Fic ini sebenarnya adalah remake dari The Third Person, tapi ceritanya malah jadi jauh banget yak....
Chapter pertama panjang banget, chapter kedua bakal dipublish tanggal 19 Oktober saat NaruGaa/GaaNaru day

Warning: Yaoi, Character Death, OOC, lebay, KDRT dan yang lainnya

Disclaimer: Naruto bukan milikku, aku cuma bisa mimpi aja XD

Gaara POV

Aku menatap air dengan mata berkaca-kaca. Air terlihat begitu tenang, mengalir mengikuti aliran yang sudah ditentukan. Air mataku jatuh ke bawah, bergabung bersama aliran air itu. Jantungku berdegup. Aku ingin meloncat ke sana, berharap ku dapat melepas hidupku di aliran air itu.

Aku ingin mati.

Ku menatap sekitarku. Aku berdiri di jembatan besar yang sepi. Di bawahku terdapat aliran sungai yang sangat deras yang meluap-luap karena hujan deras tadi malam. Aku kembali menoleh ke bawah. Ku coba untuk tenangkan perasaanku yang meluap-luap. Aku sudah muak dengan hidup ini. Aku ingin mati.

Aku memejamkan mataku dan kupanjat pagar jembatan dan berdiri di atasnya. Aku siap untuk melompat. Aku siap untuk meninggalkan kehidupanku yang tak berarti. Aku tahu, semua orang akan bahagia dengan kematianku. Aku tahu, tak akan ada orang yang peduli apakah aku mati atau tidak.

Aku sudah lelah dengan hidup ini. Selama aku hidup aku hanya terus menerus terjurumus dalam kesedihan yang tiada akhir. Aku sudah tak peduli lagi. Aku ingin mengakhiri semuanya.

Meski dalam hati aku sempat bertanya-tanya apakah akan ada seseorang yang menangis di pemakamanku? Apakah akan ada pemakaman untukku? Akankah keluargaku memakamkanku? Entahlah, tapi yang kutahu mereka pasti akan berpesta akan kepergianku.

Aku sudah membungkukkan tubuhku dan bersiap untuk melompat.

Namun, aku terkejut ketika merasakan ada sesuatu yang menyergap kedua kakiku.

"Hei! Tunggu!"

Dan, aku menoleh. Menatap seorang pemuda berambut pirang yang tengah menahan kedua kakiku. Aku merasa kesal. Apa-apaan orang ini? Tidakkah ia tahu kalau aku sedang melakukan hal penting? Ya, aku kan mau bunuh diri, itu hal penting kan? Oh bagusnya, rupanya aku masih punya hal penting untuk dikerjakan.

"Ada apa?" tanyaku merasa kesal. Ia menatap padaku dan mataku yang berwarna aneh bertemu dengan matanya yang berwarna biru laut. Untuk sesaat aku terpesona. Namun, aku kembali fokus pada apa yang ingin kulakukan. Apa tadi? Oh ya, aku ingin bunuh diri.

"Jangan meloncat! Kau bisa mati sia-sia!" omelnya. Apa pedulinya bila aku mati sia-sia? Aku mati dengan penuh makna pun tak ada hubungannya dengannya kan?

"Aku tak peduli!" kataku kesal, aku kembali bersiap untuk melompat, namun ia masih teguh menahan kedua kakiku. Apa sih maunya orang ini? Mau mati saja kok susah banget sih!?

"Yah, mending kau langsung mati habis meloncat ke bawah. Paling tenggelam dulu, terus terbawa arus , lumpur dan sampah di sungai, terus nyangkut di pinggir sungai yang banyak bertumpuk sampah terus diketemukan pemulung. Kamu mau matinya begitu?" omelnya lagi dengan alasan yang luar biasa ajaib. Ia sebenarnya mau apa sih? Bikin kesal orang saja!

"Lalu aku harus mati dengan cara bagaimana?" aku balik bertanya tak mampu menyembunyikan nada kesal pada kata-kataku. Apa ia pikir aku cuma main-main?

"Kenapa kamu mau mati?" ia malah balik bertanya.

"Untuk apa aku memberitahumu? Ini hidupku," jawabku menolak memberitahunya alasannya. Untuk apa aku menceritakan hal pribadi seperti itu pada orang asing seperti dia?

"Yah, kalau begitu aku juga nggak bisa membiarkanmu berbuat seenaknya di sini. Kamu tahu kan ada larangan untuk membuang sampah sembarangan di sungai?"

Aku mendelik pada pemuda sinting itu. Ia nyaris membuatku stress. Aku yang sedang putus asa dalam kehidupan. Aku yang sudah capai dengan pahitnya hidup. Aku yang memilih jalan pintas. Mengapa aku harus bertemu dengan pemuda macam dia di saat aku ingin mati?

Aku memandangnya dengan kesal namun ia membalas pandanganku dengan tatapan lembut dan terlihat mengerti.

Ok, aku menyerah.

Aku pun turun dari pagar jembatan dan menatapnya kembali, kini ia tersenyum puas. Nampaknya, ia senang telah berhasil menggagalkan usaha bunuh diriku.

"Setidaknya bila ingin mati, cari dulu suasana yang pas, cari tempat yang enak, rencanakan cara mati yang baik dan juga jangan lupa cari alasan yang masuk akal," katanya. Aku menatap tajam padanya. Apakah dia itu sinting?

"Kau ini bicara seakan kau sendiri ingin mati," kataku. Ia menggeleng. "Hidup ini tak bisa dibuang begitu saja. Toh, suatu saat kita juga akan mati jadi untuk apa aku bunuh diri sekarang?" balasnya. Aku menatapnya dengan pandangan melunak. Aku mengalihkan pandanganku dan menatap tanah.

"Hidupku tak berharga seperti itu," kataku lirih. Aku bisa merasakan tatapan matanya padaku. Kemudian, aku mendengarnya menghela napas.

"Justru itu, sayangkan kalau hidupmu dibuang sekarang?" katanya seakan ingin aku mengiyakannya. Aku menatapnya bingung.

"Jika hidup tidak berharga, hidup itu masih seperti sebuah lembaran kertas yang hanya dicoret-coret tinta hitam. Apa kamu tidak ingin mewarnainya dengan warna lain?" Ok, kuakui anak ini memang aneh. Aku tak mengerti apa yang sedang ia coba jelaskan padaku.

Ia tampaknya sadar kalau aku tidak mengerti perkataannya. "Maksudku, kau pasti sedang dalam keadaan sangat stress dan frustasi karena masalahkan? Apa kamu tidak ingin membuat banyak kenangan indah sebelum mati?"

Aku mengerti apa maksudnya. "Kalau aku memang bisa membuat kenangan indah semudah itu maka aku tidak akan mau bunuh diri," kataku pahit. Ia tampak mengerti.

