Chapter 2! YO-HO!

Well, cerita ini jadinya aneh nih, udah OOC, tragedy, gaje *menjelek2kan diri sendiri mode on

Ya udahlah, baca aja! XD


Chapter 2: You are My Death

Gaara POV

Aku meneliti kantung belanjaanku dengan seksama. Apa ada yang terlupa? Namun setelah mengecek beberapa kali dan akhirnya pun puas, aku pun kembali perge ke tempat tujuanku semula. Ya, kemana lagi kalau bukan ke apartemen Naruto? Aku kembali menyunginggkan senyum tipis. Tadi aku mampir dulu ke mini market untuk belanja bahan-bahan masakan. Apa ya kata Naruto kalau ia tahu bahwa selama ini aku diam-diam belajar masak untuknya?

Aku menyusuri trotoar yang ramai dengan langkah santai. Pikiranku membayang apakah Naruto ada di rumah atau tidak.

Deg!

Aku menoleh ke belakang. Entah kenapa untuk sesaat aku merasakan hawa tidak enak, seperti ada orang yang memandangiku dengan tatapan menusuk di belakangku. Untuk sesaat, aku berhenti melangkah. Aku berusaha mencari siapa yang membuatku merasa tidak enak seperti ini. Namun, aku sadar tak ada satu pun orang yang kukenal di trotoar ini.

Aku pun berusaha untuk tenang dan kembali melangkah. Meski begitu dadaku tetap berdebar kencang karena entah kenapa aku masih merasa ada yg mengikutiku di belakang. Namun, bila aku menoleh aku tak menemukan siapapun. Tanpa sadar aku berjalan kian cepat, aku merasa gelisah dan takut. Keringat dingin mengalir pelan di dahiku.

Dengan cepat aku masuk ke gedung apartemen dan lari menuju lift. Begitu pintu lift di tutup aku masih bisa merasakan tubuhku yang gemetaran serta bulu kudukku yang berdiri. Aku berusaha menenangkan diri. Mungkin aku hanya terlalu paranoid saja.

Lift pun terbuka dan aku melangkah keluar segera pergi menuju apartemen Naruto. Begitu sampai, aku menarik napas panjang, aku berharap wajahku sudah kembali tenang dan tidak pucat, bila tidak Naruto pasti akan khawatir padaku.

Aku menekan bel dan tak perlu menunggu lama sampai Naruto muncul di depan pintu. Aku menyadari wajahnya sedikit pucat dan ia tampak mengantuk. "Naruto? Apa kau sakit?" tanyaku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. Naruto menatapku sejenak dan menggeleng. "Cuma tidak bisa tidur," katanya dan ia pun mempersilahkanku untuk masuk.

Aku masuk terlebih dahulu dan membuka sepatuku, Naruto dibelakangku dan hendak menutup pintu. Sampai akhirnya ada tangan yang menahan Naruto untuk menutup pintunya. Sejenak aku terpaku, aku memikirkan perasaanku yang tidak enak tadi. Wajah Naruto tampak membeku, aku terkejut ketika orang yang menahan pintu menarik pintu paksa sampai terbuka, Naruto pun tertarik dan nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan.

Deg!

Aku hanya bisa terdiam menatap orang yang sudah membuat hidupku hancur berkeping-keping, di sudut mataku aku bisa melihat Naruto memandang orang yang sama dengan tatapan yang dingin.

"Sudah kukira, meskipun kularang kau tetap pergi menemui bocah ini, dasar anak tak tahu diuntung," katanya dingin.

Pikiranku berkelebat. Kenapa ayahku ada di sini? Bukankah seharusnya ia masih berada di kantor? Pikiranku kembali melayang. Ia pasti curiga, meskipun aku cukup berhati-hati agar ketika ia pulang aku sudah berada di rumah tapi aku tak bisa berbohong pada ayahku terus menerus. Ia pasti sadar akan air mukaku yang selalu ringan dan ceria.

Aku merasa tubuhku gemetar. Aku bisa membayangkan apa yang akan dilakukan ayahku terhadap aku dan Naruto. Kami berdua tidak cukup kuat melawannya.

"Aku tidak ingin berbuat ricuh di sini," kata ayahku dengan nada dingin dan tajam. Dengan kecepatan luar biasa, ia menarik baju Naruto dan memaksanya untuk bertatapan dengannya. Aku terkejut dan segera menghampiri mereka. Namun, tangan ayahku tetap diam di tempat.

"Kuperingati kau, sekarang aku tahu dimana rumahmu, jika kau menemui Gaara lagi, aku tak akan menanggung apa yang akan terjadi padamu," ancam ayahku. Aku bisa merasakan bulu kudukku kembali berdiri. Ayahku serius akan menyakiti Naruto bila aku menemuinya lagi.

Ayahku melepaskan genggaman tangannya dan mendorong Naruto hingga jatuh ke lantai. Ia pun pergi, tanpa menghiraukanku. Namun, aku bisa merasa ancaman yang ia katakan tadi juga ditujukan untukku.

"Naruto, kau tidak apa-apa?" tanyaku panik. Aku melihat Naruto tidak bergeming, ia pun menundukkan wajahnya dan tak ingin melihat mataku.

"Gaara, pergilah," aku terkejut mendapati nada bicara Naruto yang sangat dingin. Ia menepis tanganku yang berusaha membantunya berdiri.

Aku menatapnya heran, ia menatapku balik dengan mata yang terlihat marah, kesal dan lelah. "Aku sudah lelah dengan semua ini, pergilah," katanya dengan nada sedikit membentak. Aku tetap diam di tempat, menatap Naruto dengan tatapan "kenapa?". Naruto memandangku dan mendengus. Ia menarik tanganku dan seperti apa yang ayahku lakukan padanya, ia melemparku keluar dari apartemen.

