Hay~ hay~ minna~ ^^

Jumpa lagi dengan saiia, author gajhe, yang beberapa minggu ini sama sekali nggak nongol di FFn

Maaf karena saiia nggak cepet-cepet update chapter ini... Saiia lagi sibuk dikerjai kakak-kakak panitia MOS...*sigh*ngelirik kakak-kakak kelas yang rese*

Buat kakak-kakak Dekan yang kejamnya naudzubillah*walau cuma acting* "Kalian tega sekali!"*digetok*

Mohon maaf, karena di chapter ini nggak ada balesan review~*kicked* Saiia nggak sempet bales, soalnya... Pokoknya, saiia ucapkan terima kasih pada semua pihak yang sudah membaca, me-review, dan bahkan mem-fave fic ini...*peluk-peluk author-tachi dan reader-tachi*

Ya sudahlah, daripada saiia tambah banyak cing-cong... langsung saja, lah...

Happy Reading, ya~

P.s: Oh iya, ralat~! Saiia nggak jadi bikin sequel, tapi bonus chapter aja... Maaf kalo abal *plakk*


She's Fine

by

d-She ryuusei Hakuryuu

Bonus Chapter of "The Truth About Forever"


Pairing(s):

Main: HitsuRuki

Slight: IchiRuki, IchiHitsu(?)

Genre(s):

Romance/Angst/Friendship

Rate: T

Warning(s): AU (Alternate Universe), OOC (Out of Character), Miss typo bertebaran di mana-mana, GaJe, Alur kecepetan dan terlalu maksa, Ending nggak memuaskan, sedikit sisipan kata-kata yang saiia comot dari puisi sms kiriman temen saiia, dan masih banyak lagi.

Disclaimer(s):

BLEACH © Tite Kubo

THE TRUTH ABOUT FOREVER © Orizuka

Enjoy, please~!


CHAPTER #16

SHE'S FINE


Tersenyumlah saat kau mengingatku,

karena saat itu aku sedang merindukanmu.

Jangan teteskan air matamu saat kau merindukanku,

karena saat itu aku sudah tak berada di sampingmu,

dan jemariku sudah tak bisa lagi menghapus air matamu.

Tapi, pejamkanlah kedua mata indahmu,

karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu.

Mungkin, raga kita tak lagi bisa bertemu.

Mungkin, lengan ini sudah tak bisa lagi merengkuhmu.

Mungkin, diri ini sudah hilang dan mati bersama sang waktu.

Tetapi, cinta ini akan terus hidup bersamamu.

(Hitsugaya Toushiro)


Pantai Karakura.

Langit lembayung keemasan.

Matahari terbenam.

Remang-remang.

Angin pantai berembus pelan.

Dingin.

Seorang gadis bermata violet masih duduk bersandar pada batang pohon kelapa. Di tangannya terdapat iPod dan sebuah novel yang kini sedang didekapnya erat-erat. Mata violet indahnya tertuju pada lintingan awan kemerahan di langit lembayung. Angin berembus dengan kencang, membuat tubuh mungilnya menggigil.

Dia mungkin tampak seperti sedang menunggu seseorang, tapi pada kenyataannya dia tidak sedang menunggu siapa pun. Dan, kini yang ada di dalam benaknya hanyalah seorang pemuda tampan berambut sewarna salju dan bermata emerald yang tak pernah ditemuinya dalam tiga bulan ini—dan tidak akan pernah ditemuinya lagi. Terakhir kali dia melihat pemuda itu adalah saat pemakamannya, itu pun hanya sosok dingin yang sedang terbujur kaku saja yang dijumpainya. Ya, pemuda itu telah meninggalkannya untuk selamanya. Seseorang yang mencintainya. Seseorang yang juga amat dicintainya.

Hari ini pantai lebih sepi daripada hari-hari biasanya. Memang, cuaca hari ini sedang tidak kompak dengan kehendak orang-orang yang menantikan saat bersenang-senang di tengah buih ombak. Tapi, apabila alam berkehendak lain memangnya apa yang bisa kita lakukan?

Laut mulai pasang, angin pantai yang berembus membuat bulu roma merinding, dan juga ditambah dengan langit yang sudah remang-remang. Orang-orang pasti lebih memilih tinggal di rumah atau dalam kamar hotel.

Walau begitu, gadis itu tetap setia duduk di bawah pohon kelapa. Di telinganya masih terpasang sebuah headphone besar, dan entah sudah berapa kali dia mendengar suara hati seorang Hitsugaya Toushiro, pemuda yang dicintainya. Ya, sebuah rekaman di dalam iPod pemberian pemuda tampan itu yang baru saja disadari keberadaannya oleh Kuchiki Rukia, gadis bermata violet indah itu.

Sejak menyadari keberadaan rekaman itu—sekitar satu jam yang lalu, Rukia terus menerus memutar ulang rekaman suara Toushiro, sampai baterai iPod-nya habis.

Sekarang, Rukia sedang memandangi langit yang sudah mulai gelap, tanda bahwa sang malam sebentar lagi akan menyelimuti kota Karakura. Pikiran Rukia sendiri sudah melayang entah ke mana.

Walau sudah tiga bulan berlalu, bayang Hitsugaya Toushiro tak pernah lelah hinggap di pikiran gadis itu. Hampir setiap malam, Rukia memimpikan Toushiro di alam tidurnya. Tak satu pun hal dari diri seorang Hitsugaya Toushiro yang sanggup dilupakannya. Mata emerald indahnya, rambut seputih saljunya, senyum simpul yang sering kali menghiasi bibirnya, tubuh kecil yang dulu selalu direngkuhnya saat pemuda itu kesepian, tangan kecil yang mengusap kepala Rukia saat gadis itu menangis, bahkan sampai semua kata-kata pedas yang pernah meluncur dari mulut Toushiro pun tak luput dari ingatan gadis bertubuh mungil itu.

"Toushiro," ucap Rukia di tengah lamunannya. "Kamu sekarang lagi ngapain di Sana?"

Tanpa disadarinya, air mata mulai menetes dari mata indahnya, jatuh membasahi pasir putih yang sedari tadi menjadi alas duduknya. Setetes air mata mulai jatuh lagi, tapi kali ini cepat-cepat dihapus oleh Rukia.

Dia tidak ingin menangis karena Toushiro lagi, dia harus menjadi seorang gadis yang tegar. Lagi pula, dia juga tak ingin Toushiro melihat air mata kesedihannya lagi di surga. Karena dia tahu kalau sampai saat ini pun, Toushiro masih tetap melihat dan menjaganya dari Sana. Jadi, dia hanya ingin Toushiro melihat senyum bahagianya saja.

Ya, tak akan ada lagi air mata kesedihan. Semua akan Rukia jalani dengan senyuman, karena semuanya pasti akan berjalan dengan semestinya. Pasti akan baik-baik saja. 'Aku janji, aku nggak akan cengeng lagi, Toushiro,' tekad Rukia dalam hati.

Rukia tersenyum sambil masih menatap langit luas yang membentang di atas kepalanya. Dia seolah melihat Toushiro di sana. Toushiro yang sedang memandang lembut ke arahnya, seakan berbicara padanya, "Tetaplah tersenyum, Rukia."

Walau raga Toushiro sudah tak berada di sisi Rukia lagi, dia akan tetap selalu hidup di dalam hati Rukia. Tak akan ada yang bisa memadamkan kobaran api cinta mereka berdua. Bahkan maut sekali pun.

"Gue kira nggak bakal ada orang yang mau ke pantai di saat pasang kayak gini."

Sebuah suara menyadarkan lamunan Rukia.

Rukia mengalihkan pandangannya ke asal suara, melihat orang yang kini sedang berdiri beberapa meter di sampingnya. Orang itu hanya memakai kaus, yang dirangkap kemeja. Kancing kemejanya ia biarkan terbuka semua, mengakibatkan kemeja itu melambai-lambai tertiup angin. Celana panjangnya yang terlipat sedikit di bagian bawah dipenuhi pasir. "Ichigo?"

"Hai, Rukia," balas pemuda itu sambil menyunggingkan senyum ramah. Bertelanjang kaki, Ichigo segera beranjak mendekati Rukia, sepatunya ditenteng di tangan kirinya.

"Kok, kamu bisa ada di sini?" tanya Rukia heran. "Aku denger dari Momo, kamu udah nggak tinggal di Karakura lagi. Bukannya kamu udah menetap di Seireitei?"

"Gue..." Terbesit nada bingung dalam suara pemuda berambut nyentrik itu. "Gue nyariin lo."

Rukia mengernyit bingung. "Nyari... aku?" Jelas saja kalau Rukia bingung, karena dia baru pernah sekali bercakap-cakap secara langsung dengan Ichigo—itu pun hanya beberapa menit, sesaat setelah pemakaman Toushiro selesai. "Ada perlu apa?"

Ichigo terdiam sesaat, bingung dengan apa yang akan dikatakannya setelah ini. Sampai akhirnya….

"Gue mau minta maaf," ujarnya sambil berlutut di hadapan Rukia. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.

"Eh? Kamu ngapain berlutut kayak gitu, Ichigo?" kata Rukia kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Ichigo. Rukia segera bangun dari duduknya dan beranjak menuju pemuda itu, berusaha menyuruhnya untuk tak lagi berlutut.

"Gue bener-bener minta maaf, Rukia." Kepala pemuda bermata cokelat itu masih menunduk, berusaha menyamarkan mata bernuansa musim gugurnya yang sudah berkaca-kaca.

