Harry Potter (c) JK. Rowling

Warning: Klise. Keju. Headcanon. Abal.


Romeo & Juliet

.
by Ratu Obeng (id: 1658345)

.

.

.


"Aku mencintaimu…."

"Harry, kurang keras!" gadis di belakangku mendesis, hampir tidak membuka mulutnya.

Mencoba paham, kuloloskan suara lebih kencang, "Aku… mencintaimu!"

"Harrrrry!" terdengar geraman brutal. Aku merasakan tatapan matanya yang tajam melewati punggungku.

"Hermione! Bagiku ini sudah cukup keras! Aku bukan Tarzan!" tampikku cepat sambil berdiri dan berbalik ke arah gadis berambut ikal yang kini cukup dekat dalam jangkau pandangku. Kusimpan kedua tangan di saku kemudian melotot, membalas tatapannya.

"—Kenapa kau tidak menyuruh Ron yang memerankan Romeo?"

"Karena aku tidak mau berciuman dengan kakak sendiri!" memotong perdebatan kami, Ginny bangun dari posisi tidur diiringi muka masam. Dia tampak sudah mulai kesal dan meninggikan suaranya, "Aku ingin melakukan adegan ciumannya denganmu, Harry, jadi jangan suruh Ron menggantikanmu!"

"Ginny, ini bukan masalah aku ingin menciummu atau tidak. Kenyataannya Romeo memang mencium Juliet, tapi ini cuma drama! Kita tidak akan sungguh-sungguh berciuman mengerti? Maksudku, kita hanya sedang berakting—"

"Cut! Cut! CUUUT!" Ron, kakak dari yang memerankan Juliet berteriak. Memukul-mukul naskah ke meja terdekat.

"Harry, aku yakin kalimat terakhir tidak ada dalam skenario. Kita sudah mengulang adegan ini hampir dua belas kali dan kau masih belum bisa juga? Kalau aku harus membuat naskah khusus untukmu, kasihan tanganku dong!" semua anak di ruangan terdiam. Kulihat Hermione menepuk dahi.

"Sorry, Ron…" ucapku tanpa berani melihat sekeliling karena yakin anak-anak Gryffindor sedang menjadikanku sorotan utama, menebak-nebak apa yang sedang mereka pikirkan tentangku. Seorang bocah-yang-bertahan-hidup tidak bisa berakting dalam sebuah drama? Sungguh menyedihkan, aku mengasihani diri sendiri, "Kurasa aku memang tidak cocok dengan peran utama. Kenapa kau tidak berusaha mencari penggantiku?"

"Kau ini bagaimana sih? Kami semua sudah sepakat memilihmu sebagai Romeo dan kau mau melepasnya begitu saja hanya karena tidak bisa bagian akhir dari skenario?" Ron memasang muka yang paling menyebalkan.

"...dari awal aku tidak setuju dengan cerita Romeo dan Juliet, kan? Bagaimana kalau Zorro? Aku lebih suka itu..."

"Apaan lagi, tuh?" Ron seketika berbinar. Masih terlihat kesal tapi tampak tertarik.

"Kupikir Romeo dan Juliet merupakan cerita muggle terbaik. Hermione bahkan memberikan bukunya padaku… sekarang Zorro? Bagaimana ceritanya?"

"Yah, dia seorang pengendara Kuda dan pemain pedang yang—"

"CUKUP!" bentak Hermione dan Ginny serempak.

"Latihan hari ini cukup! Aku mau kembali dulu ke kamar untuk mempersiapkan pelajaran berikutnya. Dan kau, Harry Potter! Romeo terburuk yang pernah kulihat! Perbaiki aktingmu!" Hermione menumpahkan buku-buku ke dalam tangannya lalu berjalan melewatiku keluar dari ruang rekreasi Gryffindor menuju kamar anak perempuan. Sementara

Sekarang semua anak di ruangan mulai berbisik sembunyi-sembunyi. Ron yang melihat hal itu menepuk-nepuk tangannya sambil berkeliling, "Terima kasih untuk hari ini!" pungkasnya.

Aku mendesah. Baiklah, aku memang tidak jago berakting. Lalu kenapa? Aku baru akan ingin mengucapkan kalimat pembelaan diri saat seseorang menepuk pundakku.

"Jangan dipikirkan, Harry. Kau hanya butuh latihan lagi. Nasibmu saja yang sedikit sial karena mendapat peran Romeo yang kebetulan memang kebanyakan dialog." katanya sambil tertawa kecil.

