Hmm... Ternyata ulang tahun Ruby memang hari ini... Nami terhenyak beberapa lama. Apa yang akan kuberikan untuknya?

.

.

.

Disclaimer: Harvest Moon: A Wonderful Life © 2004 by Victor Interactive Software and Marucome; Harvest Moon: DS © 2006 by Marvelous Interactive.

Notes: third person POV, AU.


-(halaman sebelas)-

Hari itu pertengahan musim panas ketika pertunjukan kecil berkelebat pada mimbar langit yang cenderung statis dalam tinggi derajat.

Bintang pagi—yang lebih dikenal dengan sebutan 'matahari'—menghembuskan sengat dan aroma biru lewat cermin yang menggulungkan hirup dan kapas. Perahu-perahu yang dominan putih dan sebagian kelabu itu berlayar dengan santainya. Tidak banyak angin nakal yang cukup kuat untuk menenggelamkan; sekadar gerakan-gerakan kecil yang hanya dapat tertangkap oleh mereka yang cukup peduli untuk menengadah.

Salah satunya adalah Nami yang kini topang dagunya tak lagi tertarik pada panggung dengan perubahan yang lambat tersebut. Gadis yang tengah memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana itu pun lalu berjalan menuju penginapan tempat ia saat ini tinggal.

Ia baru saja selesai membantu Ruby mengangkut kardus berisi barang-barang yang akan dijual di kios pantai. Terhadap ini, ia sebenarnya tidak terlalu keberatan, sebab setidaknya ia tak perlu berurusan dengan pembeli seperti pada hari pertama kios dibuka di akhir musim lalu lagi.

Yang agak membuatnya keberatan adalah alasannya kini membantu sang wanita berambut hitam adalah karena beberapa hari belakangan, penyakit malas putra 'ajaib'nya kembali kumat. Singkat cerita, bocah 'luar biasa' itu selalu pulas pada jam di mana Ruby seharusnya sudah bersiap. Tak tahan melihat ibu yang terlalu sabar itu menggedor pintu untuk dibalas dengan dengkur atau keluhan tak sopan, Nami memutuskan untuk menjadi alternatif sebelum hati sang pemilik penginapan habis termakan.

Sungguh, memikirkan bocah bodoh itu tidak pernah menghasilkan apa-apa selain kusut batin.

Dan benar saja. Udara langsung terhela tak lama setelah sang gadis menginjakkan kaki di ruang utama Inner Inn.

Rock yang tengah menggaruk-garuk punggungnya menjadi hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihat. Mulutnya sedang mengunyah selagi kesadarannya sudah sejak lama lenyap dari peradaban—karena jika mereka masih ada, tidak mungkin piring kosong dengan remah-remah yang tercecer ke segala tempat tertinggal di meja resepsionis yang harusnya rapi tertata.

"Oh, Nami. Habis ngangkatin barang jualan, ya? Makasih, ya. Hehehehe."

Sang pemudi tak menggubris. Tembok transparan seakan berdiri mengelilinginya yang sedang—hampir selalu—tidak ingin menjadi lawan bicara sang pemilik rambut pirang.

Pandangannya kini lebih tertuju pada paket berukuran sedang yang berdiam beberapa jauh dari bagian meja tempat sisa makanan bocah itu berceceran. Kartu ucapan bertulisan 'selamat ulang tahun' tertempel di atasnya.

Kado ulang tahun?

"Hoaaam... Itu kiriman dari Ayah," ujar Rock sambil merenggangkan badan. "Buat Ibu doang, sih, kayaknya. Enggak seru."

Untuk Ruby... pikir sang pemudi. Ruby berulang tahun?

"Ah, aku tahu! Pasti Ayah sengaja enggak ngirimin aku kado karena dia lagi nabung buat sesuatu yang super spesial. Lebih besar dan mahal dari kado buat Ibu! Hehehehe."

Celotehan sang bocah kembali berlaku layaknya pantul gema yang terabai oleh pasangan pendengar di luar miliknya sendiri. Lebih terpaku pada pemikiran dalam batin, Nami lalu tanpa basa-basi melontarkan tanya pada figur yang tidak begitu disenanginya tersebut.

"Memangnya... kapan Ruby berulang tahun?"

"Emm... aku enggak begitu ingat. Hehe. Besok kali. Apa hari ini, ya? Emm... kemarin?" balas sang pemilik rambut pirang cengengesan.