"Minta maaf?" Rukia jadi makin bingung dengan kata-kata Ichigo. "Minta maaf buat apa?"

"Maaf karena… gue udah ngebuat Toushiro pergi dari sisi lo." Suara Ichigo terdengar bergetar, seperti sedang menahan tangis.

"Maksud kamu apa, sih?" tanya Rukia, masih belum mengerti dengan arah pembicaraan pemuda yang sedang berlutut meminta maaf padanya itu.

"Gue yang menyebabkan Toushiro meninggal di hari itu, tiga bulan yang lalu," ucap Ichigo setelah berhasil memantapkan diri untuk mengatakannya.

Rukia kembali mengernyit bingung. Bukankah Toushiro meninggal karena kecelakaan saat mau menyelamatkan anak kecil yang terjatuh di tengah jalan? Setidaknya, itulah yang didengar Rukia saat Retsu—ibunda Toushiro—memberitahukan kabar kematian Toushiro padanya.

"Gue yang udah ngebuat Toushiro ketabrak mobil di hari itu," kata Ichigo lagi. Tubuhnya yang tadi berlutut di hadapan Rukia, kini sudah melorot jatuh terduduk di pasir pantai. Wajahnya masih tertunduk, sedangkan kedua tangannya sibuk menjambak-jambak rambut orange-nya frustasi. "Gue... gue yang udah ngebunuh dia, Rukia."

"Tunggu sebentar, Ichigo! Maksud kamu apa, sih?" tanya Rukia lagi, mulai kesal dengan perkataan Ichigo yang sama sekali tak dapat dimengertinya. "Kenapa kamu bisa bilang kayak gitu? Bukannya Toushiro meninggal karena kecelakaan waktu mau nyelametin anak kecil yang jatuh di jalan?"

Ichigo menatap pasir pantai di bawahnya dengan pandangan nanar. "Waktu itu... gue sama Toushiro baru aja selese ngeliat pemutaran film Toushiro. Sampai saat itu, keadaan masih baik-baik aja, Rukia. Tapi setelah itu, tiba-tiba kami berdua denger suara teriakan seorang ibu yang anaknya terjatuh di tengah jalan raya, dan di saat itu juga, sebuah mobil melaju sangat cepat menuju anak kecil yang jatuh di jalan itu." Ichigo terdiam sesaat untuk menarik napas. "Dan, gue secara refleks langsung lari ke tengah jalan, berusaha nolong anak itu. Tapi, terlambat. Jarak antara mobil itu dengan gue tinggal satu meter lagi.

"Waktu itu gue udah bener-bener pasrah dengan apa yang bakal terjadi sama gue selanjutnya, gue bahkan sempat berpikir kalo gue bakal mati ketabrak mobil sinting itu. Sampai akhirnya... gue denger suara teriakan Toushiro." Ichigo sudah benar-benar tak kuasa membendung air matanya. "Dia... ngedorong gue sampai gue dan anak kecil yang ada di pelukan gue terjatuh, dan keluar dari jalur jalan mobil itu."

Rukia terkesiap kaget mendengar cerita sebenarnya yang mengalir melalui mulut Ichigo. "Terus... Toushiro...?"

"Ya, gue sama anak umur lima tahun itu emang selamat. Tapi, Toushiro... gara-gara dia ngedorong gue waktu itu... dia ketabrak mobil itu sampai terpental," kata Ichigo sambil terisak. "Dia emang masih sempat bernapas sesaat setelah ketabrak mobil itu... tapi, beberapa menit kemudian... dia meninggal di lokasi kejadian.

"Gue bener-bener masih inget betul gimana sosok Toushiro saat itu. Sekujur tubuhnya yang bersimbah darah tergolek tak berdaya, luka di kepalanya seolah nggak bisa berhenti mengeluarkan darah segar, wajahnya yang berjuang menahan rasa sakit sesaat sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya, gimana dia berusaha mengucapkan maaf sambil terus-terusan menyebut nama lo dengan sisa-sisa kekuatan yang dia punya, dan gimana dia meninggal tepat di depan kedua mata gue," ujar Ichigo lagi.

Rukia berusaha untuk tidak menangis setelah mendengar cerita Ichigo. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dan juga pada Toushiro, bahwa dia tidak akan cengeng lagi. Dia akan menjadi sosok gadis yang tegar. "Ichigo..." Rukia berusaha menyejajari pemuda yang tengah jatuh terduduk di pasir itu. Tangan kecilnya mengelus-elus punggung Ichigo untuk menenangkannya.

"Rukia..." Ichigo mengangkat wajahnya, memerlihatkan air mata yang tadi dengan susah payah berusaha dibendungnya. "Gue yang udah ngebunuh Toushiro. Gue nggak pantes buat jadi seorang sahabat bagi Toushiro."

Rukia terdiam sebentar, tangannya berusaha menahan tangan Ichigo yang akan menjambak rambut lagi. "Ichigo, kamu tau kenapa waktu itu Toushiro ngedorong kamu tanpa memedulikan keselamatan dirinya sendiri?"

Ichigo menatap mata violet Rukia tanpa bisa menjawab apa-apa.

"Karena dia nggak mau kehilangan seorang sahabat untuk yang kedua kalinya," kata Rukia lagi. "Dia udah pernah ngerasain gimana rasanya kehilangan seorang sahabat, Ichigo. Dan, dia nggak mau ngerasain hal menyakitkan itu lagi."

Ichigo terperangah mendengar ucapan Rukia. "Kusaka?"

Rukia mengangguk pelan. "Dia nggak mau kehilangan kamu, seperti dia kehilangan Kusaka dulu. Dia nggak mau menyesal di kemudian hari."

Ichigo kembali tertunduk dalam diam.

"Jadi, jangan pernah sesali apa yang udah Toushiro perbuat tiga bulan yang lalu, Ichigo," ujar Rukia sambil tersenyum manis. "Dia menyelamatkan kamu bukan untuk membuat kamu menyesal atas kematiannya. Aku yakin, Toushiro bakal sedih banget di alam Sana kalo ngeliat kamu terpuruk kayak gini."

Rukia membantu Ichigo untuk berdiri dari duduknya. "Lagi pula, itu bukan kesalahan kamu, kok. Kamu, kan, cuma berniat baik buat nolong anak kecil itu. Bukannya sengaja mau menabrakkan diri ke mobil itu."

Ucapan Rukia tadi membuat Ichigo tersenyum lega. Ternyata pemikirannya selama ini salah. Dia kira, Rukia akan membencinya setengah mati setelah tahu kalau dialah yang menyebabkan Toushiro meninggal saat itu.

"Ah, ngomong-ngomong, kenapa Retsu-san bilang ke aku kalau Toushiro meninggal karena nolongin anak kecil yang jatuh di jalan, ya?" tanya Rukia heran.

Ichigo tersenyum geli mendengar pertanyaan Rukia yang tak jelas ditujukan kepada siapa. "Sebenernya, semua orang udah sepakat buat merahasiakan sebab kematian Toushiro yang sebenernya dari lo."

"Hah? Kok gitu, sih?" protes Rukia sambil mengerucutkan bibirnya kesal. "Curang! Masa cuma aku yang nggak boleh tau?"

Ichigo lagi-lagi tersenyum geli melihat tingkah Rukia yang kekanak-kanakan. "Mereka semua ngelakuin itu karena gue. Mereka nggak pengen lo ngebenci gue setelah tau sebab kematian Toushiro yang sebenernya," jelas Ichigo. "Lagian, Retsu-ba-san nggak bohong-bohong amat, kan? Toushiro emang meninggal karena ngedorong gue yang mau nyelametin anak kecil."

Rukia berdecak sebal membuat Ichigo tergelak. "Itu beda tau!" ketusnya. "Ah, terus... kenapa kamu malah ngasih tau hal itu ke aku?"

Ichigo terdiam seketika dari tawanya, lalu tersenyum miris. "Karena gue nggak bisa terus-terusan nutupin kesalahan gue. Setiap malem gue mimpi buruk tentang peristiwa kecelakaan itu," katanya kemudian. "Gue nggak peduli walaupun bakal lo benci seumur hidup setelah gue ngasih tau yang sebenernya sama lo, Rukia."

"Tapi, buktinya aku nggak marah, kan?" sanggah Rukia.

Ichigo kembali tersenyum. "Itu dia yang bikin gue bingung."

Rukia mengernyitkan dahinya, lalu menghela napas lelah. "Mau sampai kapan aku mesti terus-terusan bilang kalo itu bukan salah kamu?" katanya. "Aku nggak marah karena emang aku nggak berhak marah sama kamu yang nggak salah apa-apa. Jadi, berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri, Ichigo."

Ichigo lagi-lagi terperangah setelah mendengar ucapan-ucapan Rukia, lalu tiba-tiba tergelak hebat.

"H-hei, Ichigo! Kamu udah gila, ya?" tanya Rukia ngawur. "Tadi nangis, sekarang ketawa... Dasar aneh!"

Ichigo masih saja tertawa, tak memedulikan ejekan pujaan hati almarhum sahabatnya itu. Tapi, tiba-tiba tawanya berhenti, lalu dia memandang Rukia dengan lembut. "Gue jadi tau, kenapa Toushiro begitu mencintai lo."

Semburat merah tiba-tiba menghiasi wajah cantik Rukia, membuatnya semakin terlihat manis di bawah sinar rembulan yang bersinar temaram. Ya, sang dewi malam memang sudah menampakkan dirinya, menandakan kalau hari sudah mulai malam. "M-maksud kamu?" tanya Rukia terbata-bata.

