Alternative universe series yg dibintangi oleh Draco Malfoy dan Harria Potter.

So, this is the collection of stories I challenge myself to write. Isinya kisah-kisah Harry dan Draco dalam berbagai AU. Kalau kalian suka dengan ini, boleh bgt kasih ide di review buat challenge cerita selanjutnya. It could be anything, akan Saya buat ceritanya x)

I'm actually so excited to start this.

Enjoy.

Disclaimer: HP bukan punya Saya.


Chapter1. Student and teacher AU.

SUMMARY: Draco adalah guru pertahanan yang baru. Harry sudah pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dan kesannya terhadap guru itu: can I kill him now?


Harria Potter dan Ginny Weasley berdiri di depan bangunan berkelip dengan tulisan besar: SCARLETT. Mereka berdua bertukar lirikan sekilas, lalu menatap lagi orang-orang yang silih berganti masuk dan keluar klub malam itu. Tak Ada suara keras yang terdengar, jelas, karena tembok soundproof, tapi Harry dan Ginny tahu persis bahwa itulah yang akan menyambut mereka di dalam.

"Oke," Ginny menarik napas. "Apa kau siap?"

Harry cemberut. "No. Aku tak pernah setuju dengan ini," tandasnya.

Ginny memutar bola matanya. "Yeah yeah. Ingatkan aku saat kau sudah mendapat sepuluh orgasme setelah ini," katanya ringan.

Harry mendengus. "Gin, kau lima belas, aku enam belas! Kita tak mungkin bisa dapat orgasme sebanyak itu!" Dia sungguh tak mengerti apa yang ada di pikiran sahabatnya itu.

Ginny nyengir lebar. "Still, tak ada tempat terbaik untuk belajar selain pada orang yang berpengalaman kan?" Katanya. Dia tampak sedikit gugup, tapi jelas tak segugup Harry, yang sejak awal menolak rencana ini.

Harry mendesah. "Well, whatever. Let's get over it."

Ginny kembali memutar bola matanya, lalu dia menggandeng tangan Harry, berjalan memutar ke pintu belakang klub. Scarlett tidak mengizinkan orang di bawah Dua puluh tahun untuk masuk, tapi Ginny berkeras dia bisa memasukan mereka berdua. Harry tahu usaha ini sia-sia, karena satpam di depan pintu itu berkacak pinggang, menatap mereka curiga. Harry mendengus dalam hati. Ginny bakal sangat kecewa.

"Di bawah dua puluh tahun di larang masuk," geram satpam itu. "ID."

Harry dan Ginny berdandan luar biasa tebal untuk menyamarkan umur mereka. Dan menurut Harry, mereka memang terlihat jauh lebih tua dari sebenarnya, tapi mungkin make up tebal tak bisa membohongi satpam yang sudah bertahun-tahun bergelut di dunia ini.

Tapi Ginny bahkan tak berkedip. "Sori, ketinggalan di rumah. Har?"

"Er..."

"Tapi kami di atas dua puluh. Biarkan kami masuk."

Satpam itu mengernyit, lalu menggeleng. "No. Tanpa ID, aku tak bisa membiarkan kalian masuk."

Ginny tersenyum kecil. "Really? Apa yang membuatmu mengira kami di bawah dua puluh tahun?" Tanyanya dengan nada penasaran yang meyakinkan.

Satpam itu menatap mereka ragu. "don't know. It just... Kalian berdua terlihat muda..."

Ginny memutar bola matanya, lalu, tanpa jeda, seolah ini memang sudah dia perkirakan, dia mengangkat gaun mini nya ke atas, menunjukan dua gundukan besar tanpa bra ke satpam itu. Si satpam tergagap syok, matanya membelalak, tak bisa lepas dari payudara Ginny. Harry menganga sama syoknya dengan si satpam.

"Apa ini terlihat seperti di bawah Dua puluh tahun untukmu?" Kata Ginny riang. Si satpam masih tak bisa mengalihkan matanya, menggeleng, lalu bergeser untuk mempersilakn mereka berdua masuk. Ginny nyengir berpuas diri, menurunkan gaunnya, lalu buru-buru menarik tangan Harry dan berjalan masuk sebelum si satpam sadar bahwa dia telah di manipulasi.

"Ginny!" Desis Harry masih syok karena sohibnya bisa seberani itu. "What the hell?!"

Ginny mengibaskan tangannya. "Malam ini kita bakal telanjang di depan seorang pria kan? Kurasa tak masalah dengan sedikit pemanasan."

Harry tergagap tak percaya. "Kalau Ron sampai tahu..."

"Apa kau akan mengadukanku?" Tantang Ginny, mengangkat sebelah alisnya. Harry cemberut, jelas dia tak mungkin mengadukan cewek itu, Harry tidak sejahat itu.

"Kau beruntung Hermione tidak di sini..."

"Itulah sebabnya aku mengajak kau, bukan dia," kata Ginny, tertawa. "I love that girl, tapi kadang dia bersikap lebih parah dari Mum."

Suara Musik luar biasa keras menyambut mereka. Harry meringis mencium bau rokok, bir, dan keringat yang bercampur. Pria dan wanita berjoget penuh semangat di lantai dansa dengan tingkat mabuk yang berbeda-beda. Harry dan Ginny mematung sejenak menatap ini.

"Well," Ginny menarik napas. "Kita sudah di sini. Ayo... Kita beli minum dulu oke? Sambil cari cowok yang..." Dia tak perlu melanjutkan. Mereka membahas hal ini ratusan kali sebelumnya.

Harry mendesah. "Aku masih berpikir bahwa ini ide buruk."

