ROYALTY

by Gyoulight

.

.

.

.

A CHANBAEK FANFICTION

GENRE: Romance, Drama (?)

RATING: T (?)

.

.

.

.


Kalimat terakhir Chanyeol terngiang begitu panjang di kepala Baekhyun. Sepanjang perjalanan pemikirannya yang sederhana menggambarkan betapa megahnya pesta itu nanti malam. Di dermaga kecil, sebuah tangga telah diturunkan. Seperti pelabuhan laut yang eksotis, sungai itu beriak ketika sang kapal besar bersandar.

River cruise kini berdiri kokoh di bibir sungai. Warnanya putih mendominasi, jendela mereka begitu lebar di tiap kamar. Sedikit nuansa biru pun diulas di dek teratas. Penampilan Baekhyun yang baru saja kering lantas menciut ketika ada banyak pembisnis mulai naik dari pintu yang lain. Beberapa hendak turun dari mobil, taxi, lalu banyak dari mereka yang muncul dari pintu café, mereka terlihat sengaja menunggu sambil menghabiskan waktu berkeliling di kota Budapest yang kecil.

Chanyeol pun buru-buru mengajaknya naik. Memasuki pintu, dek pertama diisi oleh lobi. Seperti managemen hotel, meja resepsionis tersedia di tengah. Mereka dilobi dengan baik, diberi smart key untuk bisa naik ke suite room. Chanyeol mendapatkan suite room di dek tiga. Lantai teratas dimana berbagai tamu penting ditempatkan. Melewati dek dua dan tiga, Baekhyun dapat melihat beberapa tempat seperti restoran, butik, lounge, café, gym dan banyak hal lain yang menyenangkan di tiap sudut.

Di bagian belakang dek tiga kapal terisi dengan sun deck yang menyatu dengan jejeran kursi. Chanyeol bilang, pesta akan digelar disana. Beberapa persiapan pun mulai terihat di luar jendela. Semua staf bersiap dengan banyak meja dan juga hiasan. Sambil menunggu, para tamu diizinkan bersiap. Dua jam lagi matahari akan tenggelam.

Chanyeol membuka pintu kamar miliknya. Ruangannya cukup minimalis. Tidak terlalu luas karena harus disesuaikan dengan badan kapal. Jendela lebar yang menyatu dengan balkon kecil mengarah langsung ke sungai. Tidak hanya menggambarkan tata kota Budapest di sepanjang bibir sungai, tapi langit biru yang utuh dan barisan burung terbang ikut memayungi dari atas.

Ada potongan panjang sofa putih di depan televisi, kamar mandi kecil di sudut, lalu dua ranjang yang dipisahkan oleh nakas. Cukup nyaman sebenarnya kalau Baekhyun tidak memikirkan hal canggung seperti apa yang akan dihadapinya nanti. Karena Baekhyun lebih sibuk terpana dengan keindahan jembatan Chain yang tampak kecil dari ujung balkon. Sementara Chanyeol harus memikirkan penampilan dirinya yang sudah tidak karuan.

"Kau bisa tunggu aku sebentar?"

Baekhyun menoleh. Menerawang masuk menemukan bayangan Chanyeol dari balik jendela terbuka.

"Hanya beberapa menit," sambung Chanyeol segera. Dan Baekhyun dengan cepat mengangguk untuk setuju.

e)(o

Sore diganti malam, live music semakin keras diputar. Gelap dengan cepat meresap digantikan dengan nyala lampu terang di sepanjang sun deck. Ada banyak wine di atas meja. Beberapa diantar oleh pramusaji berdasi kupu-kupu. Selebihnya ketika Chanyeol turun, ia ingat tengah membawa Baekhyun bersamanya ke tengah acara. Mengambil kursi di salah satu meja, lalu menerima koktail dengan gelas tinggi.

