- ? POV -

Aku berdiri di sisi kanan kapal yang tengah ku naiki. Semilir angin bertiup, membuat rambut hitam ku menari. Mata emas ku terus memandangi burung-burung camar yang bertebangan di langit luas.

"Sudah lama sekali..." gumamku saat bola mata emasku menemukan pemandangan lain. Pemandangan yang merupakan tempat tujuanku. Mineral Town.

Aku penasaran bagaimana keadaan yang lain.

- Claire POV -

"Ann, aku pesan bento seperti biasa ya," seru Cliff yang mengambil meja di dekatku. Ann mengangguk dan berhambur memasuki pintu dapur. Selama menunggu Cliff hanya diam, menundukkan kepalanya.

Sementara aku?

Aku hanya termenung memperhatikan tingkah Cliff sembari mengaduk-aduk jus anggur milikku.

Sebenarnya aku ingin menyapa dan makan di meja yang sama dengan Cliff. Membicarakan banyak hal, dan menjadikan dunia milik berdua. Tapi mana mungkin, tiap kali aku mengajak Cliff bicara tak ada ucapan yang keluar. Suaraku terhenti tepat di pangkal tenggorokan. Aku memalukan.

"Ini pesananmu Cliff," seru Ann sembari meletakkan bento di depan Cliff. Membuat Cliff mengangkat wajahnya dan memberikan sebuah senyum. Hah... ingin rasanya bertukar tempat dengan Ann. Ann menoleh ke arahku. Seulas senyum tipis terukir disana.

"Ajak bicara Cliff. Jangan memandangin terus," bisiknya saat dia sudah ada di dekatku. Wajahku rasanya memanas, tak tahu harus menjawab apa. Ku lirik ke meja Cliff, dia memakan bento-nya dengan tenang tanpa menimbulkan sedikit suara.

"Hah... aku tidak punya keberanian untuk itu Ann..." keluhku sambil memandang Ann.
Ann duduk di kursi kosong yang berada tepat di sampingku.

"Heh? Begitu ya. Sayang sekali dia tidak ada disini kalau begitu."

"Dia?" aku memandang ke arah Ann. Ann mengangguk kecil dan tersenyum.

"Iya, di--"

"Oi! Pengumuman! Kai dan Sere sudah kembali!" seru Harris yang memotong ucapan Ann. Semua yang ada di ruangan ini menoleh.

"Bohong!? Dimana dia?" tanya Doug optimis. Tidak biasanya aku melihat pria paruh baya itu bertingkah se optimis ini.

"Ada di dermaga, sudah ya. Aku harus memberitahu yang lain," jawab Harris yang langsung pergi keluar. Meninggalkan ruangan yang riuh rendah.

Kai datang ya? Tidak aneh kalau begitu, tapi tadi Harris mengucapkan satu nama lagi yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ku lirik Ann yang masih terpaku memandang ke arah pintu masuk. Pandanganku beralih ke arah Cliff, dia juga terpaku ke arah pintu masuk sama seperti Ann. Tapi dengan wajah pucat. Rasanya tahun lalu Cliff tidak begitu.

Atau pandangan pucat itu tertuju pada orang lain? Nama yang disebutkan oleh Harris.
Kalau tidak salah tadi namanya Sere, kelihatannya orang itu perempuan. Apa hubungannya dengan Cliff ya? Aku jadi penasaran.

- - - - -

"Terimakasih, datang lagi ya," seruku sembari menyerahkan sebuah buket bunga pinkcat yang di padu dengan trick blue pada Gray. Dia hanya mengangguk dan menyembunyikan wajahnya di balik topi yang selalu di gunakannya. Saat Gray sudah keluar dari toko aku mulai tertawa kecil, bunga itu pasti untuk Mari.

"Semoga berhasil," gumamku sambil memandang ke arah luar.

Aku berbalik dan menuju deretan pot berisi bibit bunga toy flower. Kuperhatikan pot demi pot.

