Siapa Pembunuhku?

.

.

Disclaimer : Vocaloid milik Crypton Future Media dan Yamaha Corp yang punya

Warning : typo, sedikit adegan bloody.

.

Chapter 1

Hari Kematianku

Menyesap kopi dengan beberapa sahabatku di kafe terkenal di seluruh dunia, Starmoney, membuatku kembali ke jati diriku. Setelah ujian yang menyebalkan telah usai, menikmati hidup sedikit tidak masalah bukan? Namaku Hatsune Miku, anak SMA yang memiliki segalanya, aku lahir di keluarga terpandang, sekolah di sekolah paling favorit.

Dan, Pesta juga menghabiskan uang seperti ini sudah menjadi keseharianku. Sahabat karibku, Rin juga Luka adalah anak dari golongan terpandang juga. Aku kembali menyesap kopi yang masih mengeluarkan uap itu, dan menikmati rasa cream yang merasuki indra pengecapku.

"Miku, apa kamu sakit? Seharian ini aku melihatmu sungguh pucat, biasanya setelah minum kopi mukamu kembali berseri," kata Rin kepadaku.

"Benar, apa kau sakit?" tanya Luka sambil memegangi dahiku. Aku hanya menggeleng. "Lalu, bibirmu pucat," katanya lagi.

"Lipgloss glossy kesukaanku habis, tinggal warna matte milik ibu ku, dan aku terpaksa memakainya, aku tidak mau ke sekolah tanpa make up," kataku sambil memegani bibirku, tekstur matte membuatnya sungguh kaku, dan aku membencinya. Kedua sahabatku hanya mengangguk.

"Ah, jemputanku sudah datang, aku pulang dulu ya guys, karena setelah ini aku ada les menari balet," kata Rin sambil memeriksa ponselnya, aku dan Luka hanya mengangguk.

"Hati-hati dijalan," kataku dan Luka berbarengan.

"Setelah ini cepatlah ke dokter, aku mengkhawatirkan kondisimu," kata Luka menatapku khawatir, aku hanya menggeleng lagi.

"Luka-chan terlalu khawatir deh, aku tidak apa-apa kok, mungkin sedikit capek karena tadi kan ujian olahraga," kataku menenangkan Luka. Dia seperti kakakku sendiri, karena aku adalah anak pertama, maka Luka aku jadikan panutanku bagaimana cara bersikap sesuai anak pertama.

"Baiklah, tapi kalau kau mulai merasakan sakit segera ke dokter," katanya lagi, aku hanya mengangguk dan menunjukkan ibu jari ku.

"Luka-chan memang tidak kemana-mana hari ini?" tanyaku, Luka-chan hanya menggeleng.

"Kursus biola ku tertunda karena guru kursus ku ke perancis untuk membelikanku biola yang baru," katanya sambil menyesap frappe pesanannya melalui sedotan stainless yang di gunakannya, Luka-chan sungguh peduli dengan lingkungan, sehingga dia membawa sendiri sedotan juga gelas untuk frappe miliknya sendiri.

"Nee, Luka-chan, bagaimana menurutmu soal itu?" tanyaku, Luka hanya menatapku penuh tanya, beberapa detik kemudian dia mengangguk paham.

"Apa kau yakin kau ingin ikut Miku? Kau kan hampir tidak pernah melakukan pendakian gunung," katanya kepadaku.

"Lalu kau dan Rin akan bersenang-senang sendiri? Kalian kejam!" kataku kepadanya.

"Bukan begitu, aku tidak mau akhirnya kau di antar menggunakan helikopter seperti 2 bulan yang lalu karena kau kecapaian," ingatnya. "Dimana rasa menyenangkan dari mendaki gunung kalau kau seperti itu," katanya sambil menjitakku.

"Ittai yo Luka-chan, aku janji tidak akan memanggil helikopter lagi!" kataku sambil menunjukkan dua jari. Luka hanya menghela nafas dan mengiyakan akhirnya.