Aku jatuh dan menghantam tanah. Tapi, aku menghiraukan rasa sakitku dan menatap Naruto. "Kenapa?" tanyaku kesal. "Aku trauma dengan apa yang ayahmu lakukan padaku! Yang benar saja aku harus merasakannya untuk kedua kalinya," bentak Naruto. Aku terpaku, aku hanya bisa merasa terluka melihat ekspresi marah dan kesal yang Naruto tujukan padaku. Kenapa? Ia belum pernah bersikap begini padaku sebelumnya.

"A...aku akan melaporkan ayahku ke kantor polisi, jadi....," aku berusaha menyusun kata yang baik. Ada apa dengan Naruto? Kenapa ia mendadak berubah? Kenapa? Aku tak mampu menyembunyikan rasa takut dan khawatirku melihat begitu banyak sinar kebencian memancar dari mata Naruto. Ia memandangku dengan pandangan yang seakan menginginkanku untuk lenyap dari bumi ini.

Tidak, tidak benar, pasti Naruto hanya kelelahan saja. Pasti aku salah lihat, aku hanya salah paham. Tidak mungkin hal seperti itu.....

"Sepertinya kau salah paham...."

Deg!

Aku menatap kembali mata Naruto, aku masih bisa melihat matanya yang seakan memandangku rendah dan juga jijik.

"Anggap saja ini alasan yang bagus agar aku bisa lepas darimu," kata Naruto membuatku semakin terangah tak percaya. Tidak mungkin! Selama ini Naruto baik padaku! Hanya dia yang menerima aku! Hanya dia tempatku berpijak!

"Bohong! Kau pasti bohong kan Naruto?" kataku tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh. Aku tak mampu memandang mata Naruto, aku takut melihat matanya yang mengatakan kalau ia membenciku. Aku merasa mataku sangat panas, namun aku mencoba untuk tersenyum. Mungkin Naruto sedang bercanda, mungkin ini hanya mimpi. Mungkin ini cuma mimpi, ini pasti bohong..... iya kan?

"Masih belum mengerti juga ya?" kata-kata dingin Naruto menghapuskan harapanku yang terakhir.

"Aku sudah muak denganmu," aku tak mampu lagi menahan hatiku yang kian sakit. Aku hanya mampu memandangnya. Tak mampu....

"Bohong....," gumamku tak ingin percaya. Aku tak ingin melepaskan harapan terakhirku. Aku tak ingin kehilangan satu-satunya cahayaku. Tak ingin....

"Apa kau tak mengerti?!" bentak Naruto membuatku terlonjak. Aku melihat wajahnya begitu kesal dan marah, tanpa sadar aku gemetar. Ia memandangku dengan cara yang sama dengan ayah. Penuh kebencian, kemarahan, kesedihan, seakan semua hal buruk yang menimpanya adalah salahku.

"Kau selalu menyita waktuku! Kau selalu mengikutiku dan aku harus selalu menjagamu sepanjang waktu! Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku pergi keluar dengan temanku, kau menyita seluruh waktuku! Aku itu capek menjagamu! Capek, sudah muak!" bentak Naruto seakan mengeluarkan semua beban yang ada di pundaknya.

Aku hanya terpaku, sambil mencerna kalimat Naruto kata demi kata. Air mataku mengalir dalam diam, sementara tubuhku gemetaran. Aku tahu, semua orang membenciku, aku tahu, keberadaanku tiada gunanya di dunia ini. Aku tahu, tapi....

Aku meremas dadaku selama mataku yang berlinang air mata menatap ke bawah. Rasa sakit yang selalu menyerang dadaku semenjak kecil kembali datang, membuat dadaku terasa sangat sakit seperti di toreh pisau yang sangat tajam.

Kenapa? Ini pasti bohong! Ketika akhirnya aku bisa menemukan orang tempatku "pulang" mengapa akhirnya aku harus jatuh kembali ke dalam kegelapan!? Mengapa setiap aku hampir meraih cahaya aku kembali terpurusuk jatuh kian dalam!?

"Jadi, aku ingin kau pergi, Gaara. Aku ingin kau pergi dari kehidupanku. Alasan kenapa aku selama ini bersikap baik padamu hanya karena aku kasihan padamu. Tapi, sekarang karena kau sudah baik-baik saja, aku sudah tidak perlu lagi mem-babysitting-mu," kata Naruto mengacak-acak poninya seolah menahan rasa marah yang mendalam.

"Dan belum lagi ayahmu itu, sampair sekarang pun bekas lukanya masih belum sembuh benar," kata Naruto lagi sambil menggosok perutnya pelan yang kutahu di sana pasti terdapat luka-luka hadiah kenang-kenangan dari ayahku.

Aku mengangkat kepalaku, pandanganku kabur karena mataku berkaca-kaca, aku bisa melihat Naruto berbalik pergi, berjalan menuju apartemennya.

Naruto....ingin aku pergi dari kehidupannya..... Naruto.....tidak pernah membutuhkanku.....karena aku hanya beban. Beban. Aku selalu menjadi beban orang.

Aku....aku....

"Naruto!" kataku tersadar. Bila aku melepaskan Naruto saat ini maka aku tak akan bisa menemuinya selamanya. Ia akan pergi untuk selamanya.

Aku berusaha berlari cepat dan menerjang Naruto yang sudah hampir menutup pintu apartemennya. Aku berteriak diiringi dengan air mataku yang jatuh berhamburan. Tanganku membentur pintu yang sudah menutup sepenuhnya.