Ginny tak mengacuhkannya, berjalan menuju bar. Harry mengikutinya pasrah. Harry merasakan beberapa mata menatapm mereka, mengikuti langkah mereka. Mau tak mau dia merasa sadar diri juga, apa dia tak terlihat seperti cewek 20 tahun? Dia berusaha tak membalas tatapan-ttapan yang rasanya menghakiminya itu, berharap mereka tak mempermalukan diri mereka sendiri dan di usir dari klub itu.

Mereka duduk di kursi bar, menunggu bartender menghampiri mereka. Harry menatap sekeliling cemas, Ginny mencubit paha nya.

"Berhenti bersikap seolah kau baru pertama kali kesini," desisnya.

Harry cemberut.

"Pesanan?" Tanya bartender dengan suara datar tanpa senyum.

"Dua gelas Sherry, please," kata Ginny lancar. Bartender tak berkedip, langsung mengambilkan pesanan mereka.

"Sherry?" Bisik Harry geli. "Minuman favorite Trelawney, eh?"

Ginny nyengir. "Menurutmu darimana aku mendapatkan idenya?"

Harry tertawa. Tapi belum sempat dia membalas pernyataan itu, Ginny menyikutnya. "Har, cowok arah jam 10. Apa ini cuma perasaanku atau dia memang menatapku sejak tadi."

Harry menatap arah yang ditunjuk Ginny, melihat cowok tiga puluh tahunan menatap Ginny mengapresiasi sambil menyesap bir nya.

Harry meringis. "Selain kenyataan bahwa dia bisa menjadi ayah kita..."

"Ayahmu," tawa Ginny. "Si ganteng James Potter. Bukan ayahku yang jelas."

Harry memutar bola matanya. Ayahnya ganteng karena meninggal di usia 21 tahun, kalau tidak, Ginny tak akan menganggapnya ganteng.

"Dia terlihat berpengalaman kan," kata Ginny pelan, mengibaskan rambutnya, tersenyum menggoda pria itu. Sang pria balas tersenyum, sekali lagi menyesap bir nya.

Harry mendengus. "Darimana kau tahu? Bisa saja dia aama perawannya dengan kita."

"Ginny mendengus juga. "Dengan wajah dan tubuh itu? Kurasa tidak."

Mau tak mau Harry berpikir bahwa Ginny benar. Cowok itu tinggi, dan gagah, dan tampan. Sedikit tampak berpuas diri. Well, mungkin memang dia adalah cowok yang tepat...

"Vodca."

Harry merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Harry bisa mencium aroma parfum mahal yang membuatnya penasaran dan menoleh. Cowok pirang, pucat, dengan kemeja dan celana formal, tampan mungkin, menatap penuh ekspektasi si bartender yang mengangguk. Cowok itu tak mungkin lebih dari dua puluh limaan, dia masih tampak muda.

Si cowok merasakan mata Harry, menoleh, dan Harry bertatapan dengan mata paling indah yang pernah dia lihat.

Oh.

Wow.

Cowok itu nyengir kecil padanya. "Hei." Lalu menerima gelas dari bartender, menenggaknya sampai habis. Harry melihat lehernya, merasakan wajahnya sendiri merona karena membayangkan bagaimana rasanya mencium leher pucat itu.

Si cowok pucat mengangkat sebelah alisnya. "Tahukah kau kalau menatap orang begitu tidak sopan?" Tanyanya ringan. Harry gelagapan.

"Oh, mm, sori," katanya, buru-buru berpaling.

Cowok itu terkekeh, menggeleng, tapi tidak mengatakan apapun lagi. Dia memesan bir lagi.

Harry menarik napas. Aroma parfum cowok itu enak sekali. Padahal mereka duduk dengan jarak normal, tapi Harry bisa menciumnya. Harry tak pernah mencium yang begini dari teman-teman cowoknya sebelumnya, biasanya hanya aftershave atau deodoran, beberapa bau nya tak bisa di tolerir.

Tapi pria ini, muggle, dewasa...

Harry meliriknya lagi.

Tangan pria itu mengetuk meja, matanya menatap menerawang orang-orang yang berdansa, sambil menyesap minumannya, lebih santai dari gelas pertamanya tadi.

Lalu pria itu mendengus, menatap Harry, yang nyaris terlonjak kaget, menatap arah lain lagi.

Pria itu melanjutkan aktifitasnya menatap kerumunan sambil minum lagi.

Harry menyesap minumannya, merasakan tenggorokannya terbakar, tapi berusaha keras tidak bereaksi. Dia berjengit.

Si pria di sebelahnya terkekeh, menggeleng. "Bagaimana bisa kau masuk ke sini?" Tanyanya.

"Hah?"

Cowok itu nyengir. "Umur berapa kau? Lima belas?"

Harry tergagap, menatap cowok itu tersinggung. Masa sih dia terlihat semuda itu?! "Aku dua puluh!" Protesnya.

Pria itu mendekatkan tubuhnya. "Oh really?" Tanyanya, nadanya menggoda. Harry memundurkan tubuhnya, merasakan wajahnya merona. Pria ini sungguh... Mempesona. Matanya yang kelabu indah menatap Harry tanpa kedip. "Cewek 20 tahun yang baru pertama kali minum alcohol?"

Harry cemberut. "Ini bukan pertama kalinya aku minum. Aku hanya tak biasa minum merk ini," tandasnya. Dan dia sepenuhnya jujur, dia pernah minum firewhiskey sebelumnya kok. Walaupun hanya satu sesap, dan tak ingin mencobanya lagi.

"Hmm," cowok itu bertopang dagu, menatap Harry sejenak. Lalu... "Nah. Kau tak mungkin 20 tahun."