Chanyeol tahu benar ini adalah pesta orang dewasa. Acara tahunan para pembisnis kotor dan juga beberapa bisnis mematikan dalam satu arena. Dimana ia mengaku bukan keduanya, karena ia tidak pernah tertarik untuk membangun sesuatu dengan cara yang rumit. Baekhyun sendiri mungkin merasa tidak pas dengan acara ini, namun penampilannya yang luar biasa sudah mengalahkan banyak pria menawan yang hadir. Keduanya seolah menjadi bintang acara. Chanyeol sendiri semakin mendapatkan kepercayaan diri, karena membawa Baekhyun adalah salah satu keberuntungan.

"Tidak minum?"

Chanyeol sebenarnya tidak berniat menawarkan salah satu gelas di mejanya. Ia hanya mencoba menguji Baekhyun. Ia tahu benar jika sosok yang dibawanya itu tidak ramah dengan dunia malam, minum-minum atau berubah berisik seperti beberapa orang di depan sana.

Atau mungkin sepertinya?

"Aku tidak menolak kalau beer." Baekhyun mendorong mundur gelas tinggi di hadapannya. Memberi penolakan telak dengan senyum kecil yang berukir di wajah cerahnya.

Chanyeol tidak berbohong jika ia mengatakan bahwa Baekhyun lebih dari kata luar biasa malam ini. Rambut coklatnya ditata dengan baik. Setelan yang lama ia pilihkan sore tadi pun nyatanya pas untuk tubuh mungilnya.

"Kau tidak pakai dasimu."

Si pemuda terkikik canggung. "Aku tidak bisa memakai dasi."

Dan itu mengundang senyum manis Chanyeol. "It's okay, kau sudah terlihat menakjubkan tanpa dasi," puji Chanyeol biasa saja. Ia pun sering memuji orang tertentu dalam hidupnya. Jadi sedikit tidak, ia masih punya banyak harga diri jika dianggap aneh. "Target kita adalah Robert. Pria disana."

Lama berdiam, Baekhyun akhirnya menoleh searah dengan telunjuknya. Sama-sama menangkap wajah si pria paruh baya dengan salah satu sekertarisnya. Pria berkumis itu terlihat masih menyapa banyak tamu. Hilir mudik menjabat tangan-tangan yang ia kenal sambil menggenggam gelas tinggi.

"Dia tidak berbicara bahasa manapun selain Spanyol," tambah Chanyeol mengingatkan penerjemah pribadinya. "Dia mungkin terlihat ramah bagimu, tapi kau akan salah. Jika nanti dia membicarakan soal pertemuan selanjutnya, katakan padanya bahwa aku menolak."

"Kenapa begitu?"

Melihat pria tua itu semakin mendekat, Chanyeol kemudian beranjak. Memasang senyum menawannya dari jauh, demi menukarnya dengan pandangan ramah Robert yang tenggelam dalam keramaian. "Aku tidak suka dikendalikan."

Maka Baekhyun ikut beranjak. Berdiri selangkah di samping Chanyeol dengan hati gugup. Chanyeol dengan mudah membaca getaran jemari Baekhyun yang kecil. Bahkan jika ia berkesempatan menyentuhnya, jemari itu pasti sudah lebih dahulu diserang hipotermia.

Hal pertama yang Chanyeol temukan adalah senyum si pria tua dengan jabatan klasiknya. Nada bicaranya pun santai dengan bahasa Spanyol. Chanyeol sendiri berusaha keras mengekspresikan diri ketika Baekhyun menerjemahkan semua kalimat pria itu. Memberatnya pembicaraan mereka pun menyisir dingin yang dihembus luasnya sungai. Baekhyun sendiri sudah semakin kaku dengan banyak pembicaraan. Penjelasan pemuda itu kian rumit, namun sempat selamat dengan kepamitan Robert yang bergerak untuk acara inti.

Dan benar saja, Robert menginginkan pertemuan tambahan. Ada bahasan penting soal investasi panjang yang telah lama mereka lakukan. Terlebih tiga tahun sudah Chanyeol bekerja sama dengan pria itu untuk menaklukkan dunia perkapalan. Tapi setelah mengalami kegagalan proyek Royalty adalah─mungkin─salah satu penyebab mengapa Robert tidak yakin soal kertas perjanjian mereka.

