Boku no Hero Academia © Kohei Horikoshi


"Todoroki-kun populer sekali ya," komentar Izuku saat dia menunggu teman sekelasnya meletakkan sepatu di loker dan menggantinya dengan sepatu khusus dalam lingkungan sekolah. Izuku sempat melirik tumpukan amplop berwarna merah muda dan putih di dalam loker milik Shouto lalu meringis pelan. Hampir setiap hari Shouto mendapat surat baru dan Izuku tahu Shouto tak pernah sekali pun membuka dan membacanya. Hanya dibiarkan menumpuk begitu saja.

Shouto menutup lokernya. "Membaca surat-surat itu hanya akan buang-buang waktu."

Kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju kelas mereka.

"Bukankah itu bagus? Itu artinya, Todoroki-kun menarik dan banyak gadis yang ingin mengenalmu. Mungkin Todoroki-kun bisa membaca satu atau dua surat dan merespons mereka. Kau tak kasihan dengan usaha keras mereka? Butuh tekad dan perasaan yang kuat yang membuat mereka punya keberanian untuk meletakkannya di lokermu."

Shouto mendesah pelan. "Akan kucoba. Midoriya, apa kau pernah mendapat surat cinta atau surat dari penggemarmu?"

Izuku terbatuk pelan, lalu mendelik ke arah Shouto dengan ekspresi sedikit terluka. "Lucu sekali Todoroki-kun. Apa aku terlihat seperti anak populer di matamu? Tentu saja tidak. Aku tak pernah mendapat satu pun. Hehe, dulu sih aku ingin tahu rasanya menjadi seseorang yang bisa menarik perhatian orang lain tapi setelah melihat betapa Todoroki-kun kewalahan dengan surat-surat yang menumpuk di loker aku berubah pikiran. Yappari, menjadi cowok biasa-biasa saja lebih menyenangkan."

Shouto tak menyahut. Saat masuk kelas, teman-teman mereka sudah berkumpul dan saling mengobrol untuk mengisi waktu sebelum bel masuk tanda pelajaran dimulai dibunyikan.

...

Shouto menuruti saran dari Izuku untuk membaca satu atau dua surat yang diberikan untuknya. Surat pertama dengan amplop merah muda bergambar sepasang beruang yang sedang pacaran. Shouto mengernyit. Ternyata hewan bisa menjalin hubungan juga, pikir Shouto polos. Shouto membaca baris demi baris kalimat, alisnya terangkat, ekspresinya datar dan tak menunjukkan emosi apapun. Inti dari surat itu adalah si pengirim ingin mengajaknya bertemu di taman belakang sekolah. Pasti mau kokuhaku, batin Shouto. Shouto melipat surat itu lalu beralih ke surat kedua. Ditulis dengan gaya bahasa yang berbeda dan lebih blak-blakan namun memiliki inti sama, ingin mengajak Shouto bertemu di atap sekolah. Shouto menjatuhkan tubuhnya yang lelah di atas futon, menatap langit-langit kamar. Shouto seratus persen yakin surat-surat di lokernya memiliki isi kurang lebih sama seperti dua surat tadi. Apa yang harus dia lakukan? Merespons semuanya? Itu merepotkan sekaligus melelahkan. Menjadi anak populer sangat merepotkan.

Senyum malu-malu salah tingkah Izuku saat Shouto bertanya apakah Izuku pernah menerima surat cinta masih terbayang di kepalanya. Ah, lucunya. Hati kecilnya sedikit tak rela jika ada seseorang yang memiliki ketertarikan pada Izuku. Shouto bangkit, menarik laci dan mengeluarkan pupel. Mungkin tak ada salahnya mencoba?

...

"Ohayou, Todoroki-kun." Senyum lebar manis menggemaskan Izuku menyambut Shouto yang tengah berdiri di depan lokernya. Shouto memutuskan untuk memindahkan tumpukan surat yang memenuhi lokernya. Memasukkannya ke dalam kantong plastik dan dibawa ke rumah setelah sekolah usai. Izuku berjalan menuju lokernya yang bersebelahan dengan loker Shouto.