Ichigo tersenyum geli melihat Rukia yang salah tingkah. "Udahlah. Lupain aja!" godanya sekali lagi sambil kabur sebelum terkena amukan gadis itu.

"I-Ichigo!" teriak Rukia kesal, sambil mengejar Ichigo yang berusaha kabur.

"Ah, udah malem," ujar Ichigo sambil berbalik menghadap Rukia yang masih berada jauh di belakangnya—nampaknya gadis itu tidak bisa menyaingi kecepatan lari Ichigo. "Gue mau balik ke hotel. Lo gue enterin pulang, ya?"

Rukia yang masih kelelahan akibat berlari tadi hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. "Kamu tinggal di hotel?" tanyanya beberapa saat kemudian.

"Iya," jawab Ichigo. "Gue cuma sebentar di Karakura."

"Jadi, kamu ke sini cuma buat minta maaf sama aku?" tanya Rukia heran.

"Awalnya, sih, gitu. Tapi, ternyata ada kerjaan juga yang harus gue beresin di sini," jelas Ichigo.

Rukia hanya ber'oh' ria setelah mendengar penjelasan pemuda yang berjalan di sampingnya itu. Mereka berdua sekarang sedang berjalan menuju tempat di mana Ichigo memarkir mobilnya. "Kamu pulang ke Seireitei kapan?"

"Tiga hari lagi," jawab Ichigo pendek. "Kenapa?"

"Eh? Nggak... nggak apa-apa," elak Rukia sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

Ichigo mengernyit heran. Lalu tiba-tiba, ide bagus terlintas di otaknya. "Lo mau ikut gue balik ke Seireitei?" tawar Ichigo to the point.

"Apa?" Rukia terkejut setengah mati mendengar tawaran Ichigo. "M-maksud kamu apaan?"

"Eh? B-bukan... bukan gitu maksudnya." Kini, giliran Ichigo yang salah tingkah, wajahnya sedikit memerah. "Maksud gue... kita sama-sama ke Seireitei. Lo pasti pengen ngunjungin makamnya Toushiro, kan? Dan, ntar selama di sana, lo bisa nginep di rumahnya Toushiro. Gue yakin, Juushiro-ji-san sama Retsu-ba-san nggak bakal keberatan."

Mendengar hal itu, wajah Rukia langsung berseri-seri, layaknya seorang anak kecil yang baru dibelikan mainan baru. Lalu dia mengangguk dengan mantap. "Iya, aku mau."

Ichigo menghela napas lega karena kesalahpahaman tadi tidak kembali berlanjut. "Oke, kalo gitu. Lo gue jemput di rumah tante lo tiga hari lagi."

Rukia kembali mengangguk riang. "Jam berapa?"

"Mungkin sekitar jam delapan pagi."

Mereka berdua pun segera melanjutkan langkah mereka menuju mobil Ichigo yang terparkir tak jauh dari posisi mereka sekarang.

'Tunggu aku, ya, Toushiro,' ujar Rukia tak sabar dalam hati. Dia benar-benar senang dengan tawaran Ichigo tadi. Sebenarnya, sudah lama Rukia ingin mengunjungi makam pemuda yang dicintainya itu, tapi karena terbentur dengan masalah di-mana-dia-harus-tidur-selama-di-sana, dia tidak pernah jadi pergi ke Seireitei. Dan sekarang, ada sahabat Toushiro yang berbaik hati memberikan tumpangan dan mencarikan tempat tinggal sementara untuknya, mana mungkin dia menolak kesempatan emas itu.

Senyum kebahagiaan masih saja menghiasi wajah cantik Rukia ketika Ichigo menurunkannya tepat di depan rumah Yoruichi—tante Rukia.

"Sampai ketemu tiga hari lagi, ya, Rukia," kata Ichigo sebelum mereka benar-benar berpisah.

Rukia mengangguk pasti. "Sampai ketemu. Makasih tumpangannya," katanya sambil sedikit membungkukkan badannya.

Ichigo tersenyum simpul. "Udahlah, nggak usah bersikap formal gitu."

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Ichigo segera menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, kembali meluncur di jalan raya.

'Sepertinya dia baik-baik aja, Toushiro. Dia juga sepertinya udah nggak membutuhkan penjagaan dari gue. Dia udah tumbuh menjadi seorang cewek yang tegar,' ujarnya dalam hati sambil melirik kaca spion mobilnya yang menampilkan sosok Rukia yang semakin mengecil seiring dengan laju mobilnya. 'Lo nyuruh gue buat ngegantiin lo? Yang bener aja!'

Ichigo mendengus kesal. 'Dia mungkin nggak akan pernah bisa ngelupain lo, Toushiro, selamanya. Bahkan cuma dengan menyebut nama lo aja dia langsung girang kayak gitu,' katanya dalam hati. 'Lo bakal selalu tetap di hatinya.'

Ichigo menatap jalan yang terbentang di hadapannya lurus-lurus. Pegangan tangannya pada kemudi mobilnya tiba-tiba menguat.

'Tapi, gue akan tetep ngejaga Rukia, Toushiro,' tekad Ichigo dalam hati. 'Demi janji gue sama lo.'


Tak ada lagi yang tersisa untukku,

selain kenangan-kenangan indah bersamamu.

Mata indah yang darinya aku bisa melihat keindahan cinta,

mata indah yang dulu adalah milikku,

mata indah yang kini sudah tak lagi bisa kupandang.

Kini, semua terasa jauh meninggalkanku.

Hidup ini terasa kosong tanpa alunan suaramu.

Hati, cinta, dan hidupku adalah milikmu.

Cintamu tak 'kan pernah membebaskanku.

Bagaimana mungkin aku bisa terbang untuk mencari cinta yang lain,

di saat sayap-sayapku telah patah dan hancur seiring kepergianmu.

(Kuchiki Rukia)


Rukia berjalan menelusuri jalan setapak, menuju pepohonan. Tempat ini cukup sepi, tak ada siapa pun. Yang terdengar hanya suara tapak kaki Rukia dan suara pinggiran rok panjangnya yang mendesir membelai rerumputan.

Di tangan Rukia terdapat seikat bunga lily putih. Ia berjalan menuju batu nisan yang bersembunyi di balik pohon kamboja. Rukia mendengar nyanyian burung. Ia menengadah, terdapat sarang burung di salah satu dahan pohon kamboja itu. Induk burung sedang memberi makan anak-anaknya.

Sambil berlutut di depan nisan, Rukia meletakkan seikat bunga yang dibawanya, lalu mulai berdoa. Sesaat setelah itu ia terdiam, memandang nama yang terukir di nisan itu: Hitsugaya Toushiro. Di depan batu nisan itu juga terdapat sebuah foto yang memperlihatkan wajah tampan pemuda pemilik nama Toushiro itu, ditangan kanan pemuda itu tergenggam sebuah piala kemenangan yang terbuat dari kaca. Rukia tersenyum ketika melihat wajah Toushiro yang begitu gembira di dalam foto itu.

Hari ini adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu Rukia, di mana dia akhirnya bisa mengunjungi makam Toushiro. Tapi, kali ini dia pergi sendiri. Ichigo yang tak bisa mengantarnya karena ada pekerjaan penting, terpaksa meminta bantuan Momo untuk menggantikannya mengantar Rukia.

Dan, Momo memang mengantarnya menuju ke tempat pemakaman di mana Toushiro dimakamkan, tetapi tiba-tiba gadis itu juga ada urusan penting yang berhubungan dengan pekerjaannya, sehingga terpaksa ia tinggalkan Rukia sendiri di makam Toushiro. Jika Rukia sudah selesai, gadis itu disuruh menghubunginya, dan Momo akan segera menjemputnya.

"Aku kangen sama kamu, Toushiro," ujar Rukia lirih. "Setiap malem aku mimpiin kamu. Aku nggak pernah bisa ngelupain kamu, Toushiro."

Rukia berbicara pada nisan itu. Pikirnya, mungkin dengan begitu Toushiro bisa mendengarnya. "Orang tua kamu juga pasti begitu. Mereka sayang banget sama kamu, Toushiro," katanya lagi. "Mereka juga baik banget sama aku. Selama aku tinggal di Seireitei, mereka ngebolehin aku buat nginep di rumah keluarga kamu."

Rukia mengelus lembut nisan Toushiro. "Kamu juga punya temen-temen yang baik di sini. Mereka semua peduli sama kamu. Kamu bener-bener beruntung, ya, Toushiro."

Senyuman manis masih terkembang di wajah cantik Rukia. "Kamu sendiri kangen, nggak, sama kami semua?"

"Dia nggak bakal ngejawab pertanyaan lo."

Ada seseorang berdiri di belakang Rukia. Tangan kirinya menggenggam sebuket bunga lily putih, sementara tangan kanannya menenteng jas hitam yang disampirkannya di pundak sebelah kanan. Dasi yang digunakannya agak sedikit longgar berkibar tertiup angin.

"Ichigo?" tanya Rukia heran. "Ngapain kamu di sini? Kerjaan kamu udah selesai?"

Ichigo hanya mengangguk kecil, lalu berjalan menghampiri Rukia dan ikut berlutut di sebelahnya. Pemuda itu meletakkan bunga yang dibawanya di samping bunga yang baru saja diletakkan Rukia tadi, lalu tiba-tiba dia mengernyit bingung. "Lo tau dari mana kalo Toushiro suka bunga lily putih?"

