"Sakura… kau harus tersenyum."

"Sedetik setelah kita masuk ke hotel nanti, aku akan langsung mencekikmu." Bisik Sakura pada Kakashi di sebelahnya, tersenyum ke arah kamera yang mengambil foto mereka berdua.

Kerumunan tamu-tamu undangan masih berdiri di sekitar mereka, membuat kedua pipi merah Sakura lama-lama sakit karena terlalu lama tersenyum. Mereka berdua menerima ucapan selamat dari orang-orang yang datang dengan wajah sumringah, menyalam beberapa orang yang juga menyelipkan amplop merah ke tanagn mereka, dan pada akhirnya berjalan menuju sudut ruangan dengan wajah lelah yang tidak dibuat-buat.

"Oh, kau cantik sekali, Sakura…"

Sakura hanya mampu tersenyum kecil ke arah Rika Hatake—ibu mertuanya—yang sekarang sedang memeluknya. Meskipun ia mati-matian menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke arah Kakashi, ia sangat menghormati wanita di depannya yang sekarang sedang berlinang air mata. Sakura kembali melemparkan senyuman ke arah ibunya yang juga berjalan mendekat ke arah mereka.

"Aku benar-benar bersyukur karena Sakura bersedia untuk menikahi Kakashi."

"Jangan bicara seperti itu… siapa yang tidak mau?" tanya Mebuki dengan nada jenaka.

Kedua ibu itu tertawa ke arah satu sama lain dan meninggalkan mereka lagi. Sakura menghela nafasnya, sekali lagi harus memasang wajah tersenyum ke arah kamera yang entah kenapa tidak pernah berhenti mengambil fotonya. Tangan Kakashi masih menggenggam erat tangannya yang terbungkus sarung tangan putih tipis, genggamannya tidak pernah kendur sedari resepsi selesai tadi.

Sial, gerah sekali, pikir Sakura, berusaha melepaskan tangannya.

"Jangan bertingkah." Bisik Kakashi tajam. "Setengah jam lagi."

"Aku tidak bertingkah! Tanganku… berkeringat."

Sakura dan Kakashi kembali berjalan ke arah dua orang pria yang sekarang sedang memanggil-manggil mereka. Kizashi dan Sakumo tampak bangga mempersembahkan sepasang pengantin baru tersebut pada teman-temannya. Sakura membungkuk sopan—sangat kesusahan, tentunya—, dan langsung menegakkan tubuhnya ketika tangan Kakashi menarik gaun pengantinnya ke belakang.

"Kalian beruntung sekali, aku sampai iri." Ujar salah satu pria paruh baya yang ada disitu. "Benar-benar menjadi keluarga… Aku tahu Sakumo sudah sangat menyukaimu semenjak kita baru masuk ke perusahaan, Kizashi. Ternyata anak kalian berjodoh."

"Tentu saja aku sudah lama menjadi favoritnya. Suatu kehormatan bagiku untuk menjadi mertua Kakashi." Ujar Kizashi, nadanya terdengar bangga tanpa dibuat-buat.

Sakumo tersenyum kecil. "Apa yang kau katakan? Tentu saja aku yang paling beruntung, mendapat menantu cantik seperti Sakura…"

"Mereka belum tahu saja wajah bangun tidurmu." Bisik Kakashi ke arah Sakura.

"Cantik, maksudmu? Kau bahkan belum pernah melihatnya."

"Aku sudah bisa membayangkannya, dan rambut tubuhku merinding."

Sakura mengerucutkan bibir. Pikirannya melayang ke percakapannya dengan Kakashi sebulan yang lalu.

.

.

"Aku tidak mau."

"Kau harus mau." Ujar Kakashi langsung. "Lagipula kau tidak punya alasan untuk mengatakan tidak."

"Uhm, halo? Bagaimana dengan umurku yang masih 22 tahun? Atau kebebasanku sendiri mencari pendamping hidupku di masa depan?"

"Kau sudah legal untuk menikah, Sakura, dan kau bahkan tidak memiliki pacar." Kakashi berujar mengejek, menyesap rokok yang ada di tangannya. "Ayolah, bantu aku. Hanya untuk beberapa tahun. Setelah itu jika kau mau bercerai, silakan saja. Kalau aku tidak menikahimu, ibuku tidak akan berhenti mengoceh dan—"

"Kakashi, persetan dengan semua itu. Kau sekarang sedang menggunakanku, kau tahu?!" potong Sakura kesal, matanya mendelik marah. "Kukira kau sudah menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Ternyata sama saja. Kuliah di kota tidak membuat pikiranmu menjadi lebih terbuka, bahkan sekecil inipun?"