"NARUTO! NARUTO!" jeritku panik sambil menggedor pintu itu sekuat tenaga. Aku merasakan tanganku terasa sakit dan membiru namun aku tidak memperdulikannya. "Naruto...aku minta maaf....aku...aku," aku tak mampu menyembunyikan suara isak dan gemetaran dalam setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku menggedor pintu lagi, namun tak sekuat yang pertama. Aku mencakar pintu itu sampai aku yakin beberapa kukuku patah. Aku bisa merasakan kedua tanganku panas dan mati rasa namun aku tidak menghiraukannya.

Aku tidak bisa membiarkan satu-satunya cahaya dalam hidupku pergi. Aku tidak bisa...

"Aku akan menjadi anak baik....aku tidak akan bergantung padamu....aku akan menuruti semua katamu....aku....aku," aku menutup mataku, berusaha menahan dadaku yang terasa kian sakit. Jika Naruto pergi...aku....aku....

"Naruto...aku mohon....aku minta maaf.....bukalah pintunya....aku berjanji aku akan bersikap baik...aku berjanji aku tidak akan selalu mengganggumu....tolong....buka pintunya....," rintihku akhirnya menghentikan usahaku mencakar pintu. Aku jatuh terduduk, membiarkan kepalaku bersandar pada pintu dengan bunyi dentuman pelan.

Aku menangis di sana, menangis, menangis dengan tubuh gemetar. Di sudut hatiku aku bertanya-tanya apakah ini rasanya "dibuang"? Iya....pasti begini rasanya. Aku merasa dunia ini kembali gelap tanpa cahaya. Aku sedih sekarang mengetahui tak akan ada lagi orang yang tersenyum padaku.

Kenapa hal seperti ini selalu terjadi padaku? Apa salahku? Apa salahku?

Ayahku membenciku karena aku telah "membunuh" istri yang sangat ia cintai. Kedua kakakku tidak pernah memperdulikanku. Pamanku akhirnya bunuh diri karena stress dengan perasaan bencinya padaku yang selalu terpendam. Dan semua orang berpikir kalau aku adalah anak autis yang tak memiliki perasaan.

Apa salahku? Apa?! Aku hanya ingin satu hal! Aku hanya ingin meraih cinta yang tak pernah kurasakan! Kenapa semakin keras aku berusaha membuat seseorang mencintaiku pada akhirnya hatiku selalu menjadi korban.

Aku menangis di depan pintu apartemen Naruto entah untuk berapa lama. Aku hanya menangis tertunduk tanpa memperdulikan keadaan sekitarku. Aku hanya berharap Naruto akan membukakan pintunya untukku.....

***

Naruto POV

Aku menutup pintu dan jatuh bersandar pada pintu tanpa suara. Aku tak bisa menahan air mataku yang akhirnya mengalir deras diiringi isak tangis kebisuan. Aku mendengar suara-suara di balik pintu namun kucoba untuk tidak memperdulikannya.....

"NARUTO! NARUTO!" aku terkejut dan berbalik menatap pintu. Aku ingin membuka pintu itu dan memeluk tubuh Gaara yang pasti sekarang sedang gemetaran. Aku ingin....tapi tidak bisa! Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengakhiri semuanya. Ini adalah akhir dari semua kesalahan yang telah kubuat saat pertama kali aku bertemu dengan Gaara.

Aku hanya bisa menggigit bibirku sambil menatap lantai ketika pintu apartemen digedor sangat keras. Aku merasakan darah mengalir di dalam mulutku namun aku tidak memperdulikannya.

"Naruto...aku minta maaf....aku...aku," aku mendengar suara Gaara semakin melemah di balik pintu. Aku berusaha menghapus bayangan Gaara yang sedang menangis putus asa di dalam kepalaku.

Tidak, Gaara. Ini bukan salahmu. Ini semua adalah salahku. Maafkan aku sudah membuatmu merasakan penderitaan seperti ini. Maafkan aku telah membiarkanmu terlibat dalam kehidupanku. Maafkan aku, Gaara. Maafkan aku.

Air mataku jatuh ke tanah tanpa bisa kutahan. Hatiku seperti tersayat saat mendengar rintihan Gaara di balik pintu. Ya Tuhan! Andai aku sehat, andai aku tidak seperti ini. Aku ingin...aku ingin bersama Gaara untuk selamanya. Kenapa kau pertemukan aku dengan dirinya di ambang hidupku ini! Kenapa?

Aku tidak tahu berapa lama aku terduduk di depan pintu sambil menangis dalam diam. Aku hanya duduk di sana sambil terus meminta maaf, menyesal dan mengutuk diri sendiri. Aku telah menorehkan luka yang amat besar pada Gaara. Aku telah membiarkan hatinya yang masih rapuh itu hancur untuk kesekian kalinya. Aku sudah menghapus senyum polosnya yang akhirnya bisa kembali muncul beberapa saat terakhir ini.

Aku merasakan dadaku kembali di serang rasa sakit yang sudah menghantuiku selama beberapa tahun ini. Namun aku tidak beranjak dari tempatku berada. Ini adalah hukumanku. Untuk sekali ini aku tidak akan meminum obat dan menikmati apa yang sedang di rasakan Gaara saat ini.

Badanku gemetaran seiiring dengan rasa sakit di dadaku yang semakin meningkat. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di dahi dan leherku. Pandanganku pun memudar seiring dengan waktu. Tapi aku tahu, di sana, di balik pintu, Gaara masih ada di sana dan sedang menangis oleh apa yang kuperbuat kepadanya.

