To my readers: I LOVE YOU ALL! Walaupun Author gak berperasaan dan pemalas ini jarang update, kalian masih tetep sempat-sempatnya ngereview dan membuat Mika-chan bahagia...

AKU JANJI GAK BAKALAN LELET LAGI!

Jawaban pada Reviewer yang ga punya account:

marianne vessalius : Sorry kalo chapter yang kemaren jadi ga nyambung sama chapter yang sebelumnya! Tapi di chapter besok pasti aku kasih Rukia, deh!

qie-chan : Maap... Gomenasai, gomenasai, udah lama gak update!

CaptainxVice Captain

Chapter 5

Broken Heart

Inoue Orihime duduk di sofa rumahnya dengan kedua tangan memeluk bantal. Rambutnya berantakan. Bekas-bekas air mata menodai wajahnya, ditambah dengan beberapa tetes yang masih terus mengalir dengan bandel dari sudut mata ke dagunya. Matanya merah dan sembap, pertanda dia telah menangis selama berjam-jam. Terus-menerus dipandanginya foto seorang pemuda di samping foto dirinya sendiri.

Wajah cemberut pemuda itu menatap lurus ke arahnya dengan mata cokelat indah.

Orihime tersedu dan menangis lebih keras. Diambilnya sehelai tisu dari salah satu kotak tisu di sebelahnya, siap dicampakkan ke lantai bersama berhelai-helai tisu lain yang telah singgah selama tiga jam.

Dia sendirian di apartemen itu. Rangiku-san dan yang lainnya tidak bisa datang karena tugas-tugas mereka yang sudah menumpuk. Dia sendirian bersama perabotan yang sudah tua. Dia sendirian di apartemennya yang kecil dan dingin tanpa seorang pun di sisinya untuk menolongnya.

Temannya saat ini hanyalah boneka beruang pemberian Sora dan foto Kurosaki-kun.

Hari itu benar-benar melelahkan bagi Orihime. Dia sudah tidak tahu lagi berapa banyak air mata yang telah dia keluarkan. Mungkin setengah atau satu liter, dia tidak tahu. Yang jelas, dia butuh minuman sekarang. Air putih. Dan yang banyak.

Maka Orihime pergi ke dapur dan menuangkan segelas air putih untuk dirinya sendiri. Dia duduk di kursi di depan meja makan dengan gelas kaca berisi air jernih di tangannya. Rambutnya sudah disisir rapi dan matanya sudah tidak semerah sejam yang lalu. Tapi ekspresi wajahnya lebih kusut dari kapanpun.

Berlatih mengucapkan "Kurosaki-kun, kita putus," sambil menatap foto Kurosaki-kun benar-benar susah. Orihime terus-menerus teringat berbagai hal. Saat-saat ketika Kurosaki-kun menyelamatkannya, bagaimana kerutan di dahi Kurosaki-kun berkurang saat dia tersenyum, betapa tampannya dia dalam pakaian bankai-nya, dst.

Orihime meremas gelasnya saat pikiran bahwa dia akan kehilangan semua itu datang, kemudian dia memejamkan mata dan menghela napas sedalam yang dia bisa.

"Jangan, Orihime," dia memberitahu dirinya sendiri. "Jangan berpikir begitu. Ini untuk Kurosaki-kun dan Rukia-chan. Dan untuk dirimu sendiri. Semuanya akan lebih baik begini."

Kemudian tatapannya jatuh ke dapurnya yang kebersihannya dijaga dengan baik. Pada vas berisi bunga-bunga oranye segar di atas meja dan pot-pot berisi bunga-bunga merah di jendela. Pada kenangan akan ciuman pertamanya dengan Kurosaki-kun di ruangan itu.

Sekali lagi, air mata menitik jatuh ke lantai.

Besoknya

Orihime duduk dengan agak tegang di kursi kafe yang sering dikunjunginya bersama Kurosaki-kun. Kafe itu terletak tidak jauh dari stasiun sehingga selalu ramai. Tempat itu adalah kafe kesukaan Orihime karena sewaktu kecil, dia dan Sora selalu menunggu kepulangan orangtua mereka yang sering bepergian di kafe itu.

Di kafe itu jugalah Orihime menyatakan perasaannya pada Kurosaki-kun.

Ironis, pikir Orihime, karena aku juga akan mengakhiri hubunganku dengannya di sini.

