"Haiiii…"
Sakura masuk ke dalam apartment dan tersenyum ke arah Kakashi yang sedang menonton televisi. Ia baru saja pergi ke salon dan menikmati waktu kosongnya dengan kupon diskon yang diberikan Hinata beberapa hari lalu. Rambutnya ia potong model baru, kukunya sudah dihiasi cat kuku dan aksesori cantik, kepalanya juga sangat ringan karena baru saja dipijat selama sepuluh menit oleh kapster baik hati di salon.
"Kakashi?" panggil Sakura bingung ketika pria itu tidak menjawab. Ia meletakkan sepatunya pada rak di pinggir lorong dan melempar tasnya begitu saja ke arah kamarnya. "Apa yang sedang kau lakukan? Mei-neeeeeee!"
Kakashi hanya memberikan senyuman singkatnya. Sakura menatap sekeliling apartment dan mengerutkan keningnya saat itu juga.
"Kenapa sepertinya berbeda…" gumamnya pada diri sendiri. Ini baru jam enam sore dan Kakashi sudah menarik kaki sofa keluar… benar-benar aneh. Ia tidak pernah semalas ini, pikir Sakura. Ia memfokuskan lima menit setelahnya untuk mengamati apartment dan pada akhirnya menutup mulutnya sendiri.
"Mei-nee…?"
"Ya."
"Kalian…?"
"Ya."
"Kau…"
"Kalau yang kau maksud pecundang lajang dan menyedihkan, ya." Jawab Kakashi frustasi. Ia tersenyum kecil ke arah Sakura yang duduk di sebelahnya sekarang, lalu tersadar akan sesuatu dan tertawa. "Tidak, aku tidak lajang."
"Oh, Kakashi…" Sakura menggigit bibirnya dan meraih tangan Kakashi. "Aku turut menyesal."
Kakashi tidak menanggapi dan menarik gadis itu dalam pelukan. Sakura menyandarkan kepalanya dengan sedikit sedih. Walaupun kedua matanya masih terfokus pada pertandingan sepak bola di televisi, Sakura sangat sadar kalau pria di sebelahnya ini sedang merasa tidak nyaman.
"Maafkan aku, Kakashi…"
Kakashi menunduk sekilas dan mengacak rambut Sakura beberapa kali. "Kenapa kau meminta maaf?"
"Karena aku… kau dan Mei-nee…"
Kakashi tidak menanggapi. Ia melepaskan pelukannya pada Sakura, lalu memutuskan untuk membaringkan kepalanya di atas pangkuan gadis disebelahnya. Dengan kedua kaki berada di atas lengan sofa, ia menutup mata dan menikmati sentuhan pelan Sakura pada kening dan anak-anak rambutnya. Untuk menatap Sakura dan menceritakan masalahnya saja Kakashi malu.
Pria itu menghela nafas dan memutar tubuh menghadap layar televisi.
"Apa ada yang ingin kau bicarakan?"
Kakashi menatap gadis itu tepat di manik mata dan tersenyum kecil.
"Mei mengencani orang lain."
"Apa? Mei-nee?" tanya Sakura kaget. Wow, Mei-nee, benar-benar tidak seperti yang kukira.
"Ya. Ayah salah satu mantan pacarnya dulu." Ujar Kakashi, sanggup membuat ekspresi Sakura jauh lebih terkejut dibanding sekarang. "Dan orang itu mengurus biaya administrasi rawat ayahnya setiap bulan. Aku tidak sengaja mengetahuinya saat berada di konter administrasi tadi, saat menjenguk ayahnya."
Sakura memandangnya dengan rasa sesal. "Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Aku merasa benar-benar menyedihkan."
"Kakashi…"
Sakura mengusap kepala pria di pangkuannya dan membiarkan Kakashi menutup kedua mata. Ia sedikit menyesal karena menyapanya dengan nada kelewat riang tadi saat baru masuk. Sakura merapikan alis Kakashi dengan ibu jari dan memandangi wajah pria itu.
