Update again, maaf telaat banget. Thanks to Sanich Iyonni, teacupz, Monkey D. Cyntia, edogawa Luffy, LunaticV. Enjoy! :D

-

Overspeed 3 G

One Piece x Speed Scandal

-

Disclaimer: Karakter "One Piece" semuanya ciptaan Odacchi-sensei. Plot "Speed Scandal" ciptaan writer dan directornya, Kang HyungChul. Lirik "Bless the Broken Road" milik Rascal Flatts. Yah, ini emang ngelanggar Guidelines. Tapi apa boleh buat... *digetok admin FFNet*

Rating: T for safety. No lime nor lemon.

Genre: Family/Drama.

Ringkasan: Tampan, kaya, dan belum menikah. Apa yang kurang bagi seorang Sanji? Kecuali bahwa ia ternyata memiliki seorang putri berusia 22 tahun dan seorang cucu...

Keterangan: Sanji (39), Nami (22), Luffy (6). Tokoh-tokoh lain menyesuaikan saja~ :D

Warning: ANGST. OOC. Shorter chap? I've warned you. Proteslah dengan kritik. xD

-

Lima

-

"Kau tampak senang sekali, ada apa?"

Wajah sumringah Sanji, yang tentu saja sedang mengulang kembali kencan pertamanya dengan Robin di dalam ingatannya, berubah cemberut ketika melihat sosok di hadapannya. Ah, kenapa sih hari ini semua orang berhasil melarikan diri lebih dulu sehingga harus Sanji yang menemui orang ini? Gusar, Sanji melirik pria dengan makeup badut di hadapannya. Ia tidak pernah suka berurusan dengan wartawan yang satu itu. Ya, dia lah sang wartawan yang berhasil mengungkap skandal Rob Lucci, yang sering dijadikan Nami sebagai ancaman ketika awal mereka berjumpa dulu. "Tidak ada apa-apa, Buggy," Sanji seakan dipaksa menelan batu ketika mengucap nama itu. Oh ya ampun, ia sungguh muak melihat seringai besar aneh yang kini menghias wajah badut pria itu.

"Ah, sayang sekali. Aku sangat berharap ada skandal, lho," Buggy mengedipkan matanya, membuat Sanji mati-matian menahan muntahnya. "Kemana Brook, Frank, dan yang lainnya?"

"Mereka pergi... ada urusan," Sanji mau tidak mau mengasihani dirinya sendiri. Ah, mengapa pula ia tertidur di tengah istirahat dan lupa bahwa hari ini Buggy memang sudah membuat janji untuk mewawancarai siapa pun yang bersedia diwawancara siang itu. Tidak ada yang suka diwawancarai oleh Buggy. Apalagi teknik wawancara Buggy selalu berhasil mengorek informasi sedetil-detilnya dari orang yang akan ia wawancarai. Sanji benci itu.

"Baiklah, wawancara hari ini singkat saja," seringai khas Buggy masih menghiasi wajah badutnya ketika tangannya sigap meraih pena dan buku catatan mini. "Tentang Naomi..."

Hal terakhir yang ingin aku bicarakan dengannya, batin Sanji pahit. "Baiklah, ada apa dengan pendatang baru itu?"

"Kau bukan sekadar pembawa acara untuknya kan?" Buggy menatap Sanji dalam-dalam, membuat pria itu tiba-tiba merasa suhu ruangan siarannya menjadi sepuluh kali lipat lebih panas.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Kau ada... hubungan spesial dengan gadis itu?" Buggy tersenyum licik.

Ya, sangat spesial. Tapi salah, dia bukan gadis lagi. Sanji menelan ludah gugup. "Tidak, apa maksudmu?"

"Ah, sudahlah. Kalaupun ada, aku toh akan segera mengetahuinya," Buggy mengibaskan tangannya tidak peduli. Lagi-lagi Sanji menahan diri untuk tidak membunuh pria badut itu. "Sekarang pertanyaan standar saja, menurutmu, siapa pemenang kontes peserta terbaik Merry Go Round Goes?"

