Kisah Kesembilan: Superhero Elemental

Pulang

.

.

"Abang BoBoiBoy rajin sekali."

"Hm?"

BoBoiBoy teralih sejenak dari pekerjaannya berkeliling mengambil gelas-gelas kotor di meja. Ia sontak menoleh ke arah suara. Tatapannya jatuh kepada gadis cilik bercepol dua yang tengah duduk di dekat counter sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan santai.

"Iya, dong, Pipi." BoBoiBoy tersenyum ramah. "Harus tetap semangat. Soalnya kan Abang bantuin Atok. Hehehe ..."

"Memang seperti itulah sepatutnya anak murid kebenaran ..."

Tiba-tiba saja seorang pria berkumis tebal dan mengenakan topeng merah menyamarkan kedua matanya, sudah berdiri di samping Pipi. Pose khas mengiringi ucapannya seperti biasa. Sementara, tangan kanannya menggenggam kantong belanja dari kertas.

"Alamak!" Papa Zola—sang pria bertopeng itu—berseru mendadak. "Kita harus cepat pulang, Pipi, oooi! Cokelat bubuk ini sudah ditunggu mama kamu di rumah!"

"Siap, Papa!" Pipi melompat turun dari kursinya. "Abang BoBoiBoy, Pipi pulang dulu, ya! Bye-bye!"

Pipi menyusul sang papa yang sudah berlari tergopoh-gopoh menghampiri motor antik dengan boncengan tambahan di sisi kiri, serta terhias logo berbentuk huruf "P" itu. Sementara, BoBoiBoy membalas lambaian tangan si gadis cilik tetangganya yang sudah menjadi pelanggan Kokotiam bersama keluarganya.

"Bye, Pipi!"

Kedai kembali sepi setelah kepergian ayah dan putrinya itu. BoBoiBoy melanjutkan kesibukannya. Hingga akhirnya dia bisa meregangkan badan setelah meletakkan nampan berisi tiga gelas dan dua cangkir kosong di atas meja counter Kedai Kokotiam.

Angin mendadak bertiup lebih kencang, mengibarkan sejenak kemeja jingga BoBoiBoy yang tak dikancingkan. Kaus ungu bergaris hitam di baliknya pun terlihat lebih jelas. Remaja empat belas tahunan itu menguap kecil, sebelum cepat-cepat menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.

"Kalau lelah, berehatlah dulu."

Suara Tok Aba menegur lembut. BoBoiBoy mengerling kepada sang kakek yang masih tampak sibuk dengan buku catatannya di balik counter. Sementara, Ochobot bergegas mengambil alih nampan berisi gelas-gelas kotor tadi untuk dicuci.

"BoBoiBoy nggak capek kok, Atok," anak muda itu menjawab dengan senyuman. "Cuma agak ngantuk."

"Semalam begadang sih, Tok," Ochobot menyambung dari jauh.

"Ish, kamu ini. Aku 'kan perlu belajar. Rasanya banyak ketinggalan materi pelajaran di sekolah."

"Tapi kalau kamu sampai sakit, nanti aku dan Tok Aba juga yang repot."

Mendengar perdebatan kecil cucu dan pembantu gratisnya di kedai, Tok Aba terkekeh kecil.

"Rajin belajar itu baik," katanya, "tapi istirahat yang cukup juga penting."

BoBoiBoy mengangguk patuh. "Iya, Tok."

"Tuh, dengerin."

"Apa, sih! Mana pernah aku nggak dengerin nasihat Tok Aba?"

Tok Aba hanya geleng-geleng kepala ketika kedua sahabat yang sudah seperti saudara itu kembali ribut sendiri. Ia lantas menyimpan buku catatan piutangnya di dalam laci, tepat di bawah kasir.

"Sudah, sudah. Kalian jaga kedai baik-baik. Atok pergi dulu."

"Eh?" BoBoiBoy mengikuti Tok Aba yang berjalan keluar dari counter dengan tatapan matanya. "Atok mau ke mana?"

