Hypnosis Microphone © King Records, IDEA FACTORY, and Otomate.


QUESTION


"Daisu, bukankah seharusnya kau mencium Gentarou? Kenapa kau menciumku?"

Pertanyaan itu muncul beberapa detik setelah bibir keduanya terpisah. Amemura Ramuda menatap Arisugawa Dice dengan sepasang mata biru yang melebar penuh tanda tanya. Ramuda tidak menunjukkan tanda-tanda marah atau tidak suka, pemuda berusia dua puluh empat tahun itu hanya mengernyitkan dahinya sementara satu alisnya terangkat. Sungguh, Ramuda benar-benar heran alih-alih terkejut. Justru Dice yang terlihat salah tingkah. Kedua pipinya merah hingga ke telinga, bibirnya terkatup rapat. Dice sempat menjilati bibirnya sendiri sekilas, merasakan sisa ciuman bersama Ramuda beberapa detik yang lalu.

"Ya, ya, Daisu? Kenapa kau malah bengong seperti orang tolol? Jawab pertanyaanku." Ramuda menjitak dahi pria yang empat tahun lebih muda darinya.

Kenapa dia mencium Ramuda?

Satu pertanyaan sulit yang membuat otak Dice berpikir keras untuk menemukan jawaban. Dilihat dari berbagai aspek, mencium Ramuda adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah dilakukannya. Bayangan itu tak pernah terlintas di kepalanya barang sekali pun. Ramuda benar, lebih masuk akal jika dia mencium Gentarou. Tunggu sebentar, mengapa mencium Gentarou dikatakan lebih masuk akal? Dilihat dari sisi mana? Dice pusing!

"A-ano, Ramuda. Gomen, yang tadi itu refleks—"

"'Refleks bukan jawaban yang ingin kudengar. Yah, tapi karena Daisu bodoh dan lambat sepertinya aku tak bisa mengharapkan jawaban yang lebih memuaskan." Ramuda menarik kursi dorongnya kembali ke meja kerjanya, menekuni sketsa dan desain kasar rancangan busana yang sedang dikerjakannya. Ramuda mengusap permukaan bibirnya dengan ibu jari, berkata dalam hati bahwa ada sedikit nikotin yang tertinggal di sana.

"Ramuda...," panggil Dice. Suaranya parau dan sedikit gemetar.

Dice merasa bersalah karena melakukan hal yang tidak pantas. Pemuda itu iseng menyelinap ke kamar Ramuda yang pintunya separuh terbuka. Dice sama sekali tak berniat menyelonong tanpa ijin, hanya saja saat matanya menangkap pemandangan laki-laki berambut merah muda yang tertidur dengan posisi duduk dan kepala di atas meja, Dice penasaran. Dice tak pernah melihat Ramuda dalam keadaan terlelap. Kamar Ramuda bernuansa remang-remang, di lantai dan di atas meja penuh kertas-kertas berserakan. Dice mengambil satu kertas, mengamatinya. Ramuda benar-benar mencintai pekerjaannya. Saat Dice hendak menyelimuti tubuh mungil itu dengan selimut tipis yang diambilnya dari tumpukan bantal di atas tempat tidur, Dice terpaku sesaat.

Ramuda memiliki bulu mata halus yang panjang. Hidungnya mungil mancung. Bibirnya berwarna merah muda dan terlihat segar. Dice masih tidak percaya bahwa laki-laki yang tengah tertidur pulas ini adalah pria dewasa berusia dua puluh empat. Tampangnya mirip bocah dan Ramuda pun selalu bertingkah layaknya anak-anak.

"Santai saja, Daisu. Aku tidak marah kok. Itu kan cuma ciuman. Jangan bilang yang tadi itu ciuman pertamamu?" Ramuda bertanya setengah mengejek. Bunyi goresan pensil di atas kertas menjadi pengiring percakapan mereka.

Dice buru-buru menjawab,"Tentu saja tidak. Aku pernah b-berciuman sebelumnya dan—"

Ramuda memotong perkataan pemuda berambut biru tua dengan cepat dan menusuk. "Dan barusan adalah pertama kalinya kau mencium sesama pria kan? Ya, ya, Daisuuu~ Betapa polosnya dirimu." Ramuda meringis, lalu tertawa pelan. Dalam hati Dice bersyukur karena Ramuda tak menunjukkan tanda-tanda marah atau kesal. Apakah itu reaksi yang wajar? Tapi Ramuda jarang memperlihatkan ekspresi marah di depannya dan Gentarou, Dice merasa ia masih buta perihal sosok berambut merah muda di dekatnya.