"Hmm..." Sanji berpikir sejenak. "Duo Zoro dan Tashigi bagus juga..."

"Eh, kau tentu tidak menyimpan minat tersembunyi pada si rambut hijau itu kan?" Buggy mengangkat alisnya.

"Apa? Yang benar saja?!" Sanji membentuk huruf X dengan kedua tangannya, menyatakan penolakannya yang tegas kepada hal-hal yang tidak sepantasnya dikaitkan dengannya. "Kau tidak ingin memulai lagi gosip lamamu tentang aku memiliki ketertarikan sesama jenis kan?"

"Hahaha. Tentu saja tidak," Meskipun Buggy bilang begitu, mata Sanji memandang awas ke arah tangan Buggy yang mencatat cepat. "Baiklah, wawancara hari ini sampai di sini saja."

"Eh?" Sanji melongo kaget. Ia sebetulnya sudah mempersiapkan diri seandainya ia harus menghadapi teknik wawancara Buggy yang aneh. Tapi entahlah, hari ini sepertinya mood Buggy sedang baik. "Kau buru-buru?"

"Ya, aku akan menikah dan tadi aku baru saja pemotretan untuk kartu undangan bersama calon istriku," Buggy tersenyum sambil merapikan dasinya. "Sekarang aku akan bertemu dengannya, membicarakan tentang tamu yang akan kami undang. Nah, Sanji, kau pun sebaiknya menikah agar terhindar skandal seperti Rob Lucci," tambahnya penuh ancaman.

Sanji mengangkat alisnya. Meskipun ia tidak pernah bisa membayangkan wanita macam apa yang menikah dengan Buggy, ia mengulurkan tangannya, hendak memberi selamat. "Kalau begitu, selamat, ya."

"Ya," Buggy tersenyum misterius sebelum menerima uluran tangan Sanji. "Kau pun sebaiknya bersiap-siap..."

"Eh?"

Mengabaikan protes Sanji yang meminta penjelasan, pria badut itu meninggalkan Sanji seorang diri dengan senyum puas. Tunggu saja besok, Sanji.

-

Siang itu, lagi-lagi Nami menuai angka pendengar tertinggi selama dua tahun siaran Sanji. Suaranya yang berkarakter, plus kehidupannya yang serba misterius, membuat nama "Naomi" begitu menggaung jauh melampaui peserta "Merry-Go-Round" yang lain. Tapi bahkan fakta bahwa wanita yang menjadi perbincangan banyak orang itu kini berjalan di sampingnya sambil menggandeng erat tangannya tidak mampu menggusur kegundahan di hati sang pria. Usopp, pria berambut keriting acak-acakan itu berulang kali mengacak-acak rambutnya, yang tentu saja membuat wajah kumalnya semakin kumal. "Nami," pria itu akhirnya memberanikan diri menghentikan ocehan panjang wanita di sampingnya tentang musik.

"Hm?" Nami menoleh. Wajahnya yang mungil berbingkai rambut oranye itu seakan diliputi halo di bawah gemerlap lampu pertokoan tempat mereka menghabiskan waktu. Membuatnya lebih mirip malaikat dibandingkan ibu dengan satu anak.

"Kau pernah dengar sesuatu tentang... Sanji?" Usopp bertanya hati-hati. Ia merasa sedikit gemetar ketika dirasakannya genggaman Nami di tangannya mengendur.

"Ya? Ada apa dengan dia?" Nami merasa tenggorokannya mendadak kering. Ia berdehem pelan. "Aku banyak dibantunya selama ini."

Entah mengapa, Usopp merasakan sekelilingnya panas ketika mendengar kalimat terakhir Nami. Ia menggeram pelan ketika mengatakan. "Dia itu... kudengar dia itu seorang bajingan mesum. Menggoda gadis-gadis muda, membawanya ke apartemen..."

"Dia tidak seperti itu, oke?" kali ini Nami melepas genggaman tangannya, menatap Usopp dengan kemarahan yang nyata. "Ada apa sih denganmu hari ini?"

