Disclaimer: Naruto respectively belongs to Masashi Kishimoto.

Rating: M

Pairing: SasuNaru, SasuIno

Warning: Yaoi. AU. Angst

Iya, saya tahu kalian pasti mikir: "Buset, apa-apaan ni cewe, fic yang lain aja belom kelar udah ngepost fanfic baru," atau sebangsanya... Tapi saya yakinkan anda, fic ini pendek kok, cuma three-shot aja. Semua gara-gara saya main Vampire Wars (seseorang, tolong hentikan saya bermain game itu!) tiba-tiba saya jadi pengen bikin fic bertema vampire. Dan saya belum bakal bisa tidur nyenyak kalo plot di kepala saya nggak dituangkan jadi cerita...

Anyway, enjoy~


Bloodthirst.

1st piece: Moonlight Night

by: Arialieur



"Tangkap! Jangan sampai kabur!" suara seorang pria membahana, membelah kesunyian di lorong-lorong kota Paris yang gelap. Beberapa orang lain bergabung dengan pria itu, mengejar sebuah sosok yang melompat dari satu tempat ke tempat lain, satu atap ke atap lain, dengan mudah, seolah gravitasi tidak berpengaruh padanya. Kelompok pengejar, yang setiap orangnya dipersenjatai dengan pistol berpeluru khusus, berpencar ke dua arah saat sampai di pertigaan lorong berbentuk Y, mencoba memerangkap sang sosok dalam kepungan mereka.

Kelompok yang kanan mengumpat saat langkah mereka terhenti oleh sebuah dinding masif. Jalan buntu.

"Sial, ayo kita kembali ke arah sebelumnya untuk bergabung dengan yang lain," Itachi, second-in-command dalam kelompok itu, menginstruksikan anak buahnya untuk berbalik. Tapi apa yang menghadang mereka, membuat mereka terkejut.

Di sana, di tengah satu-satunya jalan keluar mereka, Ia berdiri. Sosok yang mereka kejar, pria yang telah menghabisi satu keluarga dan mengisap habis darah sang anak gadis tertua, berdiri dengan percaya diri, dan senyum brilian yang mengejek. "Bonjour, Itachi," suara pria itu lembut, selembut sutera, suara yang mampu menggoda gadis yang paling waspada sekalipun ke dalam pesonanya.

"Diable, aku bersyukur bisa bertemu denganmu di sini," Itachi melepas pengaman di pistolnya, lalu menodongkannya ke arah target, yang masih berdiri dengan tenang di tempat semula. "...jadi aku bisa menghabisimu sekarang!"

Satu tembakan, disusul dengan banyak tembakan lainnya menerjang Diable, tapi pria itu tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Dengan ringan, ia melompat ke dinding, menghindari peluru-peluru itu, yang ia tahu berisi racun yang bisa membunuhnya dalam sekejap. Tubuhnya melenting ke udara, sebelum mendarat di dinding yang berlawanan, membuat peluru-peluru tersebut terbuang sia-sia.

Satu pistol kehabisan peluru, diikuti yang lainnya, sampai pasukan pengejar itu tak lagi memiliki sisa peluru. Itachi mengeluarkan pisau besar dari sakunya, masih ada cara lain membunuh Diable selain dengan racun. Potong kepalanya.

"Nah, nah... Masih belum menyerah juga?" Diable melompat ke tanah, kini berjalan santai menuju pasukan pemburu yang mulai diliputi rasa takut. "...padahal ini giliranku," lanjut pria itu sambil menyeringai, memamerkan sepasang gigi taring tajam yang sudah digunakan pada entah berapa banyak korban.

Pasukan pemburu mundur beberapa langkah, pisau erat tergenggam di tangan, teracung kuat-kuat ke arah Diable. Pria itu tersenyum sinis. 'Seolah benda itu mampu melukaiku saja,'

"Sudah takut, hmm? Kau perlu mencari bawahan yang lebih baik, I-ta-chi," dalam sekejap, pria itu sudah berada di belakang pasukan, cakarnya merobek perut salah satu prajurit yang tidak siap.

Itachi menerjang, tetapi dengan mudah Diable melemparnya ke dinding. "AAAAH!" teriaknya kesakitan, saat punggungnya membentur dinding bata yang keras itu, sebelum terjatuh ke tumpukan kotak-kotak kayu berlumut. Sambil berusaha berdiri, mata Itachi tidak pernah lepas dari pemandangan teman-temannya dicabik-cabik dengan tidak berperikemanusiaan oleh pria itu, oleh Diable. Terlebih lagi, pria itu melakukannya dengan seulas senyum di bibir, seolah tenggelam dalam kenikmatan setiap kali cakarnya terbenam di bagian tubuh manusia-manusia itu.

Kemarahan melanda Itachi, dan dengan sisa tenaganya, pria muda itu kembali melesat ke arah Diable, dengan pisau tergenggam erat di tangannya. Tidak sempat mengantisipasi serangan Itachi, Diable hanya meraung keras saat pisau itu tertancap dalam di pinggangnya, meninggalkan guratan dalam selebar dua puluh centimeter.

"Kurang ajar!" teriak Diable marah, sekali lagi melempar Itachi ke dinding, membuat pandangannya mengabur, dan kesadarannya perlahan-lahan menghilang.

Diable mencabut pisau yang masih tertancap di pinggangnya itu, sebelum membuangnya begitu saja ke lantai. Sedikit terseok-seok, ia berjalan mendekati Itachi. "Kau begitu membenciku, huh?" sengalnya. Dengan satu tangan, ia mengangkat tubuh lemas Itachi. "Kalau begitu, ini hukuman untukmu karena menggangguku,"

Dalam satu gerakan, ia menancapkan taringnya ke leher Itachi.


Lima tahun kemudian.

"Sasu—Inspektur Uchiha, ini laporan mengenai korban terakhir," seorang wanita berambut pirang menyerahkan setumpuk map berisi foto dan laporan penyelidikan ke tangan Sasuke, yang menerimanya tanpa banyak bicara.

