Cepat Besar, Rukia!

Summary:

Rukia tidak menyangka Shuuhei akan serius dengan kata-kata yang diucapkannya beberapa tahun silam. RukiaxShuuhei, one-sided RenjixRukia.

Disclaimer: Bleach hanya milik Kubo Tite-sensei.

.-.-.

Baru saja Renji hendak melajukan mobilnya ketika mobil Shuuhei berhenti di depannya. Rukia sudah masuk ke dalam rumahnya saat Renji menghidupkan lagi mobilnya. Secepat kilat Renji turun dan menghadang mobil Shuuhei. Pemuda itu mengetuk kaca jendela Shuuhei, memintanya keluar.

"Rasanya aku pernah melihatmu," gumam Shuuhei saat berhadapan dengan Renji.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kau sering melihatku bersama Rukia, bukan?" kata Renji gusar. "Ada yang harus kau jelaskan padanya," tuntut Renji marah.

"Dan kenapa aku harus menurutimu, Anak Muda?" balas Shuuhei tenang. Dia keluar dari mobilnya, dan berjalan ke hadapan Renji.

"Aku benci melihat Rukia menangis, apalagi kalau itu gara-gara kau, Hisagi-san," lanjut Renji agak kasar, mengacuhkan kalimat Shuuhei sebelumnya. Dia lebih tinggi beberapa senti dari pria yang berhasil mencuri hati sahabatnya. Sayangnya sepertinya Shuuhei tidak terintimidasi oleh fakta ini.

"Aku memang akan menjelaskan sesuatu padanya. Lagipula, aku juga menyesal telah membuatnya tahu tentang Orihime dari orang lain," tambah Shuuhei. Wajahnya berubah muram.

Chapter6

.-.-.

Shuuhei menyandarkan tubuh pada mobilnya. Mata hitamnya kini terpusat pada pemuda yang kelihatan tersulut emosi di depannya. Dia bisa merasakan hawa pekat menguar dari Renji.

"Rukia beruntung punya teman dengan perhatian melimpah sepertimu, Abarai. Tapi aku yakin kalian tidak hanya sekedar teman biasa," kata Shuuhei mengeluarkan pendapat.

"Apa maksudmu? Kau menuduh Rukia?" salak Renji, geram.

Pria yang ditanya malah menggelengkan kepala. "Yang kumaksud adalah kau," tunjuknya. "Bagimu, Rukia lebih dari teman. Benar begitu, bukan?"

Mata Renji melebar. Rautnya yang tadi diliputi kegusaran kini berubah. Suasana menjadi canggung. "Benar. Rukia tidak hanya sahabatku," aku Renji akhirnya.

Shuuhei mengangguk. Paham bahwa Renji menyimpan perasaan lain pada Rukia. "Jadi kau rivalku, Abarai."

"Aku tidak berniat berebut Rukia denganmu," ujar Renji cekatan menanggapi. "Kami hanya berteman. Kemungkinan kami menjalin lebih dari sekedar persahabatan tidak bisa dibilang besar, tapi aku tidak berniat mempertaruhkan persahabatan kami untuk sekedar melewati batas itu. Rukia lebih dari itu," terang Renji panjang lebar. Sejenak dia ragu. Nyaris saja dia mengungkapkan bahwa dia pernah hampir meminta Rukia jadi pacarnya, tapi kemudian pemikiran lain mampir ke benaknya. Belum tentu keakraban mereka seerat sekarang, saat mereka hanya dibatasi status sahabat saja. Dan sepertinya keputusannya memang yang terbaik.

"Aku cemburu, Abarai," ungkap Shuuhei tenang, setelah sebelumnya menarik napas panjang. Usianya boleh lebih tua, tapi dia tetap manusia biasa yang bisa merasakan emosi lain seperti cemburu dan suka. Kini raut wajah tegasnya semakin muram. "Kesan yang kutangkap, meski secara implisit, wanita yang aku suka mempunyai tempat sangat istimewa dalam dirimu."

"Karena itu, meski cintaku bertepuk sebelah tangan, aku marah atas apa yang terjadi barusan. Kau membuatnya menangis," tunjuk Renji datar, walau ada perasaan lain berkecamuk dalam dada bidangnya. Getir dan pahit karena baru saja dia mengakui kenyataan bahwa Rukia lebih memilih pria lain sebagai pelabuhan hatinya.

.-.-.

Rukia benar-benar keras kepala. Dia tidak mau menemui Shuuhei. Saat laki-laki itu bergegas mencarinya, dia menolak bertemu. Telpon Shuuhei tidak diangkatnya. Pesan darinya pun tidak dibalas.