Sakura mengacungkan ibu jari dan jari telunjuknya yang hampir menempel ke arah Kakashi.

"Kau sepertinya lupa kalau aku dosenmu."

Sakura menoleh kesal. Aku tahu ia pasti akan menggunakan kartu itu.

"Oh, Kakashi, kau benar-benar laki-laki rendahan…"

"Ya? Apa yang akan kau lakukan, menggigitku seperti saat umurmu masih 10 tahun dulu?"

Sakura tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Ia masuk ke dalam rumahnya, mengunci pintu dua kali, dan meninggalkan Kakashi dengan luka gigitan besar di tangannya.

.

.

"Hah… aku pegal sekali."

Sakura merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Gaun pengantinnya yang mengembang disana sini nyaris memakan seluruh tempat tidur tersebut. Kakashi menutup kamar beberapa saat kemudian, lalu mengikuti Sakura dan menutup matanya.

"Kukira hari ini tidak akan berakhir."

"Aku pikir juga begitu." Gumam Kakashi, menutup wajahnya dengan tangan. "Kau akan mandi?"

"Kau saja. Baju ini sangat susah untuk dilepaskan." Ujar Sakura dengan sisa-sisa tenaganya sambil melepas sarung tangan panjang dan melemparnya ke sembarang arah. "Aku juga harus melepaskan semua pin yang dipasang di kepalaku. Kita menginap berapa lama disini?"

"Semalam. Besok kita akan kembali ke Tokyo."

"Yang benar saja. Lama sekali." Gumam Sakura malas.

Sakura menendang Kakashi, memerintah pria itu untuk segera mandi dan berjalan menuju meja rias. Ia menatap wajahnya sendiri.

"Aku sangat cantik…" gumam Sakura, baru menyadari. Ia sedikit bersyukur karena ia memaksakan untuk tersenyum selama resepsi tadi.

Rambutnya yang sangat keras akibat pemakaian hairspay membuat Sakura mengeluh sendiri. Ia merasa tangannya sakit karena harus meraba-raba pin yang ada di kepala. Sakura menghela nafasnya, lalu meletakkan tangannya di atas meja rias dan menggelengkan kepalanya sendiri.

"Kalau aku tidak melepaskannya, rambut ini akan menjadi sekeras batu besok pagi." Gumam Sakura pelan pada dirinya sendiri. "Sakura, kau sudah berjanji untuk menjadi lebih dewasa tahun ini dan…"

Sakura terdiam. Tangannya tersentuh sesuatu yang dingin, dan Sakura tersentak pelan saat melihat bayangan Kakashi dari kaca di depannya.

"Tidak usah, aku—"

"Diamlah. Aku tidak bisa tidur kalau kau berisik saat mandi tadi." Ujarnya pelan. Kedua tangannya yang dingin sehabis mandi menarik pin-pin yang masih ada di rambut Sakura dengan sangat pelan, berusaha untuk tidak menarik rambut gadis itu. Sakura terdiam dan memandang bayangan Kakashi lewat kaca, lalu kembali menunduk.

"Apa yang harus kita lakukan di kampus?" tanya Sakura pelan. "Maksudku, pasti akan canggung, 'kan?"

"Kenapa harus canggung? Astaga, apa kepalamu tidak sakit ditusuk pin sebanyak ini?" tanya Kakashi kesal. "Bersikap biasa aja, kita juga menikah hanya untuk orang tua kita. Lagipula orang-orang juga tidak tahu kalau kita saling mengenal." Lanjut Kakashi sambil memberikan sepasang pin ke arah Sakura. "Aku akan menepati janjiku, kau juga harus menepati janjiku."

Sakura tersenyum senang dan mendongak, melirik Kakashi lewat kaca. "Nilai A walaupun aku tidak mengumpulkan tugas?"

"Ya… menunduklah." Balas Kakashi, menekan kepala Sakura agar kembali menunduk. "Dua lagi. Kau harus langsung mandi, ini sudah jam 11."

"Baiklah."

.

.

Kakashi dan Sakura sama sekali tidak membutuhkan bulan madu, karena keesokannya mereka sudah sama-sama duduk di dalam ruang kuliah, berpura-pura tidak mengenal seperti biasanya. Sakura mengeluarkan laptop -nya dan menopang dagunya dengan kedua tangan, menatap ke depan dengan malas.