Tok Aba tersenyum samar. Dibalasnya tatapan BoBoiBoy sarat makna.

"Atok ada urusan sebentar."

.

.


KOKOTiME mempersembahkan:

"A Place To Call Home"

"Pulang" - ditulis oleh kurohimeNoir

Disclaimer: "BoBoiBoy" dan segenap karakter di dalamnya adalah milik Monsta©. Tidak ada keuntungan material apa pun yang diambil dari fanfiksi ini.

Timeline: Setelah BoBoiBoy The Movie 2.

Turut memeriahkan #CanonJuly

Summary: Sejauh apa pun pergi, ia akan selalu pulang ke tempat ini. Sebuah tempat berharga yang disebutnya 'rumah'.


.

.

Berada di Pulau Rintis selalu membuat hati BoBoiBoy terasa damai. Sejak dia kecil hingga sekarang, tak pernah ada yang berubah. Walaupun kedamaian itu terusik semenjak Adu Du, si alien hijau berkepala kotak, datang merusuh di Bumi. Hingga detik ini, banyak sekali yang telah terjadi.

Namun, tetap saja, kehangatan di dalam hati BoBoiBoy tak pernah hilang setiap kali dirinya berada di sini. Di pulau yang di dalamnya ada rumah Tok Aba, rumahnya. Ada kawan-kawannya. Dan ada Kedai Kokotiam.

Banyak hal bermula dari kedai cokelat favorit para warga ini. BoBoiBoy pun menghabiskan cukup banyak waktunya di sini. Membantu pekerjaan Tok Aba sepulang sekolah dan di hari libur. Cukup melelahkan, tetapi juga menyenangkan.

"... Boy?"

Ia bisa bersama dengan kakek yang sangat disayanginya. Bercengkrama dengan teman-temannya. Bertemu dan saling mengenal dengan banyak orang. Banyak sekali hal-hal penting yang didapatkannya di sini.

"... BoBoiBoy?"

Kedai yang sudah berusia lebih dari dua puluh tahun ini menyimpan begitu banyak kenangan. Dibandingkan sekadar 'kedai milik Atok', bagi BoBoiBoy, tempat ini pun terasa sebagai rumahnya.

"BoBoiBoy!"

Sang pemilik sepasang mata beriris cokelat madu itu tersentak ketika menyadari seseorang menyerukan namanya. Ia mengerjap, merasakan matanya entah sejak kapan sudah terasa begitu berat. Di depannya, Ochobot melayang rendah sambil berkacak pinggang. Masih memakai celemek khas pegawai Kokotiam miliknya yang berwarna biru tua.

"Eh, aku ketiduran, ya?" kata sang penguasa tujuh elemental. "Maaf, Ochobot. Ada apa?"

BoBoiBoy meregangkan tubuhnya sejenak. Ia memandang berkeliling dengan cepat, mendapati kedai masih sama sepinya seperti yang terakhir diingatnya. Karena itulah, dia tadi memutuskan untuk duduk beristirahat sebentar di salah satu kursi, lantas merebahkan kepalanya ke atas meja, berbantalkan lengan sendiri, barang satu atau dua menit.

"Kamu yakin nggak mau pulang aja, biar bisa tidur di rumah?" tanya Ochobot kemudian.

"Jangan, lah, Ochobot. Ini 'kan hari Minggu. Sebentar lagi pasti kedai ramai. Nanti kamu dan Tok Aba pasti kerepotan kalau cuma berdua."

"Tapi kamu benar-benar kelihatan capek."

"Sudah kubilang, aku nggak apa-apa."

Ochobot menatap BoBoiBoy lekat-lekat. Tiada suara yang terucap.

"Ochobot?" Kening BoBoiBoy mengerut spontan. "Kenapa, sih?"

"BoBoiBoy ...," Ochobot memulai lagi, tetapi terdengar ragu. "Kamu ... Tubuhmu ... beneran udah nggak apa-apa?"

"Hm?"

"Maksudku ... belum lama, 'kan, sejak pertempuran melawan Retak'ka."