Harry membelalak. "Whatever," tukasnya kesal.

Cowok itu tertawa. "Yeah, whatever," dia mendekatkan wajahnya lagi. "Mau dansa?"

"Oh," Harry berharap wajahnya tidak merona lagi. Pasti rona ini yang membuat dirinya tak terlihat dewasa. "Em," pria ini sungguh tampan, tersenyum penuh ekspektasi. "Well, er..."

Pria itu itu tertawa. "First time juga?"

Harry cemberut. "Tentu saja tidak." Dia mengernyit. "Oke. Ayo."

Pria itu nyengir, berdiri, mengulurkan tangannya. Harry meringis, menggandeng tangan pria itu, lalu mereka menuju lantai dansa.

"Siapa namamu?" Tanya pria itu, memegang pinggang Harry, mendekatkan tubuh mereka. Harry merasakan dirinya seriusan gugup sekarang.

"Rose," kata Harry cepat. Dia dan Ginny sudah menyiapkan nama samaran. Dia adalah Rose, Ginny adalah Aster.

"Nice," kata pria itu. "Biasanya aku lebih memilih tulip, tapi kurasa rose juga boleh."

Harry memutar bola matanya. "Dan kau? Siapa namamu?"

"Dragon."

Harry menatapnya sebal. "Oh yang benar saja."

Cowok itu tertawa, menggoyangkan pinggulnya bersama Harry. "Seriusan. Itu namaku."

Harry memutar bola matanya. "Kalau kau mau pakai nama samaran, setidaknya kasih nama yang meyakinkan dong," tandasnya. "Aku tak mau memanggilmu Dragon!"

Pria itu, Dragon, balas memutar bola matanya. "Whatever. Anak kecil tak boleh mencela orang dewasa."

Harry memelototinya. "Aku bukan anak kecil!"

Dragon nyengir, mendekatkan wajahnya. "Aku tak peduli. Let's just dance, hm?"

Dan mereka berdansa mengikuti musik, berjingkat. Harry merasakan jantungnya berdebar saat Dragon makin mendekatkan tubuh mereka.

"Apa yang membuatmu datang ke sini?" Tanya Dragon penasaran.

Harry mengangkat bahu. "My friend wanna get some."

Alis Dragon terangkat tinggi. "Really?" Dia menatap Harry lama. "Padahal kupikir kau masih perawan."

Harry tergagap. "Kenapa memangnya."

Dragon terbahak. "Yeah, berapa banyak cewek 15 tahun yang sudah tidak perawan..."

"Aku 20!"

Dragon nyengir makin lebar. "Aku 23. Jadi kita berbeda 8 tahun. Aku tak yakin yang kulakukan ini bukan kejahatan..." Dia meraba samping tubuh Harry, membuat cewek itu nyaris bergelinjang penuh gairah.

"Ohh shut up! Oke oke, aku 16!" Akhirnya Harry mengakui, pikirannya mulai berkabut Karena tangan istimewa Dragon.

Dragon tertawa puas. "I know! Tak mungkin kau sudah 20 tahun!" Dia tampak sangat geli.

Harry makin gusar. Tapi marahnya teralih saat melihat Ginny melambai padanya, pergi meninggalkan club bersama si pria tiga puluhan itu! Merlin, Ginny sungguh serius rupanya soal ingin mendapat seks hebat dari orang yang umurnya dua kali lipat darinya...

"So," kata dragon lagi, berhenti berdansa, menarik tangan Harry untuk kembali ke bar. Mereka duduk, sedikit terengah.

"So?"

"Kau anak sekolah?"

Harry mengangkat bahu.

Dragon tersenyum, memesan vodka lagi untuknya, dan cola untuk Harry. Harry meringis menerima cola itu dari bartender yang menatapnya tak terkesan (jelas ikut curiga tentang umurnya).

"Aku akan jadi guru tahun ajaran ini," kata Dragon riang, meminta segelas lagi. "Siapa tahu kau bakal jadi muridku."

Harry mendengus. "No, kurasa tak mungkin."

Dragon tertawa. "Yeah, jelas saja."

Harry mengernyit, menatap pria itu lama. Pria itu nyengir menggoda...

Dan Harry tak tahu apa yang dia pikirkan. Dia melompat, mencium pria itu. Mesra.

Pria itu agak kaget, tapi membalas ciuman Harry dengan tak kalah semangat. Mereka bergelut berciuman, penuh hasrat. Dragon menarik Harry untuk duduk di pangkuannya, dan Harry bisa merasakan pria itu mulai bersemangat di bagian lain.

Harry mendadak tak tahu harus melakukan apa.

Dragon melepaskan ciumannya, nyengir lebar, lalu menurunkan Harry dari pangkuannya.

"Wow, that's actually really hot. Aku tak menyangka abg sepertimu bisa melakukan hal seperti ini..."

Harry mengernyit sebal, wajahnya merah padam. "Dan apa maksudnya itu? Sudah kubilang aku bukan anak kecil!"

Dragon hanya tertawa, menepuk pipinya. "Tujuh tahun," katanya riang. "Aku bisa masuk... Penjara... Kalau melakukan lebih denganmu."

Harry memelototinya, habis sudah kesabarannya. "No, kau tak akan! Aku bertanggung jawab atas diriku swndiri!" Lalu dia berdiri, menarik cowok itu bangkit.

"What the..."

"Let's go to your place," kata Harry, meggandeng cowok itu jalan pergi.

"Hei, bayar dulu!"

Dragon mendesah, lalu mengeluarkan uang untuk mengcover minuman mereka berdua.

"Trims," kata Harry, tersenyum. "Now..."

"Dengar Tulip,"

"It's Rose."