Mei-nee, bagaimana bisa kau meninggalkan seseorang sesempurna ini? tanya Sakura tidak habis pikir dari dalam hati. Apa yang bisa kulakukan untuk menghibur Kakashi? Aku senang, tentu saja, karena aku benar-benar menyukainya dan aku menantikan saat-saat mereka mengakhiri hubungan. Tapi ia pasti sangat terpukul karena dipermainkan seperti ini oleh Mei-nee… aku tidak bisa mem—
"Sakura."
Sakura tersadar dan tersenyum kecil. "Yaaa?"
"Apa kau senang?" tanya Kakashi lirih.
Sakura terdiam sebentar. Ekspresinya sudah tidak bisa ditahan lagi, dan ia mengangguk pelan. Senyumannya mengembang perlahan-lahan saat pria di depannya juga mulai tersenyum dan tertawa.
"Maafkan aku, aku tahu kau sedang bersedih… tapi aku memang merasa benar-benar senang karena kau sudah tidak punya hubungan dengan Mei-nee lagi." Ujar Sakura. "Maksudku, aku tidak perlu mendengarkan kau dan Mei-nee setiap malam lagi—"
"Sakura…"
"Iya, iya… aku sangat senang." Ujar Sakura sambil menangkup kedua pipi Kakashi dengan tangannya. "Itu saja."
Kakashi tersenyum balik dan menahan tangan Sakura untuk tetap berada di pipinya. Entah sejak kapan ia merasa nyaman seperti ini. Mei memberikan segalanya untuknya—perhatian, kasih sayang… bukannya tidak pernah ia merasakan sentuhan Mei pada wajahnya seperti yang Sakura lakukan padanya saat ini. Namun anehnya, terkhusus momen yang dialaminya sekarang, Kakashi merasa begitu senang. Begitu nyaman, begitu tenang…
"Sebentar, Kakashi, aku tadi membeli sepotong cheesecake dari toko roti di seberang apartment dan kurasa kau lebih membutuhkannya sekarang." Sakura berkata pelan, membuat pria itu tersadar dan mengangguk. Ia mengangkat kepalanya dan membiarkan Sakura berjalan pelan menuju meja di sudut ruangan—tempatnya meletakkan tas belanja—, lalu kembali dengan sekotak kue di tangan.
"Kau pasti menyukainya!" ujar Sakura senang. "Oreo chessecake."
"Kenapa kau membelinya? Bukankah kau bisa membuatnya sendiri?" tanya Kakashi. Matanya sedikit membesar ketika rasa keju kuat meleleh di mulutnya. "Enak juga."
"Hei, tentu saja enak."
Sakura memposisikan diri di samping pria itu dan tersenyum kecil saat kaki mereka bersentuhan. Ada sebuah setrum kecil yang dirasakan oleh kakinya saat hangat kaki Kakashi menyentuhnya. Ia meraih remote dan mengganti saluran televisi, mencari-cari acara lain yang menurutnya lebih menyenangkan dibandingkan pertandingan sepak bola.
"Kakashi, kau tidak pergi bersama Asuma-nii?" tanya Sakura pelan. Sebuah wajan granit berwarna cokelat yang diiklankan di televisi tersebut membuatnya berbinar-binar. "Bukankah kau sekarang rutin berolahraga?"
"Aku merasa tidak terlalu bersemangat hari ini." jawab Kakashi sambil meletakkan cheseecake-nya yang baru termakan seperempat.
Sakura merenggangkan lengan kanannya dan membiarkan Kakashi menyandarkan kepalanya kembali disana. Ia memainkan rambut Kakashi sementara tangannya masih sibuk mengganti chanel televisi, entah kenapa tidak ada acara bagus yang tampil hari ini. Tangannya berhenti menari di atas remote ketika ia terpaku pada sebuah adegan otopsi di televisi.
"Sepertinya bagus." Gumam Sakura.
Kakashi memincingkan matanya sekilas dan melirik Sakura. "Kau tidak akan menyukainya."
"Huh? Apa maksudmu?" tanya Sakura bingung. "Ini film sci-fi."
"Tidak, ini film horor psikologis."
Sakura memandang Kakashi dengan tatapan tidak percaya dan membaca judul film di kiri atas. "The Autopsy of Jane Doe? Judulnya saja sudah saintifik."