"Ada apa?! Kau tanya ada apa?!" Usopp tidak kuasa lagi menahan luapan cemburunya. Ia mengambil kamera dari tasnya, menyodorkannya dengan gusar ke tangan Nami. "Nih!"

"Apa ini?" rasa penasaran Nami membuatnya meraih kamera Usopp. Ia menahan nafas kaget. "Ini..."

"Ini tidak seperti yang kuduga, kan?" Usopp menyembur dengan lebih marah. Ia merasakan nafasnya memburu lebih cepat ketika melihat foto-foto yang diambilnya malam itu. "Kau... tidur dengannya, bukan begitu, Nami?"

Nami menatap Usopp dengan kaget. "Apa maksudmu?"

"Kau... mendapat perlakuan spesial di radio itu... karena kau tidur dengannya kan?" Usopp merasakan nyeri menusuk-nusuk hatinya. Ia tahu, yang ia katakan adalah kebohongan belaka. Semua tahu bahwa Nami berhak mendapatkan perlakuan spesial karena suara emasnya. Tapi, kecemburuan yang meradang membuat Usopp tidak lagi berpikir tentang apa yang akan dikatakannya. "Tinggalkan dia, Nami! Kau tidak berhak menjadi simpanannya! Kau berada di sisinya bukan karena mencintainya, kan!"

Plak!

Usopp merasakan panas menjalari pipinya. "Aku mencintainya, aku sangat menyayangi Sanji! Puas kau?!" Nami berteriak keras, merasakan panas yang sama juga menjalar di telapak tangannya, seiring dengan panas yang kini memenuhi rongga hatinya.

"Dengar, seorang wartawan sudah membeli foto-foto itu dan besok Sanji-mu itu akan hancur!" Usopp berteriak keras tidak mau kalah, membuat beberapa orang menatap pasangan itu dengan ingin tahu. Geram, ia melempar pandangan ke arah sekumpulan orang yang kini berbisik-bisik curiga. "Kalian semua dengar, besok Sanji akan..."

"Kau yang akan hancur!" Nami balas membentak. Air matanya tak kuasa lagi dibendungnya. "Kau..." Nami mengangkat kamera di tangannya tinggi-tinggi, membantingnya ke lantai dengan sekuat tenaga, "dan kamera bodohmu!" Nami mengatur nafasnya yang memburu sebelum meninggalkan pria yang wajahnya kini tampak jelas menyatakan penyesalan. "Kau tidak pernah berubah sejak dulu..." Nami mengisak pelan seraya melangkah cepat meninggalkan Usopp yang masih termangu. "Aku membencimu."

Langkah-langkah Nami yang kini semakin samar di telinganya membuat sang pria jatuh berlutut, masih termangu menyesali tindakannya. "Dan aku..." Usopp berbisik pelan, merasakan bulir air mata yang kini terjun bebas lewat pipinya, "mencintaimu..."

-

"Apa maksud semua ini, Sanji?"

Termangu, Sanji hanya bisa menunduk ketika pandangan tajam atasannya menusuknya dalam. Matanya masih melebar tak percaya ketika diejanya judul besar dari tabloid gosip yang kini tergeletak tak berdaya di hadapannya. Sanji dan Naomi: Tak Sekadar Partner! "Ini..." Sanji berusaha mengumpulkan suaranya, yang kini lebih terdengar seperti lenguhan, "biar kujelaskan dulu..."

"Penyiar radio Sanji yang telah lama hadir ke ruang dengar kita, ternyata memiliki kegemaran aneh terhadap wanita-wanita muda. Oh ya, semua orang sudah tahu ia memang sering sekali berganti pacar, tapi dengan wanita yang 17 tahun lebih muda dengannya? Ini tentu sudah keterlaluan. Ditambah lagi wanita muda itu kini menjadi peserta acara pencarian bakatnya. Apakah ini murni cinta atau sekadar pemuasan nafsu masing-masing belaka?" Sang atasan, lelaki yang wajahnya tak terlihat saking banyaknya asap yang mengepul menutupi wajahnya, meletakkan kembali tabloid gosip itu, kali ini dengan hentakan keras yang membuat meja di hadapannya bergetar mengerikan. "Apalagi yang ingin kau jelaskan?"