"Rose, tulip, whatever," kata Dragon, mengikuti Harry yang berjalan tegas ke pintu keluar. "Kau mungkin berpikir kau tahu apa yang kau lakukan, tapi aku tak mau oke. Aku tak mau masuk Az... penjara. Aku tak mau melakukan seks dengan perawan. Dan utamanya, aku tak mau pulang ke rumah dengan anak sekolah..."

Harry memelototinya. "Just shut up! Aku tak pernah tahu ada cowok yang doyan banget bicara seperti kau."

"Ouch," Dragon tertawa.

"Anggap saja aku sudah 20, oke? Tak akan ada yang tahu juga. Dan lagi, bukankah harusnya orang dewasa bernafsu pada anak sekolahan," tandas Harry sinis.

Dragon menatapnya seolah dia sudah gila. "Orang dewasa yang pikirannya terganggu, maksudmu?"

"Yes, dan kau tak terlihat seperti seseorang yang pikirannya tak terganggu, tenang saja."

"Sassy," tandas Dragon datar. "Well, kalau kau berkeras..."

"Aku berkeras."

Dragon menatapnya geli. "Ini niatmu ya? Datang ke klub untuk tidur dengan pria yang lebih tua. Apa kata orangtuamu kalau tahu soal ini?" Dia membimbing Harry berjalan ke arah apartemen di dekat situ. "Flatku hanya di ujung jalan sana."

Harry hanya mengangkat bahu. "Mereka sudah meninggal, jadi aku aman."

"Oh," Dragon tampak kaget, menatap Harry aneh, tapi dia tak mengatakan apapun. tidak sori, atau deep condolences, atau kata apapun yang biasa orang katakan padanya jika mendengar bahwa orangtuanya sudah tiada.

"Well, jadi karena tak ada orang yang bakal memasukanmu ke penjara, kau aman juga." Kata Harry lagi.

Dragon mendengus. "Oke," katanya, lalu melepaskan gandengan Harry, memeluk pundaknya. "Jadi ini caramu untuk melarikan diri dari kesedihanmu, eh? Mencari pacar yang lebih tua?"

"Pacar?" Dengus Harry. "Aku tak sudi pacaran denganmu."

Dragon menatapnya tersinggung. "But you know I am a catch!"

Harry mengerut-buka tangannya di depan cowok itu. "Terlalu cerewet."

Draco memutar bola matanya, tapi tidak mengelak. "Apa kau pernah pacaran sebelum ini?"

"Tentu saja!" Tandas Harry sebal.

"Berapa kali?"

"Bukan urusanmu!"

Dragon nyengir licik. "Kau tahu, kalau kau tak bisa lebih ramah, aku akan meninggalkanmu di sini..."

"Tega-teganya kau mau mencampakan aku! Pada anak polos yatim piatu seperti aku! Siapa lagi orang yang kupunya?!" Harry memekik luar biasa keras.

Orang-orang di jalan menatap mereka penasaran. Dragon mendesis, memelototinya.

"Shut up."

"Nah, itu yang akan kau dapat kalau mencampakanku di sini!"

Dragon mendesah. "Whatever." Mereka sampai di bangunan super mewah. Apartment tertinggi di komoleks itu, dengan Dua satpam berjaga di pintu depan.

"Oh wow," kata Harry, otomatis. Apartment ini pasti sangat mahal.

Dragon nyengir. "Yup. Aku kaya raya," katanya pede.

Harry mendengus. "Kayak aku tak bisa menebak saja. Kau pasti model anak manja yang hanya bisa minta duit dari orangtuamu."

Dragon terbahak, menggeleng. "So, so true." Dia bahkan tidak mengelak!

Harry menatapnya jijik.

Mereka naik lift sampai ke tingkat 24.

Flat Dragon bahkan lebih impresif lagi. Harry serasa berada di dunia lain. Dengan tatanan sangat modern yang dia tahu pasti sangat mahal. Dia menatap sekeliling terpana. Dragon mendengus.

"Hati-hati jangan ngiler di karpetku," katanya menggoda.

Harry cemberut, melepaskan sepatunya, mendesis lega saat terbebas dari high heelsnya.

"Kau mau teh? Kopi? Atau susu? Butuh untuk masa pertumbuhan, eh?" Dragon tertawa dengan leluconnya sendiri. Harry mencubit pinggangnya sebal. "au!"

"Rasakan," tandas Harry. "Dan aku tidak kesini untuk ramah tamah tahu. Let's just get over this."

"Get over what?" Dragon mengambil segelas air putih, bersandar di kulkas, menenggaknya.

Harry memelototinya, tahu wajahnya merona. "Mana kamarmu?"

Dragon meletakkan gelasnya, mendatangi Harry, memeluk pinggangnya, menempelkan tubuh mereka. Harry menarik napas, aroma parfumnya memabukannya. He smelled so damn good, Harry ingin memakannya saat ini juga. Jadi dia menarik kepala cowok itu, lalu mulai menciumnya lagi. Dragon membalas ciumannya dengan tak kalah antusias.

Harry merasakan tangan cowok itu membelai punggungnya, memegang pantatnya. Ohh. Tangannya bergerah ke depan, memegang payudara Harry. Harry menarik napas tajam saat cowok itu memainkan dadanya, mengusap putingnya yang menegang karena sentuhannya.

"Hmm," gumam Dragon, menciumi leher Harry, menjilatnya. "Dadamu bagus juga..."

Harry mendengus, tapi pikirannya langsung blur saat merasakan tangan Dragon masuk ke balik roknya, memainkan celana dalamnya. Tubuhnya langsung tegang.