Balas menyukai Shuuhei merupakan hal di luar kendali Rukia. Gadis itu tidak mudah mempunyai perasaan khusus pada seseorang, dan ketika pada akhirnya dia naksir sahabat Byakuya, dia harus menerima kenyataan pahit bahwa ada wanita lain yang jauh lebih dewasa dan cantik yang pernah dikenal Shuuhei. Wanita spesial yang membuat Rukia merasa kalah. Dan sisi lain hatinya perih.

Dia yang susah jatuh cinta, gampang terluka hatinya.

Gadis Kuchiki itu hampir terlonjak ketika Byakuya memasuki perpustakaan pribadinya.

Dengan kalem Byakuya menyeberangi ruangan itu. Sang kakak tahu tempat inilah dimana Rukia mencari ketenangan dikala jenuh maupun saat sumpek. Berada di antara rak dan buku rupanya memberi efek menenangkan buat si adik.

"Shuuhei barusan ke sini. Kau sungguh-sungguh tidak mau menemuinya?" sapa Byakuya. Dia ikutan duduk di permadani supek empuk dan tebal di samping Rukia.

"Tidak," balas Rukia pendek disertai gelengan kepala pelan.

"Dia sudah beberapa kali mampir tapi hatimu masih saja belum tergerak," komentar Byakuya.

Bukannya membalas, Rukia malah menunduk sembari memainkan punggung buku yang dipegangnya.

Sang kakak cuma mengamati.

"Maaf, Shuuhei temanmu tapi aku masih agak marah padanya," gumam Rukia. Dia tidak berani memandang kakaknya.

"Hm," nyaris saja Byakuya mendengus. "Walau dia teman baikku, tentu saja aku berang kalau dia berani menyakitimu," kata Byakuya mantap.

Rukia mendongak, memandang wajah datar Byakuya. Gadis itu terkejut. Dia selalu berpikir laki-laki selalu mengutamakan sahabatnya daripada siapapun, pacar maupun saudara. Mendengar kalimat Byakuya membuatnya berpikir sebaliknya.

"Adikku jauh lebih penting."

Hati Rukia semakin terenyuh.

Tentu saja Byakuya tidak akan memaafkan siapapun yang membuat adiknya muram atau sedih. Pria itu diam-diam protektif terhadap adik angkatnya itu. Byakuya sadar Rukia juga belum tentu benar, tapi dia maklum. Si adik masih berusia belasan, masih suka meledak seperti mercon dan sering terjun bebas dalam menyimpulkan sesuatu. Shuuhei juga pasti menyadarinya, batin Byakuya.

"Rukia..." panggil Byakuya. Dia tampak ragu. Dalam hati laki-laki itu berusaha menata kalimat.

"Ya?" sahut Rukia, agak heran melihat kakaknya seperti itu.

"Shuuhei sahabatku, aku tahu banyak tentangnya. Keputusannya mendekatimu pasti bukan karena main-main. Shuuhei bukan orang yang suka memainkan perasaan orang," terang Byakuya hati-hati. "Aku percaya padanya."

"Aku juga percaya pada Shuuhei-san," seru Rukia pahit.

"Jujur saja, aku tidak suka melihatmu murung begini, tapi kurasa Shuuhei berhak menjelaskan semuanya padamu," saran Byakuya.

.-.-.

Semakin lama Rukia semakin malu dengan keputusannya mengacuhkan Shuuhei. Dia cemburu dan sakit hati mengenai Orihime, tapi dia sadar dia juga salah dengan menolak upaya Shuuhei menjelaskan tentang wanita itu. Tapi akhirnya dia memantapkan hati, bersedia menemui laki-laki yang telah merebut hatinya kala sore itu dia mampir ke rumah, entah untuk yang keberapa kali.

Yang membuat Rukia heran, entah kenapa, dia malah gugup. Bukankah seharusnya Shuuhei yang merasakan perasaan ini? Begitu Byakuya mengetuk kamarnya, memberitahu kedatangan pria berambut cepak itu, Rukia tidak langsung turun dan begitu saja keluar. Malah dengan gelisah Rukia mematut diri di depan cermin, memastikan dirinya tampil cantik dan mengesankan. Tapi secantik bagaimana? Apakah postur kecil berbalut kardigan kuning dan rok selutut berwarna senada bisa membuat Shuuhei terpesona? Rukia jelas meragukan itu. Yang pasti, dia tak ingin kelihatan jelek di depan laki-laki yang disukainya.

Shuuhei tersenyum begitu Rukia masuk ruang tamu dan duduk di kursi sampingnya.

"Hai. Aku kangen."

Sapaan yang tanpa basa basi itu membuat jantung Rukia semakin berdetak liar. Gadis itu hanya berharap wajahnya tak sampai semerah tomat.