...Bocah bo-

"Selamat pagi!" Sahutan yang berbarengan dengan dobrakan pintu tersebut melenyapkan umpatan batin sang pemudi.

Adalah seorang pria berperawakan menyerupai telur, dengan baju merah dan kacamata lup yang muncul dari balik pintu masuk penginapan sambil menenteng sebuah kardus besar. Van namanya, jika Nami tidak salah ingat. Penjual keliling ini sekali-dua kali seminggu suka datang ke Forget-Me-Not Valley, khususnya penginapan Ruby, untuk menawarkan berbagai jenis barang.

"Oh, pagi yang indah, bukan?" lanjut pedagang tersebut sambil menaruh kardusnya di lantai. "Dan kabar baiknya, aku punya banyak barang baru hari ini! Pastikan kalian melihat-lihat, ya. Kalau tidak, kalian pasti kelewatan banyak penawaran menarik."

Ia lalu meraih sapu tangan putih dari sakunya untuk mengelap keringat. Matanya mengitar ruangan sesaat.

"Ngomong-ngomong, di mana Ruby? Aku membawa titipan kado ulang tahun untuknya dari Mineral Town. Aku juga ingin mengucapkan selamat ulang tahun langsung padanya."

"Ia seharian ini menjaga kios di pantai," jawab Nami sembari menerima sebuah bingkisan yang langsung Van keluarkan dari kardusnya.

"Titipan doang? Kadonya juga, dong!" sahut Rock tiba-tiba dengan nada menantang.

"Hohoho! Baiklah, baiklah. Khusus untuk kado ulang tahun Ruby, aku akan beri diskon untuk barang-barang yang kujual, bagaimana? Perhiasan diskon dari 1000 gold jadi 900 gold! Aku yakin Ruby akan sangat cocok memakai perhiasan-perhiasan yang kujual."

"Mahal!"

Van mengerutkan alis. "Apa? barang-barangku tidak mahal! Mereka sangat berkualitas dan harganya sepadan!" Ia menatap tajam pada bocah berambut pirang yang tampak masih belum terkesima. "Huh! Baiklah... 600 gold! Tapi ini hanya karena Ruby sudah banyak membantuku!"

"Yaaa, masih mahal, sihhh," ujar Rock angkuh, "tapi boleh, deh! Hihi, Lumi-eh, Ibu pasti senang! Aku beli satu, ya. Nanti uangnya tagih aja ke ibuku."

"Apa maksudmu ingin membeli hadiah untuk ibumu tapi memintaku menagih uangnya padanya?" balas Van semakin ketus. "Maaf tapi khusus transaksi denganmu, aku hanya terima uang langsung."

"Huh, ribet! Enggak percayaan!"

Seperti ketel di atas kompor yang dibiarkan menyala hingga melampaui batas temperatur, sang pria yang kini wajahnya sangat memerah tampak berusaha menahan luapan amarah di dalamnya agar tak meluber. Ditarik-buangnya napas beberapa kali meski hal itu hanya sedikit membantu.

"Huh! Kalau begitu, aku akan di desa ini sampai sore kalau kalian berubah pikiran." Ia membalikkan badan dan mengangkat kardusnya dengan sedikit kewalahan. "Jika boleh, sekarang aku akan pergi ke rumah Romana. Banyak transaksi lebih menarik di sana. Sampai jumpa lagi."

Melihat kaki goyah sang pedagang, Nami membukakan pintu untuknya. Van berterima kasih singkat, lalu berlalu dengan kepala yang masih dengki, sesekali menggumamkan makian pada bocah kecil yang justru santai-santai saja saat ini.

Bocah itu menggeleng sambil menaruh kedua tangan di belakang kepalanya. "Gimana mau jualan kalau galak begitu? Ckck. Udah, ah. Ngantuk," ucapnya, kemudian naik menuju kamar tanpa rasa malu ataupun bersalah.

...Bocah ini...

Haaah...

Tak ingin melibatkan diri dalam drama singkat tak berbobot yang baru saja ia saksikan, Nami kini memperhatikan kartu ucapan yang tersemat pada bingkisan yang baru saja dititipkan padanya.

'Tidak terasa sudah musim panas tanggal sebelas. Yang artinya... selamat ulang tahun, Ruby! Terima kasih sudah mengajariku resep-resep enak dan membeli produk-produk peternakanku. Sering-sering main, ya, kalau sedang mampir ke Mineral Town! - Claire'

Hmm... Ternyata ulang tahun Ruby memang hari ini...

