Disclaimer : hak cipta Sengoku Basara sepenuhnya adalah milik CAPCOM. Fanfiksi ditulis hanya untuk kesenangan penulis dan tidak untuk mencari keuntungan materi. *urusan materi obrolin di belakang panggung ajaaa* ~ditimpuk~

"..." : percakapan

'...' : bicara dalam hati

Italic : flash back

-xxx- : ganti setting

Chapter 8 –eh, udah sampai delapan-

Awan kelabu bergerak cepat menutupi garis-garis sinar mentari yang jatuh di permukaan bumi. Titik-titik air segera terbentuk di kaca besar di samping kursi Yukimura. Air dari langit mulai tumpah membasahi tanah yang kering. Mengangkat piring dan gelas yang berisi pesanannya, Yukimura berpindah tempat ke kursi yang lebih dalam. Di sinilah dia sekarang, kafe yang terakhir dia dan kedua sahabatnya kunjungi beberapa waktu lalu.

Yukimura menutup mata dan telinganya rapat-rapat saat gemuruh guntur menggelegar di luar. Guntur yang ini kekuatannya cukup besar, selain suaranya yang keras, getaran yang ditimbulkan akibat suaranya mampu membuat kaca di kafe bergetar hebat. Kedua tangan Yukimura masih terpasang erat di kedua telinganya, menunggu jika keadaan sudah cukup 'aman' baru dia akan melepaskannya. Melonggarkan pertahanan adalah keputusan yang salah, karena sepersekian detik kemudian, kilat yang sangat terang datang dan diikuti suara guntur yang luar biasa. Kembali Yukimura menutup kedua telinganya. Kali ini ditambah tubuhnya yang gemetar.

Mata Yukimura mendadak terbuka, karena dirasakannya ada yang menyentuh dan menurunkan kedua tangan dari telinganya. Nafas Yukimura berhenti.

"Kau takut?" kata orang di depannya.

Masamune's POV –aheee...senengnya nulis bagian ini-

Shift-ku akan dimulai sekitar 30 menit lagi. Seperti biasa, dapat shift siang artinya harus meladeni lebih banyak orang. Alunan nada simfoni ciptaan Beethoven merasuki telingaku perlahan, memberi ketenangan sebelum aku memulai semua tugasku. Berganti pakaian di pantry dengan seragam kafe dan celemek putih bersih yang baru aku ambil dari tempat laundry. Daun jendela di lantai dua terdengar tertutup paksa. 'Wah, anginnya lumayan kuat juga.' Mencuci tangan sebagai sentuhan terakhir sebelum aku bergerak ke dapur, mengamati pengunjung yang datang dan bersiap melayani mereka.

Saat akan menyapa chef, ekor mataku menangkap sosok yang aku tunggu akhir-akhir ini. Dia ada di sebelah kaca besar yang menghadap ke jalanan ramai. Beruntung hari ini kafe tidak seramai biasanya. Kursi-kursi kosong membantu sebelah mataku untuk menangkap tiap gerak-gerik yang dia buat. Guntur meraung-raung ganas di luar sana, sampai-sampai kaca disebelah dia bergetar. Di luar, hujan mulai turun. Aku mengambil writing pad dan bon pesanan, kalau-kalau banyak orang kemudian masuk untuk berteduh.

Yukimura -ya, kalau tidak salah mereka dulu memanggilnya Yukimura- mengangkat pesanannya dan pindah ke meja nomor 6. Lagi-lagi guntur menggelegar. Aku terkejut dengan reaksi yang ia tunjukkan. Ia menutup kedua telinga dan matanya. Sebelah alisku mengkerut heran, aku berdiri dengan sedikit condong ke depan untuk melihat lebih jelas. Pengunjung lain sudah tidak peduli dengan keadaan luar, tampaknya mereka sudah nyaman dengan suasana di dalam kafe. Tapi dia tidak, dia masih menutup telinga dan matanya, malah semakin erat.

Ingin tahu, aku berjalan mendekati mejanya. 'Klap' lalu 'Duaaarrr!'. Aku bergidik kaget karena kilat barusan. Kembali perhatianku terfokus dengan anak muda di depanku, sekarang dia gemetaran. Aku raih kedua tangannya, lalu kelopak mata itu terbuka.

"Kau takut?"

-Normal POV-

Yukimura tidak segera menjawab pertanyaan Masamune, keterkejutan masih mengontrol dirinya. Berkali-kali dia mengerjapkan matanya. Perlahan, kedua tangannya ikut turun bersama dengan nafasnya yang mulai stabil.

