Summary: Ketika Taufan demam, ia didatangi pemandu yang bukan dari dunia ini. Ia dipelihatkan pemandangan yang menjungkirbalikkan dunianya. [No pairings. Bizarre elements.]

.

- Disclaimer | Penyangkalan -

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari tulisan ini.

.

- Oneshot Series -

Kompas dan Layar

.

.

.

Taufan terduduk. Ia memandang sekelilingnya.

Ia berada di ranjangnya, selimut tipis biru menutupi kedua tungkai. Tubuhnya terasa lebih ringan dan mendingin sekarang, ia segera tersadar akan fakta menggembirakan itu. Jemarinya menyentuh dahi dengan tanya penuh harap. Memang demamnya sirna karena tidur semalam.

Ia turun dari ranjang dan keluar kamar dengan badan segar. Hal pertama yang ia temui ialah rumah yang lazimnya diselingi tinggi-rendah suara keluarganya, kini sunyi-senyap tanpa bekas. Tanpa jejak sama sekali, seperti tak pernah ada manusia yang mendiami tempat ini. Hanya terdengar suara helaan nafasnya sendiri.

Taufan bersua.

"Tok Abaaa! Gempaa! Kak Hali!"

Tak ada sahutan.

Taufan menelusuri rumahnya, membuka tiap pintu dan menjenguk tiap sudut. Akalnya menelaah peta mental rumah itu, menelisik segala kemungkinan. Sayangnya tetap saja tak mengubah fakta jika tak ada satu pun keluarganya. Ganjil. Ke mana semua orang?

Taufan melempar pandangan ke jendela. Cuaca di luar begitu cerah, matahari bersinar semarak dan gemerisik halus daun pepohonan ditiup angin kemarau, seakan berbisik-bisik. Namun suara alam tak mampu mengganti bisunya gema kehidupan di luar, menyisakan Taufan dalam nyaringnya gaung prasangka.

Ada sesuatu yang menunggunya, tapi apa?

"Bukan apa-apa," jawab sebuah suara asing. Taufan menoleh.

Ada seseorang di dekat lorong yang tengah menyeret jubahnya sendiri. Anak laki-laki dengan wajah yang familiar namun Taufan tak dapat mengingat di mana ia pernah menemuinya. Eksistensinya berbaur tipis pada memori Taufan, seakan-akan ia selalu hadir selama ini namun pada saat bersamaan ia tak pernah muncul mengenalkan diri. Seperti bayangan persisten di sudut pelupuk mata—ia ada namun tak dapat dilihat langsung.

"Siapa kamu?" tanya Taufan bimbang.

Anak itu memandangnya dengan roman netral.

"Pemandu," ujarnya singkat. "Mari berjalan bersamaku."

Anak itu menapak ringan seakan-akan telapaknya tidak menyentuh bumi. Taufan tak mengerti mengapa itu terasa normal baginya.

1.

Taufan dan anak itu sampai pada suatu tempat.

Di sana ada jajaran rumah-rumah makan, kaca-kacanya berdebu dan bangunannya kusam kotor. Interiornya redup sekali namun banyak pengunjung memadati tiap bundar meja dan kursi.

Taufan membelalakkan matanya, sejurus kemudian jantungnya berdebar ribut sekali. Ia menangkup mulutnya, menyumpal teriakan yang hendak keluar.

Para pengunjung itu berwujud manusia yang begitu buruk rupa hingga menyerupai monster.

Seorang laki-laki duduk pada kursi, tubuhnya begitu gemuk hingga lipatan lemaknya tumpah-ruah ke lantai. Ada ratusan jerawat pada sekujur tubuhnya, matanya hitam sekali dan mulutnya melebar menyerupai katak. Tangan berlemaknya menyambar daging di atas meja, sementara tangan sebelahnya meremas beberapa butir telur mentah dan memasukkannya ke mulut dengan rakus. Di bawah meja, ada setumpuk besar kotoran manusia yang sudah membenamkan kaki hingga sebetis. Di sisi lelaki obesitas itu, ada seorang wanita kurus sekali tengah menyajikan semangkuk besar perut sapi.