BoBoiBoy tertegun. Dilihatnya sepasang mata robotik yang bersinar biru itu tampak sayu.

"Kalau ...," Ochobot melanjutkan. "Kalau ... ada yang masih terasa sakit ... atau mungkin ada efek samping lain yang kamu rasakan ... tolong beritahu aku."

BoBoiBoy tertawa kecil. Ia lantas mengangkat lengan kanan, berpose dua-tiga detik layaknya binaraga.

"Aku sehat-sehat saja, kok." Senyum sang superhero elemental terbit, sementara matanya menatap lembut Ochobot dengan sorot menenangkan. "Dan kalau maksudmu soal elemental fusion, jangan khawatir. Nggak ada efek buruk apa pun yang kurasakan."

Ochobot lebih mendekatkan diri lagi kepada sahabatnya. "Sungguh?"

"Sungguh." BoBoiBoy mengulurkan tangan. Diusapnya bagian atas kepala Ochobot dengan lembut. "Terima kasih sudah mencemaskan aku."

BIP BIP!

Nada dering singkat terdengar dari Jam Kuasa di tangan kanan BoBoiBoy. Sang pemilik jam mengangkat lengannya, lantas di atas permukaan jam itu muncul sosok hologram mini gadis berkacamata bulat dengan tampilan serba kuning-biru.

"Ying?" berkata BoBoiBoy. "Ada a—"

"BoBoiBoy! Darurat!"

"EH?!"

"Apa kamu masih punya cokelat bubuk Kokotiam?"

"Ha?"

"Nenekku butuh dua kaleng! Cepat!"

"Mmm ..."

BoBoiBoy menoleh ke counter. Ochobot sudah lebih dulu berinisiatif pergi ke sana untuk mengeceknya. Dilihatnya robot kuning bulat itu mengacungkan jempol kanan.

"Oh, ada, ada. Kapan kamu mau mengambilnya—"

Hologram Ying mendadak lenyap. Hubungan komunikasi diputus sepihak, rupanya. BoBoiBoy hanya bisa mengusap kepalanya sendiri yang tertutup topi dino jingga terbalik khasnya.

"Apa, sih?"

"Hai, BoBoiBoy!"

"WAAA—!"

BoBoiBoy yang baru mau berdiri, terduduk kembali ketika tiba-tiba sosok Ying sudah menyapa tepat di sampingnya. Gadis itu terkikik kecil.

"Astaga, Ying! Copot jantung aku."

"Hihihi ... Mana cokelatnya?"

BoBoiBoy memutar bola matanya, kemudian melanjutkan niat semula yang ingin menghampiri counter. Sementara, Ochobot sudah siaga, terbang mendekat dengan kantong kertas Kokotiam berisi dua kaleng cokelat bubuk. BoBoiBoy mengambil alih pesanan itu untuk diberikan kepada Ying.

"Ah! Aku lupa bawa uang."

Tanpa berpamitan, sosok Ying memelesat pergi lebih cepat daripada sekedipan mata. Hanya menyisakan kilatan kuning yang masih mampu tertangkap penglihatan. Beberapa detik berselang, gadis berkucir dua itu sudah kembali dengan lembaran uang kertas di tangan.

"Kamu ini, Ying." BoBoiBoy menghela napas, lalu mengangsurkan kantong belanjaan kepada calon pemiliknya. "Cobalah pelan-pelan sedikit."

Ying hanya tertawa. Diterimanya benda itu, sembari memberikan uangnya kepada BoBoiBoy.

"Sudah, ya! Aku buru-buru! Bye!"

Secepat dia datang, secepat itulah dia pergi. BoBoiBoy hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Iya, terima kasih."

BoBoiBoy kembali menghela napas. Namun, sejurus kemudian senyumnya terbit. Pertemuan pertamanya dengan Ying sekitar empat tahun lalu, juga di kedai ini. Waktu itu Ying datang ke kedai, tetapi harus memesan minuman melalui panggilan ponsel karena malu berbicara langsung. Dibandingkan saat itu, Ying yang sekarang telah berubah menjadi gadis yang lebih percaya diri. Dan sedikit terlalu cepat dalam segala hal.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?"