Akhirnya aku merasakan rasa sakit meledak di dadaku dan darah pun akhirnya keluar dari mulutku bagaikan air yang disembur. Aku melihat pintuku yang berlumuran darah. Badanku terasa sangat sakit dan tidak bertenaga. Aku membiarkan tubuhku terjatuh di lantai tanpa suara.

Air mataku masih mengalir sepanjang waktu. Aku tetap berada di sana sepanjang waktu berusaha menikmati hukumanku karena telah membuat Gaara begitu putus asa di balik pintu itu.

Gaara, maafkan aku.....

***

Gaara POV

Aku menatap kosong ke depan. Aroma alcohol dan karbol memenuhi hidungku. Aku hanya menatap kosong ke depan, menatap tembus orang-orang berbaju putih yang lewat di hadapanku. Aku hanya diam tanpa reaksi ketika melihat banyak orang yang berteriak-teriak di lorong sambil mengiringi sebuah ranjang yang didorong oleh orang-orang berbaju putih.

Orang yang kecelakaan? Mungkin keluarganya sangat khawatir padanya.

Aku menatap semua pandangan itu dengan hati yang hampa.

Hampa? Tidak, aku menatap semua itu dengan hati yang teramat sakit. Tidak akan ada orang menangis seperti itu bila aku pergi dari dunia ini. Tidak akan ada, aku bisa membayangkan ayahku yang akan membakar semua barang-barangku dengan senyum bahagis tersunging di bibirnya untuk merayakan kepergianku dari kehidupannya.

Hidup seperti ini tidak ada artinya. Aku tahu....tapi....

"Tapi, hidup bukanlah sesuatu yang buruk. Jangan pernah membuang hidup begitu saja karena banyak orang yang ingin hidup namun tidak bisa."

Kalimat itu terngiang di kepalaku. Kalimat dari orang yang dulu menyelamatkan diriku dari keputusasaan. Namun, hidup ini sangat kejam. Orang yang sama telah merenggut keinginan hidupku yang masih tersisa sepenuhnya.

Lalu apa yang kulakukan di rumah sakit ini? Mengapa aku pergi ke sini untuk mengobati luka yang ditorehkan ayahku kemarin? Untuk apa aku masih bergantung pada hidupku yang menyedihkan ini?

Aku mencoba menahan air mataku yang ingin jatuh kembali. Aku sudah lelah menangis, aku sudah sangat lelah. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku sudah sangat lelah dengan hidup ini.

"NARUTO!"

Mataku membelalak saat mendengar ada seseorang yang telah meneriakkan nama orang yang sangat kusayangi di lorong ini. Aku menoleh dan melihat suster-suster diringi dengan dua orang pria mendorong sebuah ranjang dorong yang di sana terbaring seseorang berambut pirang yang di mulutnya sudah dipasang alat pembantu pernapasan serta infuse yang tertancap di lengannya.

Aku hanya terpaku di tempat sampai pemandangan itu pergi.

Naruto?

Naruto?

Semua pemandangan itu, Naruto yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat, alat bantu pernapasan di mulutnya dan infuse di lengannya. Apa yang terjadi?

Apa? Naruto....Naruto jangan-jangan.....

Naruto!

***

Aku terpaku sambil menatap orang yang ada di tatapanku dengan pandangan "aku tidak percaya!". Namun, aku hanya diam sambil menatap ke lantai.

"Jadi....Naruto....memiliki jantung yang cacat?" kataku pelan. Orang yang ada di depanku mengangguk pelan. Setelah kucari tahu, ia adalah orang tua angkat Naruto yang bernama Iruka.

"Aku tahu...Naruto itu...ya, dia tidak pernah menceritakan penyakitnya kepada siapa pun. Ia selalu bersikap 'aku baik-baik saja' sepanjang waktu," kata Iruka lalu duduk di bangku yang di sediakan rumah sakit untuk para pengantar di depan ruang Gawat Darurat.

Aku menoleh menatap ruangan yang di baliknya terdapat Naruto yang kehidupannya sedang bergantung pada orang-orang yang sedang merawatnya.

Kenapa? Kenapa ia tidak pernah memberitahukan hal ini padaku!? Kenapa?

"Sekarang, nasib Naruto bergantung pada donor jantung....tapi....," aku menoleh dan menatap Iruka yang sedang di tenangkan oleh kekasihnya yang selalu memakai topeng. Kalau tidak salah, ia bernama Kakashi.

"Tapi...apa?" tanyaku tak sabar. Hatiku kalut dan kepalaku terasa pusing. Aku berusaha mengingat tubuh Naruto yang terlihat agak kecil dan pucat, ia juga lemah dalam olahraga, dan obat itu....

"Sebenarnya Naruto sudah menjalani operasi jantung tiga tahun yang lalu," lanjut Kakashi menggantikan Iruka yang kini sedang menangis di pelukannya.

Aku menelan ludahku, menunggu sampai Kakasih melanjutkan ceritanya. "Tapi, setahun yang lalu ia kembali divonis kembali mengalami gagal jantung karena ternyata jantung yang didonorkan kepadanya tidak bekerja dengan baik," lanjut Kakashi dengan nada getir.

Jantungku berdebar kian cepat seiring dengan otakku yang mengartikan apa yang sedang dijelaskan Naruto saat ini.

"Ia...harus mendapatkan donor jantung yang baru lagi....," kata Kakashi mengakhiri penjelasannya. Aku menutup mataku, berusaha menahan air mata yang rasanya akan kembali jatuh terkuras.