"Korban dipastikan terbunuh karena serangan vampire. Dari tes yang dilakukan terhadap racun yang tersisa di tubuh korban akibat gigitan dan serangan cakar, pelakunya adalah Gaara, tangan kanan Diable. Sayangnya, jejak Gaara selanjutnya belum bisa dipasti-"

"Selanjutnya, Ino," potong Sasuke. Ia tidak butuh mendengar tentang vampir berusia dua puluh tahun yang lepas tanpa jejak, membahayakan sekian triliun penduduk bumi pada umumnya, dan sekian juta warga kota Paris, khususnya.

"Korban lain adalah Felicia Lefevre, 21 tahun. Ditemukan dengan darah terhisap habis di apartemennya di Lyon. Dari tes yang-"

Sasuke mengangkat tangannya, mengisyaratkan pada Ino untuk berhenti, "Lyon bukan wilayah jurisdiksi kita," ujarnya kesal.

Ino mengeratkan pegangan pada map di tangannya, tiba-tiba merasa gugup. "Ta-tapi dari hasil penyelidikan, diperkirakan pelakunya adalah..." wanita itu mengigit bibir bagian bawahnya, "...Itachi,"

"Ku-kupikir anda perlu tahu, Sasu—eh—Inspektur," Ino cepat-cepat menambahkan, kepalanya menunduk dalam.

Sasuke menghela nafas, "Kau boleh pergi, Ino. Tinggalkan berkas-berkas itu di mejaku,"

Hampir seketika, Ino mengangkat kepalanya, sebelum buru-buru menaruh semua berkas dan berjalan menuju pintu keluar.

"Oh iya, Ino," panggil Sasuke saat Ino tiba di pintu keluar kantornya, membuat langkah wanita itu terhenti. Ino menunggu dengan gugup.

"Siapkan tiket TGV ke Lyon untuk besok pagi, dan sampaikan pada Kakashi perihal kedatanganku ke sana,"

Wajah Ino mendadak cerah, dan dengan suara yang agak terlalu ceria, ia berseru, "Ba-baik, Sasuke!"

Tanpa ucapan manis, atau senyum simpul, hanya dengan kalimat itu, Ino tahu bahwa Sasuke merasa berterima kasih. Dan itu cukup, untuk saat ini.


Sasuke mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandang ke Eiffel Tower di kejauhan, menara yang dulu merupakan kebanggaan para Parisienne, kini terlihat sama usangnya dengan bagian kota yang lain. Di siang hari, Paris terlihat damai. Kota yang dahulu terkenal sebagai salah satu tujuan wisata utama dunia, menyandang predikat sebagai kota fashion dan surga belanja, kini terasa lebih seperti kota mati. Jumlah pendatang yang menurun drastis, ditambah dengan banyaknya penduduk kota Paris yang bermigrasi ke luar kota, membuat kota ini kini begitu sepi. Tak lagi terlihat gerombolan turis, ribuan di antara mereka yang berbondong-bondong berfoto di Versailles, mengagumi karya seni di Louvre, atau menikmati opera di Palais Garnier.

Semua berubah sejak kejadian itu, dua puluh tahun yang lalu, di tahun 1999.

Dimulai dari ditemukannya sebuah peti mati di salah satu ruang rahasia St. Denis Basilica, tempat yang dikenal sebagai makam bagi para raja Prancis sejak abad ke-7. Penemuan ini disebut sebagai penemuan terbesar abad ini, karena mumi di dalamnya masih sempurna, utuh seperti orang yang sedang tidur. Hal yang mengejutkan, karena kebiasaan mengawetkan mayat tidak ada dalam budaya Prancis, kecuali saat mereka mengawetkan jantung Dauphin, calon Louis XVII.

Seluruh dunia menjadi gempar dengan ditemukannya mumi ini, ilmuwan berbondong-bondong datang ke Paris untuk turut meneliti sang mumi. Diketahui mumi ini berusia setidaknya seribu tahun, dua puluh lima tahun ketika diawetkan, dan lebih mengejutkan lagi, bahwa mumi ini memiliki tanda-tanda vital yang sehat –ia belum mati. Dimulailah serangkaian penelitian untuk menghidupkan sang Diable –panggilan untuk mumi itu, yang berarti Demon, Iblis.

Lalu datanglah Gaara. Jenius. Eksentrik. Salah satu dokter syaraf kenamaan yang dikenal seluruh dunia. Entah apa yang membuatnya tertarik pada Diable, tapi ia kemudian turut bergabung dalam tim peneliti. Keberadaannya terbukti membawa banyak kemajuan, sampai pada akhirnya, mereka berhasil membuat Diable membuka matanya. Kebahagiaan para peneliti itu berumur pendek, saat mereka menyadari terror macam apa yang telah mereka bangkitkan. Peneliti-peneliti itu mati sekaligus dalam semalam, dalam pembantaian berdarah besar-besaran di suatu malam purnama. Tak ada yang selamat, kecuali Gaara, yang tidak ditemukan mayatnya, dan belakangan diketahui telah berubah menjadi pengikut Diable. Setelah itu, di Paris berulangkali terjadi serangkaian pembunuhan, biasanya lima-enam orang dalam satu kejadian, dan dua di antara mereka dihisap habis darahnya. Saat itulah pemerintah Prancis sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan vampire, yang jelas-jelas sangat berbahaya.

Untuk membasmi Diable, organisasi ini didirikan. BloodShield, organisasi internasional yang bertugas menyelidiki setiap kasus yang disebabkan oleh vampire, mengejar vampire tersebut, dan mengeliminasinya di tempat. Ya, dalam kurun waktu dua puluh tahun, jumlah vampire semakin bertambah, terutama di Paris. Entah apa sebabnya, mungkin karena Paris adalah tempat Diable ditemukan, rumahnya. Yang pasti, kenyataan ini menimbulkan histeria massa besar-besaran untuk meninggalkan Paris. Setiap orang berusaha menyingkir jauh-jauh, tapi hal ini terbukti tidak berguna, dan hysteria massa untuk keluar dari Prancis pun berkurang drastic. Hal ini disebabkan karena dunia menyadari bahwa infeksi vampire telah meluas sampai ke belahan bumi lain.