Taufan terperangah. Ia memerhatikan pengunjung lain pada restoran tersebut. Mereka semua sama saja—selalu ada orang luar biasa gemuk dengan lemak berlipat tebal dan pelayan kurus menyuguhkan hidangan, lantai dibanjiri lumpur kotoran dan urine.

Taufan hampir muntah melihatnya.

"Apa ini? tanyanya heran. Anak itu menatap malas ke arah restoran.

"Manusia-manusia rentenir, manusia pemakan uang bunga kredit dan orang-orang pekerja di asuransi dan bank. Manusia kurus itu adalah korbannya. Jika mereka tak mampu lagi membayar, diri mereka akan menjadi santapan."

Anak itu menunjuk ke sebuah sudut. Tampak pria kurus sekali berlutut merepetkan kalimat ampun sementara seorang wanita berbadan raksasa marah sekali, matanya semakin menghitam seperti buaya dan lidahnya berputar menari-nari.

Tak lama kemudian, wanita itu mencengkram pria kurus itu dan memakannya hidup-hidup—suara melolong jeritannya terdengar menyayat hati, begitu pula suara renyah tulangnya dikramus oleh mulut katak tersebut. Darah terciprat ke segala arah, namun justru membuat pengunjung lain kian menggila dan memicu beberapa mengunyah para manusia kurus itu.

Taufan menatap horor pemandangan di depannya. Ia menoleh pada sang anak.

"Kenapa kita diam saja? Ayo kita selamatkan orang-orang ini!"

"Mereka yang mendatangkan bencana sendiri," ujarnya tanpa seutas simpati. "Mari berjalan bersamaku, Taufan."

Anak itu meneruskan langkahnya, jubahnya menggapai tanah namun tak berhasil menodai kainnya. Taufan merasa berat mengikuti pemandunya namun ia tak bisa berbuat apapun di sana. Ia rasa itu hal yang sia-sia, entah mengapa ia mendapatkan firasat demikian.

Taufan melempar pandangan terakhir ke arah restoran menyedihkan itu dan berjalan mengikuti pemandunya.

2.

Mereka tiba pada sebuah ladang gandum. Menguning menghampar seakan sapuan kuas master Van Gogh. Di sisinya, kebun sayur-mayur tumbuh lebat berbuah rimbun, berayun-ayun menyenangkan pandangan. Matahari bersinar terik, sebagaimana musim panas seharusnya. Angin kencang membuat batang-batang gandum bergoyang perlahan-lahan. Burung-burung nakal mulai mencuri dari batang yang merunduk akibat beratnya beban.

Taufan memicingkan mata karena silau namun hatinya sedikit terhibur melihat lautan emas itu berpadu dengan hijaunya kebun. Cantik sekali ketika berdampingan dengan biru langit.

"Indah," decak Taufan, kagum. Pemandunya hanya diam.

Taufan melempar pandangan ke sebelah kiri jalan—suburnya padang rumput membentang sejauh mata memandang. Sekawanan biri-biri dan sapi perah memamah biak, domba-domba berbulu gimbal berjalan lamban dalam kelompok kecil. Taufan merasa damai sekali melihat pemandangan desa di depannya, begitu tenang tanpa hal-hal besar yang mengusik—

"Ngiiiiiikkk!"

Taufan terperanjat, ia mencari asal suara tersebut. Ia lebih terperanjat lagi ketika menyaksikan segerombol besar babi berbobot ratusan kilogram menyerbu padang hijau tersebut dari arah berlawanan. Tanah sedikit bergetar akibat derap tapak-tapak berat itu dan rerumputan tercerabut. Kawanan domba dan sapi segera berlari menghindari keberadaan invasif tersebut, mereka seakan membaca gelagat tak baik dari mereka.

Benar saja. Kawanan babi buas itu mulai memakan apa yang ada di sana. Ladang gandum yang siap dipanen segera dilalap tanpa kecuali oleh mulut-mulut serakah. Kebun sayur rusak terinjak-injak dan dibabat nafsu perut mereka. Ludes bersih. Taufan berjengit melihat kehancuran hasil pertanian semudah itu, membuatnya merasa kasihan pada pemilik ladang dan kebun. Ringan sekali para babi ini merampas segalanya.