"Astaga, Hatake sensei terlihat benar-benar tampan hari ini." bisik Ino, tidak terlalu lirih, sampai-sampai beberapa orang menoleh ke arah mereka. "Dan lihat, auranya juga berbeda. Apa yang dia lakukan sampai-sampai bisa bersinar begitu?"

"Tidak mungkin, 'kan, dia menikah diam-diam?" timpal Hinata.

Sakura merasa rona panas menjalar dari leher ke pipi dan telinganya. Ia tahu, tidak mungkin ada orang yang mengetahui pernikahan mereka selain kedua orang tua dan rekan-rekan kerjanya, tapi kenapa teman-temannya bisa berbicara seperti itu?

"Berisik sekali." Ujar Sakura, mencoba untuk netral. "Bagaimana kalau makan siang nanti kita pergi ke kedai Ashori?"

Ino tersenyum. "Baiklah… Hinata traktir!"

"Hei!" Hinata mengerutkan keningnya bingung.

Suara Hinata yang ternyata cukup besar membuat setengah dari isi kelas menoleh ke arah mereka, termasuk Kakashi. Sakura menangkap pandangan mata tidak suka dari Kakashi dan ia hanya bisa memberikan senyuman tidak enaknya—sebuah ringisan terpaksa yang biasa ia berikan kepada Tuan dan Nyonya Hatake—.

"Ada masalah, Hyuuga?" tanya Kakashi.

"Ti-tidak, sensei." Balas Hinata sopan. "Maafkan aku."

"Baiklah, seperti janji kita di awal semester, mulai minggu depan kelas akan diisi dengan presentasi kelompok." Ujar Kakashi, berjalan ke depan dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Seperti yang sudah kukatakan juga, presenter akan diundi tepat sebelum kelas dimulai. Karena itu kalian semua harus siap."

Keluhan terdengar samar-samar di dalam ruangan tersebut. Tidak terkecuali Sakura. Ia berdecak kesal, tidak menyukai cara mengajar Kakashi yang menurutnya terlalu keras dan tidak menyenangkan sama sekali.

Kakashi baru saja bersiap menayangkan slide presentasinya ketika suara ketukan terdengar dari pintu. Seorang perempuan masuk, tersenyum sopan ke arah seluruh kelas dan berjalan lurus ke arah meja Kakashi yang di bagian tengah-depan ruangan.

"Maaf menggangu, sensei, aku ada kelas sebentar lagi." Ujarnya sopan, memberikan setumpuk kertas ke arah Kakashi.

"Tidak apa-apa. Terima kasih, Hanare."

"Ugh, Hanare… dia benar-benar menyebalkan." Cibir Ino lirih ke arah kedua temannya. "Aku tahu dia sudah lama mengincar Hatake sensei, tapi aku tidak menyangka sensei tahan menjadikannya asisten sampai saat ini! Maksudku, ia bahkan mengulang banyak sekali kelas semester ini dan—"

"Hei, mengulang kelas bisa saja karena dia sibuk." Ujar Hinata pelan.

"Kau ada disisi siapa, aku atau Hanare?" balas Ino. Tangannya bergerak untuk mencubit kecil lengan Hinata, sementara Sakura memutar matanya malas. "Kalau dipikir-pikir, Hatake sensei memang selalu mempunyai asisten yang seperti Hanare. Tinggi, cantik…"

Sakura berusaha untuk mendengarkan. Bukannya apa, ia sama sekali tidak tertarik dan tidak peduli tentang kriteria asisten yang diinginkan oleh Kakashi ataupun siapa yang disukai pria itu. Ia berusaha untuk menganggukkan kepala beberapa kali agar Ino tetap mengira dirinya mendengarkan, tapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah kemana.

"Jadi kesimpulannya, discourse analysis dari teks ini…" ujar Kakashi menjelaskan, lalu menangkap tiga orang mahasiswi di ujung ruangan yang sepertinya sedang asyik berbicara sendiri dan tersenyum kecil. "… bisa kau jelaskan, Yamanaka?"

Ino tersentak dan meluruskan duduknya. Sakura mati-matian menahan tawa, ia bisa melihat bulir keringat besar yang tiba-tiba turun dari pelipis temannya. Tangannya dengan cepat mengetik sesuatu di layar laptop dan sikutnya sukses membuat Ino menoleh ke arahnya.

Seakan tersaadar, Ino membaca kalimat yang diketik Sakura barusan.