Dragon tampaknya tahu. "Kau mau aku berhenti?" Tanyanya pelan.

Harry cemberut. "No. Please, go on."

Dragon nyengir lebar, membelai paha Harry. "Rileks..."

"Aku rileks!"

"We don't have to do this, you know. I don't mind..."

"Tapi aku ingin!" Kata Harry keras kepala.

"Hmm..." Dragon membimbing Harry masuk ke satu kamar. Kamar itu besar, dengan kasur yang juga luar biasa besar... Harry duduk di ujung kasur, menatap sekeliling. Kamar itu berwarna biru, mewah dari ujung ke ujung.

Draco membuka kancing kemejanya. Harry menatapnya bagai trans, saat cowok itu membuka bajunya seutuhnya. Dadanya bidang, dan tubuhnya berotot. Harry harusnya bisa menebak dari betapa kerasnya tubuh itu. Cowok itu tampak santai, seolah dia sudah berulang Kali melakukan ini. Harry mendengus. Jelas saja. Dia Kaya, dia tampan, dan walaupun menyebalkan, dia punya karisma. Harry bisa membayangkan cowok ini adalah model populer yang berganti pacar sesering dia mengganti bajunya.

Entah kenapa Harry sebal memikirkan ini.

"What?" Tanya cowok itu.

"Hmm?"

"Wajahmu kenapa berkerut begitu?" Tanyanya, duduk di sebelah Harry, mengibaskan rambutnya yang jatuh ke depan. Harry merasakan wajahnya merona. "Pertama kalinya melihat cowok melepas baju?" Godanya.

Harry hanya mengangkat bahu. "Shut up." Dia menatap dada bidang Dragon, lalu menyentuhnya. Cowok itu terkekeh.

"Apa kau akan melepas bajumu juga?" Tanyanya akhirnya setelah sekian detik Harry meraba dadanya.

Harry berdeham, menguatkan dirinya, lalu mengangkat gaunnya, membukanya, sehingga hanya tinggal bra dan celana dalam yang membungkus tubuhnya. Dragon bersiul.

"Wow, kau jelas punya badan lebih bagus dari bayanganku," tawanya, matanya tak berkedip menatap tubuh Harry. Wajah Harry Makin merah, perutnya serasa diterbangi kupu-kupu. Dia sudah biasa dengan pujian ini, semua cowok di sekolah suka menatap tubuhnya yang bagus karena Quidditch. Tapi mendengar Dragon, pria dewasa berpengalaman yang mengatakannya...

Dragon menjilat bibirnya. "well..." Dia menarik napas, matanya masih di dada Harry. Harry mendekatkan tubuhnya, menciumnya lagi. Dragon adalah pencium ulung, jelas saja. Cowok itu memegang pipi Harry, tangannya turun ke leher, pundak... Dan tentu saja ke dada Harry. Sekali lagi Harry merasakan gairah menyerangnya saat cowok itu meremas-remas dadanya, Harry tahu celana dalamnya sudah basah.

Makin percaya diri, Harry naik ke pangkuan cowok itu. Draco mendekapnya, kembali membelai punggungnya, membuat bulu kuduk Harry mwremang karena gairah. Napas mereka beradu cepat. Dan Harry merasakannya. Ereksi cowok itu.

Dia bisa membuat pria dewasa ini sama bersemangatnya dengan dirinya...

Dragon mengerang penuh gairah saat Harry menghamping bagian depannya. Mereka kembali berciuman sambil Harry terus menghumping.

Lalu Dragon bergerak, meletakkan Harry tiduran di kasurnya. Di bangkit, melepas celananya...

"Uaa!" Harry memekik kaget.

Dragon mengerjap, mengernyit, seolah baru sadar. Harry membelalak melihat bagian bawahnya.

"What's wrong?" Tanya cowok itu, bergerak mendekat. Harry buru-buru mundur.

"Wait wait," kata Harry penuh horor. "Kau... Aku tak yakin itu bisa masuk ke milikku!"

Dragon menyembur terbahak. "What?"

Wajah Harry merah padam. "Itu tak bisa... Aku... Milikku sangat kecil!"

Dragon tampak nyaris kehabisan napas, dia tertawa terbahak-bahak. Harry terlalu tegang untuk merasa tersinggung. Milik Dragon luar biasa besar dan panjang, dan Harry takut... Bagaimana kalau vagiananya rusak karena itu?!

"Oh my!" Tawa Dragon girang. "This is priceless." Dia duduk di kasurnya. Harry mundur, masih menatap ngeri milik Draco, yang terbentang gagah dan keras. "Tulip..." Dia memulai.

"Rose," koreksi Harry otomatis.

"Whatever," kata dragon mengibaskan tangannya. "Dengar, aku berulang Kali melakukan ini, oke? Dan baru kau satu-satunya cewek yang tidak langsung menyerangku begitu melihat sizeku."

Wajah Harry mungkin bakal merah permanen setelah pulang dari sini. "Ummm..."

"Dan kupastikan Tak Ada yang pernah protes, tahu. Tak Ada yang pernah rusak juga," tambah dragon geli, jelas tahu kemana arah pikiran Harry. "Tapi kalau kau takut..."

"Aku tidak takut!" Bentak Harry. "aku hanya..."

"Hanya?"

Mereka saling tatap. Dragon jelas menyadari ekspresi horor Harry, jadi dia mendesah panjang, bangkit, memakai kembali boksernya, Susah payah karena miliknya masih tegang, lalu menjatuhkan dirinya tiduran di sebelah Harry.

Mereka terdiam sejenak.

Lalu...

"Sorry," kata Harry pelan.

Dragon mendengus, mengangkat bahu. "Tak berharap banyak dari anak 16 tahun."