Nami terhenyak beberapa lama.

Apa yang akan kuberikan untuknya?


.

.

.

Haaah...

Nami mendobrakkan badannya pada jembatan kecil di tengah desa. Kini terduduk, pasangan sepatunya bergelayut pelan menonton aliran sungai yang bergemericik di antara pantulan bola cahaya, sementara terik mencegahnya untuk menengadah.

Matahari sudah benar-benar di tengah mimbar. Nami tahu ia hanya punya barang empat sampai lima jam lagi untuk mencari hadiah.

Dan sungguh, ia sudah berusaha. Selama beberapa jam terakhir, ia sudah berkeliling ke beberapa tempat, namun upayanya itu tidak terlalu membuahkan hasil.

Sejak awal, ia tahu bahwa perhiasan dari Van bukanlah bagian dari opsi. Meski mungkin tidak sebesar itu, agak sedih diakui bahwa 600 gold tetaplah sesuatu yang tak semudah itu dimiliki seorang pengelana pengangguran sepertinya.

Alternatif pertama yang terpikir adalah kristal-kristal di situs penggalian, namun sebagian besar galiannya hari itu hanya berujung pada tanah rumpang dan dua buah koin logam. Carter tak dapat menyembunyikan kegugupannya ketika berkata bahwa menggali di sana memang membutuhkan keberuntungan dan semua orang hanya akan menjadi semakin baik seiring pengalaman. Nami sama sekali tak menyalahkannya.

Selagi di sana, ia sempat bertanya pada asisten Carter, Flora kalau-kalau ia memiliki perhiasan bekas yang ingin dijual; yang dibalas dengan gelengan ringan dan saran tak membantu untuk mencoba bertanya pada perempuan-perempuan lain di desa.

Harapan terakhir sang pemudi adalah Celia yang langsung mengatupkan kedua tangan dan meminta maaf begitu mendengar permintaannya. Gadis berambut cokelat itu lalu mendoakan agar Nami tetap bisa menemukan hadiah yang bagus dan menawarkan kalau ia bisa membantu membuat sulaman atau bros kecil pada lain kesempatan yang tak semepet sekarang, bila diinginkan. Kalimat-kalimat polos tersebut berhias gula, namun kali ini tak terlalu berhasil menghibur sang pemilik rambut merah.

Lalu terlintas di benaknya untuk meminta pendapat Gustafa.

Sulit dikatakan mengapa, tetapi seperti selalu ada perspektif pelega hati yang tersemat pada rajut alfabet pria bertopi lancip tersebut; irama alam yang menjelma lewat figur yang dengannya cakap dapat jauh lebih mudah mengalun.

Tapi sekarang bukan waktu yang tepat...

Nami melihat ke kejauhan di mana tenda Gustafa berada; tertutup oleh rimbun pepohonan dari sudut pandangnya.

Ya. Dia pasti sedang sibuk berlatih untuk konser kecilnya akhir musim nanti.

Karena itu, sang gadis pun kembali menunduk. Gemericik yang mengejar hilir menjadi teman bagi penat dan kosong pikir.

"Duduk di sini siang terik begini. Kau tidak kepanasan, Nami?"

Sedikit tersentak, Nami spontan menengok pada asal suara yang menyapanya tiba-tiba dengan sisipan namanya tersebut.

"Ah... Marcus."

Marcus, pria yang namanya akhirnya Nami bisa benar-benar ingat setelah sempat berkunjung ke ladangnya itu tampak menaikkan sebelah alisnya. Di sebelahnya adalah Takakura, pria beralis tebal yang merupakan sahabatnya sejak lama sekaligus partner kerjanya sekarang. Marcus yang mengurus hewan dan sebagian besar tanaman di ladang, sementara Takakura membangun, mengurus peralatan, dan menjadi tenaga bantuan bagi lingkup kerja kawannya yang kadang tak selesai apabila digeluti sendirian.

"Apa yang sedang kaulakukan, Nami?" tanya Marcus lagi.

"Aku hanya... sedang berpikir."

"Kalau begitu, mau ikut kami memancing?" tawar pria berambut cokelat yang mulai dipenuhi uban tersebut. Sang gadis kini menyadari sepasang alat pancing yang menjulang keluar dari bukaan tasnya. Selain itu, tangan pria separuh baya tersebut tampak sibuk memeluk sebuah kardus yang sepertinya berisi sayuran.