"Sally merasa tidak nyaman dan ingin pergi dari tempat itu… secepat juga?" ujar Ino takut-takut.

Kakashi terdiam sebentar. Hanya beberapa orang yang teramat peka yang bisa menyadari tatapan tajamnya ke arah Sakura. Ia tahu Sakura mengetikkan jawaban di laptop-nya, dan gadis itu hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu. Akhirnya setelah membiarkan kelas dalam keadaan hening selama beberapa menit, Kakashi menghela nafasnya.

"Benar. Dan tentunya kalian tidak bisa menemukan informasi tersebut secara eksplisit dari teks yang ada disini." Jelas Kakashi ke arah seluruh kelas. "Perhatikan pemilihan katanya dan perasaan yang muncul ketika kalian membaca percakan ini, tentu saja tidak akan nyaman."

Ino menghela nafasnya. Ia merangkul Sakura, berjanji untuk mentraktir temannya itu makan siang.

.

.

"Aku benar-benar mengira sensei akan membunuhku tadi."

Ino nyaris menangis saat ia menggigit ayam goreng di depannya. Sebaliknya, Hinata tertawa puas dan Sakura tersenyum senang.

"Bisa jadi omonganmu tadi terlalu keras sampai-sampai terdengar oleh sensei," ujar Hinata. "Dan dia tidak menyukai saat kau menjelek-jelekkan Hanare seperti tadi. Kau harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang, Yamanaka."

"Hentikan, Hinata! Aku benar-benar takut." Ino merengek kecil.

Sakura tidak menanggapi. Ia menikmati makan siang gratisnya dengan hati bahagia. Mata Sakura berbinar saat ia menggigit ebi furai gemuk di depannya. Rasa asin dan gurih yang diinginkannya meleleh ke dalam mulut, benar-benar sempurna.

Ponselnya bergetar. Sakura membuka pesan yang masuk lalu mengerutkan keningnya.

From : Koharu

Apa kau masih ada kelas di jam terakhir? Ayah dan ibu akan datang.

"Ugh…" gumam Sakura tanpa sadar. Tentunya ia harus makan siang lagi dengan kedua orang tua Kakashi nanti, yang berarti ia tidak boleh menghabiskan tempura di depannya karena akan ada banyak sekali kalori yang masuk ke tubuhnya hari ini. Sakura mendorong piringnya setengah tidak rela, lalu memandang teman-temannya dengan pandangan tidak enak.

"Aku merasa tidak terlalu enak badan…" gumam Sakura pelan. "Kalian saja yang menghabiskan."

"Yang benar? Kalau begitu uangku tidak terbuang sia-sia." Ujar Ino sambil terkekeh. "Kakakmu memintamu untuk pulang cepat lagi?"

"Ya… begitulah."

"Huh, akhir-akhir ini kakakmu selalu memintamu ini dan itu!" keluh Ino tidak terima.

Ya, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Sakura selain membohongi kedua teman dekatnya ini dengan mengatakan bahwa kakaknya datang kembali ke rumah dan meminta bantuannya untuk mengurus pernikahan. Sebenarnya, Sakura tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang sudah dibiasakan oleh kedua orang tuanya untuk menganggap Kakashi sebagai kakaknya sejak mereka masih bertetangga dulu.

Dan Kakashi memang meminta bantuannya untuk mengurus pernikahan, dengan menjadi mempelai wanitanya.

Sakura merasa kesal sendiri kalau mengingat hal itu. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan Kakashi menghancurkan waktunya bersama teman-temannya.

Setengah jam kemudian, mereka berpisah karena Hinata dan Ino masih memiliki satu kelas lagi hari ini. Sakura berjalan selama lima belas menit ke arah halte bus, dan masuk ke dalam sedan hitam yang terparkir manis di sekitar sana.

"Pelajaranmu benar-benar membosankan." Ujar Sakura langsung.

"Setidaknya aku tidak hanya memberikan kalian tugas…" gumam Kakashi tanpa berpikir terlalu keras karena konsentrasinya terpusat untuk memundurkan mobil. Pria itu kemudian menjalankan mobil dan membiarkan keheningan menemani mereka sepanjang perjalanan.

Sakura segera saja membuka kulkas begitu sampai di apartment mereka dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Melihat hal tersebut, Kakashi berhenti berusaha membuka dasinya dan mengerutkan kening.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kakashi bingung.

"Apa? Tentu saja memasak." Jawab Sakura, tidak kalah bingung. "Akan tidak sopan kalau Paman dan Bibi datang tapi kita tidak menyediakan makanan."

