Disclaimer : Masashi Kishimoto.

Dibuat untuk "Infantrum Black and White Challenge" dari Blackpapillon-nee. Saya ambil set WHITE//Fluff. Romance.

This chapter is for Falling Leaves theme.

Enjoy! XD


5日間

by dilia shiraishi

CHAPTER ONE : Reunion


.

MUSIM gugur belum beranjak.

.

Ya, musim gugur belum beranjak dari kota kecil itu meski ini sudah awal Desember. Daun-daun masih jatuh-meranggas membuat tanah tempat berpijak dipenuhi daun kering. Menimbulkan bunyi 'srak' kecil ketika kita menginjak daun-daun tersebut. Mungkin tak ada yang istimewa dari semua kegiatan alami itu. Tapi tak begitu bagi seorang gadis berambut pirang di sana. Sepertinya.

Sebab ia terus memandang dengan seksama dari awal saat daun-daun itu terjatuh. Ketika angin menerpa rupanya yang sudah rapuh, ketika ia bertahan dari sapuan tersebut, dan ketika akhirnya ia gugur-gagal mempertahankan diri hingga dengan pasrah terserak sembarang di jalan.

Gadis itu masih memandang gerak alami yang terus terjadi tersebut. Menghayati setiap detik saat daun kering berguguran cantik diterpa angin, membentuk sebuah pola di udara kosong sebelum kemudian benar-benar mendarat di tanah yang ia pijak. Gadis berkuncir satu itu lalu menghela napas untuk sesaat.

Bahkan daun pun gigih mempertahankan dirinya untuk tetap bergantung di ranting, meski ia tahu ia sudah rapuh. Meski ia tahu pasti kalau ia tak akan bisa bertahan jika terus-menerus dihembus-namun ia selalu berusaha. Setidaknya saat gugur pun, ia masih mempertunjukkan keindahannya.

"Ah…," gadis itu memejamkan mata. Rasanya ia jadi malu sendiri dengan daun-daun itu. Ia terlalu sering putus asa dalam hidupnya. Sedangkan daun itu tidak. Ia sering mengeluh dan tak berpuas ketika telah dianugerahkan sesuatu. Sementara daun itu tidak. Begitu pun sekarang. Ia pulang karena ia sudah putus asa.

Ia kembali ke rumah karena ia merasa lelah dengan kesehariannya.

Kesimpulan itu makin membuatnya merasa malu. Menyesal atas sikap meremehkan yang dulu ia tunjukkan pada orang-orang. Menganggap apa yang ia capai sudah sangat hebat-membuatnya sombong. Dan pada akhirnya membuat ia jatuh-telak. Karena tadinya ia sudah terbang di awan.

Menghela napas, sang gadis menjulurkan tangan. Menangkap satu daun yang gugur dekat jangkauan. "Tadaima…"

Dan sedetik kemudian angin sepoi-sepoi berhembus menerpa wajahnya. Seakan menyambut, menyahut pada kata-kata yang lirih ia ucapkan. Helaian rambut pirangnya sedikit terbang saat angin itu kembali datang untuk memberikan kesejukan dalam diri. Gadis itu tersenyum kecil sambil membenahi rambutnya kembali.

Kemudian ia hanya terdiam. Membiarkan hal tadi terjadi berulang-ulang. Angin berhembus menerbangkan helaian rambutnya-dan ia mengembalikan ke tempat semula. Terus seperti itu dalam hening. Mungkin meresapi kedamaian yang mulai terasa kembali di relung hatinya ketika ia menjejakkan kaki di sini.

Di rumahnya.

.

"Okaeri, Ino…"

.

.

Gadis itu menoleh cepat. Mencari sumber suara yang dengan sukses membuyarkan lamunannya. Dan mata biru itu membelalak lebar ketika menemukan apa yang ia cari, sebelum akhirnya kembali normal-namun bersaput air. Air mata.

"Shika…"

.

.

-

-

.

.

"KENAPA kau kembali? Ini bukan sedang liburan sekolah, kan?" suara malas itu bergaung di telinga Ino-sang gadis berambut pirang. Ino menoleh pada orang yang berjalan di sebelahnya sebelum kembali mengarahkan pandangan pada jalan.

"Ya, ini bukan liburan sekolah."

Orang yang tadi bertanya mengernyitkan dahi tak mengerti. Ia memang jenius, tapi tetap saja ia butuh petunjuk untuk jawaban tak berarti dari Ino tadi. "Lalu?"' akhirnya ia memutuskan bertanya lagi.

