Dear Mello

Author : SheilaLuv, salah satu rabid fangirl Mello yang akhirnya pulang setelah lama menghilang :P -dodges rotten tomatoes-

Disclaimer : Death Note belongs to Ooba Tsugumi and Obata Takeshi. Hanya isi cerita dan plot yang menjadi properti pribadi saya.

Timeline : Beberapa hari setelah reuni di markas SPK tanggal 19 November 2009.

Terima kasih untuk NakamaLuna, Orange brush, Uchiha Yuki-chan, Kirisha Zwingli, Pandacchi, nae-rossi chan, Etruscan, isumi 'kivic', CherryCho7, rizky, Me^^v, dan HalfMoon-Smile. Review-review kalian selalu berhasil menyemangati!

My beloved sistas, Halfie-neechan and Isumi-chan, your birthday fanfics are still in the making. For the time being, I present you this chapter as a warming-up exercise, hohoho…

Enjoy!



16

-Proteksi-

...

In my arms

You're free from any harm

With the power I wield

I'll protect you in regal shield

...

Dahulu, dia pernah berjanji.

Dipastikannya Near mengabadikan janjinya di dalam memori.

Suatu tekad untuk melangkah mandiri terucap, tanpa menyadari usia yang masih terlampau belia untuk bertahan hidup seorang diri. Dia bersumpah untuk mempersembahkan bukti.

Raungan langit dan gemuruh petir mengantar kepergiannya. Secara resmi, November telah membentangkan jurang pemisah antara keriangan masa remaja dan letihnya menjadi dewasa, antara keriangan sederhana dan pekatnya rasa hampa, antara perlindungan sempurna dan dentuman jantung ketika bahaya mengejarnya.

Terjun dalam hidup yang diburu waktu, mengharuskannya untuk berpacu.

Namun, di bulan November lima tahun kemudian, Mello akhirnya kembali, dan dengan getir bercampur perih yang menyeruak di dalam dadanya, dia mendapati bahwa Near tak pernah lelah menanti.

Meskipun waktu senantiasa melaju. Meskipun peristiwa datang silih berganti, mengguncang-guncang mereka tanpa daya, menggetarkan fondasi kestabilan. Meskipun perubahan bersifat konstan, Mello tahu hal itu terjadi demi kesinambungan petualangan, agar rentetan pertempuran tidak stagnan hingga berhenti, pergi, lalu mati.

Logikanya mencela habis-habisan. Rasionalitasnya mendamprat, menerjang, memaki dorongan hatinya yang bahkan hingga kini tak kunjung surut.

Untuk apa kau kembali? Atas dasar apa kau melakukannya? Mengingkari sumpahmu sendiri disebabkan sesuatu yang abstrak, ambigu, menjerat akal sehatmu?

Aku tidak tahu.

Aku tidak tahu.

Larut dan kalut.

Gugup, nyaris tak sanggup.

Terbakar amarah, namun dihantui rasa lelah.

Seolah mengukuhkan hubungan paradoksal antara rasio dan hati nurani, Mello menolak memikirkan mengapa kedua kakinya menjejak cepat, berderap, tergesa-gesa dalam setiap ketukannya, sampai akhirnya membawanya ke hadapan objek delusi, ilusi yang menghantui, mengejar, membekuk, dan melumpuhkannya dalam mimpi yang hening namun mencekam. Tenggorokannya mengering, sewaktu-waktu situasi bisa saja berubah genting. Di tengah redupnya cahaya lampu yang bergelayut di permukaan kaca dan lantai, Mello mampu mendengar curahan air hujan berdenting nyaring.

Dia terhenyak sejenak.

Persis seperti lima tahun lalu. Simfoni yang sama, mengalun sayup menimpali dua nafas yang terhela. Kini dirasakannya pesona dari dua November yang berbeda masa.

Angin dan hujan, peristiwa dan kisah, keempatnya berkonspirasi demi hari ini.

"Mello."

Satu nama diutarakan dengan nada yang mengandung himpunan makna. Di hadapannya Near berdiri, tegak, diam, dingin. Ringkih kelihatannya, namun Mello tahu kekuatan yang berurat akar bersemayam di sela-sela suaranya yang terdengar meretih pedih.

Ini sudah yang kedua kalinya Mello menemuinya.

Dahaganya belum terpuaskan dalam singkatnya durasi pertemuan pertama. Ketika itu Mello mencambuk dirinya untuk segera lenyap dari pandangan Near, sejauh mungkin, sebelum dia tergoda untuk berbalik dan menanyakan makna yang tergurat dibalik konstruksi kata-kata sentimental Dear Mello yang belakangan terus-menerus menginvasi pertahanan mentalnya, mengakibatkan kedua matanya menolak terpejam, nyalang di kala malam.