Chanyeol sendiri bukanlah pria gila yang akan mengejar seorang mitra kerja yang meragu. Ia punya banyak catatan partnersip, kehilangan satu bukan masalah. Tapi jika masalah bermitra dengan Robert, ia harus sedikit menunda sampai semuanya membaik. Paling tidak, ia harus meyakinkan bahwa HTS yang pernah Robert percayakan akan kembali naik kepermukaan.

Untuk beberapa saat, Chanyeol mendapatkan ponselnya bergetar di saku. Panggilan Junmyeon membuatnya harus menyingkir dari keramaian. Tak tanggung-tanggung menaiki tangga kecil yang menghubungkannya dengan lantai atap. Yang ia harap akan meredam suara ramai yang berisik.

Junmyeon tidak berbicara banyak soal dirinya. Sekertarisnya itu hanya memberitahunya akan beberapa hal yang mungkin bisa ia pertimbangkan, mengingat ayahnya telah setuju untuk mengatur setir. Dari batang pembatas besi yang siku Chanyeol sandari, ia bisa melihat pemandangan jenuh di bawah sana. Sekaligus menemukan Baekhyun yang sibuk mencarinya di tengah keramaian.

Chanyeol tersadar dengan ia yang telah meninggalkan sosok itu sendirian disana. Sibuk memperhatikan si pemuda tanpa mau dengar Junmyeon yang berteriak marah karena tidak didengarkan. Terkadang, diam-diam Chanyeol bertanya sendiri, jika Baekhyun benar adiknya mengapa semua orang membiarkannya diasingkan sejauh ini? Sang ayah bahkan tidak pernah mengatakan apapun. Malah lebih memilih membiarkan sosok itu tidak tahu segala hal hingga semalang ini.

Dan bukankah ini menjadi sangat menarik? Tidak ada yang mengetahui selain dirinya bahwa sosok yang dibawanya kemari adalah adiknya sendiri. Bahkan tanpa sepengetahuan ayahnya ia bisa membawa Baekhyun jauh berkelana.

Hilang dari pikirannya, Chanyeol kini memutuskan untuk menutup rapat panggilan telpon. Terus mengamati langkah Baekhyun yang menyangsi, lelah sendiri untuk menemukan dirinya. Sosok mungil itu lalu mendongak setelah berhasil terpisah dari keramaian. Menemukannya berdiri santai di atap tanpa mau tahu. Yang dengan jujur Chanyeol mengaku jika adiknya terlalu bersinar dari bawah sana. Sedikit berhasil menggerakkan hati nuraninya, meragukan pemikirannya soal ide licik yang mungkin bisa ia rencanakan.

"Ayo minum beer," ajak Chanyeol dengan beberapa gerakan di mulutnya.

Kedipan halus Baekhyun lalu menyapanya. Lebih-lebih menunggunya turun tanpa kata.

e)(o

Meja penuh dengan kaleng beer dan juga bungkusan pizza yang dipesan melalui room service. Potongan sofa putih dengan bantalnya yang merah menyala telah menghadap jendela. Sengaja dibuka lebar-lebar demi menyejukkan pening soal lelah. Kiri kanan jendela dibuai korden yang menjuntai sampai menyentuh lantai. Pemandangan malam sedikit menggiurkan dengan taburan bintang gemerlap dan juga bulan sebagai pemandu jalan.

Kapal bergerak pelan. Tidak ada ombak seperti di laut. Hanya ada suara angin malam, bersama lampu-lampu keemasan kota Buda. Baekhyun yang disapa lelah, membuka sekali lagi kaleng beernya setelah tandas dua. Punggungnya kembali menikmati sandaran lembut bantal sofa, tak bosan mendengarkan Chanyeol yang sibuk bercerita soal sejarah Budapest.

Pria itu rupanya masih betah berdiri dengan beernya di dekat jendela. Mengaku tidak minat mengikuti acara sampai selesai. Alih-alih menemani Baekhyun yang bosan di kamar, ikut menikmati beer yang harganya jauh lebih murah.

Chanyeol kini menunjukkannya gedung Parliament yang bercahaya keemasan, sebuah icon kebesaran Hungaria yang hanya dimiliki oleh Budapest. Sebenarnya ada banyak hal yang mereka lewati sejak tadi. Termasuk pemandangan indah Fisherman Bastion yang gemerlap saat malam.