Kakashi menghela nafas. "Tidak usah, mereka akan membawa makanan."

"Tetap saja…"

Sakura mengeluarkan beberapa bahan makanan yang ada di dalam kulkas. Untung saja ia membiarkan ibunya saat itu, yang bersikeras untuk mengisi kulkas apartment mereka tepat sebelum Sakura pindah kesini bersama Kakashi. Kakashi menghela nafasnya, pria itu menggulung lengan kemejanya dan membantu Sakura.

"Kau tidak usah membantu—"

"Akan lebih cepat kalau dikerjakan berdua." Potong Kakashi, mengambil jamur yang ada di atas konter dan membersihkannya.

Sakura mengangkat bahunya, tidak terlalu peduli, lalu memotong-motong lembaran kol yang sudah dibersihkannya tadi menjadi sangat kecil. Sakura meletakkan potongan kol tersebut ke dalam mangkuk besar di depannya dan melakukan hal yang sama pada daun bawang di depannya, lalu melirik Kakashi yang sekarang sedang memotong-motong jamur.

"Ha, Kakashi, tinggal sendirian selama bertahun-tahun tidak membuatmu pandai memasak ternyata." Cibir Sakura, mengambil alih pekerjaan Kakashi sambil tertawa kecil. "Tolong masukkan saja daging gilingnya ke dalam mangkuk dan bumbui mereka."

"Huh? Apa bumbunya?" tanya Kakashi bingung.

"Minyak wijen, kecap asin, sake…" gumam Sakura sambil meletakkan potongan jamur ke dalam mangkuk. "Satu sendok makan. Dan juga garam, setengah sendok teh."

Sakura membuka lagi pintu kulkasnya dengan perasaan harap-harap cemas. Begitu melihat ada daging cincang di dalam kulkas, ia langsung berpikir untuk membuat gyoza. Sekarang, kalau sampai ia tidak bisa menemukan kulit gyoza di dalam kulkasnya, ia benar-benar tidak tahu harus membuat apa.

"Ah!" ujarnya senang, mengambil sebungkus kulit gyoza dari sana.

"Menemukan berlian?"

"Ha, yang benar saja." Sakura tertawa kecil, berhenti disamping Kakashi dan mengacungkan kulit gyoza. "Bagaimana kalau kita tambahkan lada? Apakah paman dan bibi menyukainya?"

"Ayah dan ibu, Sakura." Koreksi Kakashi, melirik Sakura jenaka. "Kalau kau memanggil mereka seperti itu, kau pasti akan dimarahi."

Sakura tersadar dan terkekeh. Ia menambahkan sejumput lada, lalu memasukkan bawang putih dan jahe yang tadi dicincangnya dengan cepat. Kakashi mencampurkan semua bahan yang ada di mangkuk dengan cepat, lalu memberikannya ke arah Sakura yang sudah mengacungkan kulit gyoza ke arahnya.

Mereka bekerja dalam diam selama beberapa belas menit kemudian, sampai Sakura mencoba untuk menggoreng gyoza pertama mereka dengan perasaaan cemas. Ia memang bisa memasak, tapi tidak dengan situasi mendadak seperti ini. Gadis itu mencapit gyoza di depannya dengan sumpit dan menggigitnya perlahan.

"Um," ujarnya cukup bangga. "Enak juga. Kau mau?"

"Ya." Jawab Kakashi. Tangannya terulur untuk meraih tangan Sakura mendekat, lalu menggigit sisa gyoza yang tinggal setengah tadi. "Kau tidak membuat saus?"

"Aku masih harus menggoreng yang lain, kau saja yang buat." Ujar Sakura. "Cuka, kecap asin, dan minyak cabai."

Kakashi menurut dan berjalan ke sisi lain konter dapur, mengambil dua botol lain yang tadi disebutkan Sakura. Pria itu dengan telaten mengaduk cuka, kecap dan minyak di depannya, lalu mencicipinya sedikit.

Keningnya berkerut. Sakura meliriknya sekilas dan tertawa.

"Pedas?"

"Ya." Jawab Kakashi, memberikan mangkuk kecil itu ke arah Sakura. Sakura mencelupkan kelingkingnya dan tersenyum.

"Enak. Aku akan membuatkan satu lagi untukmu tanpa minyak cabai."

Bel apartment berbunyi. Mereka berdua saling melempar pandang, Kakashipun pada akhirnya segera berjalan ke depan pintu dan membukanya. Pria itu memberikan senyuman lebarnya kepada ayah ibunya yang terlihat sangat sumringah, lalu mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam ruangan.