Sebulan sekali, Luka dan anggota klub alam nya mendaki tiap gunung di Jepang. Untuk melakukan pengamatan alam, juga membersihkan sampah yang berserakan. Tidak hanya gunung, kelompok ini juga melakukannya di pantai. Bisa di bilang kalau bergantian, bulan ini di gunung, bulan depan di pantai. Dan bulan ini Luka akan ke Gunung bersama dengan geng pecinta alam nya.

.

Skip time

.

Pak sopir menurunkanku di gerbang masuk pendakian yang masih bisa di lewati oleh mobil, aku membawa ransel dengan tinggi di atas kepalaku dan beberapa pakaian hangat. Sepatu mendaki terbuat dari bulu melengkapi kaki ku, grup Luka yang lainnya sudah ada beberapa yang datang, sementara Luka juga Rin belum datang. Rin memang bukan anggota klub pecinta alam, tetapi selama ada Luka dan aku, dirinya harus ada.

"Miku-hime, setelah anda sampai di puncak mohon hubungi saya," kata salah satu maid yang ikut bersamaku di mobil.

"Oke tenang saja," kataku sambil tersenyum. Aku mengumpul dengan yang lainnya, aku sudah kenal beberapa orang di klub pecinta alam ini. Beberapa menit kemudian mobil Rin datang, lalu di susul dengan mobil Luka yang datang berselang tak lama kemudian. Luka lalu meng absen satu persatu orang disana, kemudian mengecek persediaan makanan.

Kami berencana akan tinggal semalam di sana, dan acara bersih-bersih nya di lakukan besok sambil turun dari gunung. Kami memasuki gerbang, total ada 10 orang di tambah aku dan Rin, jadi 12 orang.

Jalanan setapak itu mulai menanjak, dan beruntung Neru-san menyuruhku untuk memakai sepatu bulu, kalau tidak kaki ku pasti lecet sana-sini, dan itu akan sangat menyusahkan.

"Bagaimana Miku apa kau kuat?" tanya Luka, aku hanya mengangguk. Aku memang kelelahan tetapi aku tidak ingin membuat gerakan kelompok ini terhambat hanya karena aku.

"Apa mau aku bawakan barangmu Miku?" tawar Rin, aku hanya mencubitnya.

"Badanmu itu kecil, dan aku menyuruhmu untuk mengankat bawaanku juga? Kau pasti bercanda," kataku masih mencubitnya.

"Michwaann,, iccai cayooo!" Kata Rin yang pipinya masih aku cubit.

"Baiklah, berhubung separuh perjalanan lagi kita sampai di tempat perkemahan mari istirahat sebentar," Kata Luka, aku langsung terduduk di tanah sambil meluruskan kaki ku. Astaga, baru kali ini aku benar-benar mendaki, dengan barang bawaan sebagaimana orang 'hiking' lainnya. Sebuah tenda dua orang milik Rin yang ketinggalan di rumahku, juga kantong tidur, beberapa makanan instan, juga kompor mini.

Aku melihat jam tanganku, masih jam 12 siang, jam 6 malam baru akan sampai ke tempat perkemahannya. Haaaaahh, kuatkanlah kaki ku kami-sama.

"Sejujurnya aku tidak suka kau ikut pendakian ini Miku," kata Rin tiba-tiba di sebelahku.

"Eeeehh, kenapaa?" tanyaku kaget.

"Ada Lenka di sini, dia masih mengira penyebab putusnya dia dengan Rinto adalah karenamu," kata Rin sambil sedikit melirik Lenka yang memandang kosong ke hutan.

"Tapi kalian tahu sendiri kalau itu tidak mungkin." kataku kepada Rin.

