langsung mengikuti perkataan Kiku dan melepaskan mantel Roderich dengan cepat namun hati-hati. Kiku berlutut di samping Roderich dan segera mengeluarkan berbagai barang di ranselnya. Yang Kiku tuju ialah baju sebelum ia menggantinya dengan kostum ninjanya; sebuah Blazer dengan celana panjang bahan. Kiku menyerahkan celana panjang tersebut kepada Alfred setelah ia selesai menanggalkan mantelnya. "Alfred-kun, tolong tutup lukanya dengan ini!"

"Makasih, Kiku!" Sambut Alfred lega. Ia dan Kiku segera merobek-robek pakaian tersebut menjadi lembaran-lembaran. Pertama, Kiku menggunakan lembaran kecil untuk membersihkan darah dan hal-hal lain pada luka-luka Roderich. Lalu Alfred menggunakan lembaran yang paling panjang untuk melilit dan menutup luka-luka pada dada dan punggungnya. Setelahnya luka pada perut ditutup, lalu luka-luka patuk di sekujur tangan dan kakinya. Sementara proses perawatan luka berjalan, Roderich keburu tidak sadarkan diri karena kekurangan darah. Untungnya, nadinya masih berdetak. Alfred membentangkan baju luaran tentara yang jarang ia kenakan ke tanah, lalu menidurkan Roderich di atasnya.

(-)

Ping.

Siapa itu!

Ping.

... Ah, kau rupanya...

Ping.

... Apa yang terjadi... ? Kondisimu aneh...

Ping.

... B-Bodoh! Hentikan! Apa maumu!

...

"Uh-Uhuk! Uhuk!" Belum sempat matanya berfungsi, Roderich terbatuk-batuk, akibat kesulitan bernafas. Wajar saja, paru-parunya terluka berat. Bila ia hanya manusia biasa, ia telah tewas jauh lebih awal.

Ping.

Seluruh badannya terasa dingin. Mati rasa. Namun, sedikit ia dapat menggerakkan jari-jemarinya. Namun, tidak lebih. Tidak terasa ia memiliki tangan atau kaki. Kalau saja ia tidak dapat menggerakkan jari-jarinya, sudah terpikir bahwa kaki dan tangannya telah putus.

Ping.

Ia tidak tahu apakah matanya melihat atau tidak. Semuanya gelap. Tapi telinganya ia rasakan masih berfungsi. Sayup-sayup terdengar suara, namun ia tidak dapat mengenalinya. Semuanya samar, semuanya buram.

Ping.

Roderich sadar, ia masih memiliki kepala. Ia dapat merasakan sesuatu tengah mengusap dahinya. Akhirnya matanya berhasil menangkap secercah cahanya. Makin lama makin terang. Berkat cahaya tersebut, dapat terlihat olehnya telapak tangan yang menyentuh wajahnya.

Ping.

Suara-suara itu terasa semakin keras, semakin jelas. Suara manusia yang berbicara. Rupanya, ia tidak sendiri. Roderich mulai mengingat kembali, ia menggunakan sisa tenaganya untuk menjerit sekeras mungkin, berharap pertolongan yang tidak akan muncul. Tapi, Tuhan tidak berpaling darinya, dan pertolongan datang.

Ping.

"Jangan terlalu memaksanya, Alfred-kun. Barangkali Roderich-san butuh waktu untuk memulihkan indera-inderanya."

"Tapi ia masih hidup, kan, Kiku?"

"Matanya terbuka dan ia bernafas. Yang bisa melakukannya hanya orang hidup, bukan?"

"A- Yah... Bukan itu maksudnya... Gue berharap dia nggak jadi cacat atau semacamnya... Maksud gue, nggak jadi buta atau tuli, gitu... "

"Lukanya memang cukup parah, tapi tidak ada tanda benturan atau luka apapun di kepalanya. Saya harap itu tidak akan terjadi..."

Ping.

Lama baginya untuk dapat menangkap dan mendengar percakapan tersebut. Perlahan tapi pasti, gambar yang ditangkap matanya semakin jelas. Bukan hanya tidak sendiri, ada dua orang lain bersamanya. Cahaya tersebut berasal dari api di tengah. Salah satu orang bersamanya berambut pirang, satunya lagi hitam. Akhirnya ia dapat menggerakkan tangannya, dan hal pertama yang ia lakukan dengan kedua tangannya adalah mencoba mengangkat tubuhnya yang terbaring. Tapi tidak semudah yang ia bayangkan, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, seperti ditusuk seratus pedang.