Shuuhei memandang Rukia, mengamati ekspresi yang berseliweran di wajah kecilnya. Mata violetnya sesekali meliriknya. Yang paling Shuuhei inginkan, adalah keceriaan yang akrab bersemayam di mata itu, bukan pesona muram yang menggambarkan suasana hati adik sahabatnya itu.

"Kau pasti tahu maksud kedatanganku," lanjut Shuuhei ketika tak ada tanda-tanda Rukia bersedia membuka mulut. "Pertama, aku ingin minta maaf soal foto yang ada di studio Kira. Dan aku juga salah tidak memberitahumu soal Orihime." Nama itu menimbulkan sedikit reaksi dari Rukia, dan Shuuhei menyadarinya.

"Oh," gumam Rukia, tidak tahu harus menyahut dengan kalimat yang lebih normal. Dia ingin tahu siapa sebenarnya wanita itu bagi Shuuhei, tapi terlalu malu untuk mengungkapkannya.

"Dulu dia pacarku," ujar Shuuhei hati-hati, matanya tak lepas dari Rukia.

"Dulu?" tanpa sadar Rukia membeo. Sedikit kerut menghias keningnya.

"Yup, dulu. Kami sempat bersama beberapa saat. Tapi kemudian kami menyadari bahwa...hubungan itu tak bisa diteruskan. Jadi, kami memutuskan untuk kembali jadi teman," terang Shuuhei.

Rukia sedikit lega meski ada secuil rasa cemburu sekaligus penasaran, kenapa hubungan itu dulunya terputus. Dalam benaknya, dia berpikir bahwa Orihime terlalu cantik dan sayang untuk dilewatkan. Tentu saja pikiran remaja itu tidak sampai pada suatu kesimpulan bahwa dalam suatu hubungan, yang terpenting bukan hanya soal rupa yang menawan, tapi juga ikatan batin yang melandasi kelangsungan jalinan tersebut.

Shuuhei menarik napas. "Orihime mantanku, Rukia," jelasnya lagi.

"Tapi foto di studio Kira dulu terlihat..." Rukia tidak menuntaskan kalimatnya. ..sangat mesra.

"Foto itu diambil saat kami bersama. Kira pikir foto itu bagus, jadi dia mencetaknya dengan ukuran super jumbo. Aku sudah memintanya menurunkan foto itu."

Rukia memainkan jari-jarinya. Ada rasa senang karena akhirnya Shuuhei menjelaskan tentang Orihime, dan ada perasaan tidak enak lain karena Shuuhei sampai harus meminta sahabat pirangnya untuk tidak lagi memajang foto terkutuk itu. Foto yang tadinya dilaknat Rukia, namun sekarang ada pikiran bahwa mungkin saja potret itu tidak digunakan untuk kepentingan lain selain bisnis.

Tanpa disadarinya, gadis itu mengerang tertahan sembari menggosok pelipisnya dengan jari-jarinya.

"Rukia, jangan-jangan kau cemburu."

Rukia tersentak. Wajahnya memerah karena sepenggal kalimat itu menohok langsung hatinya. Tepat sekali.

"Tidak," sangkalnya cepat, yang sebenarnya sia-sia karena reaksinya spontannya memberi afirmasi 'Ya, aku cemburu.'

Shuuhei hanya nyengir kuda, tapi tidak menggodanya lagi. Pria itu tidak mencoba peruntungannya lagi, khawatir perjuangannya untuk mendapatkan maaf Rukia bakal lebih alot.

"Kau imut sekali, lho," cetus Shuuhei tak tahan.

Rukia merengut. "Apa maksudnya?"

"Jadi kau memaafkanku, kan?"

"Maaf untuk apa? Aku tidak marah, Shuuhei-san."

"Bohong tuh. Kalau tidak marah, kok ninggalin aku di Seireitei Square?"

"..."

"Tuh, kan. Makanya kubilang kau manis. Kecil sih, lebih muda lagi."

"Aku memang masih remaja, dan kau yang sudah tua."

"Hyaha..."

Shuuhei tertawa lepas. Tentu saja dia masih muda, tapi pria itu maklum, remaja seumuran Rukia memang biasanya berpikir pria di atas dua puluh sudah berumur.

Ketika tawanya reda, Shuuhei kembali serius. "Tapi aku tidak main-main dengan maksudku untuk bersamamu, Rukia. Aku tak akan mendekatimu kalau aku masih bersama orang lain. Bisa-bisa Byakuya tidak akan membiarkanku melihat hari esok jika aku tidak serius denganmu. Kakakmu orang paling protektif yang kukenal."

Rukia tercengang sementara Shuuhei menggelengkan kepala.

"Rukia, tenggat waktunya bahkan sudah lewat, lho," ujar Shuuhei mengingatkan.

"Deadline apa?" tanya Rukia tak mengerti.