"Lenka memiliki reputasi buruk, dia pernah membunuh adiknya, karena menganggap adiknya telah membuat orangtua Lenka tidak perhatian lagi kepada Lenka, kuharap kau di sini tidak pergi dari pengawasan kami berdua, kau sungguh tidak mengenal gunung," kata Luka tiba-tiba di belakangku. Dia lalu menyerahkan dua buah Onigiri dan roti yakisoba kepada kami.

"Whaaaa! Ittadakimaasuu!" kataku sambil melahap Onigiri buatan Luka itu, aku bisa menebaknya karena aroma tuna bakar yang keluar dari dalam onigiri itu. "Aku harap ini bukan onigiri buatan Luka-chan terakhir yang aku makan," kataku sambil semangat memakannya. Dan aku mendapatkan jitakan dari Luka juga Rin. "Hei itu sakit tahu," kataku sambil masih memakan onigiri nya.

"Hentikan ocehanmu tentang hal terakhir itu Miku, kau membuatku merinding sedari tadi," kata Rin sambil memeluk dirinya sendiri sambil bergidik. "Dari kemarin kau mengatakan hal itu," kata Rin lagi. Aku hanya terkekeh sambil membuka plastik pembungkus roti yakisoba itu.

Tetapi entah mengapa, aku benar-benar berharap kepada kami-sama. Aku hanya berdoa agar, hal ini bukan yang terakhir kalinya bagiku. Bahkan ketika perjalanan menuju gerbang pendakian, aku meminta supirku untuk mampir di kuil. Berdoa agar ini bukan hal terakhir yang aku lakukan, dan bila ini adalah hari terakhirku, aku ingin dosa ku di ampuni, aku telah menjadi anak baik selama seminggu ini.

Perjalanan kembali di lanjutkan dan kami telah sampai ketika waktu telah menunjukkan pukul 6 petang. Dan kami langsung membagi tugas, para laki-laki memasang semua tenda yang telah di bawa anggota, lalu yang perempuan mengeluarkan makanan yang telah mereka bawa. Aku mengeluarkan mie instan, dan beberapa daging untuk barbeque. Lalu yang lainnya membenarkan kompor portable yang aku bawa juga beberapa kompor lainnya, total ada 4 kompor yang membentuk lingkaran, di tengah lingkaran api unggun telah siap.

Semuanya makan dengan semangat daging yang aku bawa, tentu saja aku membeli daging dengan kualitas A4, walaupun tidak setinggi A5, tetapi, ini sudah cukup. Aku memandang bintang yang menghiasi malam yang cerah ini, aku lalu tersenyum tipis. Rin, Luka, apakah ketika aku sampai di sana, kami akan berkumpul kembali?

.

Skip time

.

Sesuai dengan tugas yang di bagi Luka, aku dan Rin harus memotret dari sisi tebing ini. Pemandangan kota dari atas gunung ini benar-benar memukau mataku, bahkan pemandangannya lebih baik daripada dari jendela jet pribadiku.

Aku dengan semangat memotret pemandangan ini dengan kamera ponselku. Juga beberapa selfie antara aku dengan Rin, tetapi aku tidak mendapatkan sinyal untuk meng-upload nya di nistagram. Sial.

"Miku, ayo pergi, berada di bibir jurang seperti ini membuatku tidak enak," kata Rin sambil pergi.

"Tu-tunggu Rin, sebentar lagi aku mendapatkan sinyal!" kataku mencoba meraihkan tanganku ke atas. Dan akhirnya postingannya terkirim, lalu ada orang yang menyenggolku hingga ponselku jatuh ke tanah, untung saja tidak sampai ke jurang, kalau sampai jatuh ke jurang, aku harus bilang apa ke orangtuaku nanti. "hati-hati dong," keluhku kepada orang itu. Aku menunduk untuk mengambil ponsel ku, tinggal sedikit lagi sampai.