"Kau tidur nyenyak?" Shouto bertanya karena melihat lingkar gelap samar di bawah mata Izuku.

Izuku meringis. "Yah, sedikit. Semalam aku hanya tidur empat jam karena keponakan kecilku datang dari Sapporo dan dia terus mengajakku bermain sepanjang malam tanpa membiarkanku beristirahat."

"Anak nakal, ya?"

"Eh? T-tidak. Dia anak baik kok tapi karena sudah lama tak bertemu dia jadi bersemangat dan ingin terus bermain denganku."

Izuku membuka loker untuk mengganti sepatu namun tertegun saat melihat secarik amplop putih polos tergeletak di atas sepatunya. Jantung Izuku berdentuman, napasnya sedikit cepat dari biasanya. Ih, apa itu? Izuku mengerjapkan mata berkali-kali seolah tak mempercayai apa yang dilihatnya. Tangan kanan Izuku terulur, meraih surat itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Todoroki-kun, apa ini surat c-cinta untukku?" Suara Izuku gugup bercampur antusiasme. Akhirnya, setelah penantian selama enam belas tahun dalam hidupnya, Izuku menerima sepucuk surat cinta—chotto—Izuku menimang-nimang amplop itu dengan air muka penasaran.

"Bisa saja. Selama ini aku berpikir kau selalu rendah diri dan tidak percaya diri dengan apa yang kau miliki. Di luar sana, ada seseorang yang tertarik denganmu terlepas kau bukan anak populer atau semacamnya. Seseorang itu menyukaimu karena Midoriya adalah Midoriya." Shouto menyunggingkan senyum tipis tak kentara, lalu melanjutkan," Kalau kau masih belum yakin, aku bisa menemanimu. Hanya untuk memastikan."

"Di balik amplop tertulis aku boleh membuka surat ini saat bertemu di tempat yang telah disebutkan. Eh, di gedung perpustakaan lama. Mencurigakan."

"Itu gedung yang jarang dilalui murid Yuuei. Lokasi yang sempurna untuk mengungkapkan perasaanmu pada seseorang."

Izuku semakin berdebar mendengar penuturan Shouto. Dengan mata berbinar namun tak bisa menyembunyikan rasa gugup, Izuku memandang sahabatnya lekat-lekat. "A-aku akan ditembak."

"Jangan, kalau ditembak, Midoriya akan mati."

"Ih, itu kan cuma kiasan."

...

Selama pelajaran berlangsung, Izuku tak fokus dengan penjelasan guru. Beberapa kali Aizawa-sensei menegurnya dan menyuruhnya mengerjakan soal di depan kelas karena ketahuan melamun. Izuku gugup setengah mati. Saat berjalan menuju papan tulis, kakinya seolah lumer. Ah, sialan. Surat itu membuat konsentrasinya buyar. Menjelang jam-jam terakhir, Izuku mulai tak sabar. Saat bel pertanda pelajaran usai berbunyi nyaring di seantero penjuru Yuuei, Izuku buru-buru memasukkan buku ke tas lalu melesat menuju gedung perpustakaan lama. Pemuda berambut hijau tak mempedulikan Shouto yang memanggilnya dari barisan bangku paling belakang.

Izuku mendorong pintu ruangan yang dulunya merupakan perpustakaan. Sebagian besar buku-buku sudah dipindahkan ke gedung yang baru, menyisakan buku-buku lama dengan warna kertas kekuningan dan huruf-huruf yang memudar karena termakan usia. Tidak ada penjaga atau murid. Izuku menduga jangan-jangan ia dikerjai. Tapi oleh siapa? Mengingat dirinya menjadi korban bullying saat masih SMP, rasanya mustahil ada yang mengganggunya saat ini. Teman-temannya di kelas 1-A berperilaku baik dan bersahabat. Tidak ada kompetisi yang kuat menindas yang lemah. Izuku mengeluarkan surat tadi dari saku celana. Amplopnya kusut dan berkerut.