"Ya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk berpikir dibanding saat kita memancing," tambah Takakura. Serak vokalnya yang berpadu dengan nada yang ramah dan tenang terdengar begitu komplemen dengan suara hangat dan lantang sahabatnya.

Nami menatap pada ornamen kayu tempat ia berpijak. "Mungkin lain kali... Aku sedang mencari hadiah untuk Ruby..."

"Wah, hari ini hari ulang tahun Ruby-kah? Kalau begitu, nanti kita harus mampir ke kiosnya dan memborong, ya," ucap Marcus sambil melempar pandang pada Takakura yang sependapat dengannya.

"Apa kalian," lanjut sang pemudi, "punya kristal atau barang lain yang mungkin Ruby suka yang bersedia kalian jual?"

"Hmm... Kristal, sih, tidak ada, tapi kami punya beberapa sayur yang tadinya mau kami jual ke Van." Sang petani menggaruk dagu, lalu menatap pada gadis di hadapannya dengan senyum. "Tapi berhubung ini ulang tahun Ruby, sepertinya ini mau kuberikan untuk Ruby saja. Kau tidak keberatan, kan, bila kutitipkan padamu, Nami?"

Selang sedetik dan bola lampu seakan menyala pada kubah aksara. Marcus pun memperpanjang gerbong alfabetnya.

"Oh, aku baru terpikir, tapi mungkin kau ingin memasak untuk Ruby? Aku tahu Ruby suka sekali dengan masakan rumah karena dulu Tim, suaminya, sering bercerita padaku. Agak sulit kupahami karena Ruby lebih pandai memasak dari semua orang di desa, tapi kurasa semua orang punya 'keanehannya' masing-masing."

"Ha, betul juga." Semburat lebar mengambil tempat pada wajah Takakura. "Bukannya kau sendiri sangat suka apabila seseorang memberimu sayur atau produk hewan?"

"Diam, tato jangkar!" sahut kawan berambut cokelatnya sambil menyikutnya, separuh serius namun juga separuh bercanda.

Sang pria malang hanya menengok pada lengan tempat terpatrinya asal dari julukan yang tak begitu ia senangi tersebut. Sekilas rasanya kerut pada wajahnya bertambah sebelum kembali menghilang setelah tepukan pundak pelan dari Marcus; mungkin semacam kode di antara mereka bahwa sirat kata sang petani barusan hanyalah gurau tanpa maksud buruk.

"Baiklah, Nami, kalau begitu kami pamit dulu. Sampai lain hari!"

Kedua figur dewasa itu pun beranjak. Gadis yang terpaut beberapa dekade dari mereka memperhatikan langkah mereka yang meredam seiring perputaran sang penghitung kala. Figura pemindainya lalu tertanam pada kardus berisi ranum segar yang baru saja diberikan padanya.

Masakan rumah, ya...

Ya. Mungkin bukan ide yang buruk...

.

.

.


Ini ide yang buruk...

Nami mengusapkan sebelah telapak tangannya pada dahi; sebagian sulam merahnya tertarik pelan oleh kaitan jemari.

Ya. Sejak awal, adalah adu peruntungan yang sangat riskan ketika ia memutuskan untuk mengikuti pendapat sang petani, sebab ini bisa saja jadi kejutan yang menyenangkan, namun bisa juga menjadi bencana yang akan lama menetap dalam ingatan.

Maksud hati, gadis yang hampir tidak pernah menyentuh kompor itu ingin membuat sesuatu yang benar-benar Ruby sukai. Nasi campur atau kari, sebagai contoh. Namun, jurang besar membentang antara ekspektasi dengan julang ilmunya yang tak seberapa serta batas kemampuan tangannya dalam menerjemah.

Singkat cakap, ia tidak terlalu bisa memasak.

Memang, ada beberapa resep yang sempat ia pelajari bertahun-tahun lalu yang cukup beruntung untuk masih tersimpan rapat dalam kamus perekamnya. Namun, semua gubahan harta alam dan saring bumbu tersebut sekadar masakan sederhana yang tak akan menggetarkan lidah maupun memanen decak kagum.

Sup jagung, sedikit kentang sisa musim kemarin, tomat, daun bawang, lalu campuran berbagai kondimen yang takaran pastinya tak ia pahami. Taburan-taburan itu begitu intuitif; dan sang gadis amatir cukup lega karena bening kuah yang masih merebus di hadapannya tidak langsung menyulap lidahnya menjadi kelu.