"Itu hanya ciuman, Daisu. Ekspresimu benar-benar lucu. Manusia memiliki naluri dan insting serta dorongan untuk melakukan sesuatu yang—yang berkonteks seksual? Hal yang wajar. Ya, semua laki-laki dan perempuan butuh ciuman." Ramuda mengambil kertas baru lalu kembali mencoret-coret. Dice sempat melirik sketsa baru yang digambar Ramuda ; mini-dress dengan belahan dada rendah dengan aksen berenda. Sepertinya Ramuda lebih suka mendesain busana wanita daripada pria. Dice lalu teringat bahwa Ramuda populer di kalangan para wanita muda dan dewasa. Dice tak pernah mengusik kehidupan percintaan Ramuda, bukan urusannya tentu saja, tapi terkadang topik itu membuatnya penasaran. Sejujurnya Dice bahkan tak berani membayangkan Ramuda bercinta dengan salah satu teman wanitanya.

"Yeah, itu hanya ciuman... kau tak marah kan, Ramuda? Kita masih berteman kan?"

Ramuda tampak berpikir. "Hmm, bagaimana ya?"

"Ramuda," panggil Dice gusar.

Lalu terdengar suara kekehan Ramuda yang memenuhi ruangan. Dice kesal mendengarnya. Ramuda seperti tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.

"Daisu...," Ramuda bangkit dari kursinya, lalu berhadap-hadapan dengan pemuda yang usianya empat tahun di bawahnya. Tinggi Ramuda hampir tak melebihi pundak Dice. Dice tahu Ramuda itu pendek,chibi, mirip anak SMP, tapi dengan posisi berhadapan yang begitu dekat seperti ini, perbedaan tinggi mereka terlihat jelas. Dice berjengit saat Ramuda meletakkan telapak tangannya di dadanya. Apa yang dilakukan si pink ini? Jantung Dice berdebar kencang. Tunggu, kenapa jantungnya berisik sekali? Ramuda hanya menyentuh dadanya!

"Aku mendengar suara berisik di sini, aku merasakan getaran dan denyutan sesuatu yang tidak wajar—apa ini, Daisu? Kau berdebar karena menciumku?"

Ramuda mengangkat wajahnya, menatap pria yang lebih tinggi darinya. Dice memalingkan wajahnya, mencari objek lain selain makhuk pink di hadapannya ini.

"Tidak, aku—"

"Kenapa kau tidak mencium Gentarou?" tanya Ramuda penasaran. Sepasang bola matanya berkedip-kedip meminta jawaban, mirip bocah yang meminta penjelasan pada orang tua mereka mengenai dari mana bayi berasal.

Dice mengerang frustasi. "Kenapa kau terus menanyakan itu? Kenapa aku harus mencium Gentarou? Dan kenapa kau menganggap hal itu lebih masuk akal daripada menciummu?"

Ramuda terpaku sesaat, sebelah alisnya terangkat.

"Uum, karena kupikir kalian dekat? Apa kau tak pernah mencoba mencium Gentarou—sedikiit saja?"

"Bodoh! Tentu saja tidak, kau pikir aku homo?" Dice tak bisa mengontrol volume suaranya. Demi Kamisama, apa sih yang dipikirkan Ramuda? Jadi selama ini si pink menganggap hubungannya dengan Gentarou lebih dari teman? Otak Ramuda perlu di-reset ulang sepertinya.

Ramuda menepuk-nepuk dada bidang Dice membuat pemuda berambut biru terbatuk. "Maa, maa. Jangan marah begitu, Daisuuu~ Aku kan hanya bercanda."

Dice mengembuskan napas lega. "Kalau begitu aku kembali ke kamar. Jangan bekerja dengan pintu kamar terbuka, udara dingin tidak baik untuk kesehatanmu. Ramuda, kalau butuh sesuatu—"

Dice tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Ramuda berjinjit dan menarik kerah jaketnya, lalu sesuatu yang basah dan lembut mendarat di bibirnya. Dice tak sempat menghindar, terkejut dengan aksi Ramuda yang tak terduga. Otak Dice menyuruh pemuda itu untuk mendorong tubuh mungil Ramuda menjauh darinya, namun yang dilakukan Dice justru sebaliknya. Lengan Dice yang kekar melingkari punggung Ramuda, salah satu tangannya yang bebas menekan tengkuk Ramuda untuk memperdalam ciuman mereka. Mereka berciuman di antara sketsa-sketsa yang bertebaran, saat Dice mundur satu langkah, ia tak sengaja menginjak salah satu kertas sketsa yang bertebaran.

"Haah—kukembalikan ciuman tadi. Kita impas. Bukan hanya kau saja yang bisa mencium orang seenaknya, Daisu." Mata biru Ramuda sejernih lautan kala Dice menatapnya. Mata itu menghipnotisnya dan membuatnya tak mampu bergerak bahkan setelah ciuman mereka usai.

"Sialan," umpat Dice.

Dice melupakan niatnya untuk kembali ke kamar. Pemuda itu mengangkat tubuh mungil Ramuda lalu mendudukkannya di pangkuannya.

"Ayo lakukan lagi, Ramuda."

End