"Aku..." Tidak, batin Sanji. Aku tidak mungkin bilang bahwa Nami anakku dan bahwa aku sudah punya cucu. "Ini tidak seperti yang Anda..."

"Bisnis adalah bisnis. Kau tentunya sudah sangat paham kan?" atasan Sanji yang memiliki julukan "Smoker" – persis seperti kelakuannya – itu memotong cepat. "Aku tidak mau tahu. Aku ingin wanita itu enyah. Keluarkan dia dari acara kita."

Sanji mengangkat wajahnya. Kaget. "Eh? Tapi bukankah selama ini pendengar..."

"Kita tentu tidak mau gosip ini berkembang kan? Ketidakprofesionalan kita dengan perlakuan khusus," Lagi-lagi, sang boss tidak mau mendengar alasan. Perintahnya mutlak dan semua bawahannya tentu sudah tahu itu. Smoker mengangsurkan tabloid gosip itu ke hadapan Sanji sambil nyengir sinis. "Nih, kau pajang di rumah. Anggap saja kenang-kenangan."

Mengabaikan perasaan aneh yang membuat ulu hatinya terasa sakit, Sanji akhirnya meraih tabloid gosip yang sungguh akan ia bakar begitu kakinya menjejak keluar ruangan. Bibirnya perlahan mengukir seulas senyum yang dipaksakan seraya kepalanya mengangguk sekilas. "Baik, boss."

-

"Aku pulang..."

Sanji tak heran ketika ia menemukan apartemennya kembali membungkam sunyi. Matanya melirik jam dinding yang berdetak pelan, seiring dengan detak jantungnya sendiri yang semakin berpacu. Luffy tentu sudah tidur, Sanji bisa mendengar dengkuran halus anak itu. Meski pada malam-malam pertama ia sangat terganggu dengan suara itu, belakangan Sanji tidak bisa membayangkan malamnya tanpa gangguan malamnya yang rutin. Menyeret langkahnya yang berat, Sanji melempar tubuhnya ke atas sofa terdekat, membiarkan kesadarannya mengambil alih pengaruh beberapa gelas bir yang ditenggaknya. Kelopak matanya pun perlahan menutup ketika satu suara membuainya lembut.

"I set out on a narrow way many years ago.

Hoping I would find true love along the broken road."

Nada-nada itu, meski tidak dinyanyikannya secara lantang, dilagukan tepat tanpa meleset sedikit pun. Sanji paham itu dan hal itu membuatnya semakin merasa bersalah ketika menyadari bahwa karier sang wanita harus berakhir begitu saja.

"But I got lost a time or two wiped my brow and kept pushing through.

I couldn't see how every sign pointed straight to you."

Sanji memaksakan tubuhnya untuk bangun. Ia menatap nanar ruang keluarganya sebelum akhirnya egonya membuat ia beranjak menuju ruangan tempat suara nan merdu itu menggoyahkan tekadnya.

"Every long lost dream led me to where you are.

Others who broke my heart they were like northern stars.

Pointing me on my way into your loving arms..."

Tok tok.

Nyanyian itu berhenti. Sanji menghentikan interupsinya dan menarik nafas dalam-dalam sebelum suaranya yang serak memecah kebisuan mereka. "Hei."

"Hm?" Sanji bisa mendengar kegelisahan di balik ketenangan pura-pura suara putrinya.

"Berhentilah..." Sanji sesaat ragu sebelum menelan ludah seraya melanjutkan. "Lupakan soal kontes itu. Kau... eh, sebaiknya, berhenti saja... menarik perhatian yang tidak perlu. Maksudku, suatu hari kau pasti akan mendapat kesempatan lagi. Tapi, untuk saat ini, sebaiknya..." Pria berambut pirang itu merasa lidahnya semakin kelu, "berhenti saja..."