"Eh? Ng... feeling aja." Rukia sendiri juga bingung, kenapa dia lebih memilih membawa bunga lily putih dibandingkan bunga-bunga yang lain.

Ichigo lalu kembali mengalihkan pandangannya ke batu nisan Toushiro. Dia menatap nanar nisan di hadapannya. Toushiro, sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, tak lagi berdiri di atas tanah, melainkan kini ia berbaring di dalamnya.

Ichigo bisa merasakannya.

Ia masih dapat mendengar napas Toushiro yang terputus-putus sesaat sebelum dia meninggalkan dunia ini.

Suara napas Toushiro yang terputus-putus itu tak akan pernah menghilang dari benaknya. Bayang-bayang saat itu selalu terlintas di matanya. Jeritan orang yang panik saat itu selalu terngiang di telinganya. Ia berharap saat itu tak pernah terjadi. Semoga saja waktu bisa berjalan mundur dan ia dapat mengulang semuanya.

Dengan tangan yang mengelus lembut nisan Toushiro, ingatan Ichigo melayang ke kejadian tiga bulan yang lalu.

oOo Flashback oOo

"Lo segitu cintanya sama cewek itu, ya, Toushiro?" tanya Ichigo sambil masih berkonsentrasi menyetir, sesekali mata cokelatnya melirik pemuda berambut putih yang sedang duduk di kursi sebelahnya sambil memandang ke luar jendela.

Saat ini, mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ichigo. Mobil berwarna hitam itu kini sedang meluncur cepat di jalanan menuju tempat pemutaran film Toushiro yang berhasil memenangkan lomba film indie beberapa bulan lalu.

Ketika mendengar namanya dipanggil, pemuda bernama Toushiro itu pun segera menoleh menatap sahabatnya yang sedang sibuk menyetir mobil yang sedang mereka tumpangi itu. Alis putihnya dinaikkannya sebelah, pertanda bahwa pemuda itu tak mengerti dengan apa yang baru saja ditanyakan Ichigo. "Maksud lo?"

"Nggak usah pura-pura nggak ngerti, deh, Toushiro. Lo lagi mikirin cewek itu, kan?" kata Ichigo. "Buktinya lo ngelamun terus daritadi."

Toushiro terdiam sebentar, mulai mengerti siapa cewek yang dimaksud Ichigo. "Hn."

"Hah? Jawaban macam apa itu? Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi, tau!" sahut Ichigo, mulai kesal dengan sikap Toushiro yang terkadang suka berhemat dengan kata-kata.

"Pertanyaan lo yang mana?" Toushiro malah balas bertanya dengan entengnya.

"Ya, yang tadi," balas Ichigo frustasi. "Lo bener-bener cinta sama cewek itu?"

"Tanpa gue jawab pun, gue rasa lo udah bisa nebak jawabannya," kata Toushiro sambil kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Oh, iya, deh, iya... Dasar ABG yang lagi kasmaran!" cibir Ichigo membuat Toushiro tergelak.

"Lo pikir dua puluh satu tahun masih bisa disebut ABG?" ujar Toushiro.

"Ya, kenapa nggak?" sanggah Ichigo. "Tua sama muda itu, kan, relatif."

Toushiro hanya diam saja mendengar sanggahan temannya itu.

Beberapa detik setelah itu, keheningan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing dari mareka disibukkan dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Ichigo memecahkan tabir keheningan di antara mereka.

"Lo kangen sama Rukia, ya, Toushiro?"

"Emangnya kalo gue bilang 'nggak', lo bakal percaya?" kata Toushiro.

Ichigo menghela napas lelah, mulai kuwalahan menghadapi sikap Toushiro yang kembali berbelit-belit. 'Ngomong 'ya' aja, kok, susah amat, sih!' gerutunya dalam hati.

"Gue cuma nggak nyangka, Kurosaki. Gue udah berhasil ngeraih cita-cita gue, ditambah lagi pertemuan gue dengan Rukia yang udah selangkah lebih dekat," ujar Toushiro sambil tersenyum simpul setelah melihat Ichigo yang nampaknya mulai frustasi dengan jawaban-jawabannya yang menyebalkan. Mata emerald pemuda itu kini menerawang menatap awan yang berarak cepat seiring dengan laju mobil yang Toushiro dan Ichigo tumpangi. "Gue harap dia juga bisa ngeraih cita-citanya di Karakura sana."

"Dia pasti bisa. Lo percaya sama dia, kan?" kata Ichigo membuat Toushiro kembali tersenyum tipis. "Tapi, gue bener-bener nggak bisa ngerti jalan pikiran lo—dari dulu sampai sekarang. Kalo lo emang kangen sama Rukia, ya tinggal ketemu aja lagi. Ngapain musti nunggu sampai kalian berhasil ngeraih cita-cita kalian? Bukannya itu malah ngebuat perasaan kalian tersiksa? Lagian lo nggak kasihan, apa, sama Rukia? Sejak kepergian lo dari Karakura satu setengah tahun yang lalu, lo nggak pernah ngasih kabar ke dia."

Lagi-lagi Toushiro hanya tersenyum saat mendengar celotehan panjang Ichigo. "Lo emang nggak pernah dan nggak akan pernah bisa ngerti jalan pikiran gue, Kurosaki," timpal Toushiro membuat Ichigo kembali berdecak sebal.

oOoOoOo

"Akhirnya acara ini selesai juga," ujar Ichigo sambil menghela napas lega. "Tapi, gue terharu ngeliat film lo tadi, Toushiro. Seolah-olah lo lagi nyeritain kisah hidup lo selama ini. Dimulai dari waktu lo tau kalo lo sakit, sampai saat lo bisa nerusin hidup lo setelah ketemu sama cewek itu. Ngomong-ngomong, kenapa lo mutusin buat ngebikin film dengan latar belakang kehidupan nyata lo?"

"Gue cuma nggak mau orang-orang yang bernasib sama kayak gue menyerah dalam menghadapi nasib," ujar Toushiro, semua kata-kata pemberi semangat yang pernah dilontarkan Rukia padanya kembali terngiang-ngiang jelas di telinganya. Toushiro lalu kembali tersenyum tipis. "Semua makhluk yang diciptain hidup pasti pada akhirnya bakal mati, tapi bukan berarti mesti diem aja nunggu kematian menjemput, kan? Walaupun mungkin beberapa di antara makhluk hidup itu ada yang udah divonis nggak bakal berumur panjang, kayak gue."

Ichigo tertegun mendengar perkataan sahabatnya itu tadi. Pemuda yang sedang berdiri di depannya itu benar-benar berbeda dengan Hitsugaya Toushiro yang pernah ditemuinya dulu di Karakura. Dulu, sosok Hitsugaya Toushiro begitu rapuh, sudah terlalu putus asa dalam menghadapi hidupnya. Tapi sekarang? Dia berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang Hitsugaya Toushiro yang semangat dan punya cita-cita. Ya, semua ini berkat gadis itu. Kuchiki Rukia.

"Iya, deh, Pak Sutradara," canda Ichigo membuat mereka berdua tergelak bersama. "Ah, iya. Kalo lo sama Rukia ketemu ntar, tolong ingetin gue buat berterima kasih sama dia, karena udah mengembalikan Hitsugaya Toushiro menjadi seperti yang dulu pernah gue kenal semasa SMA."

Toushiro menatap lama Ichigo, berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya, sampai akhirnya Toushiro mengangguk pelan sambil tersenyum samar.

"Neliel, awaaasss!" Teriakan seorang ibu muda di seberang jalan mengagetkan mereka berdua. Teriakan histeris itu jelas-jelas ditujukan pada sang anak yang sedang terjatuh saat berusaha menyeberang jalan.

Saat itu memang jalanan sedang sepi, tapi ada sebuah mobil Jeep yang sedang melaju kencang menuju ke arah anak kecil itu. Jarak antara Jeep dengan anak berumur sekitar lima tahun itu hanya tinggal beberapa meter lagi. Ichigo secara refleks langsung berlari secepat mungkin menghampiri bocah bernama Neliel Tu yang sedang jatuh terduduk di tengah jalan sambil menangis keras itu dan berusaha membantunya berdiri. Hingga akhirnya jarak antara mobil dengan mereka tinggal satu meter lagi.

Ichigo kaget, melihat mobil Jeep yang melaju dengan kecepatan tinggi dalam radius satu meter siap menubruknya, jantungnya serasa berhenti berdetak.

Ichigo seperti tersihir, badannya kaku tidak bisa digerakkan. Niat baiknya untuk menyelamatkan seorang anak berumur lima tahun dari kematian malah justru mengantarkan dirinya sendiri pada gerbang kematian. Ichigo sendiri sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya, dia menutup matanya dan mendekap Neliel Tu erat-erat di dada bidangnya.

"Astaga!" pekik ibunda bocah kecil itu. "Neliel!"

"Kurosaki!" Terdengar seruan suara Toushiro.

Dan, tiba-tiba sosok tangan kecil namun kuat mendorong Ichigo dengan keras sehingga membuatnya dan Neliel Tu yang ada di dekapannya terdorong menjauhi jalur jalan sang Jeep yang masih melaju dengan kecepatan tinggi.

'Kciiiitt... brakk...!' Terdengar bunyi rem diinjak keras-keras yang kemudian disusul dengan suara tubrukan dua benda keras.

Ichigo masih terlalu takut untuk membuka kedua matanya, dipeluknya Neliel Tu erat-erat.