"Thank's, Seamus. Itu menghibur sekali..." dari nada suaraku, aku aku yakin dia pasti mengerti kalau saat ini humor apapun tidak akan berpengaruh untuk menghiburku.

"Kau sebaiknya bersiap. Ada pelajaran ramuan sebentar lagi!" imbuh Seamus sambil mengambil tas dari sofa dan kemudian pergi bersama Dean, sahabatnya, menuju pintu keluar. Anak-anak Gryffindor lain pun melakukan hal yang sama sampai akhirnya hanya tersisa Ron dan aku di dalam ruangan.

"Kita juga sebaiknya pergi." ajakku cepat. Melipat naskah dan melemparnya bersama buku-buku tebal lainnya ke dalam tas, "Aku tidak mau cari masalah dengan Snape."

"Kau tidak seperti biasanya, Harry. Apa aku harus mengganti Ginny? Mungkin keberadaannya yang membuatmu tidak bisa berakting dengan baik. Aku bisa menggantikannya dengan Hermione kalau kau mau." tawar Ron. Sekarang kami sedang berjalan bersama menuju kamar anak laki-laki.

"Oh, tidak! Bukan itu! Aku hanya merasa…gugup saja. Entah kenapa aku tidak bisa melakukannya dengan Ginny, dengan Hermione atau mungkin dengan setiap murid perempuan Gryffindor. Ada yang mengganjal pikiranku." otakku berpikir keras mencari kalimat supaya Ron tidak terlalu merasa bersalah, "Kau sutradara yang handal. Hanya saja aku aktor yang buruk."

"Mungkin kau mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu…"

"Entahlah… aku saja tidak mengerti, apa yang harus kuceritakan?" Ron hanya mengusap punggungku.

"Jangan biarkan hari ini membuat pelajaran Snape lebih tidak menyenangkan, Harry. Besok kau akan bermain bagus. Aku percaya padamu." ujar Ron sambil tersenyum. Penggunaan kata 'lebih' itu tampak jarang digunakan oleh Ron. Biasanya dia akan berkata 'sangat' atau semacamnya, dan aku tahu aku penyebabnya.

"Terima kasih atas semangatnya, Ron. Hari ini aku baru tahu kalau Snape bukanlah yang terburuk, aktingku mencatat rekor." aku mengedip pada Ron dan kami berdua tertawa dengan keras.

"Hei, suatu saat ceritakan padaku tentang Zorro, oke!?"


.

.


Pelajaran hari ini dengan Snape, guru ramuan yang paling menyebalkan berjalan sangat lancar. Dia pergi karena dipanggil ke ruangan kepala sekolah kami, Dumbledore, sebelum sempat memotong nilai apapun dari Gryffindor. Tapi sebelumnya dia sempat-sempatnya memberi PR dua perkamen, membuat Ron di sebelahku hanya mengomel sambil membereskan bukunya.

"Aku yakin naskah dramaku jauh lebih baik daripada perkamen-perkamen iniii…" ratapnya. Dan sebelum dia sempat mengomel lebih banyak, Hermione segera menyeretnya ke ruang makan. Aku minta ijin untuk bergabung dengan mereka setelah kubilang akan mengambil buku dulu yang tertinggal di perpustakaan.

Tentu saja semua itu cuma bohong. Diam-diam aku masuk ke kamar mandi anak laki-laki sambil membawa naskah—berharap bisa memperbaiki aktingku sedikit sebelum mempermalukan diriku di depan teman-teman saat tampil besok.

Ada apa denganku sih? Aku berpikir keras.

Sekarang aku berdiri di hadapan wastafel dengan naskah yang baru kukeluarkan dari tas, menatap diri sendiri di cermin. Aku juga tidak habis pikir, kenapa kami tidak membentuk paduan suara atau pertunjukkan ramuan saja untuk pentas seni antar asrama minggu depan, walau aku tahu Hermione (Yang sebetulnya malas mengakui) tidak bosan-bosannya mengatakan bahwa suara anak-anak Slytherin lebih bisa didengar daripada suaraku atau Ron.

Dan pertunjukan Ramuan? Snape akan dengan senang hati memotong semua nilai asrama kami jika melakukan kesalahan di hadapan Dumbledore. Padahal bagiku itu merupakan cara yang tepat untuk membuat Snape tidak mengajar kami lagi untuk selamanya. Kalau begini apa bedanya dengan kegiatan seni setiap tahun di sekolah muggle?