Sasuke memainkan pistolnya, senjata berisi peluru khusus. Sekian banyak penelitian membuktikan, vampire tidak takut terhadap peluru perak, atau salib, atau mati karena pasak kayu. Sebaliknya, pemerintah mengembangkan semacam racun yang bisa menguraikan komposisi hemoglobin dalam tubuh mereka. Hemoglobin, karena vampire-vampire itu tidak mampu memproduksinya sendiri dalam tubuh mereka, sementara mereka membutuhkannya untuk hidup. Itulah sebabnya mereka mengisap darah manusia.

Perlahan, Sasuke mengarahkan pistolnya ke luar jendela, dan mengejangkan moncong pistol itu ke atas, meniru gerakan menembak. "Bang!" desis Sasuke, 'Akulah yang akan menjatuhkanmu, Diable. Lihat saja,'

PRAANG!

Suara cangkir pecah mengalihkan perhatian Sasuke. Saat berbalik, dilihatnya seorang pemuda berambut pirang sedang memunguti pecahan-pecahan cangkir dengan panik.

"Ma-maaf, maafkan saya, maaf..." kata pemuda itu sambil mendongak ke arah Sasuke. Sang Inspektur terpaku di tempat saat mata mereka bertatapan. Mata pemuda itu begitu biru, begitu polos, seolah kekotoran dunia ini tak mampu menodainya.

"Aduh!" pekik pemuda itu saat salah satu pecahan cangkir menggores telunjuknya. Dengan segera ia membawa telunjuk itu ke dalam mulut, mengisap darah yang keluar.

Entah kenapa, Sasuke tiba-tiba menarik tangan pemuda itu dan membawanya duduk di salah satu kursi. Tanpa banyak bicara, sang Inspektur mengeluarkan band-aid dari laci, dan membalutnya di sekitar luka si pemuda berambut pirang.

"Terima kasih," kata pemuda itu dengan suara pelan, malu-malu, sebelum menarik tangannya dari pegangan Sasuke.

"Kau...office boy baru di sini?" tanya Sasuke sambil memperhatikan pemuda itu dari atas ke bawah. Ia tidak mungkin lebih dari tujuh belas tahun.

Pemuda itu mengangguk, tapi tidak bicara. 'Mungkin takut dimarahi,' pikir Sasuke.

"Namaku Uchiha Sasuke," kata pria itu, membuat sang pemuda berambut pirang langsung mengangkat wajahnya, terkejut.

"U-Uzumaki Naruto,"jawab pemuda itu dengan sebuah senyum kecil. Sasuke tidak dapat menahan diri untuk tidak menepuk pelan kepala Naruto.

"Berhati-hatilah saat bekerja, Naruto," kata sang Inspektur, sebelum beranjak untuk mengambil jasnya. "Pulanglah sebelum malam," katanya mengingatkan, karena malam hari adalah saat para vampire mencari mangsa. Tidak bijak jika kau berada sendirian di luar sana, terlebih jika kau bukan bagian dari organisasi.

Saat Sasuke berlalu, ia tidak melihat Naruto meraba kepalanya sendiri, sebuah senyum kecil tergambar di wajahnya.


"Ti-tidak, kumohon jangan…" gadis itu meratap, airmata mengalir deras di wajah pucatnya, sementara rambut merahnya yang ikal tergerai di atas bantal.

Pria di atasnya hanya tersenyum manis, rambut hitamnya yang panjang jatuh bagaikan tirai di sekeliling wajah gadis itu, kedua tangan sang pria memenjara tangan sang gadis kuat-kuat di atas tempat tidur.

"N'inquétes-toi pas, mon chéri*… Ini akan segera berlalu…" bisik pria itu dengan suara lembut, seakan sedang membujuk seorang gadis kecil dengan permen dan bunga. Satu jilatan di leher sang gadis, dan tubuh mungil gadis itu semakin gemetar. Entah karena takut digigit, entah karena pria tampan yang ia temui di depan apartemennya tadi tiba-tiba berubah menjadi pria berwajah monster, dengan dahi menonjol, pelipis berkerut, dan tulang pipi yang tegas.

"Lihat dia, begitu cantik dalam rasa takutnya." pria itu memandang sang gadis dengan tatapan yang oleh banyak orang bisa disalah artikan sebagai tatapan kasih sayang, "…bagaimana menurutmu Gaara?" ia bertanya pada seorang pria berambut merah yang sedari tadi hanya duduk saja di pinggir jendela, mengamati adegan yang sedang berlangsung di hadapannya dengan tatapan bosan.

Gaara memalingkan pandangannya ke luar, ke arah gemerlap palsu kota Paris. La Ville Lumiére –The City of Lights, julukan yang dulu melekat pada Paris karena imagenya sebagai pusat pendidikan, ide, dan banyaknya permainan lampu di jalan. Palsu, karena Paris bukan lagi kota impian seperti dulu, yang tersisa hanyalah deretan lampu-lampu di jalan yang sepi. Gemerlap lampu itu, sepertinya, lebih ditujukan untuk mengusir Gaara dan Diable, pikirnya geli, tahu pasti bahwa hal itu tidak berefek apa-apa pada kedua vampire tersebut.

"Menurutku, kau harus berhenti main-main dengan makananmu, Diable," jawab Gaara, membuat Diable mengerutkan dahi.

"Ck, kau membosankan," gerutunya.

Gaara memutar bola matanya, "Kau sudah mengatakan hal yang sama sejak satu millennium lalu,"

Diable mendengus, lalu tanpa banyak bicara, menghunjamkan taringnya ke leher sang gadis, diikuti oleh teriakan kesakitan yang melengking dari korbannya. Sedikit demi sedikit, pria itu menghisap darahnya, sampai tidak setetes pun tersisa. Kehidupan perlahan-lahan menghilang dari sang gadis, meninggalkan sesosok mayat bermata kosong.

"Semua Uchiha itu merepotkan," Diable tiba-tiba berkata sambil melempar mayat gadis itu ke lantai. Dengan malas, ia berbaring di atas tempat tidur, dengan tangan menopang kepala, dan kaki menyilang. Lidahnya menjilat sedikit darah di sudut bibirnya, menikmati rasa seorang gadis muda yang masih murni.

Gaara mengangkat sebelah alisnya, sebelum duduk di samping pria berjubah itu. "Kenapa tiba-tiba membicarakan soal Uchiha? Dan Uchiha yang mana, Diable?"