"Neliel!" jerit sang ibu sambil berlari tergopoh-gopoh menuju ke tempat Ichigo terjatuh, lalu memeriksa keadaan sang buah hati. "Kamu nggak apa-apa, Nak?"

Ichigo memberanikan diri untuk membuka kedua matanya, dan didapatinya sang ibu yang sedang memeluk erat anaknya dengan penuh keharuan.

Bocah kecil itu pun segera melepaskan pelukan sang ibu lalu menerjang Ichigo dan memeluk penyelamatnya itu dengan senang. "Terima kasih banyak, ya, Onii-chan."

Ichigo kontan mengelus rambut Neliel. "Sama-sama."

"Terima kasih banyak, Nak. Kamu telah menyelamatkan nyawa anak saya," ujar sang ibu sambil menghapus air mata harunya. "Tapi, maaf... Sepertinya teman kamu terluka sangat parah."

"Maksud... Ibu?" Ichigo benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan ibu itu. Tunggu dulu, bukankah sesaat sebelum dia terjatuh, ada sepasang tangan kecil yang mendorongnya kuat-kuat sehingga dia tidak jadi tertabrak mobil tadi? Dan... 'Oh, iya... Toushiro! Di mana dia?' tanyanya dalam hati.

Ichigo celingak-celinguk, sibuk mencari Toushiro di tempat dia dan sahabatnya tadi berdiri sebelum insiden kecelakaan tadi terjadi.

Tapi tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan Toushiro, justru yang didapatinya hanyalah kerumunan orang di tengah jalan, beberapa meter dari tempatnya terjatuh tadi. Dia langsung berlari dan berbaur dengan mereka.

Jantung Ichigo berdebar tak keruan, jelas ini pertanda buruk. Apalagi, samar-samar dia bisa mencium bau anyir darah di tengah kerumunan orang itu.

"Panggil ambulans, ada yang terluka!"

"Polisi, kita butuh polisi di sini!"

"Ini tabrak lari! Penabraknya menggunakan Jeep hijau!"

Ichigo tanpa sengaja mendengar percakapan orang di sebelahnya, "Pemuda itu kasihan, ya... padahal masih muda... sepertinya lukanya sangat parah. Pelakunya malah lari..."

"Ya. Jeep tadi, kan, menabraknya sampai mental. Kasihan, mungkin dia takkan selamat." Mendengar kata-kata itu, Ichigo serasa telah dihadapkan pada dosa besar. Ia berlari berusaha menerobos kerumunan, mencoba mencari tahu dengan mata kepalanya sendiri.

Di tengah jalan, seorang pemuda bertubuh kecil terkapar. Pakaiannya bersimbah darah. Rambut putihnya kini sudah tidak seputih salju musim dingin lagi, karena ada bercak-bercak merah darah yang menodainya. Darah segar terlihat keluar dari lubang hidung dan sela-sela bibirnya yang setengah terbuka. Mata emerald-nya tertutup rapat. Ia tak sadarkan diri. Tapi, jika dilihat dari dadanya yang naik turun—menunjukkan bahwa dia masih bernapas, sepertinya masih ada tanda-tanda kehidupan di tubuh pemuda malang itu.

"Toushiro...!" jerit Ichigo mendekap tubuh penuh darah Toushiro. Sayup-sayup, dia mendengar salah seorang pria berumur setengah baya di tengah kerumunan itu menyuruh seseorang agar cepat-cepat memanggil ambulans dan polisi. Namun, rasanya saat itu hanya ada Ichigo dan sahabatnya yang tengah terkulai lemah itu. Dia tak percaya ini terjadi, padahal beberapa menit yang lalu dia dan Toushiro masih tertawa bersama.

'Ini pasti mimpi,' kata Ichigo dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya. Tubuh Ichigo bergetar hebat, terlalu takut untuk meyakini apa yang baru saja terjadi. 'Tapi, kenapa terasa begitu nyata?' Setetes air mata terjun bebas menuruni pipinya, hingga menetes di pipi Toushiro yang ada di dekapannya.

"Lo... nangis, ya... Kurosaki?" ejek Toushiro pelan.Pemuda itu ternyata sudah membuka mata emerald-nya, walaupun hanya setengah. "Cowok macem apa... lo?"

"T-Toushiro?" seru Ichigo kaget bercampur senang. "Lo udah bangun? Bertahanlah! Ambulans bakal dateng sebentar lagi."

Toushiro terdiam sebentar, seperti sedang menarik napas. Lalu kembali berbicara dengan sisa-sisa tenaganya yang semakin menipis, "Nggak perlu... Kurosaki... Waktu gue udah semakin dekat."

Kalimat tadi diakhiri dengan Toushiro yang terbatuk hebat, disusul dengan darah yang keluar dari mulutnya dalam jumlah yang tak bisa dibilang sedikit.

"Gue mohon, Toushiro! Bertahanlah!" pinta Ichigo lagi. "Udah, lo nggak usah banyak ngomong. Tunggu ambulans-nya dateng sebentar lagi!"

Toushiro menggeleng lemah. "Dari dulu... gue emang... udah siap buat mati... kapan pun juga... Kurosaki." Napasnya terasa semakin berat. Pandangannya mengabur perlahan. Tempat sekitarnya yang terang benderang semakin lama semakin terlihat suram dan redup. Wajah Ichigo terlihat semakin menjauh. Suara yang terdengar paling jelas adalah bunyi napasnya sendiri yang terputus-putus. Toushiro tahu, inilah saatnya. Ia harus menyampaikan semuanya sebelum waktunya habis.

Ichigo menatap marah pada sahabatnya yang sedang berada di ambang maut itu. "Ke mana semangat hidup yang lo dapet dari Rukia dulu, Toushiro?" sahut Ichigo. "Bukannya lo masih kepengen ketemu sama Rukia?"

"Rukia, ya...?" Toushiro tersenyum tipis. "Justru itu... tolong gantiin gue... buat ngejaga dia... Kurosaki."

Ichigo menatap Toushiro tak percaya. Sepertinya, sahabatnya itu benar-benar sudah pasrah jika harus meninggalkan dunia saat itu juga.

"Gue tau kalo suatu saat nanti... gue pasti harus ninggalin dia sendirian di dunia ini. Dan... di saat gue udah nggak bisa lagi ada di sisi dia... gue mohon... gantiin gue... untuk ngejaga dia dengan baik," pinta Toushiro dengan terputus-putus akibat terlalu memaksakan diri untuk bicara dalam kondisi seperti itu. Toushiro kembali batuk disertai cairan merah pekat yang lagi-lagi mendesak keluar dari mulut kecilnya. "Jangan biarin dia sendirian... dan juga... jangan biarin dia nangis lagi. Dan... sampaikan... permintaan maaf gue sama Rukia... karena gue... nggak bisa... ketemu sama dia... lagi... Maaf... karena... gue udah... ingkar janji."

"Toushiro! Jangan ngomong ngelantur gitu! Lo pasti selamat, Toushiro!" sahut Ichigo, lalu segera mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang sedaritadi masih mengerumuni mereka berdua—seolah sedang menonton teaterikal drama, bahkan ada beberapa yang sampai meneteskan air mata. "Hei! Kenapa kalian diam saja! Cepat panggil ambulans!"

"Gue, kan, udah bilang... nggak perlu, Kurosaki," ujar Toushiro sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk kembali berbicara. "Yang gue butuhin sekarang... cuma satu... berjanjilah... kalo lo... bakal ngejaga Rukia... setelah kepergian gue..."

Baru saja Ichigo membuka mulutnya—ingin kembali memprotes, Toushiro segera melanjutkan kata-katanya, "Kurosaki... gue... mo... hon... Demi... gue..."

Ichigo mengalihkan pandangannya. Bagaimana mungkin dia menjaga kekasih sahabatnya, setelah membuat sahabatnya itu sendiri sekarat.

"Kuro... saki...," desak Toushiro. Waktunya semakin dekat.

Ichigo kembali menatap Toushiro yang seperti sudah mencapai batas kemampuannya, seolah benar-benar sudah tidak sanggup bertahan lagi. Ichigo menarik napas berat. "Oke. Tapi, lo harus bertahan, Toushiro. Lo harus tetep hidup! Demi Rukia... demi orang tua lo... demi Momo... dan juga, demi gue..."

Samar-samar, mereka mendengar bunyi sirene ambulans dan polisi mendekat.

Toushiro tersenyum penuh rasa terima kasih. "Ah... satu... lagi...," ucapnya kemudian. "Jangan pernah... menyalahkan... diri lo sendiri... atas... apa... yang udah... terjadi... sama gue... sekarang ini..."

Ichigo menatap Toushiro dalam-dalam.

"Ini... udah jadi... kehendak... Tuhan... Kurosaki...," ujar Toushiro.

"Toushiro..." Ichigo menggenggam tangan Toushiro erat. "Lo harus bisa bertahan! Orang tua lo udah nunggu kepulangan kita di rumah."

Benar juga, Juushiro dan Retsu pasti sedang menunggu kepulangan putra tunggal mereka itu di rumah. Tapi apa daya, Toushiro tak kuasa jika memang Tuhan sudah menginginkannya kembali ke pelukan-Nya.

"Otou-san... Okaa-san...," ucap Toushiro lirih. "Shiro... sayang kalian."

Setetes air mata menuruni pipi Toushiro, sedikit melunturkan noda darah yang menempel di wajah tampannya.