"Ujian tampak lebih baik" gumamku.

"Aku tidak tahu kau serajin itu, Potter." ada kejut imajiner ketika melihat pemilik suara yang sudah sangat kukenal itu sedang berdiri di toilet paling ujung.

Draco Malfoy, anak Slytherin berkulit pucat dan berambut pirang berdiri di ujung ruangan kamar mandi sambil menatapku sinis dengan matanya yang berwarna abu-abu cerah. Bagiku dia tampak selalu manis, asal tidak menggangguku saja. Tunggu! Apa yang baru saja kupikirkan? Draco Manis? Dadaku berdebar makin kencang.

Terlalu lama bersama dengannya akan membuatku Bad Mood seharian entah karena senang atau kesal. Karena jujur saja, pertemuan kami selalu dibumbui pertengkaran hebat. Bagiku tanpa bertengkar dengan Malfoy pun, hari ini sudah cukup buruk. Jadi aku ambil inisiatif mengalah saja. Kuputuskan untuk mengambil naskah lalu pergi sebelum menderita sakit perut akut.

"Sini kulihat apa yang ada di tanganmu!" sekejap dia sudah menyambar naskah ditanganku. Tampaknya aku terlalu lengah hingga tidak menyadari Malfoy mendekat.

"Kembalikan!" aku berteriak. Tapi dia membalikkan badan seraya menjauhkan tangannya yang memegang naskah. Kini kami seperti pemain basket yang berebut bola di lapangan. Dia mulai membaca halaman pertama.

"Romeo dan Juliet? Ini judul?" tanyanya heran.

"Demi jenggot Merlin, Mafoy! Kembalikan naskahku!" aku mulai ngotot, tapi tidak bisa meraihnya. Apa boleh buat, dia sedikit lebih tinggi dariku.

"Apa ini? Cerita muggle? Jangan-jangan untuk pentas seni minggu depan Gryffindor akan bermain drama?"

"Kembalikan, Malfoy atau…" kucabut cekatan tongkat dari balik jubah, "Accio, Naskah…"

"Wingardium Leviosa!" si brengsek ini beberapa detik lebih cepat dan berhasil melempar tongkatku ke udara.

"Sabar, Potter! Aku belum selesai." dia tersenyum sinis lalu berbalik untuk kembali membaca naskahku.

"Malfoy… halo! Aku tidak punya banyak waktu. Bisa kau kembalikan naskahku sekarang?"

Tidak ada jawaban. Dia malah berjalan menjauhiku hingga aku bisa melihat tengkuknya yang jenjang selama dia menunduk dan berkonsentrasi pada bacaan di tangannya.

"Ayolah Malfoy… kali ini aku minta tolong!" tapi Malfoy tetap tidak menjawab. Aku mendesah panjang, melihat tongkatku masih melayang di udara.

"Accio, tongkat." seruku pelan. Dan walau tongkat itu sudah mendarat di tanganku dengan mulus, aku sudah tidak berselera menggunakannya lagi.

"Sudah, Malfoy? Kalau kau tidak cepat membacanya, aku akan ketinggalan jam makan siangku." tongkat tadi kumasukkan ke dalam jubah sementara aku menyandarkan punggung ke dinding, memandang Malfoy yang kakinya mulai berbalik pelan ke arahku dengan mata yang masih berkonsentrasi membaca. Baru kali ini aku melihatnya begitu serius.

"Cerita apa ini? Kenapa kedua keluarga itu begitu bodoh? Apa mereka tidak pernah berpikir bahwa mereka sangat-sangat bodoh? Aku bukan penggemar happy ending, tapi ini keterlaluan!" dia melihat sebal padaku seolah-olah aku yang telah membuat naskah itu.

"Aku tidak tahu muggle senang membuat cerita yang mengerikan." tambahnya lagi. Aku membelalakkan mata. Kaget. Seingatku jika kami bertemu, belum pernah kami tidak bertengkar. Tapi kali ini dia bicara panjang lebar? Malfoy masih memandang sebal padaku, meminta jawaban. Dadaku berdebar lagi.

"Mana kutahu kalau kau bertanya begitu…" aku mengangkat bahu, Mencoba mencari kata-kata yang tepat, "Tapi walau tidak diceritakan, mungkin akhirnya kedua keluarga itu sadar dan menyesal ketika anak mereka meninggal." aku mengarang cerita.