Tidak ada jawaban, hanya desahan nafas panjang yang membuat Sanji didera perasaan aneh. Perasaan bersalah?Ah, tidak mungkin, batin Sanji. Pria itu masih saja bebal dengan tidak mengakui perasaannya sendiri. Tapi bukankah, ini wajar. Toh ini demi karirku... Ketika tidak didengarnya lagi apapun kecuali hembusan angin malam yang membuat tengkuknya menggigil, Sanji memutuskan untuk beranjak ke kamarnya sendiri. Ia melempar pandang sesaat ke arah pintu yang masih terkatup rapat itu sebelum akhirnya ia sendiri menutup pintu kamarnya dengan debaman keras.

"This much I know is true.

That God bless the broken road,

And let me straight to you."

Malam merayap pelan, menghembuskan dingin yang menusuk tulang. Gemetar, Nami memeluk tubuhnya sendiri, mengatasi isakannya yang tertahan.

-

Sanji sudah bersiap menghadapi pandangan menyelidik atau bahkan merendahkan ketika pagi itu ia menjejakkan kakinya di kantor. Tapi ia tidak bersiap-siap untuk menghadapi ocehan sinis rekan-rekannya, atau pandangan setengah-prihatin-setengah-tak-percaya Frank, atau wajah kecut Brook, dan tentu saja ia sangat tidak siap ketika lagi-lagi Smoker mengancamnya.

"Aku sudah memberimu kesempatan. Jadi, bereskan masalahmu ini, kalau tidak, jangan harap ada kesempatan lagi untukmu."

Sanji membenamkan wajahnya ke dalam tangannya. Mengumpulkan kembali keping-keping hidupnya yang berserak. Hidup lajangnya dahulu yang sempurna, entah kenapa belakangan ini ia tidak terlalu memedulikannya. Hingar bingar di rumahnya yang memenuhi rongga hatinya dengan kehangatan tak terdeskripsikan itu membuat kesendiriannya seakan sudah beribu dekade jauhnya.

Benarkah?

Sanji menatap hampa pantulan wajahnya di cermin. Ia melihat bola matanya yang biru jernih, menyelami pandangannya sendiri dalam-dalam sebelum ia melihatnya jelas di sana.

-

Apakah aku benar-benar sudah tidak sendiri lagi?

Wanita berambut oranye itu memandang dalam-dalam pantulan wajahnya di kaca etalase toko. Sungguh bukan sekali dua kali dia berpikir untuk mencari sang ayah. Keinginan bertemu dengan Sanji yang seakan tiada hari tanpa mengeluhkan kehadirannya itu sudah membuncah memenuhi rongga dadanya. Sejak ia kecil, sejak teman-temannya bertanya "Dimana ayahmu?", sejak ia memergoki ibunya menangisi bingkai foto kosong, sejak kapan tepatnya Nami sendiri sudah lupa. Sang wanita pun melangkah enggan, bungkusan belanjaan di tangannya berayun pelan.

"Nami..."

Nami mengangkat wajahnya, memandang sosok kumal itu tak percaya sebelum membuang wajahnya. Berpura-pura tidak ada yang menyapanya.

"Tunggu, Nami..." tangan kukuh itu menahannya, sehingga Nami pun tidak ada pilihan lain kecuali menatap sang lelaki dengan kemarahan yang nyata di wajahnya.

"Ada apa lagi?"

Usopp menelan ludah. Ia menunduk, tidak berani beradu mata dengan sang wanita. "Maafkan aku..."

"Kau pikir semuanya beres dengan maaf?" Nami mati-matian menahan air matanya yang hendak meluncur jatuh. Dengan satu sentakan kuat, ia melepas genggaman lemah Usopp. "Pergi sana! Aku ingin pulang!"

Entah kenapa, kata-kata terakhir Nami membuat wajah Usopp memerah marah. Lelaki itu kini menarik tangan Nami dengan kasar, membuat wanita itu menjerit pelan. "Mau apa kau kembali ke sana?" Usopp berlari mendahului Nami sambil berteriak lantang. "Sanji! Dimana kau? Keluar ke sini hadapi aku!"

"Tunggu!" Nami menarik tangan Usopp, wajahnya menjadi pucat karena panik melihat tatapan ingin tahu orang-orang yang lewat. "Nanti... kita bicarakan ini nanti."