"Waaah—!"

Kali ini sosok lembut gadis berhijab serba merah jambu yang sudah berdiri tepat di sampingnya. BoBoiBoy mengurut dada. Kenapa pula dia harus punya teman-teman yang hobinya mengagetkan orang.

"Eh, apa tadi Ying datang kemari?" bertanya Yaya.

"Dia baru saja pergi," jawab BoBoiBoy.

"Oh, ya sudah. Sebenarnya kami janjian mau ke toko buku bersama. Tapi sepertinya Ying lupa menungguku, lalu cepat-cepat berangkat sendiri karena terlalu antusias."

"Oh ya? Antusias kenapa?"

"Ada buku baru yang sudah lama kami tunggu-tunggu, baru rilis hari ini."

"Oh, pantas."

BoBoiBoy tertawa kecil, mendadak bisa memahami segala tingkah aneh Ying hari ini.

"BoBoiBoy, hari ini aku titip biskuit aku lagi, ya! Nggak banyak, kok, cuma satu keranjang."

Yaya menyerahkan sekeranjang kecil biskuit warna-warni yang tampak cantik di mata. BoBoiBoy tahu persis, rasa biskuit-biskuit itu tak seindah tampilannya.

"Aku sudah minta izin Tok Aba," Yaya menambahkan sambil tersenyum manis.

"Oh ... O ... ke ..."

"Sudah dulu ya, BoBoiBoy. Aku mau menyusul Ying. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

BoBoiBoy tidak heran lagi ketika melihat gadis tetangga sebelahnya itu memutuskan untuk tinggal landas dan pergi dengan kecepatan tinggi. Tentu saja, mengarungi angkasa akan lebih cepat daripada melewati jalan darat.

"Sejak dulu nggak berubah ya, dua teman kita itu?"

Alis BoBoiBoy terangkat. Ia menoleh ke arah asal suara, dan mendapati kawan baiknya sudah duduk manis di dekat meja counter.

"Sejak kapan kamu ada di sini, Gopal?"

BoBoiBoy mendekat, lantas meletakkan sekeranjang biskuit rasa kertas amplas di meja counter. Baru kemudian ia ikut duduk di sebelah pemuda keturunan India bertubuh subur itu. Di depan Gopal sudah ada secangkir Ice Choco Special yang tak ada bandingannya di seantero Pulau Rintis.

"Utang lagi?"

BoBoiBoy pasang tampang datar seketika. Sementara, Gopal memamerkan senyum lebar dengan gaya sok.

"Kecuali kamu mau memberi diskon seratus persen kepada kawan baikmu ini—"

"Mana ada!" Dengan muka bete, BoBoiBoy menepis tangan Gopal yang merangkulnya. "Catatan utangmu nambah lagi, lho."

"Hehehe ..."

Tawa Gopal membuat BoBoiBoy menggeram kecil dengan ekspresi datar. Sang pelanggan setia nomor satu Kokotiam itu pun mengabaikannya, lantas lanjut menikmati es cokelatnya dengan gembira.

"Es cokelat spesial satu! Minum di tempat!"

BoBoiBoy tersentak kecil ketika mengenali suara serak-serak basah yang khas itu dekat di sisi kirinya. Ketika menoleh, didapatinya si alien kepala kotak, Adu Du, sudah duduk dengan santainya. Ada pula bersamanya, robot ungu pembantu setianya yang berbentuk mirip tudung saji.

"Aku bukan tudung saji, lah!" celetuk Probe si robot ungu tiba-tiba.

"Nggak ada yang bilang begitu," Ochobot menyahut malas sembari bersiap membuatkan pesanan.

"Aku tahu, lah," Probe menyahut. "Kalian semua selalu menyebutku 'tudung saji' di dalam hati."

"Terserahlah." BoBoiBoy memilih mengabaikan keabsurdan Probe. "Terus, kalian mau apa ke sini?"

