Disclaimer : BoBoiBoy milik Animonsta Studios. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.

Author: Sylvia Limmanto

Summary : Mainan maupun permainan tradisional yang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecil. Canda tawa saat mereka bermain bersama. [No pairings. #eduficentry]

.

.

.

Di sebuah TK yang bernama Tadika Warni tampak beberapa kanak-kanak yang sedang asyik bermain di halaman sekolah. Ada yang bermain petak lompat, petak umpet, kelereng dan beberapa wahana disana.

Sebuah batu kecil terlempar dan mendarat di salah satu gambar persegi yang terukir di tanah.

"Satu, dua, tiga."

Si pelompat mengambil batu tersebut lalu dilemparkan kembali. Ia pun melompat lagi setelah batu tadi mendarat di gambar persegi lain.

"Oke, giliranku."

"Ya, kamu ketahuan!"

"Ya, ketahuan deh."

Di sisi lain tampak seorang anak berhasil menemukan temannya yang bersembunyi di balik pohon.

Mereka semua bermain permainan tradisional dengan riang gembira. Hingga seorang guru datang menghampiri mereka.

"Murid-murid, waktunya masuk kelas!"

"Eh, Bu Guru sudah datang. Berhenti mainnya dan cepat kita masuk kelas!" panggil Pipi diikuti yang lain.

Setibanya di ruangan kelas, mereka semua duduk dengan rapi dan sang guru mulai kembali mengajar.

"Apakah kalian semua sudah membawa apa yang ibu suruh kemarin?" tanya Ibu Guru pada murid-muridnya.

"Sudah, Bu Guru!" jawab murid-murid seraya mengangkat barang masing-masing.

"Bagus! Baiklah sesuai dengan apa yang Ibu sampaikan kemarin, hari ini kalian semua maju ke depan kelas satu per satu dan menjelaskan mainan yang kalian bawa itu."

"Baik Bu Guru!"

"Oke, siapa yang mau maju duluan?"

"Saya Bu Guru!"

"Baiklah, silahkan Otoi maju ke depan kelas dan jelaskan mainan yang kamu bawa."

Otoi selaku murid pertama yang presentasi pun berjalan ke depan kelas sembari membawa mainannya. Sesampainya di depan kelas, ia pun menunjukkan sebuah mainan truk.

"Mainan ini sudah kumainkan sejak saya balita. Pemberian dari emak aku. Saya suka sekali memainkan ini. Di saat kakak dan mak sedang sibuk, truk inilah yang menjadi temanku. Selain itu saya juga suka menggambar di dinding dan pernah mencoret wajah kakak dengan spidol. Hehehe..."

"Baiklah. Silahkan deskripsikan truk mainan kamu dan cara memainkannya pada kami semua." pinta sang guru dari samping.

Otoi pun mengangguk dan kembali melanjutkan presentasinya.

"Truk ini memiliki empat buah roda besar guna menahan beban berat yang akan diangkut. Bagian belakang truk ini adalah sebuah wadah besar untuk mengangkut pasir dan batu. Intinya ini adalah truk yang digunakan di pembangunan. Cara memainkannya tinggal dorong dengan menggunakan tangan. Sekian penjelasan dari saya, terima kasih."

"Terima kasih Otoi. Nah silahkan kembali ke tempat duduk. Sekarang ibu tunjuk ya. Giliran Melur, silahkan maju ke depan kelas."

Melur pun maju setelah Otoi sudah duduk kembali. Melur membawa perlengkapan mainan masak-masakan. Ia pun menjelaskan seperti yang dilakukan oleh Otoi tadi. Menit berganti menit. Para murid maju saat mendapat giliran. Tibalah giliran Pipi dan di tangannya membawa boneka beruang berwarna krem.

"Boneka ini pemberian Papa dan Mama. Dia sudah saya anggap sebagai teman bermain di rumah. Saya sangat menyayanginya! Saat berkumpul bersama, kami bertiga dan kadang bersama Nekpi bermain bersama. Kami main dakon, ular tangga dan monopoli. Saya pernah tengok papa main dam bersama Tok Aba. Sekian cerita dari saya dan terima kasih!"

Semua murid kembali bertepuk tangan dan guru mempersilahkan duduk kembali. Sang guru maju dan berdiri di depan kelas untuk memberi penjelasan.

"Hari ini semua cerita kalian semua terdengar sangat menarik dan menyenangkan! Selain menceritakan mainan yang kalian bawa, kalian juga menceritakan pengalaman kalian saat bermain mainan tradisional tersebut. Tepuk tangan untuk diri kalian sendiri!"

Suara tepuk tangan bergema lagi selama beberapa detik dan kelas kembali hening.

"Nah, jadi lestarikan mainan tradisional maupun permainannya. Karena sebelum kalian dihadapkan oleh gadget, kenangan pertama kalian adalah memainkan mainan tersebut. Karena apa murid-murid?"

"Karena lebih seru dan menyenangkan. Bisa bersama dengan kawan-kawan langsung. Terutama saat main permainan seperti kejar-kejaran yang membuat tubuh berkeringat dan kita pun menjadi sehat." jawab Chia.

"Bisa tertawa bersama dengan jarak yang dekat." sambung Vijay.

"Betul. Kalian masih kecil untuk bermain gadget. Nanti mata bisa rabun apalagi bisa sampai buta di usia belia. Kalian tidak akan bisa pintar menulis karena sudah diajarin mengetik. Mainan maupun permainan tradisional sangat bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan kalian. " jelas ibu guru seraya tersenyum.