"Percayalah, Sakura, aku sudah pernah menontonnya…"
"Sssshh."
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Sakura untuk bergerak tidak nyaman. Kakashi tersenyum singkat dan meraih lengan gadis itu dalam pelukan, setengah geli juga karena Sakura tidak mendengarkan perkataannya.
"Apa kau mau bertukar posisi?"
"Ya, terima kasih."
Kakashi tertawa dan membuka lengannya, membiarkan Sakura menyandarkan kepalanya disana dan memeluk gadis itu. Kedua mata Sakura memicing ketika pria di film tersebut menarik sebuah benang kumal panjang dari seorang gadis yang terbaring dengan mata membelalak di atas meja otopsi.
"Kakashi…?" panggil Sakura, matanya membelalak sempurna. "Film ini sangat aneh…"
.
.
"Kau yakin kau bisa melakukannya?"
"Aku sudah tinggal disini selama bertahun-tahun, Sakura. Sekali lagi kau bertanya seperti itu aku akan menggantungmu disini." Ujar Kakashi sambil tersenyum jengkel, tangannya menunjuk rain shower yang sedang diperhatikannya. "Kenapa kau tidak diluar saja? Menonton televisi atau memasak?"
"Aku hanya ingin disini saja… bersantai sementara kau bekerja keras."
Sakura berbohong. Kakashi berdiri di depannya di atas tangga, dengan wajah serius memandang rain shower apartment yang tidak mengeluarkan air panas mulai tadi pagi, mengenakan kaos putih tipis yang biasa dipakainya untuk tidur. Bukannya Sakura mesum atau apa, tapi tidak mungkin, 'kan, ia melewatkan pemandangan otot lengan dan perut Kakashi yang terbentuk sempurna di depannya ini?
Lagipula, ia rasa ia sedikit berhak untuk menikmatinya…
"Baiklah, starry, silakan pandangi aku sepuasnya."
Sakura tersentak pelan dan menggelengkan kepala. "A-apa mmaks—"
"Ayolah. Sudah dua menit kau memandangiku dan air liurmu bahkan sudah jatuh." Ujar Kakashi sambil memberikan senyuman kecilnya. Ia turun dari tangga pendeknya dan melipat tangga tersebut lalu mengecup Sakura sekilas. "Kau tidak mau keluar?"
"Tidak. Aku, 'kan, sudah bilang aku ingin bersantai—hei!" Sakura tersentak saat Kakashi tanpa kesulitan menggendongnya dengan satu tangan. "Kakashi… apa yang kau lakukan?! Kau pikir aku anak kecil berusia delapan tahun?!"
"Walaupun usiamu sekarang dua puluh dua tahun, aku tetap saja berusia sepuluh tahun lebih tua darimu." Ujar Kakashi lembut. Ia mendudukkan Sakura diatas konter dapur dan menguncinya dengan kedua tangan. "Aku akan tetap selalu bisa mengangkatmu seperti tadi… meskipun usiamu nanti sudah delapan puluh tahun."
"Ugh…" Sakura memalingkan wajahnya karena ia yakin kini seluruhnya telah berubah warna menjadi merah. "Kenapa kau harus mengangkatku saat aku berusia delapan puluh tahun?"
"Aku tidak tahu, mungkin karena kau terus memandangiku dan terlihat sangat manis saat aku sedang berusaha memperbaiki sesuatu," bisik Kakashi di telinganya. "Seperti saat umurmu dua puluh dua tahun dulu."
Sakura tersenyum kecil. "Hah, yang benar saja. Umurmu sembilan puluh tahun kalau begitu. Kau bahkan tidak bisa menaiki tangga saat itu." Ujarnya kesal. Sakura mendorong Kakashi dan membuka kulkas, melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk menghindari kontak mata dengannya. "Lagipula kenapa kita harus bersama sampai selama itu?"
"Kau tidak mau bersamaku sampai kita tua nanti?"
"Aku tidak berka—ugh!"