Pria yang dipanggil Diable itu langsung duduk di tempat. "Dua-duanya! Sasuke terus menerus membunuh anak-anakku. Dan Itachi, entah bagaimana ia masih bisa mempertahankan kesadaran manusianya," gerutu Diable sambil memainkan rambutnya yang hitam dan panjang. "…dan ini bukan tiba-tiba, kau tahu lima tahun belakangan ini mereka terus menerus membuatku kesal. Kemarin saja mereka membunuh Shino, anakku yang malang…"

Gaara meraih lembaran rambut Diable, dan memainkannya di jari telunjuk. "Jadi apa rencanamu untuk Sasuke?"

Mata Diable mengawasi jemari Gaara yang memainkan rambutnya, cakar vampire berambut merah itu memutuskan beberapa helai. "Aku sudah punya rencana, Gaara. Kau yang akan membantuku melakukannya, malah,"

"Kalau Itachi?"

Diable mengangkat bahu, "Sejujurnya aku menyesal menjadikan dia anakku, tapi biarkan saja dia. Toh kesadaran manusianya tidak akan bertahan lebih lama lagi. Kudengar ia sudah mulai menyerang gadis-gadis di Lyon,"

"Sudah kubilang, jangan sembarangan menjadikan manusia sebagai anakmu, Your Highness,"

Diable mendelik pada Gaara, mata merahnya berkilat di bawah cahaya bulan. "Hoo... aku juga harus mengatakan hal yang sama padamu, eh, Gaara. Bagaimana kabarnya Neji?"

Kini giliran Gaara yang mengangkat bahu, "Sudah kehilangan naluri manusianya. Kupikir ia lebih kuat daripada itu,"

Diable menyeringai, lalu mencondongkan tubuhnya untuk memberi satu kecupan pelan di bibir Gaara. "Kecewa karena ia tidak bisa kau jadikan kekasihmu, Gaara?"

Vampire berambut merah itu memutar bola matanya, "Kau tahu lebih baik dari itu, Diable. Kita, yang terkutuk ini, tidak merasakan cinta,"

Sang pria berjubah menurunkan tangannya dari leher Gaara, sebelum menatap ke luar jendela, ke bulan purnama yang bersinar terang di langit. "Kau tahu? Kadang aku bertanya-tanya seperti apa rasanya jatuh cinta sekali lagi. Merasakan sesuatu yang begitu kuat terhadap orang lain, merasakan keinginan untuk selalu bersama orang itu,"

Dengan satu jari, Gaara membuat Diable menoleh ke arahnya. Mata mereka bertatapan sesaat, sebelum Gaara angkat bicara.

"Seperti sedang haus darah?" tanyanya.

Diable terkekeh, lalu kembali memandang bulan. "Ya," jawabnya, "...seperti sedang haus darah,"


Train á Grande Vitesse, atau biasa disingkat TGV. Kereta berkecepatan tinggi yang menghubungkan satu kota ke kota lain di Prancis. Kereta listrik inilah, yang saat ini membawa Uchiha Sasuke menuju ke Lyon, kota metropolitan terbesar kedua di Prancis, setelah Paris. Berjarak 470km dari Prancis, perjalanan ke Lyon harusnya hanya makan waktu sekitar satu jam.

Sasuke menghabiskan hampir setengah perjalanan memandang ke luar jendela. Sebenarnya, dengan kecepatan kereta yang dapat mencapai 574 km/jam, tidak banyak yang bisa dilihat, karena itu, Sasuke lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Sasuke, mau madeleine? Ini buatanku sendiri," Ino menawarkan sekotak kue berwarna kecokelatan ke arah Sasuke, yang masih sibuk melihat ke luar jendela. Pria itu hanya melirik sedikit, sebelum mengangkat tangannya, menolak kue yang ditawarkan. Wajah Ino berubah kecewa, tapi dengan senyum yang dipaksakan, ia berkata lagi, "Ini tidak terlalu manis, karena aku menggunakan madu, bukan gula. Cobalah, ya? Kau belum makan sedari pagi kan?"

Itu benar. Sasuke begitu mengantisipasi perjalanan kali ini sampai tidak ingat sarapan. Bagaimanapun, kemungkinan menangkap Itachi terlalu berharga baginya untuk dilewatkan. Kesempatan mengakhiri pembantaian berdarah yang disebabkan oleh kakaknya itu. Kesempatan untuk mengakhiri penderitaan Itachi, yang pasti saat ini sudah kehilangan kemanusiaannya.

Vampire yang diubah oleh Diable, biasanya masih memiliki naluri manusianya selama kurang lebih satu bulan, sebelum diambil alih oleh insting vampirenya. Saat itu biasanya korban sudah tidak bisa mengenali siapa keluarganya, siapa dirinya dahulu. Seolah-olah ia sudah terlahir kembali dengan insting dan paradigma berbeda, menjadi makhluk yang benar-benar baru di balik topeng manusianya. Korban menjadi pelayan setia sang Raja, Diable. Itachi sendiri diubah oleh Diable sejak lima tahun yang lalu, hampir memastikan bahwa tidak ada harapan lagi bagi Sasuke untuk bertemu kakaknya dalam wujud manusia.

Ragu, Sasuke mengambil salah satu kue madeleine tersebut, memunculkan satu ekspresi puas di wajah Ino, yang mau tidak mau membuat Sasuke merasa moodnya ikut naik. Dimakannya kue madeleine itu, lalu satu lagi, dan satu lagi. Ino tertawa kecil, ingin rasanya ia menggoda Sasuke akan hal ini, tapi diurungkannya niat itu.

Waktu berlalu, Sasuke kini duduk dengan tenang, membaca beberapa berkas penyerangan vampire di Lyon yang memang sengaja ia bawa. Ino, mencoba membuat dirinya berguna, menyortir berkas-berkas itu berdasarkan abjad dan tanggal kejadian agar mudah dibaca oleh Sasuke. Sang Inspektur sendiri tenggelam dalam pikirannya saat ia membuka salah satu berkas penyelidikan yang terpisah dari lainnya. Penyelidikan akan asal-usul Diable, satu dari sedikit berkas yang tersisa di pusat penelitian Évry, sebelum sisanya dihancurkan oleh Diable dan Gaara.

Sebuah teriakan memutus lamunan Sasuke.