"Perhatikan," ujar sang anak.

"Huh?" tanya Taufan. Anak itu menunjuk pada seekor babi besar terdekat yang asyik mengunyah mentimun besar.

Wajah hewan itu adalah manusia namun bertubuh babi hutan. Taufan baru menyadari jika tiap ekor babi itu memiliki wajah manusia—baik betina maupun jantan, semuanya mengenakan ekspresi manusiawi seperti makhluk mitos dalam dongeng rakyat. Seakan hukuman bagi manusia durhaka. Taufan tak mengerti.

"Kenapa...?"

"Mereka manusia yang terlalu banyak makan. Perut yang penuh dapat mengeraskan hati nurani dan menumpulkan empati. Seperti inilah sepatutnya mereka—tak lebih dari hewan ternak."

Taufan memandangi porak-porandanya seluruh ladang dan kebun itu, wajah-wajah manusia babi tersebut berkerut penuh nafsu menghabiskan apa saja yang bisa dikunyah. Mereka tampak tak berdaya mengendalikan diri mereka sendiri. Penyembah perut dan makanan lezat, merendahkan martabat hingga sederajat hewaniah.

Taufan meremas bajunya. Miris.

3.

Anak misterius itu mengajak Taufan pada sebuah kota besar metropolitan. Orang-orang berpakaian formal dan mahal berseliweran bak lebah, mobil-mobil buatan Jerman dan Italia berlarian. Gedung-gedung pengoyak langit, jalanan yang diaspal mulus, lampu-lampu tinggi serta butik-butik indah. Deretan apartemen modern minimalis tersusun ciamik menambah kesan betapa tinggi kasta-kasta manusia yang berhak menjejakkan kaki di sana.

Taufan terkesan dengan tata kotanya. Estetis, rapi, anggun dan berkelas. Mengingatkannya pada jantung kota Florence, Italia. Taufan merasa ia seperti gelandangan di sana, dengan baju kaus biru tua dan celana piyama hitam. Ia bahkan bertelanjang kaki, meski ia merasa aneh telapaknya sama sekali tidak merasa sakit atau panas terbakar.

Meski begitu, ia tetap berjalan seraya mengagumi tiap lekuk dan sudut. Taufan lahir dan besar di desa, kota besar seperti ini hanya dalam televisi dan imajinasi. Tak mungkin ia kunjungi. Terlalu eksotis rasanya.

Terlalu asyik pada lamunan membuat Taufan hampir menabrak seorang wanita tinggi semampai dengan rambut pirang panjang. Taufan hendak mengucap maaf namun ia berhenti akibat terhenyak kaget.

Dari leher, lengan, dada sampai betis wanita itu semuanya ditumbuhi bola-bola mata. Mata-mata itu berkedip dalam waktu yang tidak bersamaan, mereka juga memandang ke segala arah seakan memiliki pikiran sendiri. Beberapa bulir bola mata itu menatap Taufan dengan pandangan remeh, beberapa menilainya dengan ketat. Taufan terasa seperti diekspos habis-habisan.

"Ma... maaf..." cicit Taufan lemah.

Wanita itu tak berkata apapun, ia langsung pergi meninggalkan Taufan yang masih tercenung dan berusaha mencerna pemandangan yang membuat bulu romanya berdiri. Ia bergidik ngeri dan menoleh pada pemandu kecil tersebut.

"Kenapa dengannya?"

"Mata-mata di sekujur tubuh wanita itu merepresentasikan keinginannya untuk dilihat manusia lain. Ia hanya fokus pada segala pandangan manusia dan sibuk memandang manusia lain, tanpa sadar rupanya sendiri."

Taufan memandangi wanita itu yang telah berjalan menjauh. Ia memang seperti jiwa yang selalu bersedih dan tidak pernah puas, hanya bergantung pada penerimaan orang lain agar bahagia. Ada kemarahan pada kehidupan yang terbenam dalam hatinya, bak pasak yang tertancap kuat. Takkan dapat dicabut dan membebaskan hatinya yang dipenjara berjuta angan-angan tinggi.