"Membuat kenangan indah itu perihal mudah, yang kau butuhkan cuma satu teman untuk membuatnya," katanya. Aku menghela napas berat. Ngomong gampang, tapi praktek susah. Aku ini kan tidak punya teman. Orang sepertiku bisa punya teman? Bah! Omong kosong!

Tampaknya ia kembali sadar keadaanku. "Tak punya teman?" tanyanya mencoba memastikan. Aku mengangguk, entah kenapa merasa down karena merasa kalah telak. Kalah telak, ya, dia pasti punya banyak teman, berbeda dengan diriku yang selalu sendiri ini.

Aku mendengarnya tertawa kecil. Di mataku, ia terlihat begitu bersinar. Begitu hidup. Aku mengalihkan perhatianku ke tanah. Aku merasa terpesona dan ingin mengagumi sosoknya lama-lama, namun aku tahu orang sepertiku tak pantas berbuat begitu.

"Mau jadi temanku?" tanyanya. Aku terkejut dan menatap padanya. Kulihat ia mengulurkan tangannya padaku, seperti hendak mengajakku ke suatu tempat.

Aku ingin bertanya kenapa namun senyumnya telah menjawab semuanya. Aku hanya meraih tangannya dengan ragu-ragu dan ia membawaku pergi ke suatu tempat.

***

Gaara POV

"Lihat, indahkan!?" tanya pemuda itu menolehku. Mataku terpaku pada sebuah danau yang tersembunyi di bukit. Siapa sangka ada tempat seindah ini di sini?

Aku menatap langit yang berwarna semburat oranye. Aku suka warnanya, rasanya menenangkan dan hangat. Entah kenapa, aku jadi setuju dengannya kalau hidup ini sayang untuk dibuang.

"Namamu."

Aku menoleh menatapnya. Ia tersenyum. "Tadi, kita belum sempat berkenalan. Namaku Uzumaki Naruto," katanya. Aku kembali terpesona sejenak dengan senyumnya yang hangat. Jantungku sempat terasa berdegup lebih kencang dari biasanya.

"Aku Gaara," jawabku singkat. Ia mengangguk, tampak puas dan tak bertanya lebih jauh mengapa aku tak memberitahu nama keluargaku.

"Lain kali, jangan mencoba untuk bunuh diri lagi ya, Gaara," kata Naruto. Aku menatapnya dengan ragu. Aku masih sedih dengan semua masalah yang menimpaku. Aku tak yakin apakah aku masih bisa seceria ini besok.

"Yah, memang sih yang namanya hidup itu sangat sulit. Sebaliknya, mati itu sangat mudah. Meninggalkan semua masalah yang membelit di kehidupan kita adalah sesuatu yang sangat menggoda bukan?" tanyanya terkesan dewasa. Aku mengangguk setuju.

"Tapi, hidup bukanlah sesuatu yang buruk. Jangan pernah membuang hidup begitu saja karena banyak orang yang ingin hidup namun tidak bisa," lanjutnya. Aku mengangguk lagi.

"Kau bisa mengatakan semua hal itu karena tak tahu hidup macam apa yang kujalani sekarang," kataku merasa getir. Naruto tertegun sejenak namun kemudian mendesah.

"Jelas saja aku tak tahu, kan kau tidak menceritakannya padaku," katanya entah kenapa terkesan seperti mengejekku.

Naruto menarik tanganku ke sebuah batu yang besar yang ada di pinggir danau dan mengajakku untuk duduk, menikmati perubahan langit yang berubah menjadi gelap. Apa ia bermaksud menemaniku dalam waktu lama? Aku jadi bertanya-tanya.

"Nah, kau bisa cerita sekarang. Itu juga kalau mau, kalau tidak mau, aku tidak memaksa," katanya menatap langit. Aku memandangi permukaan danau yang terlihat jernih. Apakah aku akan menceritakan kehidupanku yang menyedihkan kepadanya? Aku baru mengenalnya 2 jam. Tapi....., ia adalah satu-satunya orang yang menunjukkan sisi baik dunia ini padaku.

"Aku.....aku tak tahu bagaimana dan mulai dari mana harus menceritakannya padamu," kataku. Naruto tertawa kecil, seakan menganggap aku sedang bergurau.

"Kalau begitu, biar aku saja yang bertanya. Bagaimana keluargamu?"

Aku menarik napas dan berusaha mencari jawaban yang tepat. "Ibuku meninggal ketika melahirkanku, ayahku menjadi seorang pemabuk dan senang menganiaya diriku, Temari, kakak perempuanku stress dan menjadi kecanduan obat-obatan, Kankurou, kakak laki-lakiku terjebak dalam pergaulan bebas," jelasku. Aku berusaha menahan gejolak hati yang terasa menyesakkan ketika menjelaskan semua itu.

"Betapa keluarga yang acak-acakan," komentar Naruto yang kesannya seperti sedang mengejekku. Aku menatapnya. "Giliranmu."

Tampaknya, ia mengerti apa maksudku. Jika memang ia ingin tahu banyak tentang diriku, maka ia juga harus memberi tahu banyak hal tentang dirinya.

"Aku adalah anak yang dibuang ke depan panti asuhan sejak kecil. Hidupku di panti asuhan sangat sulit karena aku dianggap terlalu nakal dan tak pernah ada orang tua yang mau mengadopsiku. Aku selalu diolok dan diejek karena aku sedikit lemah dalam bidang olahraga. Aku juga tak pandai dalam pelajaran. Orang selalu bilang aku adalah anak yang tak berguna."

Aku hanya termangu mendengar semua hal itu. Ia menceritakannya seakan hal itu bukanlah apa-apa, kulihat matanya sendu namun terlihat tabah. Bagaimana ia bisa setegar itu?

"Tapi, sekarang semuanya telah menjadi lebih baik. Aku mempunyai dua orang tua angkat. Guru Iruka dan Paman Jiraiya, yah....sebenarnya Guru Kakashi juga masuk hitungan karena dia kan kekasihnya Guru Iruka," jelasnya. Aku mengangguk.

Ia sudah menemukan orang yang berharga untuknya. Ia tak lagi sendiri.

Berbeda denganku.

"Kau juga pasti akan menemukannya," kata Naruto menghiburku. "Tak ada manusia di dunia ini yang ditakdirkan untuk hidup sendirian," lanjutnya. Aku mengangguk, berusaha untuk percaya. Namun, sampai saat ini belum ada orang yang bersikap baik padaku. Tak ada, kecuali Naruto.

"Lagi pula," Naruto berhenti bicara dan memandangku. Wajahku memerah sedikit. "Sekarang kan kau punya aku. Kalau ada masalah datang saja padaku, pasti akan kudengar dan berusaha membantumu," katanya dengan senyum hangat.