Saat itu cuma satu kata yang tercetus dari bibirnya. Brengsek.

Rasa frustasinya tidak juga reda. Rupanya kata pamungkas itu tak lagi mengandung tuah. Mello gundah, resah, limbung diserbu galau.

Maka diputuskannya untuk kembali, sekali lagi, untuk menuntaskan keingintahuan. Cukup sekali lagi ini saja, dia memperingatkan diri berkali-kali, setelah itu aku tidak akan kembali.

Mello menghela nafas, menarik tudung mantel merahnya, mengekspos utaian rambut pirang keemasan yang membingkai wajah bertulang pipi tinggi. Dihiasi sebentuk hidung yang kokoh seumpama pualam dipahat, sepasang bola mata sebiru dan sejernih langit, serta bibir yang kini telah terkontaminasi oleh pahitnya debu dan abu jalanan. Lekukan senyum maupun tawa sepertinya telah angkat kaki jauh-jauh hari. Pertanda bahagia digusur oleh duka, asa yang disambut oleh rasa kecewa. Cahaya yang sempat membuncah namun harus rela mengendap karena kerasnya dunia. Menyempurnakan ketidaksempurnaannya, bekas luka turut tergurat hingga mencapai pundak, satu-satunya stigma nyata dari kekeliruan yang nyaris berakibat fatal.

Seandainya kompetitor lain melihatku dalam kondisi seperti ini, mereka pasti berpikir kalau aku sakit, pikirnya sarkastis, tiba-tiba teringat akan calon-calon pewaris L yang dahulu berharap bisa menggeser kedudukan akademisnya, setengah mati berusaha namun tetap saja gagal bahkan untuk meraih posisi nomor dua. Ironisnya, aku tidak lagi peduli. Mereka, atau siapa pun, boleh melihatku sebagai pemimpi yang sakit, terbuang, dicampakkan oleh kekalahan. Aku aku tak akan menyerah, tak akan, sebelum kusaksikan Kira roboh di depan mataku.

Konfrontasi pihak lain mudah ditepisnya. Kata-kata mereka tidak merisaukannya.

Tetapi, sejak usia belum meninggi, Mello selalu ingin tahu bagaimana cara Near memandangnya. Telah berubahkah penilaiannya? Sepenting apakah kedudukannya di mata Near sekarang? Sungguh tak tertahankan baginya jika kedudukannya kini lebih buruk dari sekedar menjadi nomor dua.

Mello tercenung. Aku tak bisa menerka bagaimana pandangannya tentangku saat ini.

Maka dia merambah keberadaan Near untuk menemukan jawabannya, sepatah kata pun tak mengapa, sebagai afirmasi. Dia hanya ingin tahu satu hal krusial, masih pantaskah?

Masih pantaskah kita berlaga demi tujuan yang sama?

Pertanyaan ini terlalu luas cakupannya, memangsanya perlahan-lahan, menggerogoti tanpa belas kasihan. Kepada siapa lagi dia berpaling menelusuri kebenaran yang paling hakiki, selain kepada Near, satu-satunya pribadi yang sanggup membaca dan memahaminya layaknya melihat refleksi diri sendiri? Mengakuinya bukan perkara mudah, sejujurnya dia benci, sungguh membenci Near yang luwes menafsirkan bahasa hati, semata-mata karena dia sepenuhnya mengerti.

Siap menghadapi kemungkinan terburuk, Mello bungkam. Janganlah Near mengharap sepercik reaksi emosional kali ini. Dia bukan anak-anak lagi. Separuh berharap melambung, separuh meratap seakan tersungkur, Mello balas menatap. Menantang lawan untuk menumpahkan serangan pamungkas untuk menjatuhkan mentalnya. Tak masalah. Memang sulit untuk bangkit, namun bukankah dia telah terbiasa berlari bebas setelah jatuh terhempas?

Alih-alih melontarkan penghinaan berbentuk ketidakacuhan yang dingin, atau menghunjamnya dengan komentar satir sarat cela, Near menyibak tirai rambut pirangnya yang menjuntai layu, membiarkan ujung-ujung jemarinya meninggalkan elusan samar, helai demi helai. Sepasang tangan dengan hati-hati menangkup wajahnya, mengagumi sekaligus melindungi.

Nafasnya tercekat ketika Near mengusapkan ibu jarinya, menelusuri bekas luka di sepanjang wajahnya tanpa setitik pun rasa canggung, seakan tak mendapati cacat permanen bersemayam di sana.

"Near…" gumamnya lelah, namun bermuatan peringatan.