"Tapi...jangtung itu....," kataku merasa aku semakin mengerti keadaan yang sangat buruk ini.

"Ya, selain untuk mendapatkan donor jantung itu sangat sulit, tidak semua jantung bisa cocok untuk semua orang," kata Kakashi membenarkan perkiraanku.

Aku hanya terdiam dan perlahan kembali menatap pintu ruang Gawat Darurat.

Naruto.....

***

Iruka POV

Aku menatap anak angkatku yang terbaring di ruang ICU dari luar jendela. Menatapnya dalam keadaan terbaring lemah dengan hidupnya bergantung pada sebuah alat besar yang ada di sebelahnya membuat perasaanku teriris.

Aku menatap ke bawah dan sadar ada orang di sebelahku. Aku menoleh padanya dan aku mengenalinya dengan cepat. Dia adalah Sasuke. Mantan pacar Naruto.

Sasuke menundukkan kepalanya, seperti memberi hormat dan sapaan tanpa suara dan menoleh ke ruang ICU tempat Naruto berada. Aku bisa melihat matanya terlihat pilu melihat Naruto terbaring di sana. Sama sepertiku meski perasaannya terhadap Naruto tidak seperti milikku seperti ayah mengkhawatirkan anaknya.

"Bolehkah aku masuk ke dalam?" tanya Sasuke dengan nada datar namun aku bisa menebak betapa kalut hatinya saat ini. Aku mengangguk pelan. Ia berjalan perlahan dan meraih jubah serta masker yang harus digunakan pembesuk untuk menjenguk pasien yang dirawat di ruang ICU.

Aku melihat Sasuke memandangi Naruto yang sampai saat ini belum sadar. Aku mendesah, aku sedih melihat mereka seperti ini. Tidak sampai dua tahun yang lalu mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Namun begitu Naruto sadar kalau jantungnya mengalami kerusakan ia memutuskan hubunngannya dengan Sasuke. Meski Sasuke tidak menerimanya namun aku tahu, mereka berdua saling mencintai....

"Anu....," aku kembali menoleh dan menatap anak yang bernama Gaara di sebelahku. Di tangannya terdapat sebuah rangkaian bunga. Aku tersenyum dan ia tersenyum lemah. Aku sadar matanya merah dan terlihat sendu. Mungkin ia masih dalam status terpukul akan informasi mengenai Naruto yang keberitahukan padanya kemarin.

"Ini....itu....," aku tersenyum melihatnya salah tingkah di depanku. Dengan cepat kemarin kusadari kalau Gaara memiliki semacam masalah untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Aku mengangguk mengerti. "Kau ingin menjenguk Naruto kan? Dan, karangan bunga ini untukknya?" tanyaku. Ia mengangguk sambil menyuginggkan senyum tipis. Namun senyumnya langsung lenyap begitu melihat Sasuke ada di dalam sana. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

Aku tak tahu apa yang dipikirkan anak ini namun aku dapat firasat kalau ia menganggap Naruto lebih dari sekedar "teman". Ia menundukkan kepalanya dan aku tahu ia sedang menahan tangis. Aku ingin menenangkannya namun aku tak bisa. Jika aku menenangkannya kemungkinan besar ia justru akan menangis sungguhan.

Setelah hening sekian lama akhirnya ia menoleh padaku. "Anu....tolong serahkan ini ke Naruto," katanya pelan seraya menyodorkan rangkaian bunga itu. Aku menerimanya dengan tatapan bingung namun sebelum aku bertanya ia sudah lari. Aku ingin memanggilnya namun kusadari ini rumah sakit dan aku tidak boleh berisik.

Ah, apa yang terjadi di sekeliling Naruto selama ini?

***

Gaara POV

Aku berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Aku tidak memperdulikan sumpah serapah, teguran ataupun omelan yang ditujukan padaku oleh banyak orang yang merasa terganggu akan lariku di rumah sakit.

Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya dadaku yang terasa sangat sakit. Aku baru sadar alasan mengapa Naruto mengucapkan semua kata kejam itu kemarin, aku tahu, ia tidak ingin aku merasa terluka akan kondisinya saat ini. Itulah alasannya.

Namun baru sekarang kusadari kalau alasan Naruto memutuskan Sasuke adalah sama denganku. Ia tidak ingin membuat pacar yang sangat ia cintai itu terluka.

Ya, aku bisa tahu. Aku bisa melihat betapa mereka saling mencintai, bagaimana Sasuke menatap Naruto dan bagaimana Naruto memikirkan Sasuke. Mereka berdua saling mencintai. Mereka berdua sangat serasi.

Dan aku hanya pengganggu di antara mereka.

Aku berhenti berlari namun tidak merasa perlu untuk mengecek aku berada dimana sekarang.

Naruto membutuhkan donor jantung untuk tetap hidup.

Dan, aku....tidak memiliki alasan untuk hidup lagi.

Banyak orang yang ingin Naruto tetap hidup.

Dan, aku....semua orang tidak peduli apakah aku hidup atau mati.

"Setidaknya bila ingin mati, cari dulu suasana yang pas, cari tempat yang enak, rencanakan cara mati yang baik dan juga jangan lupa cari alasan yang masuk akal,"

Aku tersenyum tipis mengingat kata itu.

Ya, Naruto. Aku sudah menemukan alasan yang bagus untuk mati, aku sudah menemukan tempat yang tepat untuk mati, aku akan merencanakannya dengan baik.

Aku sudah putuskan...akan kuberikan hidupku padamu.