Aku terpaku sejenak. Aku tak percaya, setelah sekian lama akhirnya kutemukan juga dirinya.

Cahayaku.

***

Gaara POV

"Biar kulihat lukamu," kata Naruto dengan sedikit keras. Aku sedikit ragu namun kuulurkan lengan kiriku padanya. Ia dengan perlahan membuka kancing lengan kiriku dan melipatnya sampai sebatas sikuku. Terlihat di sana ada memar biru besar di dekat lengan kiriku. Ya, kemarin ayahku memukulku dengan palu. Rasanya tak bisa kukatakan dengan kata-kata. Aku hanya bisa mengerang kesakitan sepanjang hari.

Naruto menyentuh lembut kulitku, wajahnya terlihat cemas dan sedikit kesal. Aku senang, ternyata ia peduli padaku.

Dengan cepat ia mengambil kotak P3K dan kembali merawat lukaku. Kerjanya cukup telaten dan selalu bertanya "sakit?" setiap selang beberapa saat. Dalam hitungan menit, beberapa luka yang cukup parah di tubuhku sudah dirawat dan dibersihkan dengan baik.

"Kau tahu, aku kesal pada ayahmu. Kenapa ia membuat kulitmu yang halus begini jadi penuh luka?" ocehnya sambil mengelap luka gores dalam yang ada di betis kiriku. Mukamu memerah. Kulitku bagus? Kukira kulitku pucat seperti orang kekurangan darah.

"Terima kasih," kataku tak tahu harus mengucapkan apa lagi. Naruto menatapku dan tersenyum. "Tak perlu, aku senang bisa merawatmu dan melihatmu tersenyum."

Ok, kuakui. Aku tak bisa tak berhenti terpesona dengan kata-katanya. Ia tidak terdengar seperti sedang menggombal. Ia terdengar begitu romantis. Kalau aku cewek, aku pasti sudah berteriak-teriak histeris karena senang atau setidaknya berubah menjadi pecicilan.

Ia pasti juga punya banyak teman di sekolah dan tentunya juga pasti banyak yang menyukainya.

Tidak seperti aku.

"Naruto," ia menoleh padaku, masih sibuk mengurusi luka-lukaku.

Aku menelan ludah dan mencoba mengeluarkan keberanian. "Apa kau punya pacar?" tanyaku takut-takut.

Ok, aku bukan homo. Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu aku ini condongnya kemana, apakah aku suka perempuan, apakah aku suka laki-laki, apakah aku suka keduanya ataukah aku ini aseksual. Aku tidak tahu karena tak pernah punya waktu untuk mengurusi hal itu. Aku selalu saja sibuk dengan perasaanku sendiri.

Naruto tertawa kecil. "Tidak. Untuk saat ini tidak," jawabnya. "Kenapa? Ingin mencoba kesempatan selama aku masih sendiri?" godanya padaku. Wajahku memerah dan ia tertawa. Kupukul pelan pundaknya karena kesal dan ia tertawa makin lama.

Aku tidak tahu apakah aku jatuh cinta padanya. Aku tidak tahu.

Tapi, hanya dengan begini saja aku sudah bahagia.

"Selesai," kata Naruto dan membereskan kembali kotak P3Knya. Aku mengucapkan kembali rasa terima kasih. Ia menggeleng dan memberiku senyum hangatnya. "Kau mau makan?" tanya Naruto sambil melangkahkan kakinya ke dapur. Aku berdiri dari tempat ku duduk. dan mengikuti langkahnya.

Aku tak bisa memungkiri saat merasakan jantungku berdetak begitu kencang. Rumah Naruto sangat hangat, mirip dengan pemiliknya yang selalu menyambut dengan tangan terbuka. Apartemen Naruto ini dipenuhi dengan aroma tubuhnya sampai ke sudut-sudutnya. Ok, aku bukan anjing tapi....aku tak bisa berhenti deg-degan saat menapaki kakiku ke dalam apartemen ini.

"Kau suka pan cake?" tanya Naruto membuyarkan lamunanku. Dengan sedikit nervous, aku mengangguk dan ia tersenyum. "Sebenarnya aku suka sekali makan mie instant tapi kupikir kau butuh lebih banyak gizi. Jadi, pan cake sajalah," katanya. Aku sedikit tersinggung karena ia terkesan berkata kalau aku ini "kurang gizi". Memang badanku kecil dan kurus dan pucat, benar-benar seperti orang tidak sehat. Tapi, cara bicara Naruto memang begitu. Sedikit tajam namun ia sangat jujur.

Aku duduk di sebuah meja makan dan menatap Naruto memasak pan cake. Aku tersenyum ketika melihat ia sedikit kerepotan dengan adonan yang tumpah dan api kompor yang terlalu besar.

"Bisa aku bantu?" tanyaku namun dalam hati menyesalinya karena aku bahkan tak tahu bagaimana caranya memasak air yang baik. Naruto menoleh padaku dengan wajah sedikit belepotan adonan dan terlihat kusut, namun ia kembali tersenyum dan menggeleng. "Tidak perlu, aku ingin memasakkan sesuatu untukmu," katanya dengan nada hangat.

Aku sadar wajahku langsung memerah seketika, aku bersyukur ia kembali berkutat dengan adonan sehingga tak menyadari warna wajahku yang sudah menyaingi warna rambutku. Aku menggelengkan kepala sedikit dan berjalan ke arahnya. Naruto tampak memperhatikanku dan sudut matanya namun masih sibuk dengan adonan di tangannya.

Aku meraih selembar handuk kecil di dekat bak cuci piring yang biasa digunakan untuk melap tangan yang basah. Aku beralih pada Naruto dan menghapus noda adonan tepung di wajahnya. Aku berusaha menahan jantungku yang berdetak tak karuan saat padangan matanya seakan menembus kulitku, namun kucoba untuk tetap fokus dan menghapus noda di wajahnya.

Jantungku seakan berhenti saat ia menghentikan gerakan tanganku. Aku hampir ingin menepis tangannya ketika kusadari telapak tangannya begitu dingin seperti es. Kucoba untuk mengalihkan perhatianku dan menatap Naruto. Ia memandangku dengan lembut dan tersenyum.

"Aku bisa membersihkannya sendiri," katanya sambil mengambil handuk yang ada di tanganku. Aku hanya terpaku. Entahlah, aku tak tahu apakah yang kulakukan ini salah. Aku tak bisa berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Atau Naruto yang terkesan seperti menjaga jarak?

"Kau bertingkah seakan kamu ini istriku saja," celetuk Naruto dan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

Wajahku memerah seketika dan memukulinya pelan. Naruto hanya tertawa dan membelai rambutku, membuatku tenang seketika.