"Kau baik-baik saja?" Lagi, Masamune mengajaknya bicara dengan kepedulian yang mengisi di setiap kata-katanya.

Setelah merasa kesadarannya terkumpul, Yukimura mengangguk dan tersenyum, "Aku tidak apa-apa. Terimakasih Kakak."

Dipanggil 'kakak' bukan hal baru untuk Masamune, beberapa pelangganpun memanggilnya 'kakak', namun mendengar lima huruf itu keluar dari bibir Yukimura, Masamune merasa aneh. Terasa geli di telinga. Dia tertawa sambil menutup mulutnya.

Kening Yukimura berkerut. "Adakah yang lucu, Kakak?" tanyanya dengan nada sedikit tersinggung. Semburat merah mewarnai wajah Yukimura, tidak lupa dengan panas yang ikut merambat. 'Jangan-jangan orang ini menertawaiku yang ketakutan. Huh, sudah seharusnya sebagai laki-laki aku tidak menunjukkan rasa takut, apalagi di tempat umum seperti ini.'

Bukannya berhenti tertawa, sekali lagi dipanggil 'kakak' oleh Yukimura, tawa Masamune semakin menjadi.

"Oi Date, kerja!" Teriak Keiji dari balik mesin kasir. "Kau digaji bukan untuk merayu cowok manis, bodoh!" Kata-kata Keiji sontak memancing tawa seluruh pengunjung kafe. Tawa mereka bersahut-sahutan dengan riuh hujan di luar.

"Belum waktuku kerja, lady killer! Kau jangan protes!" balasnya.

Yukimura yang merasa dirinya sudah berubah menjadi kepiting rebus, meraih tasnya hendak pergi dari situ. Sayang, ada yang lebih cepat dari kaki Yukimura. Tangan Masamune buru-buru menahan Yukimura untuk pergi. Ia menarik Yukimura kembali duduk di tempat semula.

"Aku tidak menertawakanmu, duduklah."

"Tidak, aku sudah selesai." Potong Yukimura cepat, dia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Masamune.

"Maaf." Buru-buru Masamune berdiri, mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya, dan menunduk dalam-dalam. Yukimura berhenti. Masamune mendongak dan dengan mata kirinya dia memberi isyarat supaya Yukimura kembali duduk.

Yukimura menghela nafasnya. "Aku sudah memaafkanmu, tapi aku tetap ingin pergi."

"Tidak. Aku bersikeras kau tidak boleh pergi," Yukimura heran pada pria di depannya. 'Egois sekali.' "jika kau masih ingin pergi, maka dango special yang akan aku beri sebagai permintaan maafku tidak jadi aku berikan." Mata Yukimura seketika membulat mendengar tiga kata ajaib : dango, special, pemberian (gratis). Bukan Yukimura namanya kalau menolak pemberian orang lain, apalagi jika urusannya dengan kue paling lezat sejagad raya –menurut Yuki-, dango.

"Bagaimana?" Sudut bibir Masamune terangkat, nampaknya dia yakin sekali Yukimura tidak akan menolak tawarannya. Dan prediksinya tidak salah.

"Ba-baiklah. Aku rasa tinggal sebentar di sini juga tidak masalah." Masamune berjalan memutari meja lalu menarik kursi untuk kemudian mempersilahkan Yukimura duduk. "Terimakasih."

"Aku pesan dango speicial satu porsi!"

"Ambil sendiri, Date. Aku tak mau meladenimu!" jawab Keiji ketus.

"Tunggu di sini, aku ambil dangonya." Tak berapa lama Masamune kembali dengan piring putih berisi tiga tusuk dango.

"Satu porsi dango special sebagai permintaan maaf sudah tersedia. Semoga anda menikmatinya, Tuan." Masamune menyajikan dango dalam pose standart pelayan hotel bintang lima, tidak hanya itu, bonus kedipan mata kiri Masamune –yang memang hanya punya satu mata-.

Yukimura tersipu dengan perlakuan Masamune. Tanpa malu, dia menyambar tusuk dango yang pertama dan langsung memasukkan bulatan besar warna pink ke dalam mulutnya sampai mulutnya menggembung. Masamune yang gemas mengacak-acak rambut Yukimura. "Kau lucu sekali, Yukimura." Yukimura berhenti mengunyah. Susah payah dia telan potongan dango yang agak besar.

"Dari mana Kakak tahu namaku Yukimura?"

Dan Masamune membisu.

-xxx-

a.n : semoga bisa dapet inspirasi selama berkutat di kebun binatang, amin!