Taufan kasihan padanya.

4.

Tibalah ia di perpustakaan besar bergaya Eropa abad ke-11. Pepaduan selaras antara sentuhan modern, kelestarian kultur dan intrik dari sejarah panjang manusia. Coraknya mengingatkan Taufan pada hangatnya warna bumi dan senja abadi di ufuk barat. Taufan rasa warnanya sulit diidentifikasi, hanya memori saja yang pantas merekam dan menunjuki shade yang sama lagi.

Taufan dan pemandunya duduk pada kursi kayu di meja panjang. Rak-rak tinggi disesaki ribuan buku bersusun kokoh bak tembok, menciptakan gang-gang kecil di antaranya. Taufan rasa perlu waktu lama sekali untuk melalap habis semua bacaan ini, mungkin bertahun-tahun. Bagi yang para cendikiawan haus ilmu, ini merupakan lumbung padi yang tak habis-habis.

Taufan mengetuk jemari pada meja kayu berpelitur itu. Gema terdengar pada ruangan besar itu, yang mana absen dari semua orang. Suasana begitu hening, bahkan udara pun tak bergerak sama sekali.

Taufan baru saja membuka mulut hendak bertanya, sebelum pemandu itu menoleh ke sebelah kanan Taufan.

"Mereka sudah tiba,"

Terdengar benda berat dan basah seperti diseret-seret, bunyi lembab beradu ribut dengan lantai. Taufan memalingkan pipi dan melihat tiga manusia... dengan badan berlendir kental dan kulit dipenuhi tonjolan kecil. Mereka melata di lantai meninggalkan jejak basah di mana-mana, mata mereka menonjol keluar dan tangan serta kaki mereka menyatu sempurna dengan badan—menjadikan rupa mereka mirip siput raksasa tak bercangkang.

Taufan terkesiap, ia tak mampu melepas pandangannya dari makhluk aneh itu.

Mereka berseru dengan suara-suara melengking seperti suara ayam hendak disabung. Tampaknya mereka berargumen sengit, namun Taufan tak memahami apa topiknya. Ia hanya menatap ngeri seekor manusia-siput yang mendesis-desis dan seekor lagi membuka mulutnya lebar-lebar—tak ada gigi di sana, hanya lendir yang pekat dan banyak. Bau amis, bau pesing berbaur dengan bau busuk terendus kuat dari tubuh mereka, Taufan baru saja menciumnya dan segera menutup hidung.

"Siapa mereka ini?" tanya Taufan.

"Manusia yang tidak menggunakan ilmu dan kepandaiannya untuk mendidik orang lain. Mereka hanya membaca untuk berdebat dan menunjukkan bahwa mereka lebih berpengetahuan. Mereka takkan menjadi apa-apa yang berguna dan bermanfaat."

Taufan memandangi tiga manusia siput itu saling beradu suara dengan berisik. Suara perseteruan itu memancing residen lain tampaknya hingga tak lama kemudian manusia siput lain bermunculan dan perlahan memadati tempat itu. Bau menyengat membuat Taufan mual dan ia segera meninggalkan perpustakaan tersebut. Tempat di mana adu logika dan tafsiran kian melebar dan masing-masing merasa argumennya lebih mumpuni daripada yang lain.

5.

Taufan duduk bersama anak itu di bangku taman. Sebaris pepohonan menaungi mereka berdua dari matahari. Sunyi tanpa suara apapun di sana kecuali desiran lembut sang bayu, mengugurkan dedaunan kuning dan kelopak bunga.

Taufan memangku dagunya dan memandang ke sudut taman. Terdapat kolam besar di sana dan seorang pria tua menaburkan remah makanan. Namun yang muncul ke permukaan bukan ikan, melainkan sekelompok lengan manusia yang terpotong. Lengan-lengan itu berenang lincah sebagaimana ikan koy, menangkapi makanan yang dihambur oleh si pria tua.

Taufan memalingkan matanya dari pemandangan itu, ia tak mengerti mengapa lengan bisa berubah menjadi ikan.