"Mereka bilang minum gluhwein akan jauh lebih pas." Chanyeol kembali berpetualang dengan kisah pertamanya di Hungaria. Pria itu sekali lagi meneguk beernya, hanya bisa membayangkan cairan kaleng itu akan berganti dengan manis gluhwein di lidahnya.

"Terima kasih sudah mengajakku kemari." Untuk beberapa saat Baekhyun menikmati pelayaran pelan river cruise yang membawanya. Ia seperti tidak lagi menyesali pagi, dimana Chanyeol memaksanya untuk ikut kemari. Berganti dengan menikmati tiap detik pemandangan jendela mereka yang penuh lampu kota. Ia pun membayangkan bagaimana indahnya pelayaran laut impiannya. Tengah berharap suatu hari punya kesempatan pula.

"Apa kau menunggu terima kasih dariku?" Wajah Chanyeol bermain dengannya. Memadukan rasa jenaka bercampur konyol, yang entah bagaimana tidak bisa membuat Baekhyun tertawa. Baginya Chanyeol terlalu kaku untuk sekedar menggoda leluconnya.

"Aku tahu kau tidak akan mengatakannya."

Dengan menyunggingkan senyum, Chanyeol berbalik meletakkan kalengnya yang kosong. Ia pun sempat mengambil kaleng yang lain sebelum menghempaskan diri ke salah satu ranjang yang tersedia. Memilihnya acak, sekadar tempat mengusir penat. "Sampai di Bratislava kau bisa pilih hadiahmu."

Baekhyun pun menyernyit, "Hadiah?"

Pria tinggi itu bergelung dengan ranjangnya. Belum berminat membuka kaleng beer. Lebih tertarik menatap kelap-kelip kaki jembatan Chain yang para kapal lewati bagian bawahnya. "Kau bisa memikirkannya sekarang. Asal jangan lupa untuk tidur."

"Aku sama sekali tidak berharap dapat hadiah," jawab Baekhyun menaruh kalengnya yang kosong. Butuh waktu lama sampai ia menyadari bahwa semua kaleng-kaleng itu telah tandas dari incarannya. Dan Chanyeol mendapatkan kaleng terakhir. Tidak memberinya kesempatan untuk menang.

"Apa kau tidak pernah menginginkan sesuatu yang lebih besar dalam hidupmu?" tolehnya kini. Sedangkan sekaleng beer terakhir masih ingin pamer di tangannya.

"Bagaimana jika suatu hari ada seseorang yang mengaku sebagai saudaramu?"

Baekhyun merasa jenaka atas pertanyaan konyol itu. Sedikit lucu baginya disinggung soal keluarga. Ia sudah hidup tanpa kenal kedua orang tuanya hingga saat ini. Dan bukankah semua itu menjadi tidak penting karena ia tidak kunjung memikirkannya? Bagi Baekhyun, mereka semua tidak penting untuk dicari tahu. "Aku mungkin akan berterima kasih. Dia hanya tidak tahu kalau ayah atau ibunya menyembunyikanku."

"Kalau aku tidak akan pernah bilang begitu." Chanyeol melirik lewat ekor matanya. Mata belonya sesekali berkedip. Dan tatapan itu sebenarnya bisa dikatakan tajam, namun semakin lembut saat diselami. "Alih-alih aku menyingkirkannya. Akan lebih menyenangkan kalau dia dapat kejutan."

Kalimat itu menciptakan keheningan tersendiri bagi Baekhyun. Walaupun sisi lain dalam dirinya menyetujui, tapi hati kecilnya mengatakan bahwa sesuatu seperti itu tidaklah benar jika dilakukan.

"Ada sesuatu yang tidak kita ketahui dalam mempelajari target. Kita pun lengah saat punya kuasa untuk melenyapkan banyak orang. Sebab Tuhan lebih dahulu mengisi balasan yang sebanding dengan apa yang kita lakukan. Namanya karma." Sekali lagi Baekhyun mengawang pada indahnya lampu-lampu yang berkelip di deretan gedung seberang. Tidak terasa satu jam lagi mereka akan tiba di Bratislava.