"Hmm…" gumamnya sambil mengerutkan alis. Kemudian kembali membaca naskah di tangannya. Aku ingin tertawa. Seorang Draco Malfoy bisa berpikir keras hanya karena sebuah naskah muggle? Mungkin aku bisa minta pendapatnya kalau kuberi naskah Zorro.

"Dan… kenapa bagian ini dicoret-coret…?" Malfoy menunjuk ke bagian bawah naskah. Sekarang dia tepat di depanku. Jarak kami tidak sampai satu meter. Aku mendekatkan wajahku pada helai yang dipegangnya.

"Oh, adegan di bagian itu bukan sesuatu yang bisa langsung kukuasai." bagiku, lebih baik dia tertawa sekarang daripada nanti ketika aku berada di panggung, "Tertawa saja, malfoy! Aku sudah siap. Dari tadi kau mengincar kesempatan itu kan?"

"Nanti, Potter!" semburnya, "Memangnya kau berperan sebagai apa sih?"

"Yang pasti cowok!" semprotku sinis.

"Ok… si Romeo…" Malfoy membalas disertai dengan senyum angkuhnya.

"Apa si mudblood itu yang menjadi pasanganmu?" tangannya masih membolak-balik naskah.

"Namanya Hermione! Jangan mengejek temanku, Malfoy! Dan yang jadi Juliet bukan dia, tapi Ginny."

"Aww… si Weasellete?" ujarnya dengan nada menghina.

"Kubilang jangan mengejek temanku! Lagipula kau kenapa ikut campur sekali sih? Memangnya kau sendiri ngapain disini? Jangan bilang kau membuat ramuan berbahaya dan merencanakan sesuatu yang jahat." kemudian sesuatu terlintas, "Atau... kau sudah mulai merokok?" tuduhku.

"Tidak mungkin, bodoh! Teman-temanku akan membuatku tidak bisa ikut Quidditch selama sebulan kalau aku merusak suaraku sebelum pentas seni minggu depan." bentaknya kesal.

Tiba-tiba aku mengerti, "Oh, yeah. Aku lupa. Kau solis paduan suara Slytherin, kan? Hermione yang cerita... katanya suaramu bagus."

"Si mudblood bilang begitu? Besok pasti ada badai…" kali ini aku tidak menanggapi karena mungkin yang dikatakannya benar. Mana pernah sih kami memuji-muji Slytherin kalau tidak ada kejadian luar biasa?

Dalam menit-menit berikutnya aku masih menatapnya. Kulihat dia mengambil beberapa langkah ke belakang, merentangkan tangannya dan berlutut. Aku mulai mengerutkan alis. Sekarang apa lagi maunya?

"Mengapa engkau harus mati Juliet? Kenapa kau melakukan hal ini?" lirih namun lantang. Malfoy berucap dengan tangan memegang dadanya erat. Ekspresinya bagus sekali. Aku yakin orang lain tidak akan pernah tahu bahwa dia belum pernah tahu cerita Romeo dan Juliet sebelumnya. Aku hanya bengong melihat malfoy yang masih berakting di depanku.

"Aku mencintaimu…" terhenyak sejenak, menyangka kata-kata itu benar-benar ditujukan padaku. Untung Malfoy tetap berkonsentrasi pada perannya dan tidak melihatku yang salah tingkah. "…Juliet." ucapnya menutup dialog. Malfoy menghujamkan tongkat ke dadanya seakan-akan ada pisau di sana kemudian terjatuh pelan. Tanpa sadar aku bertepuk tangan, tapi langsung kuhentikan ketika dia berdiri dan tersenyum puas.

"Hanya seperti ini dan kau selalu gagal, eh? Kau memang menyedihkan, Potter!"

"Itu kataku pada diri sendiri berkali-kali beberapa saat yang lalu. Lagipula aku tidak tahu kau jago berakting Malfoy… tadi itu boleh juga." jujurku sambil merebut naskah dari tangannya dengan kasar dan memasukkannya ke dalam jubah.

"Aku tidak akan mengucapkan terima kasih."

"Tidak usah. Karena sepertinya besok Ron bisa menggantikanku menjadi Romeo. Dan untuk kesekian kalinya, aku memang menyedihkan—"

"—untuk hal ini!" tambahku lagi lalu memalingkan mukaku darinya, melangkahkan kaki cepat menuju pintu keluar.