***

Aku menghela napas panjang untuk menenangkan diriku. Mataku menatap ke atas, ke arah lampu operasi yang menyorotku dengan sinar yang tajam. Aku memicingkan mataku sedikit dan menghela napas lagi.

Akhirnya hidupku akan berakhir di sini.

Aku melihat aktivitas orang di sekitarku yang nampak sibuk. Aku kembali menghela napas, seakan masih ingin merasakan caranya bernapas sebelum akhirnya nanti aku tak bisa bernapas lagi.

"Apa kau yakin benar-benar ingin melakukan ini?" tanya dokter kepala yang bernama Tsunade. Ia sudah menanyakan pertanyaan itu berkali-kali sejak aku setuju untuk mendonorkan darahku untuk Naruto. Aku hanya mengangguk pelan. Aku sudah mengisi semua surat-surat keterangan dan keperluan donor ini. Tsunade juga mengatakan kalau kemungkinan besar jantungku cocok untuk Naruto.

Aku tahu, apa yang kulakukan ini adalah "membuang" hidupku. Namun, aku akan melakukan apapun untuk Naruto. Meski aku akan kehilangan nyawaku sendiri selama aku bisa menyelamatkan nyawa Naruto, bagiku hal itu bukanlah masalah.

Aku menatap ke atas, saat akhirnya para dokter membiusku.

Ah, andai aku bisa mengatakan perasaanku pada Naruto....

Kalau sebenarnya, aku.....

***

Naruto POV

Aku memejamkan mataku saat dokter akhirnya membiusku. Ini adalah operasi transplantsai jantung yang kedua dalam hidupku. Aku tak menyangka, saat aku sadar, aku disambut dengan isak tangis Iruka yang mengatakan kalau aku akan menerima donor jantung. Aku heran, aku merasa aneh. Mengapa aku bisa menerima donor jantung begitu cepat? Kukira aku harus mengantri dengan sekian banyak orang yang sama-sama memerlukan donor jantung seperti halnya diriku.

Aku merasa obat bius mulai bekerja dan aku tak dapat merasakan tubuhku lagi. Aku merasa jiwaku terbang ke alam mimpi. Sensasi yang sudah sering kurasakan.

Aku membuka mataku dan mendapati diriku ada di dunia yang berwarna putih dan tak ada apa-apa di sana. Aku menghela napas dan melempar pandangan ke segala arah. Sampai akhirnya mataku menatap pemandangan itu.

Itu adalah Gaara yang entah kenapa dimataku tubuhnya seperti memudar. Aku terpaku beberapa saat sebelum akhirnya aku sadar dan berlari ke arahnya. Ia melihatku dan tersenyum pilu. Aku bisa melihat butiran air mata yang jatuh dari kejauhan. Saat aku sudah berada cukup dekat dengannya ia tersenyum polos namun ia tidak bisa menyembunyikan matanya yang sedih dariku.

"Gaara, aku....," aku ingin meminta maaf atas segala yang telah kulakukan kepadanya. Bahkan meskipun ini mimpi, aku tak peduli, aku ingin meminta maaf padanya.

Aku semakin khawatir saat melihat tubuh Gaara semakin memudar, bagai pasir yang tertiup angin. Ia mendekatiku dan tersenyum kembali.

"Semuanya sudah tidak apa-apa," katanya lembut. Aku menggeleng, aku merasa bersalah. Akulah yang telah menyakitinya sedemikian besar. Aku....

"Aku minta maaf," kataku akhirnya mampu mengatakannya. Aku menatap lurus Gaara dan ia mengangguk, tanda kalau ia menerima permintaan maafku.

"Aku sudah tahu semuanya," katanya. Aku menatapnya lurus. Apa itu artinya Gaara memang sudah tahu kondisiku sekarang?

"Jadi kau tidak perlu khawatir, Naruto," katanya. Aku melihat tubuhnya kian menghilang. Seakan ia akan pergi. Seakan ia sedang menghadapi....kematian?

"Aku....ingin mengatakan satu hal," katanya jatuh kepelukanku. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Kepalaku terasa pusing, dadaku terasa sakit. Aku memiliki firasat yang sangat buruk untuk semua ini. Aku....

"Aku....mencintaimu....," bisik Gaara pelan di kupingku. Mataku terbuka lebar dan tepat saat aku menemukan kembali suaraku kulihat Gaara sudah menghilang tanpa sisa. Hanya meninggalkan sebutir pasir kecil yang kini berada di tanganku.

Gaara, tidak....

Aku menggenggam pasir itu dan merasakan dadaku terasa sakit. Sakit yang bukan dikarenakan penyakitku, tapi karena....

"GAARRAAAA!!!!!" jeritku lantang seakan ingin memanggilnya kembali.

Aku juga ingin mengatakan satu hal padamu, Gaara. Aku......

***

Aku mengerjapkan mataku saat kesadaranku perlahan kembali. Aroma obat-obatan serta alcohol kembali memenuhi hidungku. Otakku memproses dimana aku berada, siapa aku, apa yang sedang terjadi dan siapa orang-orang di sekitarku.

"Naruto!" aku merasakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh padanya dan melihat ayah angkatku berada di sampingku tengah menangis. Aku juga melihat Kakashi yang berdiri menyendarkan tubuhnya di dinding dekat pintu dan Sasuke yang duduk di sofa.

"Syukurlah kau sudah sadar," kata Iruka di sela-sela tangisnya. Aku berusaha untuk tersenyum. Akhirnya aku bisa hidup, aku bisa merasakan jantungku yang baru berdetak di dadaku tanpa menimbulkan rasa sakit.