Refleks, Sasuke dan Ino langsung melesat ke gerbong di belakang mereka. Di sana, orang-orang sudah berkumpul di sekitar seorang pria yang tercabik-cabik dan wanita yang memegangi lehernya sendiri sambil menangis. Kemungkinan besar terinfeksi.

"Ia ke arah sana!" Teriak seorang pria berambut merah dan bertopi sambil menunjuk ke arah bagian belakang kereta.

Tanpa pikir panjang, Sasuke berseru pada Ino, "Kau urus yang di sini," dan pria itu pun berlari ke arah gerbong belakang sambil mengeluarkan pistolnya, meninggalkan Ino untuk mengendalikan keadaan.

Keduanya tidak melihat sang pria bertopi menyeringai sambil menyelinap pergi. "Good luck, Your Highness," bisiknya pada angin lalu.


Sosok berjubah hitam itu berlari dengan gesit, melewati kursi demi kursi, menyingkirkan semua yang menghalangi jalannya. Beberapa penumpang tak beruntung dilempar ke samping, terbentur dinding interior kereta atau menabrak jendela, terlempar ke luar, sedangkan beberapa orang lain mengalami nasib lebih buruk, dicabik menjadi dua oleh cakar tajam sang vampire.

Sasuke mengejar sang vampire, beberapa kali terpaksa melompati mayat manusia, maupun barang bawaan yang berjatuhan. Ia ragu untuk menembakkan pelurunya, karena peluru itu tidak hanya membunuh vampire, tetapi juga manusia. "Minggir! Semua minggir!" teriaknya pada orang-orang di gerbong-gerbong yang mereka lalui. Semua orang ketakutan, semua kebingungan, beberapa menangis, beberapa terpaku di tempat, merasa tak percaya, karena ini pertama kalinya vampire menyerang di siang hari, di tempat public. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa vampire tidak keluar di siang hari, karena cahaya matahari bisa membuat kulit mereka iritasi, berubah menjadi panas dan kemerahan, walaupun tidak sampai membunuh dan mengubah mereka menjadi abu seperti pada kepercayaan lama. Tapi Sasuke tahu sesuatu yang tidak diketahui mereka, bahwa hanya ada dua vampire yang tidak terpengaruh sinar matahari. Gaara dan Diable.

Begitu melewati pintu gerbong selanjutnya, Sasuke berhenti. Aneh, gerbong paling belakang itu kosong tanpa penumpang. Walaupun tidak sepenuh dulu, TGV hampir tidak pernah menyisakan satu gerbong kosong seperti ini. Sadar akan bahaya yang mengintai, Sasuke mengacungkan pistolnya, seluruh inderanya waspada akan serangan vampire dari arah mana saja. Mata pria itu menyapu deretan kursi penumpang, kalau-kalau vampire itu bersembunyi di sana.

"Ayolah, Sasuke. Kau tidak serius berpikir kalau aku akan sembunyi di balik kursi, kan?" sebuah suara malas mengejutkan Sasuke. Di sana, berdiri terbalik di langit-langit gerbong, seorang vampire berkacak pinggang sambil menyeringai. Rambut hitamnya yang lurus panjang menjuntai ke bawah seperti tirai, bagian ujungnya menyentuh lantai kereta. Wajahnya memiliki kerutan besar di bagian dahi, bagian mata yang menyipit, dan tulang pipi yang menonjol jelas. Wajah vampire sehari-hari persis manusia, penyebab mereka sulit dilacak. Tapi saat sedang makan atau mengeluarkan kekuatannya, wajah mereka berubah, menjadi wajah seorang monster. Mata merah vampire itu menatap tajam ke arah Sasuke, yang dibalas tanpa rasa takut oleh sang Inspektur. Hanya ada satu vampire yang memiliki mata merah, Sasuke menyadari.

Diable.

Hampir seketika, Sasuke melepaskan tembakan, yang berhasil dihindari dengan mulus oleh vampire itu. Diikuti oleh tembakan lain, membuat Diable bersalto ke belakang. Satu perasaan bersemangat yang aneh mendera tubuh Sasuke. Ini pertama kalinya ia bertemu Diable, ia tidak akan membiarkan kesempatan berharga ini menjadi sia-sia.

Satu tembakan lagi, Vampire itu melompat ke sisi kanan kereta dengan cakar dikeluarkan, berlari menuju Sasuke dan mengayunkan cakarnya ke arah pria itu. Sang Inspektur berhasil menghindari cakar Diable, dengan melempar tubuhnya sendiri ke samping sampai terjatuh di antara tempat duduk penumpang.

"Hebat juga, kau bisa menghindari cakarku. Kau memang salah satu manusia paling tangguh yang pernah kutemui," Diable terkekeh, berjalan pelan dari dinding samping ke langit-langit, lagi-lagi berdiri terbalik. Sasuke terlalu sibuk untuk bangkit dari tempatnya jatuh, hingga tidak menyadari Diable sudah menghilang dari posisi itu.

Agak panik, Sasuke menengok ke kanan dan kiri, mencoba menemukan Diable. "Dimana…" kata-katanya terhenti saat ia berbalik dan mendapati wajah Diable sudah berada begitu dekat dengannya, dalam keadaan masih terbalik.

"Allo, Superb**…" bisik Diable sambil tersenyum, sejauh ia bisa dengan wajah monsternya itu.

Dalam satu gerakan, Sasuke mengayunkan tinjunya, membuat Diable terlempar beberapa kaki ke belakang. Lagi, Sasuke menembakkan peluru beracunnya ke arah Diable, berharap sang Vampire tidak siap. Tapi nihil. Masih dengan mudah, Diable melentingkan tubuhnya sebelum kembali melompat ke depan, lalu berdiri tegak, tepat di hadapan Sasuke.

"Aku mulai bosan dengan permainan ini, Inspektur. Kalian benar-benar harus melatih kembali bidikan kalian," Diable mengulurkan jarinya untuk membelai pistol Sasuke, sementara tangan satunya lagi menekankan pelan cakarnya di perut Sasuke. Ia hanya menekan sedikit, tidak sampai melukai.

"Aku bisa menembak sekarang, Diable," desis Sasuke.