"Dasar darah tinggi. Mau kubantu?" kata-kata dari Malfoy membuatku berhenti dan berbalik, menatapnya sekali lagi dengan tidak percaya. Untuk mendramatisir aku sampai menaruh tangan kiriku di telinga.

"Maaf? Mungkin aku salah dengar? Kau tadi bilang mau membantuku?" lalu senyap selama beberapa saat. Tapi melihat tatapan matanya, aku tahu dia serius.

"well..."

"Wow! Kejutan, Malfoy! Ada apa denganmu hari ini? Kalau kuingat, dari tadi kau belum mengejekku sama sekali dan kau baru saja menawarkan bantuan!" bibirku mengembangkan senyum paling aneh lalu kembali mendekatinya. Dia melepaskan pandangannya dariku. Menggesek-gesek ujung sepatunya di lantai dan memasukkan kedua tangannya ke dalam jubah.

"Jangan salah paham, Potter! Kalau kau tidak berakting dengan baik, kami mana bisa mengerti? Itu kan cerita muggle, darah-murni mana pernah dengar! Kalau soal mengejekmu, itu bagian lain." Malfoy mengangkat dagu, menyeringai, "Lagipula ceritanya seru…."

"Oh…" hati kecilku masih menolak percaya, "Bisa membantuku dialog terakhir saja? Aku yakin aktingku di bagian lain cukup bagus." ujarku membela diri.

"Terserah kau, Romeo" ketusnya, "Berikan naskahnya! Aku tidak tahu dialog si Weasel—"

"Juliet!"

"Yeah… Juliet!" dia memutar manik birunya dan membaca halaman terakhir naskah sekali lagi sebelum mengambil posisi tidur di lantai kamar mandi yang dingin. Aku jadi bingung bercampur kaget, tapi akhirnya aku mulai berlutut untuk kemudian menarik nafas panjang. Memutar ulang rekaman dialog yang mati-matian kuhafal beberapa minggu ini. Mencoba mengendalikan diri dengan kehadiran Malfoy yang terbaring di hadapanku. 'Dia sangat indah' pikirku. Sebelum aku sempat berpikir macam-macam, dia membuka matanya.

"Ini!" potong Malfoy cepat. Menyodorkan naskah ke hadapanku.

"Tidak perlu, aku sudah hafal."

"Sudah hafal?" omelnya sambil mengubah posisinya yang berbaring menjadi setengah duduk, "Kau tadi bilang selalu gagal tapi baru saja kau bilang sudah hafal? Jangan main-main denganku Potter!" Dia menatapku dengan marah. Aku membalas tatapannya.

"Ini tidak ada hubungannya dengan dialog, Malfoy! Masalahnya di aktingku. Aku… gugup. Ini pertama kalinya aku bersikap romantis dan…" aku menjelaskan setengah-setengah.

"Dan…?" desak Malfoy penasaran, mencoba mendekatkan telinganya padaku. Kami belum pernah sedekat ini. Aku bisa melihat bulu matanya yang panjang dan halus. Jantungku serasa mencair.

"Aku… belum pernah berciuman sebelumnya…" pasti wajahku merah sekali. Kenapa harus Malfoy yang tahu? Siapa saja asal bukan diaaa!, jeritku dalam hati.

"HAHAHAHAHA! Itu lebih menyedihkan lagi, Potter!" sudah kuduga bicara jujur padanya menjadi sebuah kesalahan besar. Aku pasrah melihatnya masih asik tergelak.

"Sudah selesai, Malfoy? Lanjutkan saja ketawanya nanti di kamarmu." perintahku kesal.

"Ok, ok… hahaha…" katanya menyeringai sambil menyeka air di sudut matanya. "Aku juga tidak mau ketinggalan makan siang, jadi cepatlah! Lewatkan bagian yang tidak perlu, karena aku bukan Juliet asli."

Aku mengambil naskah dari tangan Malfoy dan meletakkan di sebelah kakiku. "Juliet tidak tidur sambil memegang naskah." tersenyum, aku meletakkan kedua tangan Malfoy di atas dadanya. Awalnya dia terkejut tapi kemudian kembali rileks. Kulihat mukanya memerah.

"Tutup matamu, kita mulai..."

"Tidak!" bantah cepat. Melihat tajam ke arahku.

"Apa lagi?" aku mulai emosi.