Gadis itu meninggalkannya sendirian di area dapur. Karena ternyata shower mereka harus diperbaiki oleh tenaga profesional, Kakashi memutuskan untuk mengeluarkan tangga tadi dan menyimpannya kembali ke lemari yang ada di lorong utama apartment. Jam sebelas mereka harus sudah sampai di rumah orang tua Kakashi, namun mereka masih juga belum bersiap-siap meskipun ini sudah jam sepuluh kurang.
"Hei, Sakura?" panggil Kakashi, mendapati Sakura sedang duduk sambil menatap layar televisi. "Kau tidak mandi?"
"Kau dulu saja, aku tidak terlalu suka air dingin." Jawab Sakura sekenanya.
"Oh… mau mandi bersama?"
Sakura mengalihkan pandangan dari televisi dan menatap Kakashi dengan tatapan tidak percaya. Tangannya melempar bantal abu-abu di sebelahnya ke arah Kakashi dengan kekuatan yang tidak main-main, sukses membuat pria itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Makin kesini kau makin seenaknya, ya?" Ujar Sakura sambil melempar satu lagi bantal yang ada di sebelahnya.
"Apa salahku? Kenapa kau marah begitu?" tanya Kakashi sambil tertawa. Ia menahan tangan Sakura dan tersenyum ke arah gadis itu. "Kalau begitu tidak menyukainya, kenapa wajahmu memerah seperti ini?"
"Karena panas! Kau tidak membiarkanku menyalakan AC, jadinya ruangan ini panas sekali, kau tahu?!" Sakura menghentak tangannya sampai lepas dan kembali menatap layar televisi. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya sendiri. Meskipun ia dan Kakashi memang sudah jauh lebih dekat sekarang, tetap saja ia tidak terbiasa kalau harus menganggap Kakashi seorang laki-laki yang memiliki hubungan dewasa dengannya. Sakura menggelengkan kepalanya pelan dan memfokuskan dirinya pada acara televisi.
"Kalau begitu aku akan mandi duluan."
"Ya."
"Pintunya tidak akan kukunci, kalau-kalau kau ingin bergabung."
"Oh, cepatlah masuk kesana sebelum aku menguncimu dari luar dan pergi ke rumah orang tuamu sendirian!" jerit Sakura kesal. Kakashi tertawa puas ketika gadis itu tidak berhasil menghajarnya karena ia terlebih dahulu sudah mengunci diri di dalam kamar mandi.
Mereka selesai bersiap-siap empat puluh menit kemudian dan berjalan keluar dari gedung apartment beriringan. Meskipun sudah saling mengerti bahwa perasaan suka di antara mereka berdua, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada hubungan mereka berdua. Hanya hal-hal kecil yang akhir-akhir ini sering mereka lakukan bersama; terlelap di sofa ruang tengah setelah menonton televisi semalaman, Kakashi yang sekarang sangat sering membantu Sakura mengerjakan pekerjaan rumah, ciuman-ciuman singkat yang saling diberikan dimomen-momen tertentu, dan Kakashi yang mulai mengalah untuk membiarkan Sakura merecokinya hampir setiap saat.
Sakura masih belum terlalu siap untuk menganggap Kakashi pacarnya atau bahkan suaminya. Dimatanya, Kakashi masihlah orang yang sama seperti dulu. Dari dulu Kakashi sudah menyayanginya dan bersedia untuk melakukan apapun untuknya—asalkan masuk akal dan penting—, tapi sebenarnya gadis itu sudah menyadari ada beberapa perlakuan berbeda yang diterimanya akhir-akhir ini.
Ia bukannya tidak menyadari kalau Kakashi sekarang selalu membukakan pintu untuknya—apapun itu. Pintu mobil, pintu apartment, pintu restoran… Sakura bahkan tidak harus mengulurkan tangannya untuk meraih gagang pintu. Tidak hanya itu, Kakashi juga berinisiatif untuk mencuci peralatan memasak dan makan mereka.
Sebelumnya? Mereka selalu bertengkar tentang siapa yang harus mencuci peralatan tersebut.
Saat itu Sakura memberanikan diri bertanya dan Kakashi hanya menjawab,
"Kalau kau memasak, aku akan mencuci. Kalau aku yang memasak, kau yang akan mencuci."