Angin dingin sekali lagi menyusup. Memberi nuansa malam yang butuh disambut mimpi. Baekhyun sendiri semakin terbuai kantuk. Ia seharusnya sudah memilih salah satu tempat berbaring. Tidur di sofa atau tidur di sisa ranjang yang tidak Chanyeol tempati. Itu pun kalau ia tidak diserang canggung.

"Kau lebih puitis dari yang aku pikirkan." Suara berat itu kembali menggema. Semakin membuatnya tenggelam dalam kantuk. Terjerat oleh kiasan waktu.

"Aku punya banyak bacaan kaku dalam kolong apartemenku, kalau kau penasaran."

Setelahnya Chanyeol beranjak dari ranjang ujung. Memberikannya sekaleng beer utuh yang batal ia buka. "Aku akan berterima kasih jika kau mau membuka pintu saat seseorang mencariku. Aku harus pergi mandi."

Baekhyun berakhir berdecak. Kesal sekali hatinya mendapati pintu diketuk begitu cepat. Chanyeol rupanya belum berpindah kemanapun sampai ia yang beranjak patuh. Pria itu benar-benar berubah menyebalkan karena gemar menyuruh. "Kau pasti licik. Pintunya sudah diketuk sekarang."

Pria itu kemudian tidak mengguratkan apapun. Hanya menatapnya dari dekat sofa. membelakangi jendela besar yang masih terbuka lebar sayapnya. Cahaya rembulan sayup-sayup mulai masuk. Ikut menyinari bayang-bayang mereka yang dihempas hening. Tanpa ada firasat, lelucon apapun, Baekhyun memutuskan untuk membuka pintu. Mencari keberadaan pengetuk pintu sampai tubuhnya keluar dari sana.

Chanyeol lalu menghilang. Dan Baekhyun berakhir menyernyit tak percaya. Karena pada nyatanya, ia tidak menemukan satu sosok pun yang berdiri di lantai. Pandangannya lalu terfokus pada sisi ujung koridor. Keluar dari pintu, remang kemudian menenggelamkan mata bulan sabitnya yang berkunang. Namun belum sempat ia protes karena merasa dikerjai, sesuatu yang lain lebih dahulu mengenai sisi kepalanya. Sesuatu yang keras itu begitu cepat menghantam belakang kepala. Terlalu keras sekaligus menyakitkan.

Gagang pintu yang Baekhyun pegang terlepas begitu saja. Tubuhnya pun tak kalah semakin ringan ditukik gravitasi. Baekhyun rubuh ke atas lantai setelah pintu tertutup rapat. Kesadarannya hampir habis dengan tangannya yang menggapai ujung pintu yang telah menutup. Bayangan Chanyeol di dalam sana tentu sudah lama hilang. Ia pun tidak bisa memanggil siapapun untuk meminta pertolongan.

"C-chan─"

Gelap lalu dengan cepat memenuhi pandangannya. Kehilangan sensitifitas indra, kecuali merasakan cengkraman kuat pada lengannya.

e)(o

Sebuah mobil hitam semakin dalam bergerak menelusuri jalanan sunyi. Gelapnya malam kian memenuhi pepohonan yang rimbun di sepanjang jalan kota Bratislava. Meninggalkan dermaga, lampu-lampu lenyap tak bernyawa. Mereka jatuh tidak berfungsi jika memilih jalan pintas. Hanya bisa mengandalkan lampu kendaraan kalau nekat.

Menyisir satu jam perjalanan dari dermaga, mobil yang ditumpangi Chanyeol akhirnya memasuki jalanan terang yang kiri dan kanannya diisi bangunan-bangunan berarsitektur Baroque. Jejak kota kecil itu sekilas mengingatkannya dengan pengalaman pertama menyisir Austria dengan berbekal uang seadanya. Chanyeol tentu pernah lari dari tugas kuliahnya, memilih melancong ke berbagai tempat yang ia suka. Kemudian menikmati sisi kota antik hanya dengan ransel di punggung.