"Aku ingin pulang," kata Taufan lelah. Anak itu bergumam kecil.

"Kenapa?"

"Aku tak ingin melihat apapun lagi," ujarnya Taufan.

Matanya tak sengaja melihat etalase bening sebuah butik, ada gadis-gadis separuh badan di sana—mereka tak bergerak dan mengenakan pakaian indah. Kulit mereka tanpa cacat dan wajah mereka cantik, namun tubuh mereka direkatkan pada pajangan itu.

Mungkin mereka akan selamanya berada di butik itu, menempel erat pada stand dan menjadi tontonan orang-orang. Perlahan kehilangan kewarasan akibat terkurung di sana, tanpa melakukan apapun dan hanya diam memandangi pemandangan yang sama hari demi hari, entah sampai kapan. Tak ada bedanya dengan pasien lumpuh total di rumah sakit yang bahkan tak mampu buang air sendiri.

Taufan menundukkan pandangannya. Tak kuasa ia melihat mereka yang menjajakan diri namun pada saat bersamaan mereka juga disiksa sang pemilik.

"Boleh aku pulang?" pinta Taufan lagi, mata meneliti garis telapaknya. Itu lebih menarik.

Pemandunya tak bergeming untuk beberapa saat. Taufan mulai curiga ia takkan diberitahu jalan pulang hingga ia bersua.

"Apa kau mau melihat dirimu?"

"Eh?" sahut Taufan bingung. Pemandunya bangkit dari bangku.

"Ayo berjalan bersamaku, Taufan," ajaknya lagi. Ia beranjak tanpa menunggu.

Taufan berdiri dan mengikuti arah kepergiannya. Anak itu menuju kolam lengan manusia, sang pria tua telah pergi dari sana. Kolam itu berair gelap, memantulkan refleksi pada apapun yang berada dalam jangkauannya, termasuk Taufan sendiri yang mendekat pada bibir kolam. Taufan mengintip ke dalam airnya dan terkejut melihat bayangannya.

Mulutnya melebar, terbelah mencapai telinganya dan membentuk senyuman miris permanen. Ada jahitan kasar pada area yang sobek itu, benang-benang hitam yang kotor dan keras akibat darah kering. Setengah gamang, Taufan meraba kedua pipinya yang sudah koyak itu. Ia terlihat mengerikan dalam tawa maniak, seakan kesenangannya bertumpu pada penderitaan manusia lain.

Dengan dada mencelos, Taufan berbalik pada pemandunya—matanya separuh menuduh dan separuh bertanya.

"Apa ini? Apa artinya?"

Pemandunya menatap Taufan dengan raut tenang. Ia melipat jemarinya.

"Sebuah cinderamata."

"Maksudmu?" sergahnya.

"Pengingat kelemahanmu agar kau fokus pada itu, bukan pada aib orang lain."

Taufan terhenyak. Memang sepanjang perjalanan di luar nalar ini, ia selalu disuguhkan tayangan pelintiran dan parody dari aib manusia. Ia mendapatkan pelajaran berharga dan konsekuensi dari segala perbuatan buruk, namun itu juga membuatnya terlupa jika ia salah seorang pelakon sandiwara dengan aib yang menunggu terbuka lalu aromanya tertiup angin. Ia juga salah satu dari mereka, setali tiga uang pula. Pada akhirnya ia akan camkan segala tindak-tanduk salah para manusia agar ia tidak tersandung pada kebodohan yang sama, namun ia pun memiliki bobrok lain.

Taufan memandang lagi refleksi dirinya pada kolam itu, jemarinya masih meraba mulutnya yang terkoyak presisi dan jahitan miring. Di dunia ini, setiap keburukan yang tampil selalu ada maknanya. Lantas apa makna dari cacatnya ini? Apa aib terbesarnya? Apa kekurangannya?

Desiran rasa penasaran dan malu bertarung hebat dalam batinnya namun Taufan teguk segalanya. Ia menatap anak itu.

"Apa ini artinya?" tanyanya setengah takut. Anak itu tersenyum tipis.