"... Ugh...!"

"Roderich! Mau ngapain?" Si rambut pirang segera menghampirinya, dan membantunya untuk terduduk, dibantu oleh yang berambut hitam. Si rambut hitam tetap berada disampingnya, sementara yang rambutnya pirang merogoh sesuatu dari ranselnya.

"Kau baik-baik saja, Roderich-san?" Tanya si rambut hitam. Butuh waktu baginya untuk dapat mengenali wajah tersebut, seiring oksigen terus mengalir dan membuat otaknya bekerja.

"Jepang... " Kata pertama yang ia tuturkan semenjak ia sadar. Sementara itu, si rambut pirang kembali menghampirinya dengan membawa botol berisi air. "Mau minum, Rode?"

"Sebentar, Alfred-kun. Biarlah Roderich-san memulihkan diri lagi." Balas Jepang, atau Honda Kiku, kepada si rambut pirang. Akhirnya Roderich dapat mengenalinya. Amerika Serikat. Alfred F Jones.

"Tidak apa-apa, Kiku... Berikan aku minum." Roderich mencoba meraih botol yang dipegang Alfred. Alfred mendekatkan mulut botol dengan perlahan ke mulut Roderich. Sementara Negara yang terluka parah itu sangat kehausan, begitu mulut botol menyinggung mulutnya dan air mulai masuk, ia segera menegaknya dengan rakus. Kontan ia segera terbatuk-batuk akibat terburu-buru.

"Roderich-san! Perhalanlah sedikit!" Kiku berusaha menghentikan batuknya. Setelah berhenti, ia meminta air lagi, yang segera Alfred berikan. Kali ini, ia menegaknya secara perlahan, meminum seluruh air yang tertampung dalam botol. Setelahnya, ia merasa lebih segar, seiring mata dan telinganya telah menangkap suasana sekitar dengan cukup baik.

"Kalian yang telah menolongku...?"

"Ah, ya, Roderich-san. Namun karena tidak ada peralatan yang memadai, yang kami lakukan hanya menghentikan pendarahan dari lukamu." Jawab Kiku.

"Begitu? Bagaimanapun, terima kasih..." Roderich mendongakkan kepalanya, melihat langit yang sudah gelap. "Jam berapa... ?"

Alfred menengok jam tangannya. "Setengah satu pagi. Kita menemukanmu pas jam setengah 3."

Roderich tidak membalas. Ia hanya menundukkan kepala, sambil melihat tubuhnya yang dililit oleh kain-kain untuk menutupi lukanya.

"Siapa yang melakukannya, Roderich?"

Kepalanya kembali ia dongakkan untuk melihat sang penanya. "Rode, selain burung-burung hering sialan itu, lukamu ini bukan luka dari binatang, kan...?"

"Ada Negara yang menyerangmu, Roderich-san?" Pertanyaan tersebut dilanjutkan oleh Kiku.

"... Tentu saja, Kiku. Memang siapa lagi yang bukan binatang disini selain kita?"Jawab Roderich agak ketus.

"... Siapa dia, Roderich?" Alfred menegaskan pertanyaannya. Wajahnya menyimpan ekspresi takut, marah, tidak percaya. Baik Roderich maupun Kiku paham betul kenapa. Siapa yang begitu tega melukainya hingga sesadis itu?

Negara Eropa tersebut hanya menghela nafas. "Kalian tidak akan percaya siapa." Katanya sambil mengalihkan matanya kearah lain.

"... A-Apa maksudmu, Roderich-san?" Kiku terheran-heran.

"Bilang saja langsung, Roderich!" Sahut Alfred yang tidak sabaran.

"J-Jangan terlalu keras, Alfred-san!" Kiku mencoba menenangkan Alfred.

Roderich kembali menghela nafas. Kali ini kesunyian melanda ketiga negara tersebut, meski hanya sesaat. Akhirnya, Roderich menjawabnya langsung.

"Italia..."

Kiku maupun Alfred tidak langsung menangkap jawaban Roderich. Kaget.

"A-Apa?"

"Veneziano. Feliciano Vargas."


Setiap pembaca yang tidak meninggalkan review, nun jauh disana sehelai dari alis Iggy rontok (?)

Review-lah cerita ini untuk menyelamatkan alis Iggy yang tebal nan antik!