Harry cemberut, tapi bahkan tak bisa menjawab itu.

Dragon berbalik menatapnya. "Jadi, apa niatmu pergi ke klub malam?" Tanyanya, nadanya penasaran.

Harry meringis. "Aku tak ingin pergi, sejujurnya," desahnya. "It's Gin... Aster, temanku, melakukan seks tahun lalu, dan dia bilang sangat parah. Dia berkesimpulan anak sekolah tak mungkin bisa memberi orgasme, jadi dia mengajakku ke klub di atas 20 tahun untuk mencari cowok berpengalaman..."

Dragon mengangkat sebelah alisnya. "Untuk mendapat orgasme?"

Harry mengangkat bahu. "itu niatnya. Dia berhasil mempengaruhiku, tapi kurasa niatku kurang kuat," dia berjengit, melihat gundukan di celana Dragon.

Cowok it nyengir geli. "kau masih 16 tahun. Kau tak perlu terburu-buru," katanya baik hati. "Lagian, kalau yang kau cari hanya orgasme, Ada banyak jalan menuju kesanaa, kau tahu, tanpa perlu penetrasi."

Harry membelalak. "Masa?"

"Yup," kata Dragon riang, dia bangkit. "Lihat ya, milikku masih aman di balik bokser. Akan kubuat kau orgasme bahkan tanpa membuka celanaku."

Harry merasakan tenggorokannya kering, menatap cowok itu penuh antisipasi.

Dragon nyengir tampan, membuat Harry merasakan perutnya di terbangi kupu-kupu lagi. Cowok ini sungguh...

Dragon menunduk, mencium Harry lagi. "Rileks," bisiknya. "Tak ada seks malam ini, jadi kau tak perlu takut lagi."

"Aku tidak takut," kata Harry, lebih lemah dari yang dia harapkan keluar dari mulutnya. Tapi Dragon tampaknya sudah memutuskan bahwa semua anak 16 tahun pasti idiot, tak ada satupun kalimat Harry yang dia percaya. Harry mengernyit mengingat ini.

Tapi pikirannya teralih karena cowok itu kembali menciumnya mesra. Ciuman mereka segera berkembang menjadi penuh nafsu. Dragon meraba dada Harry, melepaskan klasp bra nya, membuat Dua gundukannya terpampang jelas. Dragon menarik napas girang, lalu segera menyerang dada Harry. Harry merasakan gairah yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

"Ohh... Ohh..." Erangannya membuat Dragon makin bersemangat. Harry tahu dirinya sudah sangat basah. Dia tak pernah sebasah ini seumur hidupnya, tidak bahkan saat dia menyentuh dirinya sendiri. Bibir Dragon bergerak turun ke bawah...

"Siap?" Bisik cowok itu.

Mata Harry membelalak penuh antisipasi.

Cowok itu nyengir tampan, melepas celana dalam Harry...

Lalu menenggelamkan wajahnya ke milik Harry...

Dan...


Harry terbangun karena mendengar suara jam weker.

Biip.

Biip.

Dia mendesah. Berusaha mencari jam itu, lalu mematikannya. Dia diam sejenak, lalu bangkit mendadak saat sadar dia tidak di kamarnya sendiri. Sedikit cahaya masuk ke dalam kamar itu, menyinari rambut perak Dragon yang masih tertidur nyenyak di sebelahnya.

Harry meringis. Dia teringat Dragon memperbolehkannya menginap tadi malam, tahu bahwa cewek remaja yang jalan sendirian di malam hari jelas merupakan magnet bahaya. Harry mendesah, turun dari kasur. Dia mengambil bajunya, meringis melihat gaun itu, lalu memutuskan untuk memakai baju cowok itu saja. Harry mengendus baju Dragon yang tergeletak di lantai. Aromanya membuatnya ketagihan. Harry memakainya, lalu berjalan ke luar kamar.

Dia menuju ke dapur, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kulkas itu nyaris kosong, jelas. Harry tak bisa membayangkan cowok model seperti Dragon bisa memasak. Dapurnya super bersih, seolah sama sekali tak pernah di sentuh.

Harry mengambil tepung, gula, susu, lalu mulai membuat pancake sederhana.

Saat adonannya sudah hampir habis dia masak, dia mendengar langkah kaki.

"Hai Love," Sapa Dragon, mengecup pipi Harry dari belakang. "Good morning. Sudah merasa di rumah sendiri, kan, kau?"

Harry memutuskan tidak menanggapi sindirannya. "Morning. Aku lapar sekali. Kau boleh ambil dua kalau mau."

Dragon mendengus. "Mengingat ini bahan masakanku, dan dapurku, dan rumahku, kurasa aku punya hak."

Harry tertawa. "Kopi?"

"Tanpa gula, tanpa susu." Cowok itu duduk di meja makan di dapur itu.

Harry menyalakan kompor lagi. "Ngga hangover?"

"Nope," kata cowok itu, bertopang dagu menatap Harry, yang mengambil piring dan meletakan pancake di depan cowok itu. "Sirup coklat."

"Ya, yang mulia," sindir Harry, mengambil dari rak. Dragon tertawa.

"Suapin sekalian deh."

"Dan kau bilang aku yang anak kecil?"

Dragon nyengir lebar saat kopinya datang di depannya. Dia menyesapnya. "Hmm, good." Dia mengincip pancakenya. "Wow, this is actually really really good."

Harry duduk di depannya, ikut minum kopi dan makan. "Ah hah. Itu kan cuma pancake."

"Kau suka masak?"

"Yeah, aku bisa masak beberapa resep," kata Harry merendah.