Aku mengerjapkan mataku dan sadar kalau mataku basah. Aku meraih butiran air mata di pipiku dan bertanya-tanya dalm hati. Apakah aku menangis? Kenapa?

Aku berusaha mengingat. Semua itu, mimpi itu, Gaara....

"Dimana Gaara?" tanyaku merasa tidak enak. Aku ingin melihat Gaara, aku ingin melihatnya di saat aku sadar kembali. Namun, kenapa ia tidak ada? Apa ia masih sakit hati padaku karena apa yang telah kulakukan?

Aku melihat Iruka terdiam. Senyumnya hilang dan suasana berubah menjadi sunyi yang membuatku cemas. Ada apa ini?

"Naruto, dengarkan aku dengan tenang," kat Iruka dengan nada yang membuat kekhawatiranku semakin bertambah. "Gaara...."

Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, akhirnya otakku mengerti apa maksud dari mimpi itu dan juga suasana ini...

Gaaraku sudah....

"GARAA!!" peikiku panik dan kupaksa bangun diriku dari tempat tidur. Tindakanku ini membuat Iruka, Kakashi dan Sasuke kaget dan mendekatiku untuk menenangkanku. Tapi, aku tidak ingin ditenangkan. Aku ingin Gaara. Aku ingin melihatnya!

"GAARA! DIMANA GAARA!?" teriakku menepis semua tangan yang ingin memaksaku untuk kembali tidur. Tanpa ragu aku mencabut jarum infuse yang tartancap dilenganku serta mencabut berbagai kabel yang terpasa di tubuhku yang berfungsi untuk mengukur detak jantungku.

"Tenanglah Naruto!" seru Sasuke berusaha membuatku kembali berbaring namun aku mendorongnya. Aku tak tahu berasal darimana semua tenaga ini namun yang pasti aku bisa melakukan ini karena jantungku tidak terasa sakit.

Aku bangun dan menghindari semua tangan yang ingin menangkapku. Aku membiarkan kakiku tanpa alas kaki berlari ke luar ruang ICU. Tampak terlihat banyak orang dan suster kaget. Aku pun bisa mendengar teriakan-teriakan di belakangku yang pastinya adalah teriakan Iruka, Kakashi dan Sasuke.

Namun, aku terus berlari. Mataku terasa panas dan dadaku sesak, namun jantungku masih berdetak dengan normal. Aku tak tahu kemana kakiku membawaku namun aku merasa tahu. Aku berbelook di beberapa lorong dan akhirnya tak mendengar lagi suara-suara di belakangku.

Aku merasa efek dari bangun tiba-tiba dan kehilangan kontak dengan infuse mulai menyerang dirku namun aku tetap menahannya. Akhirnya aku berhenti melangkah ketika sampai pada satu bangsal.

Kamar mayat.

Jantungku berdebar kencang. Entah apa yang membuatku datang ke sini. Dengan menguatkan perasaanku, akhirnya aku meraih gagang pintu dan mendorongnya hingga terbuka.

Aku cukup takut masuk ke kamar mayat karena aku bisa merasakan hawa "kematian" di sini lebih pekat daripada di kuburan sekali pun. Aku melihat rak-rak penyimpan mayat dan juga beberapa ranjang yang di atasnya terdapat mayat yang ditutupi kain putih.

Aku menelan ludah dan masuk ke dalamnya. Aku merasakan keringat dingin mulai mengalir di tubuhku. Namun, ini bukans saatnya untuk takut terhadap sesuatu seperti ini.

Aku berjalan menuju mayat paling ujung dan dengan ragu-ragu aku menarik kain putihnya hingga terbuka. Aku melihat pria paruh baya. Ah, aku menghela napas. Aku bersyukur mayat-mayat di sini beberapa sudah ada yang dibersihkan sehingga tampangnya tidak seseram seperti yang sering terlihat di film horror.

Aku menutup kainnya seperti semula dan beralih ke mayat selanjutnya. Aku menarik kainnya dan aku melihat seorang wanita dengan banyak luka di wajahnya. Aku bergidik sedikit takut namun aku coba untuk tidak memperdulikannya. Aku kembali menutup wajah wanita itu dengan kain dan berjalan menuju mayat yang berikutnya.

Dadaku berdetak kian kencang. Aku merasa mengenali mayat ini, postur tubuhnya, tingginya, dan juga....

Dengan tangan berkeringat dingin aku menarik kain putih itu pelan dan aku bisa melihat mayat siapa yang terbaring di sana.

Dan di sanalah ia berada. Orang yang kucari sejak tadi. Orang yang paling ingin kutemui saat ini.

Gaara.

"Uh, Gaara," aku tak mampu berkata-kata dan jatuh terduduk. Aku ingin berteriak namun rasanya semua suaraku menghilang entah kemana. Air mataku kembali jatuh diiringi tubuhku yang bergetar hebat.

Aku membuka mataku dan kembali melihat Gaara. Aku melihatnya terbaring di sana tak bernyawa. Wajahnya tampak damai namun semua itu tak mampu membuat hatiku tenang.

"Gaara, kenapa kau lakukan ini padaku?" tanyaku pelan. Aku tak menanti jawaban, tak mungkin Gaara menjawab pertanyaanku, mendengar saja tidak bisa.

"Kau....jantung ini....," kataku tak mampu mengatakan semuanya. Aku meremas dadaku dengan kesal. Jantung ini....jantung yang sedang berdetak di dadaku ini....adalah milik Gaara. Aku bisa tahu, aku bisa tahu.

"Kenapa...Gaara?" tanyaku dengan suara pelan. Aku tak mampu mengontrol air mataku yang berjatuhan membasahi kain. Tanganku dengan pelan menyentuh pipi Gaara yang sudah dingin.