Saat itu bangunan tua memanjakannya selama tiga hari. Menaiki berbagai bukit, menelusuri jembatan, lalu mengagumi salah satu river tour malamnya. Dan satu hal yang Chanyeol dapatkan sebagai jawaban─bahwa ayahnya tidak akan kunjung perduli. Bahkan untuk kelananya yang mengabaikan banyak studi selalu membuat ayahnya diam, tidak berbicara satu katapun selain,

"Jika kularang kau pasti akan melakukan yang lebih buruk."

Masih terngiang bagaimana wajah ayahnya menatap. Begitu dingin dengan punggung tegapnya. Jujur, Chanyeol tidak pernah berharap banyak pada ayahnya. Tidak pernah berharap akan dipuji hasil kerja kerasnya. Karena ia terus kecewa, menyangkutkan semua hal buruk tentang bagaimana ibunya, ia dan kedua adiknya diperlakukan.

Namun hal lain membuat Chanyeol merasa butuh. Mendapatkan penghargaan dari cara kerjanya adalah salah satu yang harus ayahnya lakukan. Dan bukankah di antara kedua adiknya, Chanyeol-lah yang lebih pantas? Terlebih ia tidak ingin mengistimewakan orang asing selain keluarga yang telah lama hidup bersamanya.

Menyimpulkan banyak hal, mata Chanyeol kini beralih pada sosok yang masih tertidur di pangkuannya. Wajah pucat itu masih berhiaskan mimpi. Makin mengering darah di kepala belakangnya. Ia lalu masih tidak begitu mengerti mengapa ia bisa memangku sosok ini begini repot. Membiarkan pakaiannya kotor dengan noda merah berbau anyir. Dimana semua itu membuatnya teringat dengan tubuh ibunya yang terbaring tak berdaya.

Menyelami wajah damai Baekhyun sekilas membuatnya teringat dengan sosok ayahnya yang enggan perduli. Pembawaan pria yang ia panggil ayah itu selalu tenang seperti Baekhyun. Hanya saja, sikap keras ayahnya tidak diwariskan untuk pemuda itu. Berbeda hal dengan dirinya yang selalu menjadi orang menyedihkan. Sementara kebenciannya terus hidup bersama pusara mendiang ibunya yang sudah banyak tahun tutup usia.

Entah bagaimana Baekhyun telahir hingga Chanyeol bertanya-tanya. Sebab baginya Baekhyun adalah tunas kecil yang harus ia potong. Meski terus tumbuh, setidaknya ia dapat terus menghentikan tunas itu menghambat dirinya.

Chanyeol dengan hati linu mengambil selembar kain yang diberikan seorang pria lokal di kursi depan. Berkesempatan mengelap jemarinya yang dilumuri darah kering, tanpa ingin bilang terima kasih. Karena menurutnya terserah. Ia sudah membayar mahal untuk semua perencanaan ini. Jadi ia tidak perlu berterima kasih, terlebih bertemu kembali dengan dua orang yang berbicara bahasa inggris dengannya itu.

Di depan sebuah gedung tua tak terpakai, mobil itu berhenti. Mesinnya dimatikan, sedangkan sang supir segera keluar untuk mendapatkan panggilan telpon. Chanyeol sendiri tidak memikirkan hal lain, alih-alih di pikirannya hanya ada kekosongan hati. Karena mendapatkan Baekhyun di pangkuannya mungkin adalah sebuah pencapaian sekaligus kehampaan. Dan Chanyeol tidak tahu mengapa sisi lain dalam dirinya berbisik sibuk, bahwa ia tengah melakukan kesalahan. Bahwa dirinya benar meragu soal perencanaannya sendiri.

Diam-diam ia akhirnya menelusuri pipi pucat yang disiram dingin itu. Direngkuhnya sisa nafas Baekhyun yang terbang rendah. Hatinya pun tidak berganti kunjung menjadi lega. Entah apa yang membuatnya merasa berat meletakkan kepala itu lepas dari pangkuannya. Bahkan untuk membiarkan tubuh itu terkulai di kursi penumpang sendirian saja ia merasa berat hati.