"Belum bertumas ya," gumamku sembari meletakkan pot terakhir.

'Klining'

"Um? Selamat da---" ucapanku terhenti saat ku lihat siapa yang baru datang. Seorang gadis berambut hitam pendek dengan bagian depan yang memanjang. Sepasang bola mata emas yang mengingatkanku pada bola mata kucing. Dan seulas senyum lembut.

"Kau pemilik toko bunga ini ya?" suara yang begitu merdu keluar dari sela-sela mulut mungil yang kemerahan itu. Dia terlihat begitu cantik. Siapa? Aku tidak pernah melihat gadis ini sebelumnya.

"Iya," jawabku kikuk.

"Ah, kalau begitu apa kau punya bunga gemsoil? Disini bunga itu langka," tanyanya. Aku terdiam sesaat, tidak biasanya ada yang menanyakan bunga itu.

"Ada, anda ingin berada buah?"

"Sepuluh,"

"Baik, tunggu sebentar," seruku. Aku berlari ke arah pintu menuju rumah kaca.

Tidak biasanya ada yang membeli bunga itu. Karena jarang ku gunakan saja sebagai pupuk untuk bunga yang lain.

Aku berjalan menuju sudut ruanga. Puluhan bunga gemsoil tumbuh dengan subur. Kuambil bunga-bunga itu beserta pot-nya. Aku lupa menanyakan pada gadis itu.
Dia ingin yang masih ditanam atau untuk karangan bunga.

"Maaf menunggu," ucapku sembari membuka pintu. Kulihat gadis itu tengah membungkuk memandangi pinkcat yang ku letakkan di sebelah kasir.

"Anda ingin dijadikan buket?" tanyaku. Gadis itu tertawa kecil, aku hanya diam dan memandang bingung padanya.

A... anu..."

"Sere."

"Eh?"

"Panggl saja Sere. Jangan terlalu formal," ucapnya. Aku mengangguk dan meletakkan pot-pot yang ku bawa ke atas meja kasir.

"Tolong di buat menjadi karangan ya? Aku ingin memberikannya pada teman lama," ucapnya. Aku mengangguk dan mulai membungkus bunga-bunga itu setelah sebelumnya memotong tangkainya serapi mungkin. Sere terus terdiam menunggu pesanannya.

"Kau sudah lama di sini?" tanyanya membuyarkan kesunyian.

"Iya, kurang lebih sudah satu setengah tahun," jawabku sambil tetap melanjutkan pekerjaan yang tengah ku lakukan.

"Begitu ya, pantas aku belum pernah melihatmu. Kota ini benar-benar tidak berubah semenjak enam tahun yang lalu."

"Hehe, begitulah. Aku juga pindah kesini karena tawaran kakakku."

"Kakakmu?"

"Iya, namanya Jack. Sekarang dia menjadi petani di pertanian di kota ini," pembicaraan berjalan lancar. Tanpa terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Dengan kata lain kami sudah berbicara selama tiga jam lebih.

"Ah! Sudah jam segini, terima kasih ya. Jadi berapa?"

"Dua ratus gold."

Sere memasukan tangan kanannya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan uang sejumlah yang ku ucapkan.

"Terima kasih, datang lagi ya."

"Pasti," dan diapun menghilang dari pandanganku.

Kesunyian kembali mengisi ruangan ini. Kulirik ke arah rak berisi bibit toy flower. Aku terdiam memandang rak itu. Jarakku sekitar sekitar tiga meter, tapi samar aku bisa melihat tunas setinggi lima belas sentimeter.

"Cepat sekali..." gumamku terpaku.

- Sere POV -

Aku berjalan melewati klinik menuju gereja. Di depan gereja dapat ku lihat Carter tengah melambaikan tangan pada dua orang anak yang belum pernah ku lihat sebelumnya.

