Disclaimer: Masashi Kishimoto

Author: Bebek 123

I Have no Child

Chapter 1: He isn't My Son, un!

"Hoaaammn~!" Aku menguap dan mulai merenggangkan sendi-sendiku yang kaku.

Matahari di luar tampak sudah meninggi, tapi tak ada hubungannya. Toh, hari ini restoran tutup, aku ingin menggunakan satu hari liburan ini untuk bersantai-santai. Dengan perasaan yang agak mengantuk, aku melangkah ke kamar mandi; membersihkan diri.

Aku bekerja di sebuah restoran bernama 'Akatsuki' yang terletak di Otogakure. Pemilik restoran ini adalah sepasang suami istri yaitu Pein dan Konan. Semua pegawai yang bekerja di sini berjumlah 7 orang, termasuk aku.

Aku dan yang lainnya tinggal di rumah khusus pegawai yang bertempat di belakang restoran. Rumahnya cukup besar, karena ini kami semua mendapat masing-masing kamar, kecuali dua orang pegawai.

Aku sudah selesai mandi dan sekarang berada di ruang makan, tepatnya sedang mengunyah roti panggang. Makanan yang paling sederhana dan membosankan.

"Pagi semua!" Terdengar lagi, suara merepotkan itu.

Tanpa menoleh ke asal suarapun, semua dapat menebak siapa yang mempunyai suara merepotkan itu. Dia adalah Tobi, sepupu Pein. Tinggal di sini sampai kuliahnya tamat. Yah, kalau diprediksi sekitar 3 tahunan lagi. Mau tak mau aku harus berusaha menghindarinya selama itu.

"Senpai! Pagi!" Tobi dengan pemikiran pendeknya menepuk pundakku dari belakang dan dia berhasil membuatku tersedak saat sedang menelan roti panggang. Aku tak tahu kalau dia akan menepuk pundakku.

"OHOK!" Aku mencoba meraih air minum yang berada di depanku dan meminumnya hingga habis tak tersisa. "Kau gila ya, un? Mau membunuhku, un?" gerutuku kesal setelah kembali normal.

"Hehe, maaf deh Senpai, Tobi tidak tahu kalau Senpai lagi makan," cengirnya yang membuatku tambah kesal.

Sebelum aku membunuhnya dengan garpu, aku keluar dari ruang makan. Mencoba menjauh darinya.

"Oi, Deidara, waktumu kosong, 'kan?" tanya Kisame no Danna ketika aku lewat di depannya. Dia adalah salah satu koki di restoran Akatsuki. Menurutku masakannya paling enak di antara koki-koki Akatsuki lain.

"Ya. Memangnya kenapa, Danna, un?" Aku berhenti dari langkahku. Dia termasuk orang yang kuhormati, makanya ada embel-embel -Danna di belakang namanya.

"Kau mau menemaniku membeli bahan-bahan untuk keperluan dapur?" tanyanya lagi.

"Kenapa tidak sendiri saja, un?"

"Aku mau saja pergi sendiri, tapi Kakuzu tidak akan mempercayaiku kalau aku sudah menggunakan uang-uang ini sesuai keperluan." Tangan kanannya menunjuk pada saku kanan celananya. "Setidaknya kau bisa menjadi saksi nantinya."

"Oh, begitu." Ternyata karena Kakuzu.

Kakuzu adalah makhluk yang teliti dan protektif terhadap uang. Karena itu dia diberi tugas yang ada hubungannya dengan uang. Dia merangkap sebagai kasir dan bendahara. Uang sangat dijaga ketat olehnya. Bila ingin memakai uang itu maka harus ada alasan yang sangat masuk akal baginya. Saat Pein sedang menghitung slip gaji, Kakuzu selalu berada di sampingnya. Walaupun keberadaannya sangat tidak dibutuhkan oleh Pein.

Pernah ketika Pein mengusirnya pergi, Kakuzu dengan tampang tak berdosa mengadu pada Konan bahwa Pein menyisipkan beberapa uang gaji pegawai ke kantungnya untuk bermain dengan perempuan lain. Tentu saja Konan tidak memikirkan lebih jauh dan dengan mudahnya percaya pada ucapan Kakuzu. Akhirnya Pein dimarahi habis-habisan sampai restoran ditutup selama beberapa minggu.

Aku tak tahu kenapa Kakuzu bisa segitunya. Apa mungkin karena masa kecil dulu dia tidak pernah memegang uang atau sangat kekuarang uang?