"Tidak, aku ingin bicara sekarang," Usopp meraih bahu Nami, melanjutkan dengan nada memelas. "Aku tahu, aku bisa melihatnya dari wajahmu. Kamu ingin kuselamatkan, kan? Kamu ingin pergi dari rumah itu kan?"

Nami memejamkan matanya frustasi ketika ia menarik kemeja Usopp yang masih tidak bisa diam. "Kumohon Usopp, aku akan bicara denganmu. Nanti. Sekarang kau pergi."

Seperti biasa, Usopp tidak mau mendengar alasan. "Aku akan bicara dengan Sanji. Suruh dia keluar! Aku akan..."

Tapi saat itu Nami tidak mendengar apa yang diucapkan Usopp. Matanya melebar kaget ketika dilihatnya di seberang sana sosok Sanji memandangnya dengan getir sebelum akhirnya ia sendiri berlalu, mengabaikan putrinya sendiri.

Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Nami menyesali keputusannya untuk mencari sang ayah.

-

Setelah meminta bantuan satpam, Nami berhasil menyelinap kabur, mengayunkan langkahnya dengan lelah. Ia membutuhkan segelas air dingin, air yang sangat dingin, untuk meredakan emosinya yang membuat dadanya seakan hendak pecah. Tapi baru beberapa langkah, sebuah tangan kembali menahannya.

"Ini kan maksudmu yang sebenarnya?"

Nami menghela nafas lelah. Ia sungguh tidak punya energi lagi untuk bicara, apalagi untuk bertengkar. "Kita... bicarakan nanti saja..."

Tapi bagi Sanji tidak ada istilah "nanti". Ia sudah mengecewakan boss-nya, membuat rating siarannya sendiri jatuh, dan yang terpenting, menghancurkan hidupnya sendiri. Ia tidak, tidak akan pernah, menunda apapun yang akan ia bicarakan saat itu. "Apa kau disuruh ibumu ke sini? Aku menghancurkan hidupnya, lalu lantas kau menghancurkan hidupku?! Apa kau..."

"Kau tidak pernah menghancurkan hidup ibuku," Nami memotong cepat. Nafasnya sudah lebih tenang ketika ia memandang sang ayah dengan emosi yang bercampur aduk.

"Apa kau lihat-lihat seperti itu?!" Sanji menyentakkan jemarinya di dahi Nami. "Apa ibumu tidak mengajarimu sopan santun, heh?!"

Kali itu kesabaran Nami sudah habis. Geram ditepisnya tangan sang ayah. "Dengar ya, kau..."

"Aku pulang..."

Suara nyaring itu bak air dingin yang mengguyur Nami. Wanita berambut oranye itu berpaling untuk melihat sang anak yang kini berdiri mematung, tidak terbiasa dengan atmosfer berat yang menyelimuti ruangan itu. "Luffy..."

"Kalian berdua," suara Sanji bak petir yang menyambar-nyambar, memotong interupsi Luffy dengan tidak sabar. "Cepat berkemas dan pergi dari sini! Entah kalian akan tidur di pinggir jalan atau ada orang lain yang memungut kalian aku tidak peduli. Bawa anakmu keluar dari sini dan menghilang dari hadapanku!"

Baik Nami maupun Luffy yang kini memeluk kaki sang bunda menatap Sanji yang terengah, memandang pria itu dengan tidak percaya. "Aku tak bisa pergi..." gumam Nami pelan.

"Apa maksudmu kau tak bisa pergi?!"

"Aku anakmu! Anak perempuanmu!" Kali itu Nami tidak kuasa menahan emosinya. "Aku berhak tinggal di sini! Aku..."

"Oh, jadi ini masalah uang?" Sanji memotong cepat. "Apa yang kau inginkan? Rumah? Uang? Akan kuberikan semuanya, tapi cepat pergi dari sini!"

Nami menggebrak meja di dekatnya dengan geram. "Kau pikir aku ke sini karena uang? Kau pikir aku sebegitu miskinnya sehingga harus mengemis di kakimu?!"