"Pasti mau mengacau!" tuduh Gopal seketika.

"Mana ada? Kami cuma mau bercengkrama dengan Tok Aba dan Ochobot seperti biasa—"

Ucapan Adu Du terputus mendadak. Tubuhnya menegang, sementara matanya terfokus ke satu titik yang cukup jauh.

"Probe! Kita pergi! Sekarang!"

Adu Du beranjak dari duduknya.

"Eh? Kenapa Incik Boss?" Probe mengarahkan pandang ke arah yang sama dengan majikannya. "Alamak!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, kedua sejoli itu ambil langkah seribu tanpa menoleh kembali.

"Kami akan datang lagi!"

Suara Adu Du terdengar sayup-sayup di kejauhan. BoBoiBoy dan Ochobot saling berpandangan.

"Kenapa mereka?"

"Entah."

Pada akhirnya, BoBoiBoy hanya mengangkat bahu. Namun, rasa penasarannya segera terjawab tak lama kemudian. Berbarengan dengan dua bersaudara yang datang mendekat ke kedai dalam langkah santai.

"Fang, Kapten Kaizo," BoBoiBoy menyapa ramah. "Tumben sekali kalian datang berdua."

"Aku hanya mengecek keadaan Bumi setelah peristiwa Retak'ka," Kaizo menjawab dengan nada formal. "Tampaknya perbaikan dan pemulihan segala kerusakan sudah hampir mencapai seratus persen."

BoBoiBoy mengangguk sambil tersenyum tipis. "Semuanya sudah baik-baik saja sekarang."

"Bagaimana dengan kalian?" tanya Kaizo. "Terutama kau sendiri?"

"Kami semua juga baik-baik saja."

"Baguslah kalau begitu."

Kaizo menyisir cepat seluruh kedai dengan sepasang matanya yang selalu menyorot tajam.

"Kapten Kaizo?" BoBoiBoy memanggil tiba-tiba. "Sedang mencari apa?"

"Bukan apa-apa. Baiklah, kalau begitu. Aku pergi sekarang. Ayo, Fang."

"Baik, Kapten."

Fang yang sejak tadi tidak berkesempatan untuk bicara, terkejut ketika tiba-tiba abangnya beranjak. Ia berpamitan singkat kepada ketiga kawannya sebelum menyusul sang kapten. Namun, sesuatu di meja counter menarik perhatiannya.

"Kalian masih saja menjual Biskuit Yaya," komentarnya.

"Menurutmu," sahut BoBoiBoy, "gimana cara menolaknya?"

Fang terdiam satu-dua detik. "... Iya juga, sih."

"Kan?"

"Ya sudah, aku beli semua."

Fang mengambil seluruh biskuit beserta keranjangnya.

"Perutmu sudah rusak ya, Fang, sampai jadi doyan Biskuit Yaya?" celetuk Gopal. "Atau jangan-jangan otakmu yang rusak."

"Ck! Ini bukan untukku, lah—"

Ucapan Fang terputus karena Kaizo memanggilnya dari jauh. Fang tidak menggubris Gopal lagi dan segera berpamitan.

"BoBoiBoy! Aku bayar besok di sekolah!"

Teriakan Fang sambil berlari pergi, dijawab BoBoiBoy dengan satu kata "oke". Mendengar itu, Gopal protes seketika.

"Aku berutang, kau marah-marah. Giliran Fang yang berutang, gampang sekali diiyakan. Kau pilih kasih, BoBoiBoy!"

Sang superhero elemental hanya pasang tampang datar ketika Gopal mengguncang-guncangkan bahunya dengan berurai air mata. BoBoiBoy tahu, itu jelas air mata buaya.

.

xXx]-•-•-•-x-•-•-•-[xXx

.

"Haaah ... Akhirnya tenang lagi~"

BoBoiBoy merebahkan tubuhnya di meja counter. Dibiarkannya kepala terbaring nyaman beralas kedua lengan.