Aku menyukai saat-saat aku bersamanya seperti ini.

Aku.....untuk pertama kalinya, aku merasa sangat bahagia.

***

Gaara POV

"Gaara, kalau kau mau kau bisa tidur di sini," kata Naruto sambil mengunyah keripik kentang di sofa depan televisi. Aku terkejut dan tak sadar kalau aku tersandung kakiku sendiri. Aku jatuh terjerambab ke lantai dan hidungku membentur permukaan lantai sangat keras.

Aku merintih sedikit dan melirik Naruto yang sudah berpindah tempat ke sampingku. Ia tampak menahan tawa namun mencoba untuk membantuku. Aku menggembungkan pipi sedikit dan memukulnya pelan.

"Hanya begitu saja langsung jatuh," goda Naruto kembali duduk di sofa. Aku hanya bisa menahan marah sambil mencoba meredam warna wajahku yang kembali memerah. Malunya, aku jatuh dengan cara tidak etis seperti itu di depan Naruto.

"Kembali pada topik, kau bisa tidur di sini kalau kau tidak mau pulang," kata Naruto sambil tersenyum lembut padaku. Aku duduk di sampingnya, berusaha sekuat tenaga untuk menghiraukan detak jantungku yang begitu kencang.

"Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu," kataku. Aku meraih handuk yang melingkar di pundakku dan memakainya untuk mengeringkan rambutku yang masih basah. Ya, tadi aku baru saja mandi. Naruto memandangiku dan merebut handuk dari tanganku.

Aku sedikit terkejut namun lebih terkejut lagi ketika ia membantuku mengeringkan rambutku. Ia menggosokkan handuk perlahan pada rambutku yang masih meneteskan air. Aku hanya menunduk ke bawah, bertanya-tanya kenapa Naruto sangat perhatian padaku.

"Kau itu tidak merepotkan Gaara, aku malah senang kalau kau mau menginap di sini," katanya dan menarik handuk dari kepalaku setelah rambutku lumayan kering. "Tapi yah, kalau memang kau ingin pulang aku tidak akan memaksa," kata Naruto sambil tersenyum kecil dan meraih remote televisi dan mengganti saluran.

Aku hanya bisa menatap televisi dengan tatapan kosong. Pasti jam segini ayahku sudah pulang dan sedang mengamuk di rumah saat menemukan rumahku kosong. Ya, pasti Temari dan Kankurou juga pergi ke tempat lain untuk menghindari ayah. Kalau aku pulang ke rumah sekarang, pasti.....

"Aku takut pulang, tapi aku tidak ingin merepotkanmu," kataku membuat Naruto mengalihkan pandangannya padaku.

Naruto membelai rambutku seakan berusaha untuk menenangkanku. Aku tak bisa bilang aku tidak suka ia membelai rambutku, namun aku merasa ia memperlakukanku seperti anak kecil. Padahal aku dan Naruto hanya beda setahun, tidak seharusnya ia memperlakukanku seperti itu.....kan?

"Biarkan aku mengantarmu pulang," kata Naruto dan meraih tanganku. Aku terkejut namun Naruto menarikku keluar apartemen dan segera pergi menuju rumahku. Aku ingin mengatakan kalau ia tak perlu melakukan itu, aku tak ingin ayahku melihatnya, aku tak ingin ayahku ikut menyakitinya.

"Naruto!" pekikku berusaha menghentikannya. Ia tak melepaskan genggaman tangannya padaku namun justru menggenggam pergelangan tanganku lebih kuat. "Naruto, aku tak ingin ayah menyakitimu," pekikku hampir menangis. Aku tak akan bisa melakukan apa-apa bila ayahku sudah bertindak. Ia sangat kuat. Dan aku tahu tubuh Naruto terbilang lemah untuk ukuran usianya, sama sepertiku.

Ia berhenti menarikku dan menoleh menatapku. Aku melihat matanya sedih, namun juga terlihat kalau ia sangat khawatir dan juga kesal. Aku tertegun sejenak, menganggumi bagaimana cepatnya ia merubah suasana emosinya, baru beberapa menit yang lalu ia tertawa namun sekarang ia terlihat sedih.

"Aku tak akan apa-apa, aku bisa pulang sendiri," kataku berusaha meyakinkannya meski tahu aku tak bisa membohonginya. Naruto menatapaku cemas dan kemudian mendesah.

"Gaara, aku tak pernah memaksamu. Aku selalu membiarkan kau memilih semuanya, aku selalu mengatakan 'terserah padamu'. Tapi, sekarang, bisakah kau membiarkanku memutuskan untuk mengantarmu sampai depan rumahmu? Aku harap kau tidak menolak," kata Naruto menggenggam erat tanganku.

Aku yakin, bila aku sedang tidak berada di trotoar, bila aku sedang ada di suatu ruangan tertutup dimana orang-orang tak bisa melihatku, aku pasti sudah menangis. Aku sangat senang karena naruto sangat peduli padaku, sangat, sangat peduli padaku sampai rasanya aku tidak berhak untuk menerima semua perhatiannya.

"Aku tidak akan apa-apa Gaara, aku justru akan sedih bila ayahmu menyakitimu namun aku tak bisa berbuat apa-apa," jelas Naruto dan mengelus sedikit pipiku yang dengan segera memerah.

"Jadi, bisakah aku mengantarmu sampai depan rumahmu?" tanya Naruto menatapku dalam. Aku tak punya kekuatan untuk menolaknya. Jadi, aku hanya mengangguk pelan.

Naruto kembali menggandeng tanganku dan menarikku menuju rumahku. Sesekali aku merasa bodoh mengapa ia yang menuntunku padahal ia tak tahu rumahku dimana, sering kali aku harus mengingatkannya kalau ia salah jalan atau salah belok.

Namun, meski agak terhibur dengan kebodohan Naruto, aku tak bisa berhenti khawatir apa jadinya bila ayahku bertemu Naruto. Bila ia melihat aku bersama denganku, ia pasti tidak akan ragu untuk ikut melukai Naruto.

Langit sudah semakin gelap, namun badanku sudah keringat dingin sedari tadi.

Setelah berjalan selama beberapa menit, akhirnya aku dan Naruto sampai ke depan rumah dimana ayahku pasti sedang ada di dalamnya. Ya Tuhan! Semoga ayahku tak ada, semoga ia tak memperdulikan Naruto.

"Sudah, Naruto, sampai di sini saja," kataku cemas dan dengan berat hati menepis tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku. Ia tampak khawatir dan tidak rela untuk melepasku sekarang namun ia hanya diam dan tidak protes.

Aku memberinya senyum lemah dan membuka pintu pagar rumah yang sudah karatan dan tak jelas warnanya.