Sakura tersenyum sendiri dan memakai sabuk pengamannya. Ia melirik Kakashi diam-diam dan terkikik sendiri.
"Apa yang kau tertawakan? Tawamu menyeramkan."
Baiklah, aku teramat sangat bodoh karena sudah terbawa suasana selama beberapa menit tadi, pikir Sakura sambil tersenyum kesal. Ia menatap Kakashi dengan kesal sementara pria itu sudah tidak terlalu memperhatikannya. Ia mengeluarkan mobil dari area basement gedung apartment tersebut dan mereka meluncur mulus di jalan arteri kota Tokyo.
Sakura memicingkan matanya ketika sinar matahari yang berada tepat di atas mereka menyilaukannya. Ia menundukkan kepala dan memandangi isi tasnya untuk menghindari sinar tersebut.
Sakura tertegun saat tangan Kakashi terulur ke arahnya dan pria itu dengan sigap membuka visor di depannya. Sinar matahari langsung saja terblokir, membuat Sakura dapat mengangkat kepalanya lagi.
"Sudah kubilang, letakkan satu kaca mata hitam di sini." Ujar Kakashi pelan sambil mengetuk laci di depan Sakura. Ia sendiri baru menyadari kalau pria itu sudah memakai kacamata hitam, karena tentunya jika ia membuka visor di hadapannya, akan sangat mengganggu penglihatan dan membuatnya tidak aman berkendara.
"Kacamata yang bagus, Kakashi," ujar Sakura. "Mei-nee yang memberikannya?"
"Ya. Kau cemburu?" tanya Kakashi singkat.
Sakura tidak menjawab. Ia tidak cemburu, ia hanya… kesal karena masih ada memori dari mantan pacar-nyaris-sempurna Kakashi yang masih diingat ataupun dikenakan oleh pria itu. Sakura tersenyum kecil dan pada akhirnya menggeleng.
"Tentu saja tidak."
"Baiklah. Aku… percaya."
Tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi mereka untuk sampai ke tempat tujuan. Kakashi dan Sakura sampai setengah jam kemudian di halaman rumah orang tua Kakashi, dan mereka tersenyum lebar pada sepasang suami istri yang sedang berbicara satu sama lain di halaman depan. Sakura memeluk Rika dan Sakumo bergantian, lalu duduk di salah satu kursi yang ada disana.
"Sakura, Kakashi," ujar Rika dengan wajah berbinar. "Maafkan Ibu karena meminta kalian untuk datang mendadak begini."
"Tidak apa-apa, Ibu." Ujar Sakura sambil tersenyum kecil.
"Ayahmu sedang merapikan bonsai-bonsainya, Sakura. Apa kau tadi pergi ke sana?"
"Tidak, kami langsung menuju kesini." Ujar Kakashi menjawabi ayahnya. "Kau tahu, lebih baik kau menyapa orang tuamu dulu. Aku akan disini bersama ayah dan ibu selama beberapa saat."
Sakura mengangguk senang. Ia melambaikan tangan singkat pada orang tua Kakashi, lalu kakinya berjalan sedikit terburu-buru menuju rumah yang terletak hanya beberapa belas meter dari rumah Kakashi. Wajahnya berbinar ketika ia beradu pandang dengan ayahnya, dan tanpa babibu ia langsung berlari untuk memberikan pelukan pada ayahnya.
"Sakura, kau seperti anak kecil saja…" ujar Kizashi sambil tertawa. "Aku sudah pergi ke rumah Hatake tadi jam sebelas, tapi kau dan Kakashi belum juga datang."
Sakura mengernyit bingung. "Ayah tahu kalau aku akan kesini?"
"Tentu saja. Rika sedang bersama Ibumu saat ia menelepon Kakashi," jawab Kizashi pelan. "Masuklah, Ibumu sudah menunggu dari tadi."