Gadis pirang itu menghela napas panjang, "Kukira kau tahu, Shika." Ia bersikeras tak mau menjawab. Dan itu cukup untuk membuat Shikamaru mengerti kalau Ino punya masalah di sana. Di Korea. Masalah yang membuatnya pulang ke Jepang sebelum waktunya.

"Oke, anggap saja aku tahu." Ia menyerah. Percuma memaksa Ino bercerita tentang apa yang tak ingin diungkapkannya. Lebih baik menunggu saat dimana ia bersedia menumpahkan segalanya.

Ino tersenyum penuh terima kasih, "Arigatou…," untuk sesaat suasana hening sementara gadis bermata sapphire itu mendesah. "Ohya, bagaimana kabarmu? Dan juga kabar Chouji?" ia menoleh. Cahaya matanya menampakkan rasa penasaran dan khawatir.

Shikamaru ikut menoleh dan tersenyum sejenak, "Tak usah khawatir begitu. Aku, Chouji, dan semuanya baik-baik saja. Yang perlu dikhawatirkan adalah kau. Rasanya kantong mata itu makin menebal saja." Pemuda itu menunjuk bagian bawah mata Ino yang memang menghitam.

Ino tertawa lalu meninju lengan pemuda disampingnya main-main, "Kau tak usah mengungkit hal yang sudah terlihat jelas! Haha… aku baik-baik saja kok. Yah, mungkin di satu sisi aku ingin mati saja."

Shikamaru mengangguk mengerti. Mereka terus berjalan menyusuri jalan lengang dengan pohon-pohon rindang di samping kiri-kanannya itu. Jalan yang dipenuhi daun-daun berguguran. Jalan favorit mereka-tempat dimana mereka sering menghabiskan waktu hanya untuk duduk mengobrol di kursi batu, dalam kesunyian.

"Dan… sedari tadi aku ingin bertanya ini. Bagaimana kau tahu aku sedang di sini?" Ino kembali bersuara memecah kesunyian itu. Ia tak betah berdiam diri saja sementara kaki mereka terus melangkah.

Pemuda di sampingnya tersenyum lagi-simpul, "Memangnya berapa lama aku kenal kau?"

Ino mencibir, "Memangnya itu saja cukup untuk menjadi alasan kau tahu aku ada disini? Hah?" ia tertawa lagi. Tampak menganggap jawaban Shikamaru adalah bahan candaan baru.

Shikamaru terdiam sejenak sembari menarik napas.

.

"Cukup."

.

Dan itu mengakhiri percakapan mereka sore ini.


.

"INO!!"

Gadis berambut pink tersebut berlari dan langsung menubrukkan dirinya ke dalam pelukan Ino. Lama mereka berpelukan, melepas rindu masing-masing pada sahabat yang jarang bertemu. Tentu saja. Itu sudah hal wajar. Terlebih mereka benar-benar mengenal sejak kecil dan persahabatan mereka terbilang sudah terbangun sangat lama.

"Ino~ aku kangen banget! Kenapa pulang nggak ngasih kabar, sih?" gadis itu kembali bersuara setelah melepaskan pelukan eratnya dari Ino.

"A-ah… Kepulanganku ini mendadak banget, Saku." Ino menjawab sekenanya. Tak tahu harus memberikan alasan apa pada sahabatnya ini. Ia tak mau mengungkit-ungkit masalah yang terjadi di Korea hingga ia kembali ke Jepang. Itu hanya akan membuat Sakura tambah khawatir-dan ia tak mau itu terjadi.

Sakura menatap mata Ino dalam-dalam lalu menghela napas, "Kau tak bisa bohong padaku, Ino. Pasti ada sesuatu, ya kan?" ia menuntun Ino duduk di sofa ruang keluarganya.

Ino tersenyum, "Ya, kau memang yang paling mengerti aku, Saku." Ia lalu mnghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku… aku… terlalu banyak masalah yang terjadi di sana, masalah yang membuat prestasiku menurun drastis. Jauh melesat ke bawah, membuatku ingin mati karena di saat yang sama aku dikucilkan… Rasanya sakit banget."

Sakura mengerutkan alis ketika mendengar penuturan Ino, tampak mengerti sekali maksud gadis berambut pirang itu meski ia tak menjelaskan secara detail tentang apa yang terjadi. Bukan. Bukan karena tak mau. Tapi karena memang ia tak bisa.

"Sabar ya, Ino… Aku tahu kamu pasti bisa melewatinya, oke?" ujarnya sambil menggenggam tangan Ino. Berusaha mengalirkan kekuatan pada sahabatnya tersebut. "Ohya, jadi… apa kau kan menetap di sini? Atau kau akan pergi lagi ke Korea?"