"Kau terlalu banyak tertawa dan bercanda, terlalu sering berbicara tak berguna hingga kau lupa menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan."

"Oh," desah Taufan lemah. Tanpa sadar, ia meneteskan air mata sembari memegangi wajahnya.

Di mana destinasi yang hendak ia labuhkan diri, di mana pula angin bertiup mengembangkan layar jika nahkodanya tersesat dan lupa membaca kompas?

6.

"Kak Ufan! Kak Ufan sudah sadar!"

"Mana? Mana?"

"Alhamdulillah!"

Taufan mengerjapkan matanya perlahan, hal pertama yang ia lihat ialah plafon putih bersih yang asing. Sedetik kemudian ia menyadari jika ini bukan kamarnya dan terlalu banyak pertanyaan menyesaki benak, namun Taufan masih terlalu oleng untuk mengurai total kesadarannya. Apa yang terjadi?

"Kak Ufan?" panggil seseorang. Taufan mengerling. Ada wajah-wajah familiar memandanginya dengan berbagai ekspresi—lega, bahagia dan bertanya. Ia mengerutkan kening.

"Ini di mana...?"

"Kak Ufan demam tinggi dan pingsan, jadi kami bawa ke rumah sakit," ujar Gempa, adik pertamanya.

"Hah?" sahut Taufan berusaha mengingat-ingat. "Kapan aku pingsan?"

"Sewaktu mau naik tangga," balas Halilintar yang berdiri di sisi Gempa. "Kepalamu terantuk cukup keras."

"Tapi kata dokter Kakak gak apa-apa," timpal Blaze. "Cuma benjol!"

"Ha'ah, untung Kakak belum naik tangga terlalu tinggi," kata Ice sembari tersenyum.

Taufan mengerutkan alis. Benarkah? Ia sama sekali tidak ingat ia menaiki tangga.

"Di mana yang lain?" tanya Taufan hendak bangkit untuk duduk namun ia urungkan niatannya. Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri sekali, seperti dipukul balok kayu.

"Tok Aba tengah ke rumah, mengambil baju salin dan peralatan sholat bersama Duri dan Solar," jawab Gempa.

"Oh, oke..." gumam Taufan ragu.

"Kak Ufan mau minum?" tawar Ice.

"Ah, iya, terimakasih," sahut Taufan.

"Kamu ada selera makan?" tanya Halilintar. Gempa menyenggol sang kakak.

"Katanya nanti dahulu."

Percakapan bergulir natural tanpa umpan dari Taufan. Sayangnya segala interaksi itu sama sekali tidak menepis bayangan suram pemandunya dan dunia aneh tersebut. Jadi, itu semua hanya mimpi? Hanya filamen dari imajinasinya? Mengapa rasanya begitu nyata dan menyisakan perasaan mencekam dalam dadanya? Membuatnya gelisah dan takut sekali karena ia mampu mengenang mimpinya luar biasa detil, seolah terpatri bak prasasti pada otaknya. Seolah ada besi panas yang dilekatkan pada kulitnya, menjadikannya orang bertanda khusus.

Sontak Taufan menyentuh wajahnya. Pipinya masih kenyal dan halus, tanpa sobekan apapun. Ia menghembuskan nafas lega, memang tak mungkin ia terluka sungguhan. Itu semua hanya mimpi. Taufan tak bisa membayangkan betapa malu dirinya membawa wajah yang memproyeksikan sendiri dosanya.

Meski begitu, ia tahu jika rupa buruk itu akan selalu ada selama ia masih memiliki watak tersebut.

7.

Taufan berdiri bertelekan dinding komuter, ia mengedarkan pandangan.

Suasana dalam kereta listrik ini cukup padat saat ia baru saja pulang kuliah. Taufan berniat pergi ke pusat kota untuk mencari literatur dan bahan rujukan, segunung tugas menunggu diselesaikan. Perpustakaan di kampusnya hanya mampu memuat sekian banyak bahan sebelum akhirnya terantuk biaya. Taufan disarankan pergi ke perpustakaan arsip daerah dan ia mau saja.

Sekalian cuci mata, batinnya.