Benar-benar sangat nyaman. Kehidupan seperti ini, tanpa pertarungan. Sangat 'biasa', tetapi juga diam-diam sangat dirindukannya. Hanya bersantai saja. Bersama Tok Aba, Ochobot, dan juga kawan-kawan dekatnya.

Damai.

Hanya damai yang dirasakannya saat ini.

BoBoiBoy nyaris merutuki dirinya sendiri ketika seraut wajah tiba-tiba melintas di benaknya tanpa permisi. Terkadang ia merasa, kedamaian seperti ini membuatnya menjadi serakah. Ia sudah memiliki banyak hal, tetapi masih saja menginginkan yang lain.

Namun, seraut wajah itu masih tetap terbayang. Yang dirindukannya. Yang datang dan menghilang di dalam mimpi-mimpinya. Yang sekali dalam beberapa hari pasti akan mengusik tidurnya di waktu malam.

"Tok Aba lama, ya?" celetuk remaja putra itu tiba-tiba, lebih untuk mencegah pikirannya semakin ngawur. "Katanya cuma sebentar."

"Mungkin beli gula di minimarket?" sahut Ochobot yang sedang sibuk mengelap gelas-gelas. "Mungkin antriannya panjang."

"Mungkin ..."

Semilir angin membelai wajah BoBoiBoy. Memberikan kesejukan yang kembali memberatkan kedua matanya. Hmm ... Kalau ia ingin tidur lagi sebentar saja, tidak apa-apa, 'kan?

"Assalamu'alaikum."

Mata BoBoiBoy yang sudah nyaris tertutup sempurna, kembali terbuka tiba-tiba. Ia tersentak kecil dan buru-buru menegakkan tubuh secara refleks, lantas berdiri dari tempat duduknya. Suara seorang pria. Ada pelanggan lagi, rupanya.

"Wa'alaikumussalam. Pakcik mau pesan apa—"

BoBoiBoy membeku tiba-tiba. Kesadarannya baru sepenuhnya pulih, dan otaknya pun baru bisa memproses satu informasi tertentu dengan benar.

Suara itu.

Bukan suara yang asing. Bahkan BoBoiBoy sangat mengenalnya. Tapi ...

Tidak.

Tidak mungkin.

Apa ini mungkin ...?

BoBoiBoy tidak benar-benar merasakan kesadaran pada tubuhnya yang segera berbalik. Juga sepasang matanya yang membulat tatkala menangkap sosok itu sudah berdiri tak jauh di hadapannya.

Mengenakan kemeja merah sederhana yang bagian lengannya digulung hingga ke siku, berpadu dengan celana panjang berwarna hitam. Seorang pria yang tampak gagah di usia paruh baya. Sebagian rambut hitamnya menampakkan ciri yang sama dengan BoBoiBoy, memiliki sejumput yang berwarna putih di bagian depan.

"Siapa yang kaupanggil 'Pakcik', Nak?"

BoBoiBoy tersentak pelan. Kedua matanya berkaca-kaca, memanas. Sebagaimana isi dadanya yang bergemuruh. Rasanya sedikit sesak, sekaligus hangat dan menyenangkan.

Pria itu melangkah hingga berdiri dua langkah di depannya. Tersenyum kepadanya, bahkan menepuk kepalanya.

BoBoiBoy tak mampu lagi menahan perasaan. Segala rindu yang meluap-luap pun dilampiaskan sekaligus, ketika ia menghambur ke dalam pelukan pria itu.

"Ayah!"

Pelukan BoBoiBoy dibalas sama eratnya. Dengan kerinduan yang sama. Bahkan tanpa perlu kata-kata, ayah dan anak itu dapat menyampaikan perasaan masing-masing.

"BoBoiBoy rindu Ayah ..."

"Hm. Ayah juga sangat merindukanmu."

"Ayah ... Ayah ..."

BoBoiBoy kembali mempererat pelukannya. Sang ayah pun mengacak kepala anak itu dengan gemas, sampai topinya berantakan.

"Bagus sekali kau bisa pulang tepat di Hari Ayah, Amato."