Sebagai tambahan, hasil dari sedikit mengacak lemari dapur Ruby, ia berhasil menemukan beberapa roti tawar yang badannya sudah menggelap dalam elok cokelat dan hitam keras—yang sama sekali tak dikehendaki—di beberapa sisi.

Hmph. Lagi-lagi seperti ini... batinnya setelah menatap lembar-lembar ragi yang terpanggang dengan tidak sempurna. Senyum tak biasa sedikit bertaut sembari ia membalur bidang-bidang hangat tersebut dengan selai anggur. Untunglah ia pernah mengajariku.

Sang pemudi sendiri cukup terkejut ia masih bisa menemukan beberapa produk yang biasa baru banyak muncul pada musim gugur seperti selai anggur tersebut. Dapur penginapan ini benar-benar lengkap. Ditambah kemampuan handal sang pemilik dalam menyulap bahan-bahan di dalamnya, tak heran bisnis penginapan dan kuliner Ruby bertahan begitu lama.

Nami beralih membersihkan pinggir dapur yang seperti baru diterpa oleh angin puyuh. Dari sana, ia pun mulai menata roti panggang yang marun lembutnya berhasil sedikit menyamarkan berkas-berkas hangus, disusul oleh sup sayur ala kadar yang akhirnya jadi dengan cukup bagus.

Selain itu, di meja tersebut, sudah ada vas kecil berisikan bunga yang ia petik dari antara kerumunan rumput beberapa meter tak jauh dari penginapan. Bukan moondrop, memang, tetapi tampilan sang putri bergaun merah yang anggun sepertinya sudah mampu membuat sebagian orang bertanya-tanya akan kemungkinan adanya dongeng tentangnya yang tak sempat diceritakan oleh penyair masa lalu.

Baiklah... Sekarang tinggal menuang air dan...

Klek.

Nami terkejut. Pintu yang membuka spontan membuat pegangan tangannya luput.

Diam beberapa saat selagi ia melihat sosok sang pemilik penginapan. Keduanya lama saling menatap.

"Ma...maaf, Ruby."

Kecanggungan merembes secepat cairan bening yang terjun dari tepi instrumen kayu menuju bidang tempat telapak sepatu sang gadis bersandar. Lensanya pun menjauh dari wanita di hadapannya yang masih mengatupkan mulut dengan kedua tangan.

"Tadinya kupikir ingin membuat makan malam untuk hari ulang tahunmu, tapi..."

"Mengapa kau meminta maaf, Nami?" potong Ruby dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku bahagia sekali!"

Ruby pun langsung memeluk Nami.

Terhadap gestur dadakan tersebut, sang gadis hanya bisa terkejut. Kristal lautnya mengembang dalam balut rasa yang sudah lama tak menenunnya. Bulir haru perlahan menetes dari kristal tanah sang wanita.

Dan perlahan menghampiri, ada potongan rekoleksi yang membuka diri di situ. Nami menyambut tiap darinya dengan senyum.

.

.

.

"..."

"Kenapa, Nami?"

Sosok gadis kecil itu masih menatap lurus pada helai roti di hadapannya yang seperti baru saja berenang dalam celup tinta.

"Gosong..."

Wanita yang akhirnya dapat sepenuhnya melihat sketsa dengan arsir yang sudah terlampau keluar dari garis tersebut terdiam sebentar, kemudian mengambil gelas kaca kecil berisikan cairan jingga setengah padat yang ia sebarkan pada sang objek pencipta penat.

"Masih enak, kok, sayang. Lihat, kalau diolesi selai jeruk, rasanya enak sekali, lho!" ujarnya kemudian, menawarkan hasil buah tangan putrinya yang ia baru saja perbarui sedikit.

"Wah, iya! Ibu hebat!" seru bocah yang debu albumnya tertiup pergi hanya setelah satu gigitan.

"Hihi, Nami juga hebat. Rotinya enak. Kalau tidak dipanggang dulu oleh Nami, pasti tidak seenak ini!"

Sipu dan gelak pendek menjelma dari gelitik manis yang mengumpul di tenggorokan. Di seberangnya, sang wanita pencerah suasana menambahkan, "Kau tahu apa yang cocok dengan roti enak ini? Cokelat hangat!"