"Rukia...," bisik Toushiro dengan susah payah, berharap gadis yang berada nun jauh di sana itu bisa mendengar bisikan lirihnya. Tapi lidahnya terasa kelu. Mulutnya tidak mau membuka selebar keinginannya.

Ichigo memerhatikan sahabatnya dengan hati miris. 'Tuhan! Jangan ambil nyawanya sekarang. Berikanlah dia waktu lebih lama.'

Toushiro melempar pandangannya ke hamparan langit yang kini mulai mendung, lalu bersusah payah menggerakkan lidahnya. Ia berjuang menyelesaikan kalimatnya. "Rukia... gue...," bisiknya terputus-putus. "M-maafin... gue... Gue... sayang lo... Rukia..."

Begitu Toushiro selesai mengakhiri kata-katanya, ia tersenyum sangat puas, lalu menutup kedua matanya dengan wajah tenang... dan lega.

Dan kali ini, ia mengatupkan kedua kelopak matanya untuk selama-lamanya.

Bersamaan dengan tersebutnya nama Rukia dari mulut Toushiro tadi, pemuda malang itu menghebuskan napasnya untuk yang terakhir kalinya, sesaat sebelum para petugas medis dan polisi tiba di lokasi kejadian.

"Toushiro?" panggil Ichigo dengan suara serak. "Toushiro, bangun!"

Namun, Toushiro sama sekali tidak menyahut.

"Toushiro, bangun!" seru Ichigo panik. Ia mengguncang-guncang tubuh sahabatnya yang terbujur kaku.

Masih tak ada respon berarti dari tubuh yang mulai mendingin itu.

"TOUSHIROOO!" jerit Ichigo histeris.

Ichigo hanya bisa menangis sambil terus menyebut nama Toushiro melihat kepergian sahabat baiknya itu. Tak pernah disangkanya kalau Toushiro akan meninggal tepat di depan kedua matanya. Meninggal karena dirinya.

oOo End of Flashback oOo

Ingatan Ichigo seakan begitu nyata. Seumur hidup ia tak akan mungkin melupakan kejadian itu. Ichigo menggeleng, mengusir kenangan buruk itu. Ia kembali memfokuskan pandangannya pada nisan di hadapannya, lalu mulai berdoa.

Rukia yang masih berlutut di samping Ichigo hanya tersenyum memerhatikannya. Rukia tahu pasti bahwa pemuda di sampingnya itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan dirinya sendiri. Tapi, seiring waktu, Rukia yakin, Ichigo pasti akan berhenti meyalahkan dirinya sendiri atas kematian Toushiro.

Rukia bangkit lalu berjalan menjauhi Ichigo, tangan kanannya merogoh saku untuk mencari ponsel, sedang mencoba menghubungi Momo.

Ichigo yang merasa Rukia sudah selesai dengan urusannya di sini segera bergegas menghampiri gadis itu. "Lo balik bareng gue aja. Momo udah gue kasih tau buat nggak usah jemput lo hari ini," ujarnya membuat Rukia menghentikan usahanya untuk menelepon Momo.

"Oh, oke," jawab Rukia pendek.

Mereka berdua pun mulai berjalan beriringan menjauhi makam Toushiro, sampai akhirnya langkah mereka berdua terhenti ketika Ichigo melihat sosok pemuda yang juga merupakan bagian dari masa lalunya bersama Toushiro. Pemuda berambut panjang dengan mata semerah darah itu sedang berjalan mendekati mereka. Namun, langkah tegapnya juga berhenti saat melihat salah satu teman masa SMA-nya sedang menatap dengan pandangan tak suka padanya.

"Kurosaki?" Nama itu keluar begitu saja dari dalam mulut pemuda berambut hitam panjang itu.

Ichigo masih menatap benci padanya. "Mau apa lo ke sini...?" tanya Ichigo. Suaranya terdengar begitu sinis. "Kusaka Soujiro?"

Rukia kaget saat mendengar Ichigo menyebutkan nama pemuda di hadapannya itu, lalu dia segera mengalihkan pandangannya pada pemuda yang dipanggil Kusaka oleh Ichigo itu. Diakah yang bernama Kusaka? Orang itukah yang dulu begitu dibenci Toushiro?

"Gue...," kata Kusaka dengan suara tercekat. "Gue mau ngunjungin makam Toushiro. Gue nggak sempet dateng ke pemakamannya tiga bulan yang lalu."

Ichigo kini melayangkan tatapan mengejek pada Kusaka. "Emangnya lo masih peduli sama dia, setelah lo udah ngehancurin hidupnya enam tahun yang lalu?"

Kusaka menundukkan kepalanya, seolah siap dengan apa pun yang akan dilakukan Ichigo untuk mengadilinya.

Sekarang, giliran Rukia yang menatap tak suka pada Ichigo. Dia sama sekali tidak suka melihat sikap Ichigo yang cenderung memusuhi Kusaka itu. "Ichigo," tegurnya. "Jaga sikap kamu!"

"Kenapa gue harus jaga sikap sama orang jahat kayak dia, Rukia?" Suara Ichigo mulai naik satu oktaf lebih tinggi. "Lo lupa, kalo dia yang udah ngebuat hidup Toushiro berantakan?"

Rukia yang tidak menyangka akan dibentak seperti itu oleh Ichigo, hanya terdiam membatu, tidak ingin semakin memperparah suasana.

Ichigo yang sadar telah bertindak kelewat batas, langsung memasang ekspresi menyesal. "Sori, gue nggak maksud buat ngebentak lo," ujarnya sambil memalingkan muka.

Rukia hanya mengangguk maklum. "Nggak apa-apa." Pandangannya kini beralih pada Kusaka yang masih menundukkan kepalanya. "Jadi, kamu, ya, yang namanya Kusaka?"

Berbeda dengan suara Ichigo yang kasar, suara Rukia benar-benar lembut dan sangat bersahabat.

Kusaka mengangkat wajahnya, lalu mengangguk pelan. Dia segera mengulurkan tangan kanannya. "Kusaka. Kusaka Soujiro."

Rukia menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senang hati. "Aku Rukia. Kuchiki Rukia," katanya sambil memperkenalkan diri. Mata violet Rukia langsung tertumbuk pada sebuket bunga lily putih yang tergenggam erat di tangan kiri Kusaka.

"Kamu mau ke makamnya Toushiro, kan?" tambahnya sekali lagi. "Makamnya ada di sebelah sana." Jari telunjuk Rukia menunjuk ke arah nisan yang baru saja selesai dikunjunginya.

Kusaka mengangguk berterima kasih. "Ngomong-ngomong, lo siapanya Toushiro?"

Rukia bingung harus menjawab apa, wajahnya hanya sedikit menampakkan semburat merah di kedua pipinya.

"Dia pacarnya Toushiro." Jawaban Ichigo tadi langsung membuat wajah Rukia semakin memerah.

"Ichigo...," kata Rukia malu. "Aku sama Toushiro belum jadian, kok."

Raut wajah Ichigo tiba-tiba berubah muram, senyuman getir terpampang di wajahnya. "Dan itu gara-gara gue, kan?" katanya. "Kalo aja Toushiro masih hidup, kalian pasti udah pacaran."

Tanpa rasa belas kasihan sedikit pun, Rukia segera memukul pelipis Ichigo sehingga membuat pemuda yang sama sekali tak menyangka akan diserang itu terbanting ke jalan yang sedang mereka lalui. Entah dari mana munculnya kekuatan dahsyat itu. Kalau dilihat dari luar tak akan pernah ada yang menyangka kalau Rukia bisa memukul jatuh seorang pemuda tinggi besar seperti Ichigo. "Harus aku bilang sampai berapa kali, sih, Ichigo?" sahut Rukia jengkel. "Aku udah bilang berkali-kali, kan? Jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri kayak gitu!"

Ichigo yang masih syok dengan pukulan Rukia tadi hanya bisa terbengong-bengong mendengar kata-kata Rukia.

Kusaka yang memang sedari tadi menjadi saksi terjadinya adegan "tidak senonoh" itu hanya bisa menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal ketika Rukia dengan tampang tak berdosanya melempar senyum ke arah Kusaka.

"Oh, iya, Kusaka-san." Rukia kembali membuka pembicaraan. "Gimana keadaan kamu?"

Kusaka mengernyit bingung mendengar pertanyaan Rukia.

"Yaaa, maksud aku... Gimana keadaan kamu selama satu setengah tahun ini?" jelas Rukia. "Aku denger dari Toushiro, kamu syok banget setelah denger kalo kamu ternyata mengidap penyakit yang sama kayak Toushiro."

"Oh, itu..." Kusaka tersenyum miris. "Kehidupan gue setelah kejadian waktu itu perlahan-lahan mulai berantakan. Orang tua gue jadi makin nggak peduli sama gue. Temen-temen gue juga perlahan-lahan semakin ngejauhin gue. Tapi, gue berusaha bertahan sampe gue lulus kuliah, karena setelah itu gue udah mutusin buat hidup sendiri. Toh, nggak ada bedanya juga, antara gue hidup sama orang tua gue sama nggak."

"Yah, hukum karma emang selalu berlaku, kan?" sela Ichigo yang sudah berdiri dari jatuhnya.

Rukia mendelik kesal pada Ichigo, lalu kembali menatap Kusaka. "Jangan peduliin omongan jeruk busuk itu, ya, Kusaka-san."

Telinga Ichigo memanas ketika mendengar panggilan baru dari Rukia untuknya. "Lo bilang apa, Midget?"

Ctikkk.