Tetapi, tiba-tiba ada yang menyenggolku hingga aku miring ke kiri. Sebentar kiri ku adalah jurang yang dalam ini, aku menuju jurang! Tetapi, aku dengan cepat bersandar di pagarnya, namun, pagarnya langsung hancur dan tidak dapat menanggung bebanku.

"Kyaaa! Riiiinnn!" teriakku, aku bisa melihat Rin yang lari tergesa-gesa untuk menangkapku, tetapi tanganku tidak sampai meraih tangannya. Tubuhku terhempas ke tanah dengan kerasnya, tarikan gravitasi memperburuk kondisiku. Beberapa kali aku menuruni lereng ini sambil tanganku, juga kaki ku membentur pohon dengan kerasnya.

Aku terus berteriak hingga kepalaku terbentur batu, pandanganku memburam. Tetapi aku masih dengan sadar, kalau aku masih terus jatuh ke bawah. Badanku terus terhempas ke atas dan kembali lagi ke tanah berulang-ulang, aku tidak dapat berteriak, bahkan rasa sakit nya pun tidak dapat ku rasakan lagi. Akhirnya aku benar-benar berhenti setelah sampai di dasar jurang.

"Ri-Riin-chaan.. Luka-chaann.." aku bersusah payah untuk mengeluarkan suara itu, berharap mereka menemukanku. Darah mulai mengalir dari mulutku yang terbuka, pandanganku mulai mengabur. Dan akhirnya aku memejamkan mata.

Ketika aku sadar, aku terduduk di sebuah pohon, lalu aku melihat ke sekeliling. Matahari membuat warna jingga, tunggu jingga! Aku lalu berdiri dan aku kembali kaget dengan tubuhku.

Kenapa tubuhku tidak terluka sama sekali? Pakaianku bahkan masih utuh, padahal aku telah jatuh ke jurang segitu dalamnya. Aku juga mengecek mulutku, tidak ada darah, tangan dan kaki ku berfungsi dengan normal. Aku mendengar sayup-sayup suara.

'Siapa itu? Penghuni baru kah?' kata sebuah suara, aku kemudian melihat sebuah orang dengan wajah yang menakutkan. Matanya sungguh tinggi, dan mulutnya terbuka sangat ke bawah, bahkan mukanya bukan muka manusia lagi, dan matanya hanya satu titik itu. Aku lalu lari ketakutan meninggalkan tempat itu, sambil berteriak meneriakkan nama Rin juga Luka mungkin mereka mendengarku.

Langit semakin gelap dan akhirnya aku menemukan sebuah pagar, ah ini kan pagar untuk perjalanan ke perkemahan! Aku harap Luka juga Rin masih mendirikan tenda!

Aku berlari sekuat tenaga di tanah yang terjal itu, semakin gelap suasananya, semakin banyak hantu yang aku lihat. Tidaaakk! Aku tidak ingin melihat mereka! Tetapi ada sesuatu yang menghentikanku, apa ini? Garis polisi? Aku melangkahi garis itu dan mendapati seorang laki-laki bersyal biru berdiri di tempat tenda kami seharusnya ada. Bahkan bekas pembakaran itu masih ada. Kenapa ini? Kenapa tenda nya menghilang?

'Gadis itu aneh,' suara itu tiba-tiba ada di belakangku, ketika aku melihat mukanya yang mengerikan itu aku berteriak sambil telungkup di tanah, memegangi kepalaku, dahiku menempel di tanah.

"Kyaaa! Tidaaakk! Jangan gangu akuu! Tidaaakk!" teriakku sambil menangis, kemudian aku mendengar suara laki-laki.

"Hush hush pergi sana! Dia bukanlah arwah mati bunuh diri seperti kalian!" kata orang itu, sesuatu menyentuh pundakku aku kembali berteriak. "Hei, hei tenang, aku tidak ingin melukaimu," kata orang itu. Aku sedikit mengangkat mukaku untuk melihat orang itu, orang itu memiliki mata samudra yang indah. " Bisa katakan namamu siapa?" tanya orang itu.