Meja yang didudukinya sekarang adalah meja yang selalu dia dan Kurosaki-kun gunakan. Orihime bisa mengingat setiap saat yang mereka habiskan di tempat ini. Setiap guratan di meja, setiap makanan dan minuman yang dipesan Kurosaki-kun, dan hampir setiap topik yang mereka bicarakan bersama.

Dalam waktu singkat, air mata kembali menggenangi mata Orihime, namun dia mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha menghilangkan keberadaan air mata. Matanya masih agak sembap dan ada lingkaran hitam di bawah matanya karena terlalu banyak menangis dan nyaris tidak tidur semalam, memikirkan hari ini.

Orihime mengucapkan terima kasih dan memberikan seulas senyum saat seorang pelayan datang membawakan pesanannya, muffin pisang dan moccachino. Dalam diam dia memakan muffinnya seraya mengamati para pengunjung di kafe yang setengah penuh itu. Kurosaki-kun mungkin akan datang sebentar lagi, pikir Orihime saat dia melirik ke arah jam dinding di atas pintu masuk. Mereka janjian untuk bertemu di kafe itu pukul dua belas siang.

Tepat seperti dugaan Orihime, pintu kafe terbuka lima menit kemudian, menampakkan Kurosaki-kun dan wajah cemberutnya yang biasa.

Seketika itu juga, Orihime merasa gugup dan takut. Bagaimana caranya memberitahu Kurosaki-kun?

Haruskah dia bilang "Kita putus," begitu saja? Atau haruskah dia mengajak Kurosaki-kun mengobrol tentang sesuatu sebelum membawa topik penting itu ke permukaan?

Dan kapan dia akan memberitahu Kurosaki-kun?

Sekarang?

Atau setelah mereka makan?

Bagaimana kalau dia malah membuat Kurosaki-kun bingung?

Bagaimana kalau Kurosaki-kun begitu gembira sehingga dia meninggalkan Orihime sendirian di sana begitu saja?

Dan ratusan pertanyaan lain melesat di benak Orihime lebih cepat dari laju panah-panah Ishida.

Oke, ini dia,gumam Orihime dalam hati seraya menghela napas saat Kurosaki-kun duduk di hadapannya. Si pelayan yang tadi mengantarkan pesanan Orihime mendatangi meja mereka lagi, bermaksud menanyakan pesanan Kurosaki-kun.

"Kopi. Hitam," kata Ichigo. Dia memandang Inoue dengan heran, sebagian besar karena Inoue tampaknya sedang melamun dan ada sedikit iler menggantung di sudut mulutnya.

Ichigo mengerjapkan mata dua kali.

"Ngg… Inoue?" panggil Ichigo dengan hati-hati. Inoue tidak merespon. Biasanya Ichigo sudah terbiasa dengan Inoue dan kegemarannya untuk melamun, tapi yang membuat Ichigo merasa tidak enak adalah, Inoue memandang ke arahnya terus dengan mata menerawang.

Jujur saja, Ichigo takut.

"Inoue!" panggil Ichigo lagi, kali ini lebih keras. Inoue mengerjapkan matanya dan tersentak. Kemudian dia menatap Ichigo selama dua detik penuh seraya menggigit bibir dan kemudian tertawa kecil.

"Hehe, maaf, Kurosaki-kun! Aku mengkhayal lagi…!" ujarnya.

Dia aneh sekali…, gumam Ogichi.

Orihime melirik ke arah Kurosaki-kun yang sudah setengah jalan meminum kopinya.

Oke, sekarang waktunya!, pikirnya.

"Ngg, Kurosaki-kun…," gumam Orihime, tidak yakin bagaimana sebaiknya memulai percakapan. Kurosaki-kun menolehkan kepalanya dari jendela untuk memandang Orihime. Orihime menelan ludah dan memberanikan diri untuk melanjutkan. "Ngg, sudah berapa lama kita pacaran?" tanyanya, walaupun dia sudah tahu jawabannya.

"Hampir dua tahun. Kenapa?" Kurosaki-kun balas bertanya.

Satu tahun sebelas bulan dua hari, tepatnya. Kau sudah menderita selama itu, pikir Orihime.

"Kurasa sudah waktunya kita putus, Kurosaki-kun," kata Orihime, mengejutkan dirinya sendiri. Lebih mudah dari yang kuduga…

Kurosaki-kun tidak bereaksi selama beberapa saat. Orihime memandangnya dengan bingung.

Kok dia tidak merespon?