Baru kali ini ada orang yang memanggil Rukia seperti itu, tanpa peduli kalau orang itu adalah sahabat baik orang yang paling dikasihinya, Rukia segera menabuh genderang perang pada pemuda yang menurutnya sangat menyebalkan itu. Kilatan-kilatan api peperangan pun mulai terlihat.

"Udahlah, Rukia-san," kata Kusaka, berusaha mendinginkan suasana. "Kurosaki nggak salah, kok. Mungkin ini emang karma buat gue, karena udah ngerusak hidup sahabat gue sendiri."

Ichigo tersenyum puas. "Lo denger itu, kan, Nona midget?"

"Berhenti manggil aku dengan sebutan itu, Baka Strawberry!" sahut Rukia marah, kaki kecilnya yang terbungkus sepatu kets menendang tulang kering Ichigo kuat-kuat membuat pemuda itu mendesis kesakitan. Tanpa memedulikan "korban"-nya yang masih kesakitan, Rukia kemudian berbalik menatap Kusaka. "Kamu juga jangan terus-terusan berpikiran kayak gitu, Kusaka-san.

"Toushiro mungkin dulu emang nganggep kamu sebagai orang yang udah membuat hidupnya berantakan. Tapi, setelah ketemu sama kamu, dan tau kalo kamu juga kena penyakit yang sama kayak dia, dia juga bener-bener syok. Sebesar apa pun rasa benci dia ke kamu, dia nggak pernah sekali pun pengen kamu ngidap penyakit yang sama kayak dia. Dia nggak pengen kamu ngerasain apa yang selama ini dia rasa.

"Selain itu juga, dia ngerasa kalo hal itu bukan sepenuhnya salah kamu. Karena, gara-gara dia sering nyuekin kamu sejak dia kenal dunia film juga, kamu jadi malah bergaul sama orang-orang nggak bener kayak gitu.

"Dia bahkan juga ngerasa kalo dia orang yang jahat karena udah menimpakan semua kesalahan ke kamu, tanpa memerhatikan kesalahan dia sendiri." Rukia tersenyum manis di akhir ceritanya. "Mungkin, dulu dia sempat benci banget sama kamu. Tapi, itu juga bukan berarti dia nggak bisa maafin kamu, Kusaka-san."

Kusaka sama sekali tidak pernah menyangka kalau Toushiro tidak sepenuhnya membenci dirinya. Tanpa ia sadari, kakinya melangkah menuju ke nisan yang ditunjukkan Rukia tadi, lalu bersimpuh di depannya. Mata merah Kusaka memandang lekat-lekat ukiran nama di batu nisan itu. Ukiran nama sahabatnya. Orang yang dulu pernah menjadi orang paling penting di hidupnya, dan mungkin sampai sekarang pun masih seperti itu. Tangan kanan Kusaka mengusap lembut foto Toushiro yang memang sengaja diletakkan di sana, sedangkan tangan kirinya meletakkan sebuket bunga yang sedari tadi dibawanya.

"Maafin gue, Toushiro." Air mata mulai menggantung di ekor matanya. Rasa penyesalan yang amat besar kini tengah menghantui Kusaka. Kenapa dulu dia tidak pernah punya keberanian hanya untuk sekedar mengucap kata maaf? Kenapa dulu ia terlalu takut untuk melihat langsung bagaimana reaksi Toushiro jika bertemu dengan dirinya, orang yang begitu dibencinya? Dan, kenapa keberanian itu justru muncul di saat semuanya sudah terlalu terlambat seperti sekarang ini?

Rukia yang mengikuti langkah Kusaka tadi langsung tersenyum lega melihat pemuda itu.

Sedangkan Ichigo yang berdiri di belakang Rukia hanya memandangi wajah gadis manis itu, sesekali senyuman penuh arti terukir di wajahnya. 'Bener-bener cewek yang penuh kejutan,' batinnya. Pandangannya beralih ke nisan Toushiro. 'Lo beruntung banget bisa dapetin cewek kayak dia, Toushiro.'


Memang butuh waktu lama bagi Rukia untuk benar-benar bisa merelakan kepergian Toushiro sepenuhnya. Tapi, setelah itu Rukia bagaikan mendapatkan kekuatan baru. Semangat baru dari Toushiro. Dia jadi semakin serius untuk menekuni karirnya di bidang tulis-menulis. Hampir semua novel fiktif karangannya laris manis di pasaran, bahkan ada beberapa yang best-seller. Semua peminat karya tulis mengenal namanya, bahkan hingga ke mancanegara. Banyak buku-buku karangannya yang dicetak belasan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Rukia dikenal sebagai seorang penulis besar dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, karena ia juga menikmati profesi sampingannya sebagai aktivis yang membantu para penderita HIV/AIDS. Sudah tidak terhitung banyaknya seminar dan penyuluhan yang dilakoninya. Reputasinya bahkan hampir menyamai seorang artis idola.

Dan kini, tak heran jika salah seorang produser di Hollywood, Amerika Serikat, telah membuat sebuah film berdasarkan novel terbaru Rukia yang dalam waktu satu bulan cetakan pertamanya langsung habis diserbu pembeli. Judulnya adalah "Selepas Kau Pergi" yang dijadikan judul film dengan mengubahnya dalam bahasa Inggris menjadi "After You're Gone".

Novel itu menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang berusaha menjalani hidupnya setelah orang yang sangat dicintainya meninggal dunia. Novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata tentang kehidupan Rukia yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya satu per satu, mulai dari kepergian ayah dan ibunya lalu kemudian disusul dengan kepergian Toushiro. Novel itu benar-benar penuh dengan perasaan Rukia.

Melalui novel itu, Rukia ingin menyampaikan pada seluruh pembacanya bahwa meninggalkan dan ditinggalkan itu juga termasuk bagian dalam hidup. Jangan hanya karena telah ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi lalu kita akan menjadi patah semangat, apalagi jika sampai tak mau kembali meneruskan hidup.

Dulu di awal karirnya sebagai penulis, ia pernah menciptakan sebuah novel tentang Toushiro—seseorang yang hingga saat ini masih ia cintai dengan sepenuh hati. Kini giliran ia membuat sebuah novel yang menceritakan kehidupannya setelah kepergian Toushiro.

Besok Rukia akan pergi ke Los Angeles. Dia diundang di pemutaran perdana film yang dibuat berdasarkan novel karyanya. Rukia juga akan bertemu dengan para pendukung film itu, termasuk para pemeran dalam film itu. Rangiku tentu saja ribut begitu tahu Rukia akan bertemu bintang-bintang Hollywood yang terkenal. Dan tentu saja gadis itu memaksa ikut bersama Rukia. Rukia memang tidak keberatan kalau Rangiku ikut, asal jangan membuat malu saja selama di sana. Lagi pula Rangiku bisa menemani Rukia selama di sana. Bahkan Rangiku sampai tidak peduli walau harus bolos kerja selama hampir seminggu.

"Kerja, kan, bisa tiap hari, Rukia. Tapi, kalo ketemu artis Hollywood yang cakep-cakep, mungkin cuma sekali dalam hidup gue." Begitulah alasan Rangiku saat ditanya Rukia.

Mulai kemarin, begitu semua urusan visa dan tiket selesai, Rangiku—yang menginap di kost Rukia sampai hari keberangkatan mereka—sibuk membuka-buka kamus untuk memperlancar bahasa Inggrisnya yang menurutnya masih amburadul.

"Gue, kan, nggak mau lo jadiin kambing congek selama di sana, Rukia. Buat apa gue jauh-jauh pergi ke Hollywood dan ketemu sama cowok-cowok cakep, kalo pada akhirnya gue cuma jadi patung karena nggak ngerti dan nggak bisa ngomong?" Lagi-lagi, alasan tidak bermutu itulah yang dilontarkan Rangiku ketika ditanya.

Jam telah berdentang dua belas kali. Kamar terasa amat sepi.

Rukia menoleh ke gadis yang tidur di sebelahnya. Rangiku tertidur pulas. Semua orang di kost-nya dan juga di rumah tantenya pun pasti juga sudah terlelap. Tapi mata Rukia tetap tak bisa menutup. Ia terus terjaga.

Ia menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya dan meloncat keluar dari tempat tidur. Rukia berjalan menuju jendela kamarnya dan membuka gorden. Ia menerawang dari balik kaca jendela. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di kaca.

Ini sudah kesekian kalinya, sejak kematian Toushiro, ia mengalami insomnia. Merenung seorang diri di tengah gelap dan sunyinya malam.

Rukia menyandarkan dirinya pada kaca. Namun tiba-tiba, ia kembali ke tempat tidur, mengambil iPod yang diletakkan di sana. Ia lalu berjalan kembali ke depan jendela kamarnya, kembali memandang langit malam dengan headphone besar terpasang di telinganya.

Saat Rukia masih sibuk dengan pikirannya sambil memandang kosong ke arah langit, ponselnya yang ia letakkan di meja kecil di samping tempat tidur bergetar. Menandakan ada panggilan masuk.

Rukia segera melangkahkan kaki kecilnya menuju ponselnya. Sambil mengernyit, ia meraih ponsel dengan paduan warna lavender-silver itu. Siapa yang meneleponnya tengah malam begini?

Kerutan di dahi Rukia langsung sirna dan tergantikan oleh senyuman kecil yang menghiasi bibir tipisnya ketika membaca nama yang tertera di layar ponselnya.

Kurosaki Ichigo.