Mendengar itu, sang gadis kecil seperti tersambar kilat bintang palet sejuta warna. Digigitnya lagi roti selai yang semakin terasa membanggakan sambil memperhatikan tangan sang ibu yang mulai secara magis bekerja.

Tak lama kemudian, cangkir penuh kebahagiaan pun tersodor. Campuran sekumpulan aroma itu mengelus pipi sosok kecil yang kini semakin tergiur akan gumpalan manis yang terapung lepas. Setelah itu, beberapa bola putih pun ia jatuhkan ke dalamnya—bagian favoritnya dari pengalaman menyesap minuman peluruh letih tersebut.

Nami, dengan kelip yang simpang-siur oleh euforia yang akan segera menyapa lidah, meniup cangkir di genggamannya sebelum menenggak cokelat hangat yang berdiam di dalam. Setelahnya, ia pun menoleh pada sosok wanita yang tengah melakukan hal yang sama tepat di hadapannya.

Senyum terlukis pada wajah sang penenun ringkasan gula, membuat sang gadis yakin bahwa ia tak perlu lagi mengkhawatirkan apa-apa.

Setelah itu, dengan luap angkasa yang bebas akan mendung, bibir sosok kecil yang sedikit belepotan tersebut melontarkan ritme yang penuh oleh kebahagiaan.

"Ibu, besok aku ingin membuat roti lagi. Aku akan membuat lebih banyak. Dan nanti saat Ibu berulang tahun, aku akan membuat gunung roti yang besar supaya Ibu bisa makan sampai Ibu kenyang!"

Gelak tawa, lalu lengkung mentari penenang.

"Ya. Ibu tak sabar menunggu, sayang."

.

.

.

Putar piringan memori pun mencapai perhentian sementara. Kembali ke masa di mana degup nyawa berdetak bersamaan dengan perputaran bumi, Nami—setelah membereskan hasil dari kecerobohan kecilnya di dapur Ruby—kini duduk menghadap sang wanita yang senyumannya tak kunjung luntur.

Atmosfer malam menyelimut dengan derap sunyinya yang anggun dalam desir. Tawa dan dialog yang hampir semuanya searah—dari pribadi yang lebih tua—beterbangan bagai debu peri yang hinggap mengelus relung tempat nada tertafsir.

Melihat Ruby yang begitu bahagia dan lahap dengan hadiah kecilnya yang tidak elegan sama sekali... membuat Nami merasa bahwa kecap dan harum hidangan yang semula ia khawatirkan tidaklah lagi penting. Berada di sini sekarang dan mengalami seluruh pembicaraan dan lepasan nyawa tulus sang wanita setengah baya menjadi apa yang justru jauh lebih berarti.

Memang tidak sama, namun momen ini banyak mengingatkannya akan tiap waktu yang sering ia habiskan saat makan bersama dengan sang ibu dulu. Sederhana dan hampir setiap hari, namun baru setelah sketsa tersebut tidak dapat terulang lagilah, ia benar-benar mengerti akan makna dan betapa berharganya setiap detik yang ia punya.

Jujur, terkadang, takdir selip masa untuk selalu menjadi temporer tersebut menyisipkan palung melankolinya dengan sendu.

Namun, selama berkas-berkas hangat setidaknya oleh lintas perekamnya masih terpeluk, ia akan baik-baik saja, ia tahu.

Nami menghela napas dalam batin. Instrumen penggenggamnya meraih roti beratapkan selai anggur yang sudah lama tak ia buat sendiri. Sekilas, merah-nila di sana seakan berganti menjadi kuning-jingga selagi jemarinya mendekap bidang hangus tersebut erat, mencoba untuk meresap seluruh kehangatan yang berdiam.

Tatapannya lalu kembali pada Ruby dan bincang yang ia benar-benar nikmati.

Ikrar kecil pun terlukis dalam batin; untuk menghirup segala harum yang ada selagi masa membolehkan. Bahwa mulai sekarang, saat-saat berharga seperti ini akan ia sambut dengan napas yang tidak terburu lagi—dengan kaki yang tak sekadar tahu akan berlari.

"Selamat ulang tahun, Ruby."

"Terima kasih, Nami."

.

.

.


Daftar kata sulit: 1) Komplemen: bersifat melengkapi. 2) Kondimen: bumbu. 3) Euforia: kebahagiaan yang amat besar. 4) Rekoleksi: ingatan.

Author's notes: Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di chapter berikutnya! :)