"Aku memberimu satu minggu, tapi ini sudah lebih. Jadi, bersedia jadi pacarku, kan?" ulang Shuuhei.

Wajah Rukia bersemu merah. Dengan kecemburuan, sakit hati, kecewa dan ngambek gara-gara sebuah potret dan identitas Orihime yang terungkap, Rukia lupa dengan pernyataan cinta Shuuhei.

"Shuuhei-san memang betul masih single, kan?" ulur Rukia, dengan pertanyaan yang nyaris kekanakan.

Shuuhei tersenyum, geli sekaligus senang melihat adik sahabatnya nampak sedang berpikir. Pemilihan kalimat Rukia sekali lagi mengingatkannya, bahwa gadis itu memang masih sangat belia.

"Heeh, aku sendiri. Lajang, single, jomblo, single fighter dan entah status apalagi," balasnya.

"Bagus!"

"Apanya yang 'bagus', Rukia?"

"Kalau begitu aku mau jadi pacarmu."

Kali ini Shuuhei tersenyum lebar, menandakan perasaan hatinya yang senang. Dia beringsut mendekat dan mengulurkan tangan, mengacak rambut hitam Rukia. Seperti yang diduganya selama ini, helaian rambut hitam itu sehalus sutra.

Sayangnya, momen romantis pertama mereka sejak jadian -yang terhitung sudah berlangsung beberapa detik- terusik dengan kemunculan mendadak Byakuya di ruangan itu.

Shuuhei merasakan hawa asing yang tidak mengenakkan menyeruak dan menghantam belakang kepalanya. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Lehernya juga seperti tercekik.

"Apa yang kau lakukan pada adikku?" tuntut Byakuya datar. Suaranya sedingin es tapi matanya memancarkan api.

"Eh?" Shuuhei tak mengerti, tapi kemudian pandangannya jatuh pada tangannya yang masih di kepala Rukia.

"Beraninya kau menyentuh adikku dengan tangan nistamu."

Kalau mau jujur, Byakuya adalah salah satu orang yang paling menakutkan bagi Shuuhei. Dan melihatnya segarang macan seperti saat itu membuat Shuuhei panik.

"Aku cuma mengusap rambutnya saja, kok," elaknya.

"Kenapa harus begitu?"

"Apa salahnya bermesraan sedikit dengan pacarku?"

Barulah ketika mendengar kata 'pacar', Byakuya membeku. Pria tampan itu mematung. Rukia, yang hanya bisa mengamati perseteruan pacarnya dan sang kakak, hanya bisa menarik napas panjang.

.-.-.

Setelah berhenti menceramahi Shuuhei untuk menjauhkan tangannya dari Rukia, Byakuya jadi tenang. Bertiga dengan Rukia, mereka melihat-lihat foto yang dibawa Shuuhei.

"Nih, foto-foto waktu aku meliput ke Stadion Yokohama," tunjuk Shuuhei.

Rukia mengambil sebuah foto close-up Shuuhei. Pria itu menyeringai. Bedanya, ada tato terukir di pipinya.

"Shuuhei-san," panggilnya. "Kok wajahmu bertato? Ini nomor enam dan sembilan, kan?"

"Oh, itu waktu aku dan teman-temanku gila-gilaan di festival kembang api musim panas tahun lalu. Akhirnya mereka merias wajah mereka dan wajahku dengan tinta timbul dan marker yang bisa dihapus. Tidak permanen sih, tapi agak susah dihapus setelahnya," jelas Shuuhei.

Secepat kilat Byakuya merebut foto yang dimaksud. Terlebih mendengar 'enam' dan 'sembilan', wajahnya kembali angker.

"Ternyata kau memang pria mesum," desis Byakuya pedas.

Shuuhei, yang menyadari maksud Byakuya, buru-buru menyangkalnya. "Bukan maksudku, kok. Itu Szayel yang memoles tatonya."

Rukia tidak paham dengan makna angka itu. "Apa maksudnya?" tanyanya meminta penjelasan.

Giliran Byakuya dan Shuuhei yang menatap Rukia, terkesima dan tak percaya.

"Eh, itu..." Shuuhei jadi salah tingkah.

"Awas kalau kau sampai merayu adikku yang macam-macam," ancam Byakuya.

Oh oh, siapa sangka ternyata Rukia masih polos sekali.

Rupanya bukan perkara enteng jadian dengan gadis remaja yang punya kakak protektif. Terlebih, jika sang kakak, meski sahabat sendiri, adalah orang seperti Byakuya. Satu lagi pemikiran Shuuhei, diam-diam dia berharap Renji menemukan gadis lain, meski saat ini sepertinya Renji sudah terlanjur cinta mati pada Rukia.

.-.-.

The End