"Kau harus menemuiku besok," kata Naruto sedikit terdengar seperti memerintah.

"Ya," kataku sedikit terhibur.

"GAARA!"

Aku terpaku dan beralih melihat ayahku yang tengah berdiri di depan rumah. Wajahnya terlihat begitu marah dan rona wajahnya itu.....ya....aku tahu ia mabuk-mabukkan lagi. Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkan Naruto yang terlihat semakin cemas.

"Kemana saja kau! Anak brengsek, meninggalkan rumah tak terurus seperti ini!" tegur ayahku keras dan dengan kecepatan yang sudah tak membuatku terkejut lagi, ia menjambak rambutku dan menarikku paksa ke dalam rumah.

Ya, ayahku memang tak pernah peduli kalau ia menyiksaku di depan umum sekalipun, lagipula rumah kami berada di perumahan yang sangat sepi.

"Gaara!"

Mataku yang sedikit kabur karena rasa sakit sekejab menjadi jelas kembali saat menyadari kalau Naruto tengah menghampiriku. Ia terlihat sangat marah dan cemas. Ayahku menoleh padanya dan aku merasakan firasat yang sangat buruk.

Tidak! Ia akan menyakiti Naruto!

"Siapa kau!?" hardik ayahku namun aku mendorongnya. "Ayah, ayo masuk ke dalam rumah, tak usah perdulikan dia!" kataku panik namun ayah menendangku dan aku terpental jatuh ke tanah. Selama sekejab aku bisa merasakan kesadaranku menghilang dan ketika aku meraih kesadaranku kembali aku melihat Naruto dan ayahku tengah bergelut di atas tanah.

Aku berusaha berdiri meski tubuhku menjerit kesakitan. "Ayah! Hentikan!" kataku ingin menangis saat melihat ayahku ada di atas angin dan Naruto menjadi bulan-bulannan olehnya.

"Kau ingin melindunginya, hah!?" kata ayahku kepada Naruto dan memukul wajah Naruto keras hingga lebam.

"Aku tak akan membiarkan orang sepertimu menyakitinya!" teriak Naruto dan membalas dengan tendangan. Ayahku meringis sedikit namun ia meraih sabuknya yang besar. Wajahku memucat dan air mataku jatuh saat ia malayangkan kepala sabuknya ke kepala Naruto dan melihat Naruto jatuh ke tanah.

Aku berlari ke arah mereka, aku sangat takut, sangat khawatir, sangat marah, dan juga merasa tak ada harapan.

"Tidak! Ayah! Kumohon berhenti!" teriakku saat melihat ayah memukul dan menendang tubuh Naruto berkali-kali.

Ketika aku sudah mencapai jarak jangkau ayah, dengan cepat ia melayangkan sabuknya ke kepalaku. Aku merasakan rasa sakit yang luarbiasa, aku merasa kepalaku akan pecah dan rasa pusing serta sakit meledak di dalam kepalaku dan merambat ke seluruh tubuhku. Aku jatuh terduduk, tampaknya tubuhku sudah sedikit terbiasa dengan berbagai macam kekerasan sehingga sedikit bisa sedikit bertahan.

Ayahku membuang darah yang sedikit mengalir di mulutnya dan pergi ke depan pintu. Kepalaku berdarah dan pandanganku menjadi kabur. Aku menoleh menatap Naruto dan menyadari kalau Naruto tidak kehilangan kesadarannya. Ia memandangiku dengan mata berkaca-kaca serta wajah penuh darah dan lebam.

Aku merasa dadaku sangat sakit. Aku telah membiarkan ayahku melukai orang yang berharga bagiku namun aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku kembali menatap ayahku dan terpaku saat melihat di tangan ayahku sudah tergenggam sebuah palu besar.

"Kau, sudah membawa teman yang merepotkan kemari Gaara. Lihat aku sampai babak belur begini, kau harus menerima balasannya," kata ayahku dengan dingin yang tampak melupakan kalau kami sedang ada di pekarangan rumah. Namun sekarang sudan malam dan perumahan ini sangatlah sepi, tak akan ada bantuan yang datang.

Aku memejamkan mata saat ayahku mengayunkan palunya ke arahku namun setelah sejenak aku tak merasakan apa-apa. Kubuka mataku perlahan dan melihat Naruto tengah menjadikan dirinya tameng untuk melindungiku, ia ambruk ke tanah namun masih menghalangi ayahku untuk mendekatiku.

"Kau tidak boleh menyakiti Gaara lagi! Sudah cukup!" teriak Naruto namun ayahku menghantam tubuh bagian kiri Naruto sampai Naruto muntah darah. Naruto kembali terjerembab di tanah, sementara ayahku menatapku dengan dingin.

Ayahku melangkah mendekatiku namun kemudian gerakannya berhenti dan aku melihat Naruto menahan kaki ayahku dengan lengannya.

"Tidak....akan....kubiarkan," kata Naruto lemah dengan mulut penuh darah. Air mataku mengalir dan aku segera memaksa tubuhku untuk berdiri dan ingin menghentikan ayahku memukul Naruto. Namun, harapanku pudar saat tubuhku kembali jatuh ke tanah dan aku hanya bisa menangis saat mendengar Naruto meraung kesakitan.

Saat suasana tiba-tiba menjadi hening, aku sadar Naruto telah kehilangan kesadaran. Aku berusaha memandangnya untuk melihat keadaannya namun ayahku telah menghampiriku dan menjambak rambutku. Ia menarikku paksa ke dalam rumah. Aku melihat sekilas Naruto yang terbaring di tanah dengan kepala berlumuran darah.

Naruto!

Aku hanya menangis dan menangis sambil berdoa dalam hati agar ia baik-baik saja saat akhirnya ayahku menutup pintu rumahku.

***

Gaara POV

Aku memandang sosok yang ada di depanku dengan mata berkaca-kaca. Air mataku terus menerus jatuh tanpa henti menggambarkan hatiku yang dipenuhi penyesalan.

"Sudahlah, Gaara. Jangan menangis," katanya. Aku memandangnya dengan tatapan yang kabur. Mataku yang basah oleh air mata hanya bisa memandang pilu ke arahnya.

"Tapi...aku....," aku berusaha untuk bicara namun suaraku parau dan isak tangisku tak bisa berhenti. Aku sudah terbiasa dipukul dan disiksa oleh ayahku, namun mengapa ia harus ikut menyakiti orang yang paling kusayangi? Mengapa?

"Gaara," panggil orang itu pelan dan menghapus air mataku dengan tangannya. Ia menyentuh daguku dan memaksa wajahku untuk berhadapan dengannya. Aku melihat Naruto, orang yang paling kusayangi di dunia ini, dibalut banyak perban dan plester di wajah dan bagian lain tubuhnya.