-o-

Pasar adalah tempat mengerikan bagiku. Bisa saja di antara kerumunan manusia tiba-tiba ada orang gila yang menusukku dari belakang atau setidaknya seorang pencopet yang merampas uangku dan larinya sangat kencang. Aku memang tidak pernah mengalami kedua kejadian itu. Tapi jika hanya sekadar berprasangka juga tidak ada salahnya, bagiku.

"Danna, belanjanya tidak lama, 'kan, un?" tanyaku ketika sudah memasuki pasar.

"Hehe, tenang saja, aku cuma membeli ikan, daging, bawang, kembang kol, blablablabla..." jawabnya dengan repot-repot, padahal aku hanya ingin mendengar jawaban sederhana seperti: iya atau tidak.

Dari jawabannya maka dapat kusimpulkan bahwa dia akan memborong ¼ bahan yang ada di pasar. Tapi jika dipikir-pikir lagi, mungkin tidak akan sampai ¼-nya.

.

.

Waktu yang seharusnya kugunakan untuk bersantai-santai malah kugunakan untuk membawa barang belanjaan. Inikah tujuan sebenarnya Kisame no Danna tidak ingin pergi sendirian, agar ada yang bisa meringankan bawaannya?

Terasa berat bawaan ini tapi untung saja Kisame no Danna menyudahinya dengan membeli beberapa kilo kentang. Setidaknya setelah ini, aku bisa pulang dan langsung tidur.

Saat di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba pada kakiku terasa ada yang memeluk. Aku menghentikan langkahku dan memandang ke bawah; ke arah kakiku.

Seorang anak kecil yang umurnya sekitar dua tahunan lebih dan tingginya hampir menyamai lututku memeluk kaki kiriku dengan erat. Aku tersontak kaget. Anak siapa ini?

"Danna!" teriakku yang membuat Kisame no Danna juga menghentikan langkahnya dan mengarahkan pandangan ke kakiku.

"Deidara, anak siapa yang kau culik?" tanyanya dengan tampang tak kalah kagetnya.

"A-aku tidak menculiknya, un! Di-dia yang tiba-tiba saja memeluk kakiku, un!" gerutuku panik.

Anak itu mendongakkan kepalanya, menatapku. "O—otousan...," ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

"APA?" Aku dan Danna mengucapkan kata tersebut bersamaan. Aku berharap dia salah sebut atau salah orang.

"Otousan." Matanya masih tetap berkaca-kaca.

"A-aku tak percaya kau sudah mempunyai anak, Deidara!" ucapnya yang tak kalah panik.

"Bu-bukan, dia bukan anakku. Aku tak mempunyai anak, un!" seruku meyakinkan Danna.

"Tidak mungkin anak kecil berbohong, 'kan?"

"Ta-tapi dia memang bukan anakku, un!"

"Hmm, benarkah? Kalau dilihat baik-baik dia mirip denganmu. Warna rambut dan mata kalian sama."

"Warna rambutku lebih gelap darinya dan warna mataku tidak secerah dia, un!" Tunjukku ke arah si anak.

"Hei, Nak, dari mana kau datang, hmm?" tanya Kisame no Danna setelah menyamai tingginya dengan anak ini. Dia sama sekali tidak menggubris ucapanku.

Dia menjawab dengan hanya menunjuk ke arah pasar, tempat dia datang. Pelukannya semakin erat, mungkin karena merasa ngeri dengan tampang Kisame no Danna.

"Deidara, siapa namanya?" tanyanya yang masih menganggap ini adalah anakku.

"Aku tak tahu, un...," desahku pasrah. Rasanya percuma saja menjelaskannya.

"Tousan, pu—lang," gumamnya lirih. "Ruma... pulang." Dia berusaha untuk mengeluarkan suara berupa kata-kata yang belum bisa disebut sebuah kalimat. Yah, setidaknya aku mengerti sedikit. Sebenarnya aku tak peduli dengannya, mau nantinya mati kelaparan, diculik lalu dijual, ataupun dimakan hewan buas. Tapi….

"Danna, apa aku harus membawanya, un?" tanyaku.

"Terserahmu. Kalau kau ingin membuangnya, cukup tinggalkan dia di sini," jawabnya seraya berdiri.

"Kau ingin mengikutiku, un?" tanyaku pada anak itu. Dia hanya membalas dengan sekali anggukan.

Kuputuskan akan merawatnya untuk sementara, sampai kedua orangtuanya ketemu. Aku mulai menggendongnya, agak sulit juga karena kedua tanganku memegang barang bawaan ini.

Tsuzuku, To Be Continued, Bersambung-

A/N: Fict ini terinspirasi dari salah satu fict bahasa Inggris yang ada di daftar favorit saya. Sudah sejak lama saya ingin membuat fict yang beginian, tapi baru kesampaian sekarang. ^_^