Sakura mengangguk dan berjalan memasuki rumah. Aroma pudding buah kesukannya menyapa Sakura tepat di depan pintu, membuat senyumannya yang ia kira tidak bisa melebar lagi terkembang makin besar. Sakura mendapati ibunya di dapur, tengah menata berbagai buah-buahan di atas pudding susu berwarna putih bersih, ia begitu berkonsentrasi sampai-sampai tidak menyadari ada Sakura di depannya.
"Oh!"
Mebuki berseru kaget saat sepasang lengan memeluknya. Ia tertawa kecil melihat Sakura di belakangnya, membiarkan gadis itu meletakkan dagunya di atas bahunya.
"Ibu tidak merindukanku?"
"Tentu saja tidak… kita baru saja bertemu beberapa waktu lalu di rumah Karura dan kita selalu saling berkirim kabar setiap hari." Ujar Mebuki tenang. Sakura mengerucutkan bibir, namun ia memaafkan ibunya karena Mebuki tidak melarangnya saat ia mencuri seiris stroberi dari mangkuk. "Enak?"
"Tentu saja." Puji Sakura senang. "Ah—hei, Ibu, kenapa ada kiwi?"
"Karena…" ujar Mebuki bingung. "…enak?"
"Ugh, aku tidak akan bisa memakannya!" keluh Sakura sedikit kesal. "Dan, apa itu? Persik? Ibu benar-benar lebih menyayangi Kakashi daripada aku, ya?"
Mebuki tersenyum kecil. Ia membuka pintu kulkas yang berada di sebelahnya dan menarik keluar sebuah wadah dengan pudding kecil di atasnya.
"Tentu saja aku lebih menyayangimu. Kau putriku." Ujar Mebuki sambil tertawa. "Bantu aku."
Sakura menerima mangkuk berisi jeruk dari ibunya dan menyusun jeruk-jeruk tersebut dengan rapi. Ia lalu mengambil mangkuk lain berisi jelly cair yang baru saja diseduh Mebuki dan menuangkannya diatas jeruk-jeruk tersebut, mengikat mereka agar tidak terjatuh saat nantinya akan ada pisau yang memotong mereka.
"Apakah kau tahu kenapa orang tua Kakashi memanggil kalian kesini?"
Sakura menghentikan gerakannya dan meletakkan mangkuk kecil tersebut secara perlahan di atas meja. Mebuki tidak membalas tatapaannya, ia masih berkonsentrasi membersihkan kiwi dan mengirisnya tipis-tipis.
"Tidak, Ibu…"
"Malam ini adalah malam inagurasi."
"Hah?" tanya Sakura bingung. "Malam inagurasi apa?"
"Sakumo mengajukan pensiun atas dirinya sendiri seminggu yang lalu, dan kemarin pengajuannya diterima oleh dewan perusahaan." Ujar Mebuki, ia menutup bibir Sakura yang melongo dengan kedua jari sebelum mulai memotong lagi. "Dan malam ini adalah pelantikan direktur yang bar—"
"Kakashi akan menjadi direktur?!" tanya Sakura tidak habis pikir.
Mebuki akhirnya menoleh dan ia hanya memberikan tawa kecil. "Tidak, Sakura."
"Lalu?"
"Ayahmu."
"Hah?! A-ayah?!"
"Ya?"
Sakura dan Mebuki menoleh ke arah Kizashi yang baru saja memasuki rumah. Pria akhir empat puluhan itu terlihat bingung, tidak terkecuali Sakura yang sekarang menatapnya dengan tidak percaya. Ketika dua perempuan di depannya tidak juga melanjutkan perkataan mereka, Kizashi menghela nafas dan menghilang di balik pintu kamarnya.
"Apa?! Apa Paman sudah gila? Kenapa Ayah yang dilantik menjadi direktur selanjutnya?!" desis Sakura tidak habis pikir. "Maksudku, Kakashi bahkan sudah sangat matang untuk memimpin perusahaannya. Kenapa Ayah?"
"Memangnya kenapa, Sakura? Ayahmu juga memenuhi kriteria." Ujar Mebuki tenang. "Lagipula siapa yang bisa kau percayai lebih lagi dibandingkan orang tua menantumu sendiri?"