Tangisku kembali pecah. Aku merasa sangat menyesal. Aku tak mampu berbuat apa-apa ketika ayahku menyakiti Naruto, aku hanya seperti pecundang yang hanya merundung di pojokan. Naruto sudah melakukan banyak hal untukku, ia membuatku menyadari betapa indahnya hidup ini, ia berlaku baik padaku, ia selalu tersenyum padaku. Naruto adalah segalanya bagiku, dan bagaimana aku membalas semua kebaikan itu? Aku membiarkan Naruto disiksa oleh ayah kandungku sendiri.

Air mataku terus mengalir. Hatiku sangat sakit melihat tubuhnya dihiasi dengan banyak luka. Aku sangat menyesal. Aku ingin menghilang. Aku ingin menggantikannya, aku akan menerima semua lukanya itu dengan senang hati.

Aku bisa merasakan tubuhku gemetaran karena tangisku semakin menjadi. Aku tak pernah menangis sebanyak ini ketika aku disiksa ayahku, namun aku tak bisa...aku....aku sangat menyesal. Aku sangat.....sangat terluka melihat Naruto seperti ini.

Dan semuanya adalah SALAHKU!

"Gaara, kumohon, berhentilah menangis.....aku merasa sedih melihatmu seperti ini," kata Naruto dengan nada tercekat. Aku berpaling padanya dan melihat butiran air mata sudah terkumpul di sudut matanya.

Aku berusaha menghentikan tangisku namun gagal.

Mataku perlahan terbuka saat tangan Naruto – yang entah kenapa terasa dingin – menyentuh pipiku dan ia menyentuhkan dahinya padaku. Ia berada sangat dekat, sampai aku bisa melihat bulu matanya yang mulai basah karena butiran ia mata. Napasnya sangat hangat dan terasa menyelubungiku.

"Baiklah, aku mengerti, kalau ingin menangis, maka menangislah," kata Naruto. Dadaku berdebar kencang, aku bertanya-tanya apakah orang yang akan berciuman selalu berada pada jarak yang begitu dekat, namun Naruto tidak menciumku. Ia hanya menyentuhkan dahinya padaku, rasanya seperti sedang berusaha berbagi perasaannya padaku.

Ia meraih tangan kananku dengan tangan kirinya dan mengelusnya perlahan. "Seandainya aku bisa, aku ingin berbagi semua perasaanku denganmu. Dan aku juga ingin kau membagi perasaanmu padaku," kata Naruto sambil menutup matanya. Aku pun perlahan memejamkan mataku. Berusaha menikmati kontak tubuh yang terasa dekat ini.

"Kau tahu? Aku tidak menyesal sudah melindungimu kemarin," kata Naruto. Aku masih memejamkan mataku namun aku merasakan ia menggenggam tanganku dengan erat. "Tidak, aku sedikit menyesal aku tak mampu melindungimu sepenuhnya. Laki-laki itu ada di sana menyakitimu namun aku tak mampu berbuat apa-apa," nada suara Naruto menjadi semakin kecil namun cukup keras untuk ku dengar. "Maafkan aku, Gaara," katanya.

Aku menggeleng pelan tanpa melepaskan kontak tubuh kami.

"Tidak,.....seharusnya....aku yang minta maaf," kataku berusaha untuk menahan tangis yang tampaknya akan kembali pecah. "Seharusnya....aku menginap....saja di rumahmu.....tapi.....tapi.....," aku tak sanggup melanjutkannya dan kembali menangis. Dan Naruto mengecup semua butiran air mataku yang jatuh dan membuka matanya. Ia tersenyum hangat meski matanya tampak pilu. "Setidaknya, aku merasa puas. Aku telah berusaha sebisaku untuk melindungimu, yah meski sebenarnya masih belum cukup sih. Tapi begini lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa," katanya.

"Lagipula, setelah seminggu beristirahat penuh rasanya aku sudah baikan kok," kata Naruto dan ia kembali membaringkan dirinya di kasur dengan membiarkan tubuhnya tertahan bantal agar tidak ambruk ke belakang.

"Bagaimana denganmu?" tanyanya dan melirik semua perban di tubuhku. "Aku sudah terbiasa," jawabku pelan.

Aku menundukk ke bawah, setengah bagian diriku sadar kalau hari mulai gelap dan bila aku tidak segera pulang ke rumah aku bisa berada dalam bahaya. Namun setengah bagian diriku yang lain tidak ingin meninggalkan Naruto sendiri di apartemennya. Ya, setelah dirawat 5 hari akhirnya ia diperbolehkan pulang.

Naruto tampaknya menyadari kegelisahanku karena ia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. "Pulanglah," katanya dengan nada tenang. "Aku memang kesal dengan ayahmu namun sebaiknya untuk sekarang jangan mencari gara-gara dengannya, pulanglah Gaara, aku tidak apa-apa," katanya berusaha meyakinkanku. Aku mengangguk pelan dan berdiri, hendak beranjak pergi.

Aku menatap Naruto dengan ragu, aku tak ingin meninggalkannya. Aku ingin berada di sisinya dan menebus atas semua yang telah terjadi padanya. Namun Naruto tersenyum padaku, meyakinkanku kalau aku tak perlu khawatir padanya.

Dengan langkah berat aku pun pergi dari apartemen Naruto dan berjalan pulang menuju rumah yang bagiku terasa seperti neraka.

***

Naruto POV

Aku menjatuhkan diriku ketika Gaara sudah pergi dari apartemenku. Aku sudah berusaha menahan sekuat tenaga rasa sakit yang menyrang dadaku ketika Gaara ada di sini. Namun, sekarang aku sudah tidak tahan lagi. Dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir membasahi tubuhku. Aku berusaha bangun dengan kepala yang terasa semakin pening. Dengan tergesa-gesa aku mencari obat yang tersimpan di laci samping tempat tidur. Napasku berat dan terengah-engah, dadaku rasanya setiap berdetak semakin menyakitkan. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari tempat tidur.

Aku membuka mataku, berusaha untuk tetap sadar dan menghiraukan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhku. Aku berusaha untuk bangun dan kembali mencari yang kucari.

"O...obat....ahk....," aku menundukkan kepalaku dan pencarianku berhenti. Dadaku terasa sangat sakit dan aku pun muntah darah.

Aku menatap lantai yang ternodai darah dengan mataku yang kabur. Hatiku terasa sangat sakit. Air mataku pun mengalir.

Ah....sampai kapan aku bisa hidup?

Dan, sampai kapan aku bisa bersama Gaara?