"Kalau aku menutup mata, aku tidak bisa melihat seberapa jelek aktingmu." ujarnya.

"Ok, William Shakespeare wanna be. Terserah kau!" aku mendesah dan kembali mengambil posisi.

"Siapa itu William?" kuabaikan, aku segera berkonsentrasi.

"Aku mulai!"

"Apa yang terjadi, Juliet! Kenapa kau melakukan hal ini?" suaraku mencoba terdengar panik seperti ketika Snape memotong lima puluh angka dari Gryffindor. Kemudian aku mengeluarkan tongkatku sebagai pengganti pisau seperti yang dilakukan Malfoy saat berakting tadi. Idenya boleh juga.

Aku heran kenapa dari tadi dadaku terus berdebar-debar, padahal bersama Ginny tidak sesulit ini. Aku bahkan bisa menguasai diri dengan baik walau selalu gagal untuk menciumnya. Tapi bersama Malfoy berbeda. Tiba-tiba suaraku berhenti. Semua dialog menghilang dari kepalaku. Malfoy tampaknya sadar aku cuma menatapnya.

"Kenapa? Tidak hafal? Jangan ngotot! Baca saja naskahnya!" Aku mengabaikannya. Seketika tanganku merengkuh pundaknya. Wajah kami sangat dekat sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang lembut.

"Potter…?" dia menatapku heran. Kurasakan tangan Malfoy memegang jubahku.

"Demi darahku yang juga darahmu dan tubuhku yang juga tubuhmu, aku bersedia menyusulmu kemanapun kau pergi." ujarku setengah berbisik. Mataku terfokus pada bibir Malfoy. Membuatku tidak bisa menahan diri.

Aku menciumnya.

Kurasakan hangat bibirnya mengalir ke dalam diriku. Herannya, Malfoy tidak memberontak. Mungkin aku mencengkeramnya terlalu keras, tapi aku tidak peduli. Tanpa sadar aku memaksa Malfoy membuka mulutnya dan memasukkan lidahku. Dia tersentak kaget, tapi pegangan tanganku cukup kuat sehingga dia tidak bisa melepaskan diri. Kurasakan lidah kami beradu. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami melakukannya sampai Malfoy mendesah.

"Pott…er, aku… sulit bernafas…" aku tersadar dan melepaskan bibirku. Sisa saliva masih menghubungkan bibir kami dan aku berani bertaruh dia langsung mengusapnya dengan jijik. Aku langsung berdiri seraya mundur beberapa langkah. Otakku langsung berputar untuk mencari penjelasan. Tapi aku bingung untuk karena aku sendiri juga tidak menyangka akan apa yang sudah kulakukan.

"Malfoy… Oh, God! Apa yang… maafkan aku!" Kulihat Malfoy terduduk. Menyembunyikan wajahnya dengan poninya yang panjang sambil memegang bibirnya. Aku semakin takut dan mengalihkan pandangan ke sekeliling. Berusaha mencari alasan yang tidak terdengar bodoh.

"Berani juga kau, Potter!" sinisnya seraya menatap tajam ke arahku.

"Sekali lagi aku minta maaf." aku tertunduk lemas. "Kau boleh memukulku kalau mau."

"Aku yang menawarkan bantuan. Jadi ini sudah resikoku…" matanya masih menghindariku.

"Malfoy?" aku mengerutkan dahi. Apa hari ini telingaku bermasalah? Sekarang Malfoy memaafkan aku? Tapi aku sudah tidak berani bertanya lagi. Aku mendekatinya yang masih terduduk.

"Aktingmu bagus. Kau terlalu membesar-besarkan tentang betapa buruknya aktingmu." Malfoy mendahuluiku bicara. Wajahnya kembali tertutup poni sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"Kau yakin tidak pernah mencium seseorang sebelumnya?"

"Belum." ini jujur, "Kau yang pertama." aku bisa melihat dia perlahan mengangkat wajahnya dan melihatku.

"Aku tadi tidak bisa menahan diri, Malfoy. Aku benar-benar minta maaf! Tapi sekarang aku tahu kenapa aku tidak bisa mencium Ginny, atau gadis manapun di dunia ini."

"Kenapa?" dia bertanya heran. Kami tidak melepaskan pandangan selama beberapa saat. Sampai aku menarik nafas panjang dan membuka mulutku.