"Inoue, kau serius?" tanya Kurosaki-kun. Orihime mengangguk. "Tapi… kenapa?" tanya Kurosaki-kun. Orihime memperhatikan ekspresi wajahnya selama sedetik penuh. Kurosaki-kun tidak tampak terluka, melainkan kaget dan bingung.

Orihime mendesah.

Selama sedetik penuh, pikirannya melayang ke negeri antah berantah.

Bagaimana jadinya kalau Kurosaki-kun menolak putus dengannya dan mengatakan kalau dia ingin bersama dengannya?

"Aku sadar kalau percuma saja kita melanjutkan hubungan ini," Orihime berkata dengan nada rendah. Kemudian ditatapnya Kurosaki-kun lurus-lurus di mata. "Tadinya aku berpikir, 'kalau Kurosaki-kun terus bersamaku, mungkinkah dia akan menyukaiku juga akhirnya?'" katanya seraya tersenyum lemah. Kurosaki-kun bergeser sedikit di kursinya, tampak tidak nyaman. "Aku senang sekali sewaktu Kurosaki-kun menerimaku sebagai pacar. Kupikir, Kurosaki-kun bisa juga melepaskan Rukia-chan akhirnya," kemudian nada suaranya merendah sehingga Kurosaki-kun harus mendekatkan kepalanya sedikit supaya bisa mendengar. "Bodohnya aku," gumam Orihime. Matanya menatap kedua tangannya yang diletakkannya di atas meja, meremas sebuah kertas tisu erat-erat. Dia bisa merasakan pandangan Kurosaki-kun, tapi tidak memiliki keberanian untuk mendongak dan menatapnya langsung. "Bahkan orang buta pun bisa melihat kalau kalian masih saling mencintai, dan aku terlalu egois sehingga aku mengabaikan fakta itu. Aku telah menyakiti kalian berdua dan diriku sendiri…"

Orihime mengangkat kepalanya sehingga dia bisa menatap mata Kurosaki-kun. Dia tidak tampak marah, tapi Orihime bisa melihat kalau dia merasa tidak enak. Tidak enak karena sekarang dia sadar bahwa saat dia menerima Orihime, dia telah melukai dua gadis yang dekat dengannya; temannya dan cinta sejatinya.

Orihime tersenyum.

"Karena itulah aku melepaskanmu, Kurosaki-kun," ujar Orihime. Dia bisa merasakan air mata mulai menggenang di matanya, yang cepat-cepat diusirnya pergi. Dia berterima kasih dalam hati karena Kurosaki-kun tidak menatap matanya.

"Nah, sekarang apa yang kau lakukan di sini?" tanya Orihime tiba-tiba, wajahnya berubah menjadi agak galak, membuat Kurosaki-kun kaget.

"Eh?"

Orihime memutar bola mata –sesuatu yang baru kali ini terjadi-.

"Kurosaki-kun, aku baru saja bilang kita putus. Tidakkah menurutmu sekarang saat yang tepat untuk kau pergi dan menemui Rukia-chan?" ujar Orihime. Kurosaki-kun seakan membatu. Cangkir kopi yang sudah akan diminumnya tertahan di udara. Orihime tertawa dalam hati melihatnya.

"Ah.," Kurosaki-kun menurunkan cangkir kopinya dan tersenyum. "Aritagou, Inoue," katanya seraya tersenyum kecil. Dia mengangguk, berjalan ke kasir untuk membayar pesanan mereka, dan keluar. Sebelum dia menutup pintu di belakangnya, dia melambai pada Inoue, yang dibalas dengan antusias.

Sepuluh menit kemudian, Orihime sudah berada di luar kafe. Dilihatnya Rangiku-san berdiri di ujung jalan dalam mantel cokelat muda dan syal, menatapnya. Orihime berjalan mendekati Rangiku-san dengan kepala tertunduk. Mereka tidak berbicara selama beberapa saat.

"Aku berhasil, Rangiku-san," gumam Orihime tanpa menatap Rangiku-san, tapi Orihime bisa merasakannya tersenyum. "Aku berhasil…," setetes air mata terjatuh dari matanya. "Aku sudah mengatakannya…"

Rangiku memeluk Orihime erat-erat saat gadis itu menangis, menumpahkan seluruh rasa sakit di hatinya. Dia mendesah. Ini adalah jalan yang terbaik, walaupun menyakitkan.

"Ya, kau berhasil Orihime," katanya pada gadis yang dianggapnya sebagai adiknya sendiri.

Kau berhasil…

Wokeh, nih, chapter 5!