***

Gaara POV

Aku berjalan menutu apartemen Naruto. Senyum tipis terpulas di bibirku. Aku merasa senang dengan "rutinitas" ini. Setiap aku pulang sekolah aku akan pergi ke apartemen Naruto dan menghabiskan banyak waktu di sana. Bila Naruto belum pulang dari sekolahnya maka aku akan menunggu di depan apartemennya. Bila aku melakukan itu biasanya Naruto akan sedikit menegurku karena tidak tega membiarkanku menunggunya.

Tapi, meski begitu aku senang melakukan banyak hal yang berkaitan dengan Naruto. Aku memang masih menyesal dengan apa yang dilakukan ayahku terhadap Naruto namun Naruto kini sudah menjadi lebih baik. Aku pun sudah hapal kapan ayahku pulang dan bisa membuat ayahku tidak curiga.

Ya, ayahku akan marah bila ia tahu kalau aku masih sering bertemu Naruto. Bertemu Naruto membuatku bahagia dan ayahku tidak senang melihatku bahagia.

Aku menggeleng sedikit kepalaku. Berusaha mengusir pikiran aneh yang sudah seringkali menghinggapi kepalaku. Naruto bilang aku tidak perlu berpikir banyak akan hal yang bisa membuatku sedih dan merasa depresi. Ya, Naruto selalu bilang "tersenyumlah, siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi besok". Ya, memang Naruto selalu tersenyum, dan aku pun sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa untuk tersenyum meskipun masih malu-malu.

Aku sedikit terkejut ketika ada seseorang melewatiku dengan langkah cepat dari arah yang berlawanan. Ia mempunyai penampilan yang....uh....mempesona? Ya mempesona. Jelas kelaminnya ada laki-laki, rambutnya hitam kebiruan dan model belah tengah dan sedikit di sasak di belakang. Kulitnya juga putih dan badannya tinggi tegap. Matanya sangat jama dan hanya sekali lihat aku bisa tahu kalau ia kurang ramah.

Aku berhenti sejenak dan menatap kepergian orang itu. Aku bisa merasakan hawa panas dari orang itu yang menandakan kalau ia sangat marah. Aku sedikit bertanya-tanya namun aku memtuskan untuk menghiraukannya.

Akhirnya aku sampai ke depan pintu apartemen Naruto, namun aku sedikit heran melihat pintu depan sudah terbuka sedikit. Apa Naruto sudah pulang? Tidak biasanya ia tidak menutup pintu, pikirku dalam hati.

Aku pun membuka pintu perlahan dan mengintip ke dalam apartemen. Suasananya sepi karena memang Naruto tinggal sendiri. Aku pun melangkah masuk. Tepat saat aku ingin memanggil Naruto aku mendengar suara isak tangis. Suaranya sangat pelan dan juga sangat jarang. Siapa yang sedang menangis?

Aku pun melangkah jauh ke dalam, berusaha untuk tidak membuat suara agar tak ada siapapun yang kaget. Tepat saat aku memasuki ruang tengah yang terhubung langsung dengan dapur, aku terkejut melihat Naruto terduduk di sofa dengan wajah penuh air mata.

"Naruto!" tanpa pikir panjang aku langsung bergegas lari ke arahnya dan melempar diriku duduk di sampingnya. Ia tampak terkejut dengan kehadiranku dan berusaha menghapus air matanya namun sudah terlambat karena aku sudah melihatnya.

"Ada apa?" tanyaku merasa sedih dan menghapus air matanya. Naruto memandangku lama, sampai rasanya aku ingin masuk lubang karena malu sendiri, namun kemudian ia tersenyum pilu dan menggelengkan kepala.

"Aku tidak apa-apa," katanya yang kutahu adalah kebohongan. Jelas sesuatu terjadi pada Naruto sampai ia menangis seperti ini. Memang sih Naruto itu agak lumayan gampang tersentuh sehingga gampang menangis. Namun, ia tidak pernah menangis sampai separah ini. Aku memandang matanya yang sedikit merah dan bengkak karena banyaknya ia menangis.

"Ceritakanlah padaku," kataku. Aku ingin ia berbagi masalahnya denganku. Bukankah ia sudah seringkali membantuku? Aku juga ingin membantunya.

Naruto memandangiku dan kemudian mendesah. "Yah, tadi mantan pacarku ke sini," kata Naruto yang secara ajaib tampak sudah tenang. Suaranya tidak lagi serak namun aku masih bisa melihat kalau ia masih sedikit terguncang.

"Mantan pacar?" aku pun berpikir akan laki-laki yang tadi melewatiku? Uh? Apa ia mantan pacar Naruto?

"Namanya Sasuke," kata Naruto pahit, jelas nama itu sedikit memberikan kenangan tidak menyenangkan padanya. Aku mengangguk.

Sasuke? Laki-laki berarti. Mungkin yang berpapasan denganku tadi memang dia.

Huh? Laki-laki?

"Naruto, kau...uh....gay?" kataku secara bodohnya baru sadar. Naruto memandangku dengan pandangan sedikit terkejut. "Oh ya, aku lupa mengatakannya padamu. Aku sih tidak gay, lebih tepat dibilang bisexual," kata Naruto dengan nada enteng tanpa beban. Merasa terbodohi aku hanya mengangguk polos.

"Tadi ia ke sini, yah.....sudah lah. Aku tidak ingin mengingatnya," kata Naruto menyenderkan dirinya ke sofa. Ia tampak lelah. Mungkin yang bernama Sasuke itu benar-benar sudah membuat luka batin yang dalam pada Naruto.

"Kenapa kau putus dengannya?" tanyaku. Ah, aku memang tak suka mencampuri urusan orang, namun aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Aku langsung mengutuk diriku ketika aku melihat Naruto kembali muram. Tentu saja mereka putus bukan dengan alasan yang baik dan pasti meninggalkan luka hati yang sangat dalam.

Naruto mendesah berat namun dengan segera tersenyum padaku. "Aku putus dengannya karena akulah yang tidak pantas untuknya," kata Naruto. Aku tidak tahu apakah jawaban itu bohong atau benar, aku ingin bertanya lagi namun tidak ingin membuat Naruto kembali sedih.

"Mungkin, nanti aku bisa menceritakan alasannya padamu," kata Naruto. 'Mungkin'? Aku hanya mengangguk. Naruto mengatakan 'mungkin' karena ia sendiri tidak tahu apakah akan benar-benar menceritakannya padaku atau tidak.

"Gaara," panggilan Naruto membuatku tersadar dari lamunanku, aku menoleh padany dengan pandangan bertanya "ada apa?". Ia tersenyum namun terlihat sedih. "Boleh kupinkam bahumu?" tanyanya. Aku tahu saat itu juga wajahku memerah namun aku mengangguk. Perlahan, Naruto menyenderkan kepalanya dibahuku. Aku bersyukur tinggi tubuhku dan Naruto tidak terlalu berbeda jauh. Hanya selisih dua sentimeter. Namun memang sih tubuhku lebih kecil.