Karena tak sabar, akhirnya Izuku membuka amplop itu dengan esktra hati-hati. Ini surat cinta pertamanya jadi harus dibuka selembut mungkin.

Midoriya, aku menyukaimu. Kau harus menjadi pacarku. Aku tidak menerima segala bentuk penolakan.

Izuku terheran-heran dengan isi surat yang lebih mirip pemaksaan daripada ungkapan perasaan.

"Tidak ada nama pengirimnya," gumam Izuku. Pemuda itu membalik kertas dan terkesiap saat membaca sebaris kalimat di pojok paling bawah.

Kalau kau penasaran mengenai identitasku, kau hanya perlu berbalik. Aku sedang menatapmu.

Izuku panik. Apa-apaan ini? Menakutkan sekali!

Meski sedikit ketakutan, Izuku akhirnya berbalik dan matanya membeliak.

Todoroki Shouto bersandar di sisi pintu gedung perpustakaan dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tersenyum tipis ke arah Izuku yang terlihat bingung dan berusaha mengatur napas.

"Kau terlalu bersemangat karena sepucuk surat yang tak jelas asal-usulnya, aku terpaksa mengejarmu karena kau tak mengindahkan panggilanku. Midoriya, kau senang dengan isi surat itu? Pengirimnya saat ini sedang berbicara denganmu."

Izuku menghampiri Shouto, mendongak untuk menatap wajah rupawan serta tatapan lembut nan teduh.

"Todoroki-kun?"

"Aku sangat menyukaimu, Midoriya."

Shouto menarik pergelangan tangan Izuku, membawa pemuda yang lebih pendek menubruk dadanya bidangnya. Izuku mengernyit merasakan pipinya bergesekan dengan dada Shouto.

"Jadi pacarku, ya?" Shouto memeluk erat tubuh Izuku yang menguarkan aroma sabun bayi.

Kedua pipi Izuku memerah tapi dia tak mendorong tubuh Shouto yang kini sedang merengkuhnya. Demi Kamisama, mengapa surat cinta pertamanya datang dari sosok laki-laki yang sudah dia anggap sebagai sahabatnya sendiri?

"Kita bisa backstreet. Apa sih istilahnya, pacaran sembunyi-sembunyi kalau kau belum siap menunjukkannya di depan publik. Sampai saat itu tiba aku akan bersabar."

"Aku kan belum bilang ingin pacaran dengan Todoroki-kun. Kenapa kau terlalu percaya diri?"

Izuku terkekeh di dada Shouto.

"Aku sudah bilang di surat tadi aku tidak menerima penolakan, kan?"

"Dasar pemaksa."

"Tapi Midoriya suka kan dipaksa sama cowok tampan dan populer?" Shouto berujar dengan tingkat kepercayaan diri tinggi.

Izuku mencubit pinggang Shouto. "Jadi ini alasan Todoroki-kun selalu mengabaikan surat-surat yang menumpuk di loker? Jahatnya. Padahal kau tinggal memberitahu mereka kalau kau sudah punya gebetan."

"Aku tak ingin membuat mereka menangis. Kalau kukatakan bahwa aku menyukaimu, mereka pasti akan meneror atau merundungmu."

"Astaga, benar juga. Setelah dipikir-pikir, merepotkan juga kalau aku pacaran sama cowok populer."

Kedua remaja itu tertawa pelan. Shouto melepas pelukannya dan memberi ruang bagi Izuku untuk merapikan seragamnya yang kusut.

"Aku akan menjawab perasaan Todoroki-kun nanti, di jalan sambil makan es krim."

"Kalau ditolak aku akan menangis." Shouto memasang raut melas yang mengingatkan Izuku pada anak kucing.

Mereka keluar dari gedung yang sepi itu, melewati jalan setapak yang menuju taman bunga dan sayuran. Matahari masih bersinar terik.

"Kalau Todoroki-kun mau mentraktirku es krim, ku-kurasa yah... aku bisa mempertimbangkannya, menjadi pacarmu."

"Maniak es krim," kata Shouto gemas sembari menarik-narik pipi gembil Izuku.

End