"Hmm?"

Kedua bola mata kelabu fokus mengamatinya, melempar tanya tanpa membuka suara. Apakah aku melukaimu?

Brengsek, makinya dalam kesia-siaan.

Sejak lama umpatan sekaligus celaan kehilangan daya guna di hadapan Near. Mello tak sanggup menatapnya lebih lama lagi. Bendungan emosi di dadanya terancam runtuh detik itu juga.

Sebagai mekanisme untuk mempertahankan diri, Mello menunduk, menutup mata, berusaha tak terekspos sepenuhnya oleh sang mata yang mampu melihat menembus ilusi. Tidak akan dibiarkannya Near mendapat kepuasan karena berhasil membaca keletihan di matanya maupun keputusasaan di sela-sela nafasnya, walaupun dia tahu, Near pasti mampu, selalu mampu.

Near tidak mundur. Near tidak menjauh karena takut. Sebaliknya, jemarinya merayap turun, meluncur mengikuti alur kontur wajahnya, meraba denyut nadi di lehernya, merasakan tekstur pundaknya yang meranggas terkena nyala api. Meraih, menjangkau, mengeksplorasi, meresapi setiap pori.

Segalanya tanpa prasangka, tanpa ada niat menghakimi.

Detik berikutnya yang Mello tahu, Near membimbing kepalanya yang lelah agar beristirahat di pundaknya. Namun ini bukanlah kekalahan, sama sekali bukan, ketika Mello mendapati tubuhnya secara naluriah bersandar pasrah padanya.

Pemahaman menyeruak ke dalam sanubarinya. Kegalauannya sirna. Kegelisahannya tak lagi membutakan mata.

Dirinya apa adanya, Near selalu menerima.

Aroma tubuh yang tak mengkhianati memori terdalamnya. Rambut seputih salju yang masih belum berubah warna. Kedua lengan yang begitu kukuh memeluk tubuhnya. Bahu yang—entah sejak kapan—lebih lebar dari ingatan masa kanak-kanaknya. Near yang sama sekaligus berbeda, hadir menghimpun dua masa kehidupan.

Dunia tak akan pernah mengenal mereka sebagai keberadaan yang nyata. Didera ribuan kesunyian, disandera kekangan senantiasa, semua dilalui demi cita-cita. Berkorban apapun mereka rela, namun setelah semuanya usai, apa lagi yang tersisa untuk dilindungi? Siapa lagi yang hendak dibela sampai mati?

Biarkan aku menjadi perisaimu. Luka itu, derita itu, aku tahu.

"Near..." Mello memulai, tetapi Near mendahuluinya.

"Mello masih hidup. Itu sudah cukup."

Hanya kau yang aku miliki. Jangan pergi.

Aku ingin kau bertempur di sisiku. Jangan ragukan itu.

Jangan pernah, Mello.

Segala prahara bisa menunggu.

Di sini mereka berdekapan erat, sementara. Sebelum akhirnya melepaskan diri dari proteksi yang mereka ciptakan bersama, untuk bangkit, berlari, dan menerjang lawan dimana tak ada jalan kembali.

Dua ksatria yang menghunuskan pedang pada tirani sang penguasa.

Dua jiwa melawan dunia.


Author's Note: Saya mohon maaf karena kalian menunggu terlalu lama! Proteksi benar-benar sulit, saya puluhan kali menuliskannya. Pengerjaan dimulai Juni tahun lalu, dan memakan waktu 8 bulan. Fokus chapter ini sengaja diperluas, karena ada dua hal yang saling berkaitan, yaitu keraguan Mello dan keyakinan Near. Meskipun berhasil lolos dari ledakan di markas mafia, kita tahu Mello nyaris kehilangan segalanya. Dia tidak sedikit pun menyesali ketidaksempurnaan fisiknya, namun Mello meragukan posisinya di mata Near. Apakah kedudukan mereka masih setara? Near pun akhirnya menjawab dengan caranya, memulihkan Mello dari kegalauannya.

Di manga juga tersirat bahwa Near selalu mencari celah untuk melindungi Mello, entah dengan menyimpan fotonya ataupun menempatkan Halle untuk mengawasinya. Near peduli, dan dibalik sikapnya yang terkesan apatis, dia ingin Mello mengerti. Pada akhirnya, Mello memang mengerti. Tekadnya untuk melindungi Near tersirat jelas di akhir cerita, bukan? Itulah proteksi yang mereka ciptakan bersama.

Akhir kata, terima kasih atas kesediaannya membaca. Saran, komentar, maupun kritik konstruktif ditunggu via review seperti biasa, ya! Sampai jumpa di chapter selanjutnya! :D

SheilaLuv