Ichigo, ya? Rukia selalu saja tersenyum ketika mengingat pemuda itu. Ichigo, orang yang selalu ada di sampingnya di saat ia sedang merasa membutuhkan seseorang. Orang yang selalu membuatnya tertawa di saat ia ingin menangis.

Ichigo. Sosok yang setelah kepergian Toushiro selalu menghiasi hari-harinya. Pemuda yang tanpa disadarinya selalu menjaga dan melindunginya. Orang yang selalu menghiburnya.

Ichigo belakangan ini sering berkunjung ke Karakura dan menemuinya, mulai dari ada urusan penting dengan pekerjaan dan sekedar mampir, hingga sampai sengaja menyempatkan diri untuk bertemu Rukia sekaligus liburan karena memiliki banyak waktu luang.

Ichigo kini memang telah menjadi sosok yang penting dalam kehidupan Rukia. Kehadirannya bagaikan setetes embun yang kembali menyegarkan hari-hari Rukia. Tapi, tak pernah sekali pun Rukia menganggap Ichigo sebagai orang yang dikirimkan Tuhan padanya untuk menggantikan posisi Toushiro di hatinya. Karena Ichigo bukan Toushiro. Ichigo adalah Ichigo.

Ia memang tak ingin terlalu larut dalam kenangan masa lalunya bersama Toushiro, tapi bukan berarti dia harus melupakan kenangan itu. Karena kenangannya bersama Toushiro akan selalu ada dan tak akan pernah bisa terhapus oleh waktu.

Rukia sudah menganggap Ichigo seperti seorang kakak baginya, layaknya ia memandang Renji yang telah lama dikenalnya sebagai seorang sahabat. Tak lebih, tak kurang.

Senyum tipis kembali tersungging di bibir manisnya sebelum akhirnya ia menekan tombol dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. "Ya, Ichigo?"

"Lama banget, sih, ngangkatnya?" seru pemuda itu kesal dari seberang.

Rukia memutar bola matanya sebal. Pemuda itu masih saja temperamental, seperti biasanya. "Yang penting, kan, sekarang udah aku angkat, Ichigo."

Ichigo terdiam sejenak, lalu mulai angkat suara. "Lo belum tidur?"

Rukia mendengus kesal. "Kalo aku udah tidur, trus yang kamu telepon ini siapa?"

"Iya juga, ya." Terdengar tawa garing dari seberang telepon.

"Kenapa?" tanya Rukia langsung, mata violet-nya menerawang menembus langit malam.

"Eh?"

"Ada perlu apa kamu nelepon aku?" ulang Rukia. "Tengah malem gini, lagi."

"Ng..." Ichigo nampaknya bingung harus berkata apa. Walau sudah mengenal Rukia cukup lama, dia masih belum terbiasa dengan gadis itu. "Lo... berangkat besok, ya?"

Rukia lagi-lagi tersenyum mendengar suara Ichigo. "Iya," jawabnya. Tiba-tiba, cengiran nakal terpampang di wajah manisnya. "Kenapa? Kamu khawatir sama aku, ya?"

"A-apa?" Ichigo nampaknya tidak siap dengan serangan mendadak Rukia. "Y-ya... y-ya... Me-memangnya s-salah, k-kalo gue khawatir s-sama lo?" Rukia bisa merasakan kalau wajah pemuda itu sudah memerah menahan malu.

"Yaaa... nggak salah, sih," kata Rukia sambil terkikik geli. "Justru aku mau berterima kasih sama kamu karena udah care sama aku."

Ichigo lagi-lagi terdiam. Tak tahu bagaimana harus merespon.

"Tapi, kamu nggak perlu khawatir," lanjut Rukia sambil tersenyum manis. "Aku pasti baik-baik aja, kok."

Ichigo tersenyum di seberang. "Ya."

"Oke. Udah selesai, kan?" Rukia menguap keras-keras. "Aku udah ngantuk, nih."

"Ya. Hati-hati," kata Ichigo lagi. "Sori, gue besok nggak bisa nganter lo ke bandara. Gue ada kerjaan."

"Ah, nggak pa-pa, kok." Rukia mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

"Ya udah," tutup Ichigo. "Oyasumi."

Rukia mengangguk kecil. "Oyasumi."

Telepon sudah benar-benar diputus. Rukia meletakkan kembali ponsel miliknya di atas meja. Mata violet-nya melirik ke arah jendela, lalu ia pun mulai melangkahkan kakinya kembali ke arah jendela. Kembali menyandarkan dirinya pada jendela kamarnya yang terbuat dari kaca itu, matanya mulai menerawang hampa. Bohong besar saat ia mengatakan pada Ichigo kalau dia sudah mengantuk, padahal jangankan mengantuk, matanya bahkan tak mau menutup saat ini.

Ekor matanya menangkap sosok Rangiku yang masih tertidur pulas.

Dia sedang ingin sendiri. Dia sedang tidak ingin diganggu, bahkan oleh seorang Ichigo sekali pun. Entah apa yang sedang memenuhi akalnya saat ini.

Beberapa detik kemudian, tangan mungilnya mulai membuka jendela kamarnya. Angin malam yang dingin berembus saat jendela kamar dibuka, membelai rambut hitamnya yang kini telah panjang mencapai punggungnya. Hawa dingin yang masuk ke dalam kamar membuat bulu tengkuknya berdiri.

Pikiran Rukia melayang pada saat Toushiro meninggalkan tempat kost ini untuk kembali pulang ke keluarganya di Seireitei, saat ia mendengar suara Retsu yang tercekat serta menahan tangis ketika mengabari dirinya tentang kematian Toushiro, saat dia menatap miris sosok Toushiro yang terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya, saat jar-jari mungilnya tanpa sengaja menyentuh kulit wajah Toushiro yang mendingin, dan juga saat kedua kaki kecilnya tak lagi kuat menopang berat tubuhnya ketika menatap sosok pemuda yang amat dicintainya dimakamkan.

Rukia tersenyum samar. Ia sadar, dirinya jadi mendapat pelajaran berharga mengenai kebersamaannya dengan Toushiro yang menurutnya terbilang singkat: Walau hanya satu menit atau bahkan satu detik sekali pun, tapi asalkan bisa bersama orang yang kita cintai, kita akan bahagia. Dan kebahagiaan itu akan menjadi sebuah kenangan yang akan terus terpatri di dalam hati kita tanpa pernah bisa terhapuskan oleh sang waktu.

Rukia kembali melempar pandangannya pada langit malam yang cerah penuh taburan bintang-bintang yang seolah saling berlomba untuk bisa menjadi yang bersinar paling terang. Samar-samar, pandangannya menangkap sosok Toushiro di sana. Toushiro yang sedang tersenyum menghiburnya, dan di belakang Toushiro nampak kedua orang tua Rukia yang telah lama meninggalkan Rukia sendiri di dunia. Mereka menatap penuh kerinduan pada Rukia, penuh dengan kasih sayang.

"Hidup untuk bagian kami juga, ya, Rukia."

Sama seperti saat ia mendengar suara Toushiro di pantai Karakura, kali ini pun melalui angin malam yang tertiup semilir di sekitar telinganya, Rukia bisa mendengar suara ayah dan ibunya. Tubuhnya pun seolah sedang di peluk dengan hangat oleh mereka berdua. Pelukan yang telah lama di rindukan oleh Rukia.

"Tou-san... Kaa-san...," ucap Rukia lirih. Dua kata yang entah sudah berapa lama tak ia sebut. Setetes air mata mulai jatuh menuruni pipinya, semakin lama semakin deras, namun kali ini tanpa disertai isakan. Rukia menangis sepuasnya. Ia ingin melepaskan semua kepenatannya.

Selama lebih dari satu jam Rukia menangis, hingga akhirnya ia seperti merasa sudah tak punya air mata lagi. Masih dengan bekas air mata yang ada di pipinya, Rukia kembali menengadahkan kepalanya, pandangannya berusaha menembus selapis demi selapis langit malam. Berharap semoga 'orang itu' bisa mendengar bisikan lirihnya. "Terima kasih, Toushiro."


Cintamu akan tetap tinggal bersamaku hingga akhir hayatku,

hingga tangan Tuhan kembali mempersatukan kita.

Betapa pun hati ini telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan yang tengah kembali menghidupkan sinar redupku.

Namun, tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya.

Aku tak akan pernah bisa menemukan cinta yang lain,

selain cintamu,

karena tak satu pun dari mereka yang tertandingi oleh sosokmu dalam jiwaku.

Kau tak akan pernah terganti,

Bagaikan pecahan logam yang menangkalkan kesunyian, kesendirian, dan kesedihanku.

(Kuchiki Rukia)


(Really) Fin


(A/N):

Yakk~ ^^ Selesai~ Itu dia bonus chapter-nya... Aneh, kah? Abal, kah? Gajhe, kah?*pundung di pojokan*

Chapter terpanjang yang pernah saiia ketik ==a

Ya, itulah hasil kerja keras saiia... ^^ hhehe... benar-benar memeras otak...

Buat yang nggak suka bagian ending-nya saiia ngerti, kok Kalo boleh jujur, sebenernya saiia bener-bener kehabisan ide pas sampai bagian akhir... Bingung antara mau dibuat IchiRuki atau nggak ==v Ya, akhirnya jadi seperti inilah... ^^

Okke, sebelum keluar dari halaman ini, ketik review dulu, ya~ Jangan sampai lupa~!*maksa*disambit*

Selamat memulai tahun pelajaran baru, buat author-tachi yang masih duduk di bangku sekolah~

Review, please~?