Vampire itu memilih mengabaikan ancaman Sasuke, dan mencondongkan wajahnya ke leher pria itu, menghirup baunya dalam-dalam. "Baumu enak sekali, gorgeous," komentar Diable. Sasuke menggertakkan giginya, jarinya gatal ingin menarik pelatuk. Tapi ia tahu, cakar Diable bisa menembusnya lebih cepat daripada menarik pelatuk, dan Sasuke belum bisa mati sebelum membunuh Itachi.

Vampire itu sepertinya bisa menebak pikiran Sasuke, "Pilihan bijak, Sasuke," ia mengangkat cakarnya, dan memulai satu garis berdarah di pinggir wajah sang Inspektur.

Tubuh Sasuke menegang, cakar vampire juga mengandung racun yang bisa mengubahnya menjadi satu lagi pelayan Diable.

"Jangan khawatir, tidak ada racunnya kok, Sasuke," Diable mundur beberapa langkah, "Lagipula, aku tidak mau mengulangi kesalahan seperti pada Itachi,"

Tiba-tiba bagian belakang gerbong mengelupas ke luar, menyisakan lubang besar dan seorang vampire berambut merah yang berdiri di depan lubang itu. Dari tato di dahinya, Sasuke mengenali vampire itu sebagai Gaara, peneliti sekaligus manusia pertama yang dirubah oleh Diable.

"Ayo pergi, Your Highness," kata Gaara, sebelah tangannya memegang ujung sobekan baja. Vampire berambut merah itu kemudian melompat ke luar kereta.

Dengan langkah riang, Diable berjalan mengikuti Gaara, "Ini peringatan, sayangku. Hentikanlah apapun itu yang sedang kau lakukan," katanya sebelum melompat, tepat saat kereta memasuki terowongan, membuat gerbong terakhir itu gelap gulita karena lampu di sana sudah rusak semua akibat pertarungan mereka berdua.

"Tu-tunggu!" Sasuke melesat dari tempatnya berdiri, tangannya menjulur untuk menangkap Diable, tapi yang berhasil ia kenai hanyalah rambutnya... yang lepas karena tarikan Sasuke.

Rambut palsu.

Dan kereta pun melaju keluar dari terowongan, membuat sinar matahari membanjiri gerbong tempat Sasuke berada, meninggalkan dua orang vampire menghilang di kegelapan. Hal yang terakhir dilihat Sasuke adalah sepasang mata merah milih Diable bersinar di dalam terowongan.

Sang Inspektur berlutut di tempat, untuk pertama kalinya ia merasa putus asa dalam menghadapi Diable. Dengan kekuatan seperti itu, bagaimana mungkin manusia bisa melawannya?


Sesuai prosedur, Ino langsung menghubungi kantor BloodShield di Lyon, yang sudah siap sedia saat kereta tiba di stasiun. Wanita itu dapat mengenali Inspektur Kakashi dan asistennya, Sai. Serta dokter Shizune dari kepolisian Lyon, yang langsung membantu mengisolasi korban tergigit dari massa. Wanita itu bernama TenTen, imigran dari China yang tadinya mau mengunjungi keluarganya di Lyon.

Ino hanya menggelengkan kepala dengan simpati. TenTen dipastikan terinfeksi racun Diable, yang berarti dalam hitungan bulan ia akan berubah menjadi monster pengisap darah yang tak berperasaan. Biasanya jika hal ini terjadi, korban akan dipasangi alat pelacak, dan diberi waktu dua minggu untuk 'menyelesaikan urusan'. Setelah dua minggu terlewati, korban harus kembali ke markas untuk...dieksekusi, sebelum berubah menjadi vampire. Sebagian orang datang dengan sukarela, karena mereka ingin mati sebagai manusia. Sebagian lagi terlalu takut menghadapi kematian, dan memilih untuk melarikan diri, bersembunyi di lorong-lorong dan desa-desa pinggiran. Saat itulah pelacak diperlukan, untuk memastikan para korban kembali untuk dieksekusi, sukarela atau tidak. Kejam, memang, tapi dunia tidak membutuhkan tambahan satu vampire lagi. Terlebih karena racun vampire belum ditemukan penawarnya.

Sasuke turun dari kereta sambil menekankan sehelai saputangan ke bagian samping wajahnya. Ino dapat melihat darah meresap ke saputangan itu, meninggalkan noda merah besar yang tidak berhasil tertutup oleh tangan Sasuke. Wanita itu langsung berlari ke sisi Sasuke, menuntunnya untuk duduk, lalu memeriksa lukanya.

"Apa yang terjadi?" tanya wanita berambut pirang itu khawatir. Ia memberi isyarat mata pada untuk datang menghampiri mereka.

"Dicakar Diable," jawab Sasuke pendek, membuat Shizune dan Ino terkejut.

"Apa? Sini kuperiksa!" kata Shizune, dengan cepat mengeluarkan peralatannya. Wanita itu mengeluarkan segumpal kapas, yang dibasahi oleh cairan khusus yang bisa mengidentifikasi ada tidaknya racun vampire. Ditekan-tekannya kapas itu ke luka Sasuke, membuat pria itu berjengit.

"Diable bilang, ia tidak menggunakan racunnya padaku,"

Shizune mengeluarkan lampu ultraviolet dan menyinari luka Sasuke. "Kita tidak pernah tahu kalau belum dicek," kata wanita itu. Bagian luka yang terkena racun akan diliputi bercak putih besar, dan ia tidak menemukan bercak di manapun di wajah Sasuke.

Dokter itu menghela nafas, "Sepertinya kali ini Diable berkata jujur,"

Seketika, wajah Sasuke dan Ino berubah lega.

"Ayo ke rumah sakit saja, akan kujahit lukamu," ajak Shizune. Sasuke dan Ino tidak menolak. Mereka baru akan mengikuti Shizune saat Sasuke mengenali seseorang yang baru saja turun dari kereta yang sama dengan yang ia naiki.

"Uzumaki?" panggilnya, membuat pemuda berambut pirang itu terkejut. Tapi saat ia melihat sosok Sasuke, wajah pemuda itu langsung berubah cerah.

"Uchiha-san!" serunya sambil berlari menghampiri Sasuke, sebuah senyum cerah terlukis di bibirnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, dan…kenapa tanganmu itu?" Tanya Sasuke, menyadari sebuah luka berdarah di tangan kanan Naruto. Refleks, Shizune langsung meraih tangan pemuda itu dan memeriksanya.