"Kalau aku tahu kalau donor jantung itu adalah jantungmu, aku tidak akan mau menerimanya," kataku kesal.

Ya Tuhan! Kenapa kau lakukan ini padaku!? Kau membuatku menggunakan jantung orang yang paling kusayangi di dunia ini! Kenapa!? Apakah kau sedang mempermainkanku sekarang?

"Apa artinya aku hidup kalau kau tidak ada, Gaara?" kataku, aku meremas lagi dadaku. Aku ingin menganggap semua ini cuma mimpi. Seandainya ini cuma mimpi, namun rasa sakit ini nyata dan aku tahu yang ada dihadapanku ini bukanlah mimpi buruk.

Aku mendengar pintu di belakangku terbuka dan mendengar suara-suara, namun aku tak merepotkan diriku untuk melihatnya.

"Aku....ingin mengatakan satu hal padamu," kataku. Aku bangkit dan menyentuh pipi Gaara kembali. Aku menunduk dan dengan hati yang terasa sakit aku mengecup bibir Gaara yang sudah dingin.

"Aku....mencintaimu, Gaara."

Dan, aku merasa tiba-tiba dunia menjadi gelap. Kesadaranku...hilang....

***

Sasuke POV

Aku melihat Naruto tengah mencium mayat anak yang bernama Gaara. Aku tak mampu mencegahnya dan hanya bisa melihat semua itu. Di sudut hatiku aku merasa sangat cemburu, namun hal ini adalah ujian yang berat untuk Naruto jadi aku tidak boleh egois sekarang.

Aku kaget saat melihat badan Naruto tampak hilang keseimbangan dan terjatuh dari tempat tidur. Aku berlari mendekati Naruto dengan Iruka yang berteriak di sampingku. Aku meraih tubuh Naruto dan melihat wajahnya pucat seperti orang yang sedang sekarat.

"DOKTER!"

***

Kakashi POV

Hujan, aku menatap hujan yang selalu mengiringi kepergian orang yang kusayangi. Aku menghela napas dan melihat orang-orang berpakaian hitam satu demi satu meninggalkan tempat ini. Ya, sekarang aku ada di pemakaman. Pemakaman untuk Naruto dan Gaara.

Semuanya terasa terjadi begitu cepat. Dua hari yang lalu setelah semua kejadian di kamar mayat itu dokter mengatakan kalau Naruto terkena stroke yang mengakibatkan pembuluh darah dekat jantungnya putus seketika. Memang, dokter mengatakan hal ini kadang terjadi pada orang yang menerima donor jantung karena tubuh kadang menolak jantung baru dan menganggapnya benda asing.

Namun, aku menganggap saat itu Naruto menolak untuk hidup dengan memakai jantung Gaara, orang yang dicintainya.

Aku menghela napas. Aku tahu sebenarnya Naruto adalah anak yang kuat kemauan hidupnya dan selalu terlihat tegar. Namun, aku tak bisa menyalahkan dirinya sepenuhnya. Bila aku menjadi Naruto, aku lebih baik mati daripada harus hidup dengan memakai jantung orang yang paling kucintai.

"Iruka, Sasuke," panggilku. Aku sadar pemakaman ini sudah sepi, yang tersisa hanya kami bertiga. Aku melihat Sasuke dan Iruka sama sekali tak menitikkan air mata selama prroses pemakaman ini berlangsung.

Ya, Naruto pernah bilang kalau ia tidak ingin ada seorang pun yang menangis di pemakamannya. Ia tidak ingin membuat orang sedih akan kepergiannya.

Bahkan sebenarnya


untuk diriku, sangat sulit untuk tidak menangis di saat seperti ini.

"Takdir sangat kejam," aku menatap Sasuke yang sedari tadi masih duduk berlutut di makam Naruto. "Kenapa mereka berdua harus mati dengan cara seperti ini?" tanyanya lagi. Aku hanya diam, begitu pula Iruka. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan seperti itu.

"Aku tahu, Naruto sudah tak lagi mencintaiku sejak ia bertemu dengan anak itu," lanjut Sasuke. Aku melirik ke makam Gaara. Aku cukup sedih melihat kenyataan kalau hampir tak ada orang yang melayat untuk Gaara tadi.

"Hidup memang kejam, tapi....," kataku berusaha mengingat kata-kata Naruto.

"Jangan pernah membuang hidup begitu saja karena banyak orang yang ingin hidup namun tidak bisa," lanjut Sasuke. Aku menutup mataku, sudah tak mampu berkata apa-apa.

Aku meraih tangan Iruka yang sedari tadi tidak mengatakan apa-apa. Aku melihatnya dan ia tersenyum lemah. Aku merangkulnya dan mengajakanya untuk pergi. Aku bisa merasakan tubuh kekasihku sedikit gemetaran di bawah hujan rintik ini. Bukan karena kedinginan, tapi karena usahanya untuk menahan tangis sedari tadi.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Sasuke berdiri dan juga hendak beranjak pergi. Ia memandangi batu nisan Naruto dan menyentuhnya pelan.

"Kudoakan agar kalian berdua bahagia," kudengar Sasuke mengatakan itu dan akhirnya berbalik pergi. Aku pun kembali menatap ke depan sambil menggiring Iruka keluar dari pemakaman ini.


Hidup memang kejam. Untuk hidup sangatlah sulit. Sebaliknya, kematian adalah hal yang sangat mudah untuk didapat. Namun, jangan pernah membuang hidup begitu saja karena banyak orang yang ingin hidup namun tidak bisa