Suara Tok Aba yang tiba-tiba terdengar begitu dekat, membuat BoBoiBoy melepaskan pelukan sembari membetulkan posisi topi kesayangannya. Dilihatnya, kakek dan ayahnya sudah berdiri berdampingan, saling pandang.

"Jadi terasa spesial, 'kan?" Tok Aba melanjutkan ucapannya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Iya, Aba," Amato menyahut sambil tersenyum tipis.

BoBoiBoy menatap kakeknya, sedikit bingung. Jelas sekali, Tok Aba tidak tampak kaget melihat putra semata wayangnya tiba-tiba sudah ada di sini.

"Tok Aba tadi dari mana?" bertanya BoBoiBoy.

"Dari mana lagi? Atok pergi menjemput ayahmu ini di stasiun."

"Kenapa Atok nggak bilang ke BoBoiBoy?"

"Atok ingin memberimu kejutan." Tok Aba terkekeh. "Terkejut, 'kan?"

BoBoiBoy tertawa kecil. "Lumayan."

"Tapi, Aba sebenarnya tidak perlu menjemputku," kata Amato tiba-tiba.

"Kau sudah bertahun-tahun tidak kemari. Kalau tidak dijemput, bisa-bisa nyasar nanti."

"Mana ada?"

Tok Aba tertawa, diikuti oleh anak dan cucunya.

"Hehehe ... Tok Aba memang terbaik."

Sambil tersenyum lebar, BoBoiBoy mengacungkan ibu jari kanannya. Amato pun merangkul putranya sambil tersenyum. Ia lantas mengedarkan pandang sepuasnya.

"Aku ... tidak mungkin akan melupakan tempat ini."

Amato tidak mengucapkan apa-apa lagi. Namun, ayahnya, begitu pula putranya, sama-sama sudah mengerti. Terutama BoBoiBoy sendiri, yang sejak bergabung dengan TAPOPS, harus beberapa kali pergi jauh dari Bumi. Namun, sejauh apa pun itu, ia akan selalu kembali ke sini.

Pulang ke rumah.

"Mumpung Amato ada di sini, bagaimana kalau berfoto bersama BoBoiBoy? Biar Atok yang fotokan."

Usulan Tok Aba disambut antusias oleh BoBoiBoy. Sudah lama sekali, ia tak pernah lagi berfoto bersama ayahnya.

"Oh! Ochobot! Ngapain sembunyi-sembunyi begitu? Ayo, sini! Ikut foto bersamaku dan Ayah!"

BoBoiBoy masih berpikir mungkin dirinya memang serakah. Namun, saat ini, ia merasa sangat bahagia.

"Siap, ya? Satu, dua, ..."

Mungkin sesekali tak apa, menginginkan hal sederhana seperti ini untuk dirinya sendiri.

"... Tiga!"

.

.

.

TAMAT

.

.

.


Pojok KOKOTiME

.

Hai, haiii~! XD

Dengan kurohimeNoir di sini. Apa kabar, semuanya? Semoga baik-baik aja, yah.

Ini adalah proyek pertamaku dengan teman-teman author di KOKOTiME. Mengambil tema "Kedai Kokotiam", tempat segalanya bermula. Di fanfic ini, aku mengambil sudut pandang BoBoiBoy.

Yang ingin kuceritakan adalah kehidupan sehari-hari BoBoiBoy dan teman-temannya. Bonus Kaizo yang sedang mampir. Dan juga, yang spesial nih, Papamato yang pulang pas Hari Ayah. Bahagia banget, akhirnya Monsta menunjukkan BoBoiBoy dan ayahnya bersama. Makanya, aku juga nggak mau melewatkan ini.

Makasiiih banget buat semua yang udah baca sampai sini. Buat yang udah review baik lewat akun masing-masing maupun guest mode. Semoga kalian semua menikmati kisah ini, yah. Dan nantikan karya-karya KOKOTiME selanjutnya. :-)

Stay safe, be happy, and have a good day~

.

Regards,

kurohimeNoir

23 Juli 2020