"Karena mungkin… aku menyukaimu... tidak, aku mencintaimu!"

senyap sesaat. Dia tampak mencerna kata-kataku sebelum akhirnya mendorongku kasar.

"INI GILA POTTER! TIDAK MUNGKIN!" kemudian dia menarik kerah jubahku dan menarikku dengan kasar, berteriak, "KAU-TIDAK-MUNGKIN-MENCINTAIKU!"

"Kenapa tidak?" tanyaku heran. "Aku tidak berharap kau membalasnya. Aku hanya ingin kau tahu." aku menelan ludah. Kata-kata yang sudah kuucap tidak mungkin kutarik kembali. Kulihat Malfoy yang bingung masih menatapku. Dia hanya bisa membuka mulutnya tanpa bisa berkata-kata.

"Aku bisa bersungguh-sungguh dalam peran ini karena kau, Malfoy. Aku senang aku mengetahui perasaanku dan menemukan jawabannya. Tapi aku tidak berhak memaksamu. Jadi selanjutnya adalah keputusanmu…" pasrahku.

"Kau senang karena hanya kau yang sudah tahu apa yang selama ini mengganjalmu, Potter? Kau egois!" bentaknya. Aku kaget. Malfoy mengendurkan pegangannya tapi tidak bergerak.

"Harusnya aku sudah tahu…" bisiknya sambil menunduk.

"Apanya?" gantian, aku yang heran.

Malfoy menyodorkan tongkatku dan kembali berbaring. "Aku bukan orang yang melakukan pekerjaan setengah-setengah. Latihan kita belum selesai! Lanjutkan dan tanya pada dirimu sendiri, apa aku Juliet yang kau cari atau bukan!" aku diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ketika dia menutup matanya, aku mulai berdialog.

"Dengan pisau ini aku akan menyusulmu…" aku menghujam dadaku pelan dan terbaring di atas Malfoy.

"Aku mencintaimu Juliet…"

Kurasakan Malfoy mulai terduduk. Membuatku berputar dan tergeletak di sampingnya. Aku tetap menutup mataku. Semua hal yang mengganjal dalam hatiku selama ini sudah kuutarakan. Aku sangat puas. Aku bahkan sudah tidak merasakan hawa dingin lantai kamar mandi yang menusuk punggungku. Mulut Malfoy yang mengucapkan dialog Juliet bahkan terdengat sayup di telingaku. Setelah beberapa saat aku merasakan sentuhan lembut kembali menyentuh bibirku.

"Aku mencintaimu…" bisiknya pelan. Aku kaget dan membuka mataku. Mendapati Malfoy yang sekarang hanya beberapa senti dari wajahku. Dia mengangkat salah satu alisnya.

"Bukannya Romeo tidak pernah membuka matanya lagi untuk selamanya, Potter? Atau cinta Juliet terlalu kuat sampai bisa membangunkannya dari kematian?" tanyanya heran tapi tanpa menjauhkan wajahnya dariku.

"Bagaimana kalau kubilang Romeo berhasil mengalahkan raja alam baka untuk kembali melihat wajah orang yang dicintainya?" bibirku menyeringai, masih menatap Malfoy yang berada di atasku. Dadaku hampir meledak karena tidak percaya Malfoy membalas perasaanku. Aku menggenggam tangan kirinya. Merasakan jari-jarinya yang lembut.

"Lain kali karang cerita yang lebih baik, Potter! Karena aku yakin Romeo tidak sehebat itu…" Malfoy memberikan senyuman paling manis yang belum pernah kulihat. Kemudian dia mengulurkan tangan untuk membantuku duduk.

"Aku harap kau tidak keberatan melewatkan makan siangmu hari ini karena banyak yang harus kau jelaskan!"

"Baiklah…" bisikku. "Lagipula aku sudah tidak lapar…"

"Kau sendiri? Apa maksudmu dengan 'harusnya aku sudah tahu'?" tanyaku penasaran. Kulihat wajahnya memerah dan menjadi salah tingkah. Dari sikapnya aku mengerti kalau dia sempat mengalami masalah yang sama denganku. Aku mengacak-acak rambutnya dengan gemas sambil tertawa, membuat mukanya semakin merah.

"Kurasa aku harus berterima kasih pada William-mu itu. Certa muggle dia yang menyatukan kita kan?" ujarnya. Aku tertawa geli sambil melihat Malfoy lagi.