Malu-malu, Naruto menjawab, "Uhm, aku juga salah satu orang yang dilempar oleh vampire itu…Ini tadi tergesek pegangan kursi,"

Shizune mengangkat sebelah alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa.

"Lalu kenapa kau tidak bilang kalau hari ini kau juga ke Lyon? Kita kan bisa berangkat bersama-sama," Sasuke mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Naruto, sebuah hal yang diam-diam senang ia lakukan sejak…kemarin sore. Aneh, memang.

"A-aku tidak tahu anda juga akan ke Lyon hari ini. Saya sih karena harus mengantarkan dokumen dari Monsieur Sarutobi untuk Monsieur Kakashi," kata Naruto terbata-bata. Sarutobi adalah nama atasan Sasuke di BloodShield Paris.

Mendengar itu, Sasuke mengerutkan dahi, "Kenapa tugas itu dilakukan oleh office boy sepertimu? Mana petugas organisasi yang lain?"

Naruto langsung menundukkan kepala, sedikit takut dengan perubahan nada suara Sasuke. "Ha-harusnya Kiba –eh, Monsieur Inuzuka yang mengantarkan ini. Tapi ia mendadak sakit, ja-jadi aku menawarkan diri untuk menggantikannya,"

Sang Inspektur memijat dahinya, ia harus memberi sanksi pada Kiba nanti karena menyerahkan pekerjaan ini pada seorang office boy, bukan petugas resmi Bloodshield yang lain.

"Hei, hei, hei…Uchiha, hentikan interogasimu itu!" potong Shizune, "Kalian bertiga ikut aku ke rumah sakit, sekarang!" perintahnya.

"E-eh, lalu bagaimana dengan korban lain?" Tanya Naruto ragu-ragu. Ia bukan satu-satunya korban dalam insiden ini.

"Jangan khawatir, nak! Mereka akan diurus oleh pemerintah kota dan tentunya, BloodShield," jawab Shizune, sebelum memberi pandangan tegas supaya ketiga orang itu mengikutinya ke rumah sakit untuk diberi perawatan.


"Aku sudah mendengar tentang insiden TGV itu, kau sial sekali, Sasuke," kata Kakashi sambil mengawal Sasuke di koridor Laboratory P4 Jean Merieux.

Laboratory P4 Jean Marieux, pusat penelitian virus-virus paling berbahaya di dunia, berlokasi di Lyon. Tapi bukan virus ebola yang menyebabkan Sasuke datang ke sana hari ini, melainkan Vampire Poison –racun vampire. Walaupun disebut racun, Vampire Poison sebenarnya merupakan virus, yang hanya diproduksi oleh Diable, dan anehnya, juga oleh Gaara. Virus ini diinjeksikan melalui taring dan cakar mereka ke dalam tubuh korban, yang dipilih sendiri oleh Diable dan Gaara.

"Keberuntunganku memang buruk. Dari semua vampire yang mungkin menyerang, harus ada Diable dan Gaara datang bersamaan," Sasuke mengangkat bahunya, masih terus menelusuri koridor panjang ini.

"Haha, mungkin mereka menyukaimu. Lagipula, kaulah orang pertama yang mampu memburu dan membunuh begitu banyak anak-anak mereka. Kau bahkan berhasil membunuh Shino, salah satu kesayangan Diable,"

"Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak atas perhatian kedua vampire itu," Sasuke tertawa sinis.

"Sudah sampai," kata Kakashi begitu mereka sampai di hadapan sebuah pintu bertuliskan 08 besar-besar. Inspektur asal Lyon itu mengetik kombinasi angka di panel yang tersedia, sebelum menopangkan dagunya di salah satu cekungan panel itu, agar retinanya bisa dipindai. Hampir segera, lampu hijau pun menyala, dan Kakashi membuka pintu.

Sasuke masuk setelah Kakashi, dan yang menyambutnya adalah sebuah ruangan kecil dengan deretan locker besi. Keduanya mengganti baju mereka dengan baju putih yang telah disediakan, sepasang sarung tangan, plus sebuah masker, yang menurut Kakashi, belum harus digunakan. Mereka melangkah melewati pintu kaca, lalu berdiri diam di ruangan kaca tersebut untuk disemprot dengan desinfektan, sebelum menuju pintu lainnya. Kakashi memegang handle pintu dan menatap Sasuke sambil tersenyum.

"Selamat datang di ruang research no.8, Uchiha Sasuke,"

Ruangan itu berwarna serba putih, dengan beberapa peneliti lalu-lalang, dan beberapa terfokus pada layer computer di depannya. Berbatasan dengan ruangan itu terdapat ruangan lain bertuliskan 08-A, dengan dinding kaca besar di satu sisi, memungkinkan orang dari ruangan pertama bisa bebas melihat apa yang terjadi di ruangan itu.

Di dalam ruang 08-A itulah terdapat deretan tabung-tabung reaksi, lemari pendingin, dan mikroskop electron. Para peneliti itu juga menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Sasuke menyimpulkan, di ruangan itulah percobaan langsung mengenai virus dilakukan.

"Sasuke! Kejutan yang menyenangkan. Kau datang untuk menemuiku?" sebuah suara feminim terdengar dari belakang mereka, membuat Sasuke berjengit. Inilah salah satu penyebab malasnya Sasuke datang ke Jean Marieux.

Pria itu berbalik, dan memaksakan ujung bibirnya terangkat sedikit.

"Mademoiselle Haruno, senang bertemu lagi denganmu. Tapi tidak, aku tidak ke sini untuk menemuimu,"

Di luar dugaan, wanita itu malah tersenyum. "Aku tahu. Kemarin itu hari yang berat untukmu, eh, Sasuke?" katanya lembut, lalu berjingkat sedikit untuk mengecup pipi inspektur itu.

Sakura Haruno, wanita berumur 25 tahun dengan penampilan eksentrik. Mata hijau, rambut dicat pink, dengan paras cantik dan tubuh indah berisi. Walaupun demikian, inteligensinya tidak diragukan lagi, karena dalam usia muda ia berhasil direkrut menjadi kepala peneliti proyek anti-virus Vampire Poison.