"Kamu salah! Bukan tahun 1620 tapi tahun 1619!"

"Bukan, jelas sekali pada buku itu tahun 1620! Aku ini bukan pelupa!"

"Itu full-blown. Bukan awal terjadi!"

Taufan menoleh. Ada dua gadis berdebat masalah akademik, kian lama kian memanas dan kini mereka melempar argumen dalam bahasa Inggris. Taufan melongo, begitu pula sebagian penumpang kereta listrik. Kata-kata meluncur terlalu cepat untuk Taufan tangkap, ia tak mengerti apa topik perbincangan mereka.

Tiba-tiba sebuah percikan air dingin mengenai pipinya. Taufan menoleh. Tepat di sebelahnya ada seorang lelaki gemuk mencabut sedotan dari cup ekstra besarnya hingga latte-nya terpercik ke pipi Taufan. Lelaki itu langsung meminumnya dalam kondisi berdiri. Di tangannya ada kantung plastik besar berisi dua lusin donat Krispy Kreme dan sebotol besar kopi dingin. Usai menenggak minuman bergula itu, ia membuka kotak donat dan melahapnya dengan cepat.

Taufan mengusap pipinya yang terkena cipratan latte, suara debat dalam bahasa asing masih terdengar jelas. Kereta perlahan berhenti pada stasiun dan Taufan menyingkir dari dekat pintu, sebagian penumpang turun dengan tak sabar.

Tanpa aba-aba, Taufan ditabrak oleh seorang lelaki dewasa yang tengah menelepon dengan ponsel keluaran mutakhirnya. Lelaki itu sama sekali tidak mengindahkan Taufan yang hampir terjerembab, untungnya ia berpegangan pada tiang.

"Kalau bayar bunganya saja ia tak mampu, bagaimana pokoknya? Ambil saja motornya itu, biar jadi pelajaran! Biar mental miskinnya tidak keenakan!"

Taufan merasa tertohok mendengar sekelumit percakapan itu. Ia merasa kasihan pada siapapun yang terlilit hutang ganas dan bunga yang mencekik leher. Entah bagaimana awal ceritanya, namun ia teringat ucapan Halilintar mengenai ini. Ada banyak argumen tak terbantahkan mengapa bunga pinjaman dan kredit diharamkan dalam agamanya—menyengsarakan korban salah satu alasan terkuatnya.

Taufan menatap punggung pria itu yang kian menjauh, hingga pintu komuter tertutup otomatis dan kereta berjalan kembali. Taufan menghembuskan nafas berat, perjalanan yang seharusnya membosankan kini malah membuatnya agak murung.

Taufan tersentak ketika ia merasa tangannya yang memegang tiang disentuh oleh seseorang. Taufan melihat seorang gadis muda yang mengecat pirang rambutnya sedang berdiri di dekatnya, jemarinya tak sengaja beradu dengan Taufan. Matanya asyik melototi ponsel pintarnya. Bajunya ketat sekali, memperlihatkan bentuk dada dan bokong. Riasannya lengkap dengan mata, bibir, alis dan pipi tak luput dari sapuan produk kecantikan. Tas jinjingnya disampirkan pada pundak, modis dan kasual berpadu dengan sepasang sepatu cantik.

Taufan menundukkan pandangannya dan mulai memikirkan apa yang ia impikan dahulu.

Ia teringat akan pemandunya. Ia teringat semua pemandangan mengerikan itu. Ia masih dapat mengecap perasaan takutnya. Mereka semua memiliki aib namun ia harus sibuk pada aibnya sendiri. Mengapa ia pandai mengendus aroma busuk pada diri orang lain padahal ia sendiri pun sama saja baunya?

Taufan terkenang senyum miringnya pada kolam gelap tersebut dan utas benang jahit di kedua pipi. Ingat, ingat, batinnya lirih.

.

.

.

Fin.

.

Terinspirasi dari mimpi saya sendiri, ngeliat patung-patung perempuan setengah badan di pamerin. Creepy yah, tapi jadi berkembang ke sini.

Hayo fans Upan mana suaranya XD

Ambil baiknya. Buang jeleknya. UwU