"Hmm, kau tahu, kurasa aku tak akan melepaskanmu," tawa Dragon senang. "What do you say, jadi pacarku?"

Harry mendesah. "No."

"But why?!" Protes Dragon, mengernyit dalam.

Harry mengangkat bahu. Dia tak ingin pacaran dengan muggle. Bukan karena dia menganggap remeh muggle, tapi dia hanya malas menutupi tentang dirinya yang penyihir. Bagaimana kalau dia jatuh cinta pada Dragon dan cowok itu tak bisa menerima keadaannya? Harry masih teringat kisah tragis orangtua Seamus yang berpisah karena ayahnya tahu ibunya penyihir.

No, Harry pikir tidak.

Tapi jelas dia tak bisa memberikan jawaban itu pada Dragon, jadi dia berkata, "aku bakal masuk sekolah lagi akhir musim panas ini. Boarding school. Gimana caranya kita mau pacaran?"

Dragon mendesah. "Kurasa kau benar. Aku juga bakal mengajar di boarding school akhir musim panas ini," dia menatap Harry kecewa. "Well, padahal aku berharap bisa makan masakanmu yang ajaib ini setiap hari."

Wajah Harry merona. "Ini kan cuma pancake."

Dragon mendekatkan wajahnya. "Kau mau mengulang adegan tadi malam sebelum pulang? Salam perpisahan?"

Harry tertawa, merasakan wajahnya makin merah. "Hmm..."

"Well?"

"Oke."

"Oh yes! Come on!"

"Sekarang?"

"Tahun depan. Ya jelas saja sekarang!"

Harry tertawa, membiarkan cowok itu menarik tangannya kembali ke kamar.


Sebulan berlalu sejak pertemuannya dengan Dragon, dan tak seharipun lewat tanpa Harry memikirkan cowok itu.

Pria yang dewasa, mapan, matang... Yang peduli pada pikiran dan perasaan Harry...

Dan dia ingin bersama Harry kan... Ingin melanjutkan hubungan mereka. Tapi karena Harry terlalu pengecut...

Harry mengerang. Memikirkan ini selalu membuatnya merasa bodoh.

Kenapa dia harus menolak cowok itu?

Harry mendesah. Bahkan saat ini, kembali ke Hogwarts, tak bisa membuat pikirannya teralih dari Dragon, yang bahkan Harry tak tahu nama aslinya.

"Kau kenapa sih?" Tanya Ron di sebelahnya.

Ginny cekikikan. "Biarkan saja dia. Dia sakit."

Ron membelalak. "Sakit?! Sakit apa?!"

"Malarindu."

"Haah?"

Harry memelototi Ginny. "Oh, shut up you."

"Ayolah Harry, masih banyak ikan di laut," kata Ginny riang, memeluk pundaknya. "Ngomong-ngomong, kira-kira guru pertahanan yang baru seperti apa ya?"

"Percy bilang Dumbledore meminta tolong seorang Auror lagi kali ini," kata Ron, bertopang dagu, menatap meja guru, yang satu per satu mulai terisi. "Semoga saja dia sama cool nya dengan Mad eye."

"Bukan Tonks?" Tanya Hermione.

"Nope, bukan orang yang kita kenal sepertinya, kalau dari cerita Percy," Ron mengangkat bahu. "Tapi kau tahu Percy, mungkin dia hanya berlagak tahu."

Harry, tak tertarik dengan pembicaraan ini, kembali membayangkan Dragon dan lidahnya yang jago luar biasa...

No no no no! Pikiran buruk, Harry, pikiran buruk!

Tapi belum sempat Harry mencari pikiran lain untuk mengalihkannya, matanya menangkap warna perak.

Rambut pirang perak.

Wajah runcing.

Pucat.

Tinggi...

Mulut Harry terbuka lebar.

Dragon. Memakai jubah warna biru dongker yang jelas terlihat mewahnya.

Pria itu jelas tidak melihat Harry. Dia berjalan bersama Snape menuju ke meja guru, bersalaman dan berbicara sebentar dengan Dumbledore, lalu duduk lagi di antara Snape dan Flitwick. Dia menunduk dan mengangguk saat mendengarkan Flitwick bicara.

Harry masih tak bisa berkata-kata.

"Apa itu guru yang baru?" Tanya Hermione, karena rupanya anak-anak lain juga menyadari sosok baru di meja guru. "Dia terlihat sangat muda kan?"

"Dan keren," desah Ginny. Harry mengernyit, memelototi cewek itu. What?! Ginny tahu bahwa Dragon...

Bahwa Dragon harusnya muggle!

Harry merasakan perutnya mulas.

Jelas saja cowok itu bukan muggle kan. Mana ada muggle yang duduk di meja guru di sekolah sihir...

Bisik-bisik mulai terdengar di seluruh aula, utamanya cewek-cewek. Dumbledore tampaknya menyadari ini, karena dia berdiri.

"Selamat datang di tahun ajaran yang baru di Hogwarts. Aku berharap musim panas kalian menyenangkan, dan kalian datang kembali ke sini dengan penuh semangat untuk mencari ilmu baru." Kepala sekolah tersenyum. Dia berbicara panjang lebar sejenak, lalu, "Dan tentu saja, untuk kelas pertahana terhadap ilmu hitam, tahun ini dipegang oleh Professor Draco Malfoy."

Jadi dia tidak sepenuhnya bohong soal namanya, pikir Harry, meringis. Draco Malfoy. Dragon. Merlin.

Para cewek cekikikan, bertepuk tangan meriah. Para cowok bertepuk tangan malas-malasan.