"Ah, kau..." seru Carter saat disadarinya keberadaanku. Aku tersenyum dan menunjukkan deretan gigiku.

"Lama tak jumpa."

"Ingin berziarah ya?"

"Ehe," aku menggaruk pipi kananku yang sebetulnya tidak gatal. Entah mengapa kalau disebut berziarah agak aneh.

"Ya sudah, lakukan saja. Kalau ada perlu aku ada di dalam. Rasanya aneh melihatmu mengunjungi makam itu."

"URUSAI!" aku berteriak. Sontak Carter berlari menuju gereja, samar ku dengar suara tawanya.

Ku gembungkan ke dua pipi ku dan menyilangkan tangan di depan dada.

"Pendeta yang tidak sopan," gumamku kesal. Kulangkahkan kakiku menuju areal pemakaman. Tepatnya menuju sebuah makam tua yang tidak terurus.

Dengan suka rela dapat kurasakan empat garis siku-siku muncul di kepalaku.
"Dia pasti malas mengurus makam," desisku kesal.

Ku letakkan karangan bunga yang tadi ku beli dari toko Claire di depan makam itu.

"Tolong tunggu ya, nanti ku suruh dia mengurus makam ini," ucapku pelan.

"Seperti orang bodoh saja."

"Eh?" aku membalikkan tubuhku. Ku lihat Saibara berdiri disana.

"Maksudmu seperti orang bodoh apa? Kakek tua?" tanyaku ketus.

"Mana ada orang yang berziarah pada makamnya sendiri?"

"Urusai! Terserah aku kan!"

"Ku harap bila waktuku tiba aku tidak sepertimu," seru Saibara dengan nada sinis. Dapat ku lihat dari balik kumis putih itu terdapat senyum mengejek.

"Mau ku percepat tidak?"

"Tidak, terima kasih," kami saling terdiam dan bertukar pandangan. Rasanya ingin sekali aku mencekik lehernya, mematahkan semua tulang yang ada di tubuhnya.

Lalu orga--- akh! Apa yang kupikirkan sih? Bodohnya aku memikirkan hal itu.

- Claire POV -

Aku memutar papan menjadi closed. Semua bunga sudah ku siram dan sekarang aku bisa mengunjungi Kai. Kurasa Cliff ada disana.

Kuraih keranjang berisi kue kering yang tadi kubuat dan keluar dari toko. Tak lupa juga ku kunci pintu dan memasukannya pada saku baju.

Saat aku tiba di Rose Square langkahku terhenti.

Saibara berjalan ke arahku sambil bertukar tatapan membunuh dengan pengunjung toko ku yang tadi. Kalau tidak salah namanya Sere.

"Dasar! Kau itu benar-benar bodoh!" bentak Saibara. Sere hanya tersenyum, entah itu perasaanku saja atau bukan. Senyuman itu terlihat seperti senyuman pembunuh.
"Hah? Bodoh? Mana yang lebih bodoh? Aku? Atau kau?" balas Sere ketus.

Pertama kalinya aku melihat ada orang yang berani melawan Saibara. Gray saja tidak berani.

"Um?" pandanganku berpindah ke arah jalan menuju pantai. Ku lihat Cliff berdiri disana. Jantungku berdebar, wajahku serasa memanas.

"Gyaaa! Sere!" teriaknya histeris.

Sere mengalihkan pandangannya, dia kembali tersenyum. Jujur, aku merasa seram melihat senyuman itu.

"Cliff sayang, tidak sopan begitu pada orang yang sudah lama tidak ditemui."

Eh? Apa? Cliff... sayang?


Ruise : Huwagh… maaf kalau tidak memuaskan, 3 bulan ngeliatin chapter ini aku jadi ragu buat publish… Selamat mem-flame… (pundung di pojokkan)

Sere : Tolong Review

Ruise : Mata gw rusak apa ya? Baca dari hp keliatan mana yang salah ketik, di computer kagak TwT