Sakura menggaruk tengkuknya dengan tidak nyaman. Ia jatuh terduduk di atas kursi bar putih rumahnya, lalu mengetuk-ngetuk konter granit dapur tersebut dengan perasaan sedikit cemas. Entah kenapa ia menyadari bahwa akan semakin rumit kalau kedua keluarga mereka semakin terikat begini. Memang benar ia dan Kakashi sudah mulai saling menyukai, tapi—
"Kau tahu, inilah saat yang tepat bagi kalian berdua untuk jujur."
Apa?
Sakura tersentak dari lamunan dan memandang ibunya dengan cepat.
"Mm-maksud Ibu?"
Mebuki meletakkan pisaunya dan menghela nafas. Emosinya mulai naik dan tentu saja tidak akan bijak untuk tetap memegang pisau tersebut. Ia memandangi putrinya selama beberapa menit tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan Sakura bersumpah ia belum pernah melihat ibunya seperti itu. Kedua mata lelah wanita itu seakan-akan ingin memberitahunya sesuatu, ingin memberitahu bahwa ia tahu…
"Oh!" ujar Sakura pada dirinya sendiri. Ia menutup mulut dengan kedua tangan dan memandang Mebuki dengan pandangan tidak percaya.
"Ibu tahu?" tanya Sakura takut.
"Ya. Sejak awal." Ujar Mebuki. Nadanya dingin dan tegas. Ia membersihkan tangannya dengan kain yang ada diujung konter dan melipat lengannya di depan dada. "Tadinya aku tidak terlalu percaya pada instingku sendiri, tapi pada saat Gaara memberitahukanku tentang apa… ah tidak, siapa, yang ditemukannya di apartment kalian…"
Gaara -nii…. Gaara-nii…, sesal Sakura dalam hati. Berakhirnya hubungan Kakashi dan Mei benar-benar membuatnya lupa akan fakta bahwa Gaara menemukan Mei di apartment mereka beberapa minggu yang lalu. Sakura merasa benar-benar mulas dan lututnya lemas seketika itu juga, tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada ibunya.
"…maafkan aku, Ibu."
Mebuki menghela nafasnya. Ia mengatupkan kedua tangan di depan wajah, merasa kesal karena permintaan maaf Sakura mengkonfirmasi semua kekhawatirannya.
"Apa yang kau pikirkan, Sakura?" tanya Mebuki cemas. "Kau benar-benar tidak memikirkan konsekuensi dari tindakanmu, 'kah? Kau tidak memikirkan perasaan ayahmu? Perasaan Sakumo, Rika—perasaan seluruh keluarga kalian?"
"Aku…" Sakura menggigit bibirnya. "Aku tidak…"
"Kau tidak memikirkan perasaanmu sendiri?"
Sakura mengangkat kepalanya dan mendapati Mebuki telah mendahuluinya menangis. Wajah lelah wanita itu telah dipenuhi air mata sekarang, dan Sakura tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak menangis. Ia bangkit dari kursi dan memeluk Ibunya.
"Maafkan aku, Ibu… aku benar-benar tidak berpikir akan jadi seperti ini." ujar Sakura menyesal. "Aku hanya ingin membantu Kakashi, itu saja. Aku tidak berniat untuk melukai siapa-siapa, Ibu…"
Mebuki sebenarnya tidak sepenuhnya marah pada Sakura. Ia hanya tidak bisa membayangkan, seberapa besar tanggungan yang ada di bahu putri semata wayangnya itu saat menyetujui permainan kecil Kakashi. Mebuki membalas pelukan putrinya selama beberapa saat sebelum akhirnya menjauhkan diri.
"Bagaimana…" ujar Sakura terbata, air memenuhi mata dan hidungnya. "Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian di teras rumah," ujar Mebuki lembut. "Aku ingin menghentikan kalian saat itu juga, tapi aku tahu aku tidak berhak untuk melakukan apa-apa, Sakura. Bukan karena aku tidak punya hak untuk merestui siapa pria yang nantinya akan menikahi putriku, tapi karena…"
Sakura mendongak dan menatap wajah ibunya yang sembab.
"Karena aku tahu sedari kecil kau memang sudah menyukainya…"