"Hiks, namaku Miku Hatsune," kataku sambil sedikit menyeka air mataku. Aku bisa mendengar orang itu terkejut.

"Lalu, apa yang kau lakukan sehingga kau di kejar mereka?" tanyanya kepadaku.

"A-aku tidak tahu, seingatku, aku jatuh dari jurang di sana," kataku sambil menunjuk jurang yang terlihat dari situ, jurang itu memang memiliki pagar, tetapi pagar itu sungguh lapuk, dan hancur begitu tubuhku menghantamnya. "Lalu ketika aku tersadar, aku di sapa makhluk muka lonjong itu, dan otomatis aku lari ketakutan kemari, lalu aku menemui garis polisi itu," kataku sambil menoleh ke garis polisi yang berada di pintu masuk.

"Apa kau tidak sadar, kalau kau sudah mati?" tanya laki-laki itu. Aku hanya terkejut, lalu menggeleng. "Kau sekarang adalah arwah, Hatsune-san," katanya kepadaku, lalu, sesuatu terjadi kepadaku, tiba-tiba saja aku melayang, dan tubuhku menjadi transparan. Rambutku pun berkibar lembut, aku melihat kedua tanganku sudah menjadi transparan dua buah hitodama* telah muncul di kedua sisi kepalaku. Aku, benar-benar mati.

'Jadi begitu ya,' ucapku.

"Tenang saja aku adalah pihak kepolisian, aku memiliki indra keenam, dan aku bisa berkomunikasi dengan arwah, lalu, dimana kau tersadar? Apakah kau mengingatnya?" tanyanya, aku hanya mengangguk. "Tunjukkan aku jalannya," katanya, aku hanya menggeleng.

'A-aku takut, di sana banyak makhluk menyeramkan,' kataku, dia hanya menghela nafas.

"Peganglah lenganku, dan mereka tidak akan mendekatimu," katanya sambil mengulurkan lengannya, aku dengan berhati-hati memegang lengannya dan dia berjalan menuruni jalan setapak yang terbuat dari bebatuan dan tanah yang keras itu. Semenjak aku mengetahui kalau diriku telah menjadi makhluk dunia lain, malam terlihat biasa saja di mataku.

'Oh iya, namamu siapa?' Tanyaku.

"Kaito Shion," katanya singkat, dia terus berjalan sementara aku mengarahkannya. Jauh juga aku berlari dari tempatku semula.

'Katamu aku sudah meninggal, lalu, kapan tepatnya aku meninggal?' Tanyaku sambil sedikit menunduk.

"Masih jeda sehari kok," Katanya lagi.

'Lalu, kenapa Shion-san ingin mengetahui dimana aku terbangun tadi?' Tanyaku.

"Mayatmu tidak lngkap, kau mungkin terbangun di tempat potongan tubuhmu berada," katanya menjelaskan. "Lebih tepatnya pergelangan tangan hingga beberapa senti di bawahnya menghilang, ada sesuatu yang memotongnya, pemakamanmu tidak akan bisa di lakukan tanpa itu," kata Shion-san lagi.

'Begitu,' hanya itu kataku, lalu sampailah di tempat aku terbangun tadi. Dan aku tidak sadar kalau di sebelah aku terbangun, potongan tangan itu ada di sana. Shion-san lalu mengambilnya, aku benar-benar tahu tangan yang di pulas dengan nail art berwarna teal dengan motif negi di jemarinya. Shion-san lalu memasukkannya ke kantong transparan ber -ziplock dan menutupnya.

Shion-san lalu pergi agar jenazah ku bisa di kuburkan.

.

.

.

TBC

Mwehehehe, Clara datang dengan chapter baru-desu. Kali ini tema nya sedikit suram-desu. Jadi menurut kalian, siapa kah yang mendorong Miku ke jurang-desu?

Semoga yang ini kalian suka-desu!