Lagi, Ino tersenyum. Senyum patah. Gelisah dan sama sekali bukan sebagai pertanda senang. "Entahlah. Tapi sepertinya aku akan menetap di sini. Aku bisa gila-atau bahkan mencoba mati jika harus kembali ke sana. Kembali dikucilkan."

Sakura balas tersenyum sembari mengangguk singkat, "Ya. Untuk apa kau kembali? Rumahmu di sini, Ino. Untuk sekarang dan selamanya…"

Kali ini gadis pirang itu yang menubruk Sakura. Memeluk sahabat tersayangnya itu dengan perasaan haru. Haru karena ternyata ada yang begitu memperhatikannya, menyayanginya sepenuh hati. Ino memeluk hangat Sakura, menangis dalam pelukan gadis dengan mata emerald itu. Menumpahkan segala rasa tertekan yang selama ini menjerat hatinya. Membuat ia tak bisa berpikir jernih dan selalu ingin mati.

Sekarang?

Tentu tidak. Ia sudah sadar, masih banyak yang begitu mengharapkannya. Menunggu apa yang selanjutnya akan ia lakukan. Membuat perubahan, atau melakukan kesalahan yang sama.

Dan itu sudah begitu jelas bagi Ino.

Tentu dengan senang hati ia akan memilih melakukan perubahan. Ia yakin, ia pasti akan meraih kebahagiaannya kembali. Kebahagiaan yang sempat hilang ketika dia dikucilkan di Korea saat masa kelas duayang seharusnya bahagia. Ya, kejadian lalu tak akan terulang lagi. Jangan sampai ia jatuh di lubang yang sama.

.

.


"MANA Chouji?"

Ino menutup majalah fashion yang sedang ditelitinya begitu menyadari ada orang yang menghampiri. Ia lalu mengedikkan bahu sebagai jawaban atas pertanyaan orang itu,-Shikamaru. "Kukira kau yang datang bersamanya, eh?"

Wajah malas Shikamaru masih terlihat sama pagi ini, "Tidak. Kupikir dia akan bersamamu, karena dia bilang begitu."

"Heh? Tidak kok. Apa dia mengerjai kita? Dasar anak itu!" Ino mengerling jam tangannya dan segera menggerutu sebal saat ia lihat jam sudah menunjukkan pukul 08.00 AM. "Ya sudahlah, ayo pergi. Sepertinya dia benar mengerjai kita. Lihat, sudah jam delapan. Kita janji ketemuan jam setengah enam."

Shikamaru hanya mengangguk patuh, namun sepersekian detik kemudian ia sudah menguap lebar-lebar.

"Aku tahu kau masih ingin tidur, Shika. Maaf ya, memaksa pergi sepagi ini..," Ino menepuk pundak pemuda berambut nanas itu ketika ia baru saja ingin menutup kedua matanya.

"Yaah…"

Dan mereka kemudian beranjak dari jalan itu. Jalan yang dipenuhi guguran daun yang jatuh lembut dari ranting pohon kokoh. Jalan dimana biasanya mereka selalu berkumpul. Untuk sekedar tertawa bersama atau bahkan piknik. Beranjak menuju pusat kota.

Sebuah lokasi dimana pohon hampir tak dapat ditemukan kecuali di taman atau halaman rumah. Tidak seperti jalan ini. Jalan yang sebagian rupanya sudah tertutupi daun kering cantik yang tak berharga layaknya sampah.

Mungkin memang tak berharga. Toh, jika sudah mengering daun-daun itu harus dibuang. Tak ada artinya sama sekali.

Tapi jika kau menemukan filosofinya serta mengalami hal yang sama dengan Ino-dikucilkan seluruh warga sekolah saat kau merantau ke luar negeri- dan putus asa, kau akan mengerti betapa daun kering pun sungguh bernilai. Betapa daun-sampah tak terpakai pun dapat memberikan pelajaran berharga…

…dan memori indah.

.

.


TSUZUKU.

Jumlah kata : 1.490 di Ms. Word (story only)

Fuwahh! Chapter satu selesai juga! Tema yang saya ambil untuk chapter ini 'falling leaves'. Soalnya dari dulu saya suka sama yang gugur-gugur gitu, sih… XD

Entah maksud yang ingin saya sampaikan sudah terlihat jelas disini atau belum, yang pasti saya akan berusaha untuk memperbaiki jika ada kesalahan. Chapter mendatang mudah-mudahan bisa apdet cepet… (amin) Ohya, ada yang mau kasih ide buat judul fic ini ke saya? '=.= Saya nggak sreg ama judulnya sekarang...

.

Ah, sudahlah. …Mind to REVIEW, minna? :D

.

Arigatou for reading~ ^^