"Yah... kurasa begitu." lenganku merengkuh tengkuknya. Mendekatkan wajahnya padaku untuk kembali memberinya sebuah ciuman yang dalam.


.

.


Di belakang layar, aku mengganti kostum sembari mendengar lantunan merdu paduan suara Slytherin. Aku bisa mendengar siulan dan tepuk tangan yang keras ketika Malfoy bernyanyi solo. Kalau boleh aku ingin mendengarnya sebentar lagi, tapi Ron sudah berteriak-teriak dan menyuruh kami agar bersiap di posisi masing-masing.

Setelah Dumbledore menyerukan nama asrama Gryffindor, kami melesak menuju panggung.

Semua akan baik-baik saja, pikirku mencoba menenangkan diri.

"Kau yakin ini akan berhasil, Ron?" telingaku masih mendengar bisik-bisik cemas Hermione pada Ron yang sedang sibuk mengunyah kue keju di sampingnya. Mereka sudah menyelesaikan peran dan kini berada di belakang layar.

"...sampai latihan terakhir dia tidak mau mencium Ginny." terdengar Hermione lagi.

"Hey! Kenapa Harry harus benar-benar menciumnya kalau dia tidak mau? Kita doakan saja pementasan kita sukses, kenapa sih harus terus membahas hal itu?" aku menyulam seringai saat mendengar sahabtku mau mengerti, "Dan sekarang sudah giliran Harry, jadi diamlah!"

Aku merasa seisi ruangan sangat hening dan semua mata tertuju padaku ketika kakiku melangkah memenuhi panggung. Segalanya tampak berjalan lancar hingga pada banghujung epilog. Aku menarik nafas panjang, mencoba mengingat latihan yang kulakukan dengan Malfoy minggu lalu. Jantungku mendadak berdebar sehingga pecah konsentrasi ketika Ginny sudah terbaring di hadapanku. Kedua lutut kuhujam ke lantai sembari tersenyum.

"Aku akan menyusulmu kemanapun kau pergi..." bersamaan dengan dialog tadi, aku mendekatkan wajahku pada Ginny. Kulihat anak-anak perempuan lain mulai ribut dan memandang kesal ke arah kami. Beberapa malah melemparkan pandangannya ke arah lain.

"—tapi aku tidak bisa menciummu Ginny, karena sudah ada seseorang yang kusuka dan dia sedang melihatku." bisikku dengan hati-hati sehingga hanya kami berdua yang bisa mendengarnya. Aku meneliti sekeliling mencari keberadaan Malfoy yang langsung kutemukan di barisan depan meja Slytherin. Kukedipkan mata nakal padanya hingga membuatnya kaget setengah mati.

Setelah itu bibirku menyentuh pipi Ginny, "Aku mencintaimu Juliet."

"AKU TIDAK!" jerit Ginny seraya bangun tiba-tiba. Air mata sudah meleleh deras di pipinya, "AKU BENCI KAMU!"

Kemudian dia berlari menuju belakang panggung dan menghilang. Kejadian itu memancing gelak tawa satu aula, termasuk para guru. Aku langsung merasa tidak enak pada Ginny, tapi yang bisa kulakukan adalah melemparkan pandangan jauh ke arah Malfoy dan berkedip padanya sekali lagi sementara dia membalas dengan senyum khawatir—berharap tidak ada yang menyadari kontak mata antara kami. Kulihat Hemione sedang sibuk memberi tanda pada anak-anak lain untuk menurunkan layar, aku sendiri masih mendapat tepuk tangan riuh dari murid-murid yang merasa senang dengan kacaunya drama kami.

Setelah layar ditutup, aku bermaksud mendatangi Ron yang tertunduk lesu dibalik panggung sebelum terhenti karena Hermione melihatku dengan mata menyala seperti kucing yang siap menerkam mangsa.

"Lihat apa yang sudah kau lakukan, Harry Potter!" pekik Hermione berang.

"Aku tidak menyangka bakal kacau seperti ini. Sorry…" kepalaku tertunduk menyesal.

"Jangan minta maaf padaku!" dari nada suaranya aku dapat menebak Hermione sudah ingin meledak. Tanpa diminta, aku mendekati Ron yang sedari tadi memunggungi para pemain.

"Maaf Ron." kataku tidak merasa bersalah.

"—ternyata Zorro memang lebih baik." dan kurasakan sakit yang luar biasa saat sepatu Hermione menginjak kakiku dengan keras.


END