Aku melirik Naruto sedikit, takut bergerak karena takut mengganggunya. Naruto memejamkan matanya, sekilas terlihat seperti sedang tertidur namun aku tahu ia sedang mencoba menenangkan dirinya.

Aku akan melakukan apa saja agar Naruto bahagia. Aku tidak akan membuat ia menangis.

"Gaara?" panggilnya pelan, masih menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku menoleh padanya. "Ada apa?"

"Terima kasih karena sudah berada di sini," katanya.

"Aku tak melakukan apa-apa," benar, itu kenyataannya. Aku memang tidak melakukan apa-apa. Naruto bangun dan tersenyum padaku.

"Karena ada kamu aku bisa mengontrol diriku. Kalau tidak mungkin sekarang aku sedang memukul-mukul tembok sampai tanganku berdarah," kata Naruto sambil tertawa kecil.

Aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya. Tapi, apa benar aku memiliki pengaruh yang begitu besar pada Naruto?

***

Aku tersenyum melihat Naruto tertidur di pangkuanku. Aku baru tahu kalau Naruto itu terkadang bisa manja juga. Ketika aku sedang menonton TV ia tiba-tiba bilang ingin tidur di pangkuanku karena semalam ia tidak tidur nyenyak. Hanya dalam waktu beberapa detik Naruto sudah tertidur. Ia tampak tenang dan dadanya naik turun sesuai ritme.

Aku senang seperti ini. Aku bisa memandangi wajah Naruto lama-lama tanpa perlu khawatir takut ketahuan. Aku sangat mengaguminya, ia sangat menawan. Matanya biru, dan bentuk wajahnya pun tegas. Tanganku tanpa sadar menjelajahi wajah Naruto dan mengelus-elus dahinya. Naruto bergerak sedikit di pangkuanku, namun tampaknya ia senang aku mengelusnya. Jariku beralih pada poninya yang sedikit panjang dan bermain-main dengannya.

Mataku kembali meneliti wajahnya dan tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya. Aku menatap bibir Naruto dengan wajah merah dan jantung yang berdebar tak karuan, seakan apa yang aku lakukan ini adalah suatu kesalahan. Aku menyentuh bibir Naruto sedikit namun segera menarik kembali tanganku karena takut Naruto akan bangun.

Ya, ternyata Naruto memang terbangun. Ia mengerjap matanya sedikit dan kemudian menatapku dengan mata setengah terbuka.

"Apa aku membangunkanmu?" tanyaku agak menyesal saat Naruto bangun dan duduk di sebelahku. Aku ingin ia tidur di pangkuanku lebih lama.

"Haus," kata Naruto melenceng dari pertanyaanku. Aku butuh waktu lama sampai aku sadar apa maksudnya. Naruto tampaknya masih belum bangun sepenuhnya dan sekarang sedang meminta aku mengambilkan air untuknya. Memang sih, habis bangun tidur itu bawaannya memang haus.

Aku segera bangkit dan pergi menuju dapur. Aku mencari gelas yang biasa di pakai Naruto, aku tertawa kecil saat menyadari kalau aku bersikap seakan apartemen ini adalah rumahku sendiri. Aku segera menyingkirkan lamunanku ketika aku menemukan gelas Naruto di lemari tempat menyimpan berbagai gelas. Aku meraihnya sambil berjinjit karena Naruto menaruhnya di lemari paling atas.

"Dapat!" seruku ketika aku berhasil mengambil gelas namun aku kaget ketika aku menarik gelasnya ada yang jatuh dari lemari. Bukan gelas atau apapun karena jatuhnya saja tidak menimbulkan bunyi.

Aku menunduk dan menemukan sepotong kertas perak. Setelah kuteliti rupanya itu adalah sepotong bungkus obat yang sudah tak ada isinya. Aku melihat ada juga bekas tempat kapsul di lantai. 'Ini apa? Apa Naruto minum obat seperti ini?' tanyaku dalam hati.

Aku pun segera sadar kalau Naruto sedang menungguku uh.... maksudku menungguku mengambilkan air. Aku segera menuangkan air ke gelas dan kembali ke Naruto. Naruto masih mengucek-ucek matanya, seakan berusaha membawa dirinya kembali ke dunia nyata.

"Ini airnya," kataku sambil menyodorkan gelas. Naruto tersenyum padaku – masih dengan mata mengantuk dan sedikit belekan – dan mengambilnya lalu menengguk semuanya dalam satu tegukan.

"Naruto, kau minum obat ya? Apa kau sakit?" tanyaku masih penasaran dengan bungkus obat itu. Naruto memandangku dengan tatapan yang sedikit kaget namun dengan segera tenang kembali.

"Itu vitamin kok, supaya tidak gampang sakit," katanya. Aku punya firasat kalau ia berbohong namun aku tidak bertanya lebih jauh.

***

Naruto POV

Aku menatap langit yang berwarna orange keemasan. Dadaku terasa sakit ketika bertanya apakah aku masih bisa menatap langit ini besok. Tanganku meraih jendela dan tanganku yang lain meremas dadaku.

Sampai kapan aku bisa terus seperti ini?

Aku berjalan menuju sofa dan terkejut ketika dadaku kembali di serang rasa sakit. Tubuhku gemetaran dan hilang kesadaran seketika. Dengan kesadaran yang menipis aku menjatuhkan diriku ke sofa. Tanganku gemetaran mencari gelas dan obat yang tadi kuambil.

Aku membuka bungkus obat tergesa-gesa dan segera meminumnya bersama segelas air. Butuh waktu beberapa saat sampai efek obatnya bekerja. Saat kurasakan rasa sakitnya sedikit demi sedikit memudar, tubuhku perlahan kembali tenang dan aku menyandarkan diriku ke sofa.

"Gaara," gumamku pelan. Aku tak ingin memikirkan sampai kapan aku bisa bersamanya. Tak terasa setitik air mata jatuh dan membasahi sofaku. Aku tahu semua yang kuperbuat adalah kesalahan. Setelah membereskan masalahku dengan Sasuke kini aku terjerat Gaara. Aku terlibat dengannya terlalu dalam. Dan aku pun tak bisa mengontrol perasaanku yang semakin lama semakin kuat padanya.

Andai tubuhku tidak seperti ini, aku pasti tidak perlu ketakutan seperti ini. Aku tidak akan menghitung hari. Aku tidak akan merasa takut dan khawatir.

Aku takut dan khawatir apa yang akan terjadi dengan Gaara bila aku pergi.

Bila aku pergi.....


Itulah chapter pertama XD

Jelek ya? Ya sudahlah, berikan pendapat kalian lewat review ya :)