Kualitas itulah, yang membuat Sasuke setuju berkencan dengannya dua tahun yang lalu. Mereka menjalin hubungan selama setahun sebelum Sasuke memutuskan untuk mengakhirinya, dengan alasan ia tidak merasakan apa-apa saat bersama Sakura selain pertemanan. Setelah itu, Sakura pindah dari Paris ke Lyon, entah karena patah hati atau memang ingin mengejar mimpinya di Jean Marieux.

"Sayang sekali Ino dan Kiba tidak ikut, ya?" kata Sakura sambil mundur selangkah, lalu menengok ke arah inspektur satunya lagi.

"Kau juga, Kakashi. Pasti merepotkan sekali di sana, hm?" Sakura berjingkat lagi, kali ini untuk mengecup pipi Kakashi, tapi pria itu malah memalingkan wajahnya sehingga bibir mereka bertemu. Sakura mundur dengan terkejut, sedangkan Kakashi nyengir lebar. Wajah Sakura memerah, cium pipi yang selalu jadi salam di antara mereka entah kenapa berubah jadi sesuatu yang lain.

"Oh, jadi kalian berdua…" Sasuke mau berkomentar, tapi dipotong oleh Sakura.

"Bukan! Jangan berpikir aneh-aneh!" kata wanita itu dengan wajah bersemu merah. Memang tidak ada apa-apa di antara Sakura dan Kakashi. Wanita berambut pink itu selalu menganggap apa yang Kakashi lakukan hanya keisengan belaka. Lagipula perbedaan usia mereka terlalu jauh, 15 tahun bukanlah jarak yang mudah diatasi. Dan setahu Sakura, Kakashi masih memendam perasaan pada Itachi, yang menghilang sejak penyerangan Diable lima tahun lalu.

Sasuke memutar bola matanya, "Oke. Jadi apa maksudnya kau memanggil kami ke sini, Sakura?"

Saling memanggil dengan nama depan, salah satu bukti keakraban kelompok kecil mereka. Sasuke, Sakura, Ino, dan Kiba merupakan teman yang masuk BloodShield secara bersamaan dan melakukan training bersama-sama. Sedangkan Kakashi adalah atasan Itachi, membuat keenam orang itu sering makan bersama, atau sekedar bepergian bersama. Semua aktivitas itu terhenti, saat Itachi diubah oleh Diable, membuat Kakashi tenggelam dalam rasa bersalah lima tahun belakangan ini. Malam penyerangan itu, Kakashi-lah yang memegang komando. Sasuke sendiri tidak pernah menyalahkan pria berambut putih itu, karena ia sendiri tahu betapa kuat dan liciknya Diable.

"Ayo ke ruanganku," ajak Sakura, menuntun kedua inspektur untuk memasuki ruangan yang terletak di paling ujung. Salah satu keuntungan menjadi kepala proyek adalah, kau mendapatkan ruanganmu sendiri di ruang riset.

Setelah Sasuke dan Kakashi duduk nyaman di sofa, Sakura menyalakan proyektor yang menampilkan gambar sel.

"Kalian pasti sudah tahu, bahwa Vampire Poison merupakan sejenis virus yang dapat mengambil alih tubuh korban. Tepatnya, virus ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan kembali sel yang mati untuk kemudian memutasi inangnya. Virus ini menggerakkan sel yang mati dengan cara membunuh dan menggantikan mitokondria dalam sel-sel yang terinfeksi, untuk kemudian bergabung dengan sel ini agar menghasilkan cukup energi untuk gerak dan beberapa fungsi otak,"

Kakashi memutar bola matanya, "Ada penjelasan yang lebih mudah? Tidak semua orang mempelajari virology, Sakura,"

Wanita itu mengganti gambar di proyektor dengan gambar mayat vampire yang terpapar sinar matahari. "Sabar dulu, Kakashi. Singkatnya, virus itu bergabung dengan sel manusia kemudian membuatnya bermutasi, cukup jelas?"

Kediaman Sasuke dan Kakashi ia anggap sebagai persetujuan, maka Sakura pun kembali menjelaskan, "Efek samping dari mutasi ini antara lain, kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi akan hemoglobin –memunculkan kebutuhan untuk mengkonsumsi darah manusia, kepekaan terhadap cahaya –memunculkan reaksi pada kulit mereka saat terpapar sinar matahari sehingga sebagian besar hanya mampu keluar pada malam hari, serta kerusakan pada hypothalamus –berakibat pada tingginya jumlah neurotransmitter, enzim dan hormone, menyebabkan munculnya kecenderungan melakukan kekerasan, serta rasa haus darah yang tanpa akhir,"

"Sakura…" Kakashi mengingatkan,

"Iya, iya, ini sudah hampir sampai pada intinya. Hanya ada satu persamaan pada vampire-vampire itu, satu perilaku aneh pada virus Vampire Poison ini, yaitu kepatuhan kepada 'Raja' mereka, Diable. Sepertinya sel-sel yang terinfeksi virus ini memiliki kode tertentu dalam DNA mereka yang membangkitkan insting untuk mengikuti perintah Diable,"

"Jadi, apa yang kau harapkan dari kami?" Tanya Sasuke, sedikit kesal dengan penjelasan panjang lebar dari Sakura.

Wanita berambut pink itu menatap Sasuke dan Kakashi secara bergantian, "Kemungkinan besar anti-virusnya terdapat di DNA Diable, karena itu…" Sakura menghela nafas dalam, "Bawakan aku darah Diable,"

TBC



* N'inquétes-toi pas, mon chéri = jangan khawatir, sayang

** Allo, Superb = Hi, gorgeous

1st chapter, panjang huh? Saya tahu kalian suka chapter panjang, hoho *taboked* Sekedar mengingatkan, Diable itu cuma nickname saja, identitas aslinya adalah satu dari sekian banyak tokoh di cerita Naruto.

Daaan kalo kalian main Vampire Wars, dan menemukan vampire cewek bernama Vongola Aria, that's me! Jadilah bagian dari klan saya, hoho...*taboked lagi gara2 promosi ngga jelas*

Anyway, kalau kalian berpikir cerita ini menarik, klik tombol bertuliskan Review di bawah dan beritahu saya pendapat kalian...

Review?