"Dia adalah auror yang berhasil kupinjam dari mentri sihir untuk mengisi posisi ini tahun ini. Kuharap kalian memberinya respek yang tinggi." Dumbledore mengangkat kedua alisnya, jelas tahu bahwa Dragon-DRACO-em-PROFESOR MALFOY!-yang muda, gagah, auror, dan tampan, tak mungkin tidak menarik perhatian cewek-cewek ganjen penghuni sekolah ini!

Harry berjengit.

Astaga, apa yang harus dia lakukan?!

Apa yang harus dia katakan pada cowok itu?

Draco sendiri tampak tak peduli dengan perhatian yang dia dapatkan. Dia bahkan tidak menatap satupun murid-muridnya, melainkan bicara dengan Snape. Harry mendesah. Rupanya sikap sok kerennya bukan hanya sekedar akting sebagai muggle.


Kelas pertama Harry di hari senin itu adalah Pertahanan. Good. Really good.

Harry berjalan muram dengan Ron dan Hermione menuju ke kelas itu.

Apa yang akan dia katakan pada guru itu?

Apa Draco bakalan masih mengenalinya?

Mereka berpisah sebulan yang lalu kan, dan kalau dilihat, tipe Draco Malfoy adalah cowok yang gampang sekali mengambil hati cewek. Mungkin dia sudah bertemu tiga puluh cewek lain setelah bertemu Harry, dan sudah melupakannya sama sekali.

Pikiran ini, entah kenapa membuat Harry Makin depresi daripada lega.

"Ayo, kita duduk paling depan," kata Hermione penih semangat.

Harry menatapnya horor. "What? No!"

Hermione mengerjap kaget. "Kenapa? Ini kelas favoritmu kan? Kau satu-satunya yang dapat O di OWL kita," tambahnya getir.

"Em," Harry tak tahu harus menjawab apa. "Well, aku..."

"Ayo Harry."

"No, no, aku di belakang. Kau di depan saja dengan Ron, oke?" Harry tidak menunggu jawaban Hermione, langsung mendudukan dirinya di sebelah Dean, yang duduk paling belakang. Hermione dan Ron menatapnya bingung, tapi memutuskan untuk tak berkomentar, setidaknya sampai kelas selesai. Mereka duduk paling depan.

Draco masuk lima menit kemudian. Dia berjalan dengan kepala terangkat, seperti yang Harry ingat jelas, lalu duduk di kursi guru. Dia meletakan tasnya di sebelahnya, mengeluarkan beberapa berkas, lalu mendongak dari kertasnya untuk menatap mereka semua satu persatu.

Dan akhirnya, matanya bertemu Harry.

Dia mengerjap. Sekali. Dua kali. Tiga Kali.

Diam sejenak. Harry berusaha tak berjengit, meringis menunggu reaksinya.

Tapi Professor Draco Malfoy adalah pria deweasa yang jelas terlatih tidak menunjukan ekspresi apapun. Jadi dia hanya menghela napas panjang. "Yeah, well," katanya. "Aku Draco Malfoy, guru kalian yang baru. Aku ada di sini karena ingin membagikan ilmu ku pada kalian. Kalian punya dua pilihan untuk ini, belajar dariku, atau tidak sama sekali. Ini kelas NEWT, kelas yang kalian ambil bukan karena terpaksa. Kalau kalian ingin belajar bagaimana caranya memlertahankan diri dari hal-hal yang bisa membahayakan kalian di luar sana, kelas ini tempatnya. Dan itu artinya kerja keras. Kalau kalian ingin kelas yang malas-malasan, silakan keluar dari sini dan ambil saja ramalan."

Dia terdiam sejenak, menatap wajah-wajah di depannya, yang menatapnya serius. Harry menyadari cowok itu berusaha tidak menatapnya.

Draco tersenyum kecil. "Ada pertanyaan?"

Hampir semua tangan cewek di kelas itu teracung. Draco menghela napas, menunjuk Lavender. "Sir, berapa umur Anda?" Tanyanya memuja, di iringi cekikikan dari seluruh cewek. Harry, yang tahu jawabannya, hanya meringis.

Draco memutar bola matanya. "Terlalu tua untukmu, yang jelas. Yang lain?" Dia menunjuk Hannah Abbot.

"Sir, apa Anda sudah menikah?"

Para cewek cekikikan lagi. Draco hanya mendesah, seolah dia sudah memperkirakan ini.

"Ada pertanyaan yang tidak berhubungan dengan urusan pribadiku?"

Semua tangan cewek-cewek langsung turun. Draco hanya menggeleng.

"So, kurasa aku harus absen dulu. Kita lihat apa aku bisa mengingat nama kalian semua. Abbot, Hannah..."

Draco mengabsen satu per satu, matanya mengikuti tangan yang mengacung. Sampai ke Harry...

"Potter, Harria."

Harry mengacung. "Hadir, sir." Katanya lemah.

Draco menatapnya tajam, mengangkat sebelah alisnya tinggi.

"Potter, Potter, kurasa aku punya teman yang mirip kau," katanya riang. "Namanya Tulip. Kau kenal?"

Harry menggeleng horor.

Draco tersenyum, Harry bisa melihat kilat geli di matanya. Dasar cowok sialan! "Masa? Kalian bisa jadi kakak adik. Dan kau... Wow, kau satu-satunya yang dapat O di OWL kemarin. Luar biasa. Nanti kita lihat sejauh apa arti dari O yang kau dapat," tambahnya riang. Lalu melanjutkan mengabsen.

Harry tak tahu bahwa dia menahan napasnya, sampai dia menghembuskannya.

Dia sungguh tak tahu bagaimana bisa dia terjebak di situasi seperti ini...


Fin.

Yep. Itu dia untuk bagian 1 dari AU DRARRY.

please review guys :*