"Masih bersyukur orang tua kita memberi kita mainan tradisional dan mengajarkan permainan tersebut. Bukan langsung diberi gadget. Ya, walaupun Papa Pipi suka main handphone maupun menunjukkan tablet, Pipi lebih suka main boneka, mobil-mobilan, menggambar, naik ayunan dan jungkat-jungkit terutama bersama Papa." cerita Pipi dengan semangat dan ceria.

Kawan-kawannya menyetujui ucapannya. Ibu Guru tersenyum melihat gelagat murid-muridnya itu.

Jam pulang sekolah pun tiba. Pipi dan kawan-kawannya dijemput oleh orang tua mereka masing-masing. Pipi menceritakan pengalamannya di sekolah kepada Papa Zola yang ditanggapi dengan tawa khasnya.

"Oya, Pipi nanti sore mau ke kedai Tok Aba?" tanya Papa Zola pada putri kecilnya.

"Buat apa Papa?"

"Abang BoBoiBoy dan kawan-kawan dia habis buat layangan. Mereka akan bermain di taman. Pipi mau ikut bermain bersama mereka?" jelasnya sekaligus bertanya lagi.

"Wah! Pipi mau ikut main layangan Papa!" respon Pipi gembira.

"Hahaha... baiklah kalau begitu! Nanti Papa antar kamu ke taman ya."

"Yeay! Kita main layangan!"

Sore pun menjelang tiba dan sesuai janji, Pipi diantar ke taman. Di sana sudah ramai orang yang sedang bermain. Siapa lagi kalau bukan para superhero kita.

"Wah, ramainya!" pekik Pipi seraya memandang sekitar taman.

Adik dari Yaya yaitu Otoi menyadari kedatangan kawan sekelasnya. Ia pun pergi menghampiri Pipi.

"Hai, Pipi! Kamu juga ingin bermain?" sapa Otoi seraya melambaikan tangannya.

"Oh, hai. Otoi pun ada di sini?"

"Ya, kakak mengajakku ikut bermain."

Di belakang Pipi tampak Papa Zola tengah mendekati mereka berdua seraya membawa sebuah layangan besar berbentuk segitiga merah dengan huruf P di tengahnya.

"Hahaha... sepertinya cuaca hari ini sangat bagus untuk menerbangkan layang-layang. Hah! Saksikanlah layangan kebenaran!"

"Papa, Pipi mau pegang layangannya."

"Baiklah Pipi. Pegang erat-erat ya. Ikut Papa berlari."

"Baik Papa!"

Papa Zola pun mulai berlari seraya memegang gulungan benang. Pipi ikut berlari dengan layangan pada kedua tangan mungilnya. Si kapten pesawat TAPOPS itu pun segera menarik kuat dan layangan mereka berhasil terbang.

"Nah, pegang yang erat ya. Hati-hati jangan sampai lepas!"

Papa Zola memberikan gulungan benang itu pada putri jagoannya. Pipi dengan senang hati menerimanya.

"Papa ikut pegang juga." pintanya.

Sang ayah tersenyum dan tangan kekarnya memegang lembut tangan si kecil. Ia mengambil pose jongkok dikarenakan perbedaan tinggi.

Sementara itu, BoBoiBoy, Fang dan Gopal masih seru menerbangkan layang-layang masing-masing. Namun Gopal dan Fang yang mulai kumat isengnya malah berembuk untuk menganggu layangan milik superhero elemental tersebut.

BoBoiBoy menatap kesal ke arah kedua temannya.

"Gopal, Fang! Berhenti mengganggu layanganku!" pekik sang pemuda bertopi jingga.

Pemilik kedua nama yang disebut hanya tertawa lepas karena berhasil mengerjainya. BoBoiBoy menatap sebal ke arah mereka.

"Hish! BoBoiBoy Taufan!"

BoBoiBoy bertukar wujud menjadi pengendali elemen angin. Ia pun segera terbang dengan layangannya. Fang yang melihat itu pun tidak terima.

"Woi, curang!" pekiknya kesal.

"Hahaha... layanganku lebih tinggi sekarang!"

Sementara itu Yaya dan Ying yang posisi mereka tidak jauh dari ketiga remaja tersebut hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku kekanakan itu.

Sementara itu, tak jauh dari lapangan tampak sesosok kakek tua tengah menggenggam pesawat telepon. Ia berbicara dengan mata yang tak bisa lepas dari keramaian di padang sana dan sorak-sorai gembira mereka bermain.

"Hahaha... sepertinya layangan yang kamu hadiahkan waktu itu masih bagus sampai sekarang. Dia sangat senang memainkannya."

"Hahaha, syukurlah kalau begitu," ujar suara di seberang telepon.

"Kenapa kamu tidak bergabung saja dengan mereka, terutama anakmu, Amato?"

"Sebenarnya aku ingin seperti dulu bisa bermain bersama, apalagi sepak bola. Tapi aku masih tidak bisa untuk saat ini dulu. Maafkan aku, Abah."

"Baiklah, Abah mengerti. Abah masih ingat saat kamu mengajarinya bermain sepak bola dulu."

"Ya, tak kusangka tendangannya saat masih kecil dulu sangat kuat sampai membuat wajahku memerah karena terkena bola."

Mereka berdua pun tertawa bersama. Pandangan Tok Aba masih fokus memerhatikan anak-anak itu bermain.

"Baiklah Abah, saya pamit dulu."

"Oke, jaga kesehatan ya."

"Abah juga."

Tok Aba pun memutuskan panggilan teleponnya dan meletakkan handphone itu di atas meja. Mata tuanya melihat ke langit senja seraya tersenyum. Langit berwarna jingga itu menampakan bayangan memori dimana sang ayah dan anak tengah asyik bermain sepak bola seraya tertawa lepas.

Siapa lagi kalau bukan Amato dan BoBoiBoy di masa kecil.

.

.

Fin.

.