"Tentu saja! Memangnya karena apa lagi, karena kau ingin menerima kasih sayang seorang ayah dariku?!" Sanji menggebrak meja yang sama dengan lebih keras. Sesaat tidak terdengar jawaban, hanya helaan nafas panjang Nami dan isakan pelan Luffy. "Nah?!"

"Ya!" Sanji terdiam ketika mendengar jawaban lantang Nami. Wanita itu mengatur nafasnya sesaat sebelum kembali berteriak frustasi. "Ya! Itu yang aku inginkan! Semua orang punya ayah! Kenapa aku tidak bisa bertemu dengan ayahku padahal aku punya ayah!" Sanji hendak menyahut ketika lagi-lagi Nami memotongnya. "Memangnya siapa yang ingin dilahirkan? Memangnya aku bisa memilih di keluarga mana aku akan dilahirkan? Tidak!" Nami mulai terisak pelan, sementara Luffy sudah menangis meraung-raung, memenuhi ruangan itu sepuluh kali lebih ribut dari biasanya. "Aku..." Nami menarik nafas dalam-dalam, memandang sang ayah yang masih membisu dengan tatapan yang menyimpan kekecewaan mendalam sebelum menggumam. "Aku pergi sekarang kalau begitu, terima kasih atas bantuannya selama ini."

Sanji terdiam, masih tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Matanya mengerling sosoknya sendiri di cermin yang tampak tidak berdaya dan menampakkan penyesalan yang nyata. Ia merasakan sesuatu terasa sakit di ulu hatinya ketika dilihatnya sang putri berlalu dari hadapannya. Ia pun merasakan sesuatu yang panas menjalar memenuhi rongga dadanya ketika didengarnya suara ribut sang putri yang mengemasi barangnya.

Tapi Sanji tidak bergerak seinci pun dari tempatnya berdiri ketika kedua pengacau itu kini berdiri kembali dengan ransel dan tas yang penuh terisi seperti malam pertama mereka menginjakkan kaki di apartemennya. Pun tidak berkata sepatah kata pun ketika wanita berambut oranye itu meraih tangan si kecil berlalu.

"Kami berangkat, Kek," Luffy menunduk dalam-dalam sebelum langkah-langkah mungilnya mengejar jenjang langkah sang bunda.

-

Klik.

Pukul delapan tepat. CD-player menyala otomatis, mendendangkan lagu berirama jazz yang lembut, alarm pagi yang cocok untuk bachelor 39 tahun. Alunan terompet dari speaker itu berpadu sempurna dengan gerakan lambat tirai yang membuka otomatis, membiarkan mentari pagi menerobos menghangatkan karpet beludru. Setelah sekian lama, pagi itu, akhirnya sang pria kembali merasakan "kesempurnaan" hidupnya. Sanji, tampak jauh lebih kusut dari biasnya, beringsut bangun dari kasurnya. Segalanya masih sempurna hingga kakinya tak sengaja menginjak benda lembut elastis yang berbunyi nyaring.

"KWEEEK!"

"Argh!" Sanji terpelanting jatuh. Mengusap kepalanya yang berdenyut nyeri, Sanji membisu ketika matanya menatap nanar sang biang onar yang kini tergeletak tak berdaya. Boneka bebek Luffy... Sanji meraih boneka itu, meremasnya pelan untuk sekadar mendengar suara "kwek" lemah sebelum mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tenang, damai, dan sunyi, seperti pagi-pagi Sanji yang sebelumnya. Tapi Sanji tidak tersenyum puas, atau bersenandung off-key mengikuti lagu jazz yang diputar oleh CD-player-nya. Tidak. Ia sendiri bahkan sekali itu amat ragu...

Apakah yang seperti ini sungguh merupakan pagi yang sempurna?

-

Tamat? Ya nggak lah! xD Sori buat angst-nya dan SO MUCH OOC. Yap. Saya berusaha sepas mungkin dengan plot film, tentu saja dengan remake di sana-sini. That's all. CRITICS, please? Saya tahu ini nggak bagus dan saya nggak puas sama chapter ini. -_- Tapi seperti biasa, reviews will be LOVED. xD