"Apa yang kalian lakukan, kenapa bau ruangan ini sangat sedap?" tanya Rika, mencari-cari Sakura dan tersenyum ketika menemukan menantunya tengah berada di dapur. "Sakura… apa yang kau lakukan? Ibumu akan memarahiku kalau kau bekerja keras seperti ini…"

"Bi—ibu bicara apa, tentu saja ibu tidak akan marah." Ujar Sakura pelan, memeluk ibu mertuanya.

Rika tersenyum dan bergabung bersama suaminya yang sekarang sedang duduk di sofa. Kakashi melangkah masuk ke area dapur dan meletakkan beberapa plastik besar disana. Ia segera mengambil beberapa piring, menata ulang makanan-makanan yang dibawakan oleh orang tuanya, dan pergi ke ruang tengah.

Sakura menyusul beberapa menit kemudian. Ia meletakkan piring besar berisi gyoza yang sudah dibuatnya tadi bersama Kakashi. Ia memposisikan diri di samping pria itu, masih lengkap dengan kaus putih minimalis-nya yang tadi dipakainya ke kampus. Ia melirik Kakashi sekilas. Pria itu hanya tersenyum kecil ke arahnya, berusaha menenangkan.

"Sebenarnya kami hanya ingin mengecek keadaanmu, Sakura," ujar Rika mengawali. "Karena aku tahu, Kakashi tinggal sendirian disini, selama ini, tempat ini pasti tidak akan terlalu menyenangkan untukmu."

"Ah, tidak, tempat ini sangat…" ujar Sakura, menelan ludahnya. "Nyaman."

Kakashi berusaha untuk menetralisir wajahnya. Pria itu hanya bisa tersenyum jengkel.

"Tadinya kami ingin datang bersama ayah dan ibumu, tapi ayahmu masih ada pekerjaan di kantor." Kata Sakumo dengan nada bicaranya yang dalam dan tenang. "Mungkin mereka akan menengok malam nanti. Tentunya akan lebih menyenangkan jika kita semua bisa berkumpul bersama."

"Tentu saja, tapi anak-anak pasti juga akan merasa sedikit terganggu," timpal Rika. "Bagaimanapun juga mereka, 'kan, pengantin baru."

Keduanya tersenyum masam. Ada dua kamar disini, dan keduanya dipakai oleh masing-masing penghuni ruangan.

"Aku sangat senang karena Kakashi memiliki istri seperti Sakura, karena kita semua tahu kalau Sakura pintar sekali memasak sejak kecil dulu." Ujar Rika senang sambil mencelupkan gzoya yang baru saja diambilnya ke dalam saus dulu. "Ah, aku jadi ingat saat pertama kali melihat Sakura…"

.

.

"Hati-hati di jalan, ayah, ibu."

Sakura dan Kakashi tersenyum. Ia membiarkan tangan Kakashi melingkar di pinggangnya, setidaknya sampai mobil silver yang ada dihadapan mereka menghilang dari pandangan.

Sakura segera membalikkan tubuhnya tanpa aba-aba dan berjalan masuk kembali ke dalam gedung apartment. Kakashi dengan cepat menyusulnya, berdiri bersisian dengannya di depan pintu lift tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Segerombol anak sekolah menyeruak keluar dari dalam lift. Sakura tersentak kaget ketika seorang anak tanpa sengaja menyenggolnya. Kakashi yang berada di sebelahnya dengan sigap mengangkap gadis itu, membantunya untuk berdiri kembali.

"Terima kasih." Gumam Sakura pelan, masuk ke dalam lift.

Yang mereka lakukan hanyalah makan bersama dan berbicara bersama kedua orang tua Kakashi, tapi Sakura merasa dirinya lelah sekali sampai-sampai ia tidak ingin melakukan apapun kecuali tidur sekarang. Gadis itu melangkah masuk ke dalam apartment, lalu berhenti di depan dapur dengan tatapan malas.

"Tidurlah. Aku akan mengerjakannya."

Sakura menoleh. Kakashi sudah berdiri di depannya, berjalan mendahului masuk ke dapur.

"Terima kasih." Sakura berujar lagi. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya sendiri, mengunci pintu, dan tidur.

.

.

buat kamu yang nungguin the baby journal (yang tiba tiba diapus)...cerita ini terkhusus untuk kamu.

salam sayang dan permintaan maaf setinggi gunung tora