Di samping itu, ia bersikeras tidak mau bimbang. Segera menurunkan kepala itu ke atas kursi yang ia duduki. Sementara ia beranjak, membuka pintu demi menyambut sebuah mobil yang baru saja tiba di belakang. Chanyeol tidak menyampaikan apapun pada kedua pria yang ia bayar. Hanya membiarkan mereka kembali, lalu berjalan masuk ke dalam mobil yang menunggu. Toh ia sudah membuat keputusan. Bukankah ia lebih senang jika ayahnya tidak menemukan Baekhyun di Benua manapun?

Mobil yang membawa Baekhyun kemudian menghidupkan mesin. Bersamaan dengan mobil yang ditumpanginya berbalik arah, mereka lantas meniti arah jalan yang berbeda setelahnya.

Gemerlap gedung kembali bersinar keemasan. Pekatnya malam masih mengapit sisian aspal yang lembab. Chanyeol yang tidak karuan termenung menatap keluar jendela. Merasa semakin kosong, semakin hampa. Ia seakan terus merasa kehilangan suatu bagian yang penting. Yang terpenting, yang jika tidak ia tuntaskan akan menjadi masalah dalam jaringnya. Dan entah, ia sendiri tidak tahu persis tentang apa yang tengah mengacaukan isi hatinya.

Menemukan gerimis kecil di jendela, Chanyeol mengambil ponselnya di saku. Ia berpikir sudah seharusnya ia memeriksa tumpukan email yang memenuhi layar notifikasi. Pikirannya tidak dibiarkan berlari pada bayangan Baekhyun yang semakin jauh pergi. Menguatkan alam berpikirnya─sekali lagi─bahwa ia telah benar membiarkan Baekhyun diasingkan jauh ke tempat terpencil. Untuk dibiarkan mati atau dibunuh─terserah, karena itu bukan urusannya.

Singkatnya ia sudah membayar banyak, jadi ia tidak akan menerima kegagalan sekecil apapun.

Tidak perduli, selayaknya menggenggam batu. Ia kembali urung membaca sederet dokumen penting dalam lembar emailnya. Ponselnya dibiarkan terbenam di saku. Mengatasi pening ia bersandar pada sandarannya. Memejamkan mata begitu erat sebelum tawa kecil Baekhyun kembali terngiang dalam benak.

Entah berapa lama ia tepejam dalam posisi seperti ini. Tidak ada sedetik, sampai sang supir yang membawanya kini mundur membangunkan. Mengguncang lengannya pelan, lalu mengingatkan bahwa keberangkatannya akan menjadi sangat buru-buru.

Menjejakkan diri di lantai bandara, Chanyeol dihantam diri sendiri. Mobil yang membawanya sudah memilih jauh pergi. Dalam sakunya ia mencari paspor dan visa, melenggang panjang memasuki gedung beratap tinggi penuh dinding kaca. Samar-samar ia kembali teringat dengan sosok Baekhyun yang menemaninya minum semalam.

Chanyeol mau tidak mau memenuhi panggilan keberangkatannya. Namun langkahnya menyangsi setelah sampai di pintunya.

"Aku sama sekali tidak berharap dapat hadiah."

Kalimat itu terngiang. Terus mengganggunya dari waktu luang. Chanyeol pada akhirnya tidak dapat membenarkan fokus. Ia lebih memilih diam di atas lantai. Hingga panggilannya bergema, kaki panjang pria itu selalu batal melangkah. Ia lalu jatuh mengawang seorang sendiri, membiarkan banyak orang jauh mendahuluinya masuk.

Sekali lagi Chanyeol merasa kehilangan.

e)(o

Sehun memasang maskernya ketika sampai di rumah sakit. Topi jaketnya ia naikkan. Menutupi kepalanya habis. Nyaris tidak terlihat sosoknya sebagai Park Sehun yang dielukan media publik. Bersamaan dengan itu managernya keluar dari mobil. Ikut berjalan di depannya sambil mengawasi sekitar. Siapa tahu ada yang mengenali artisnya lalu membuat kekacauan di tempat umum.

Memasuki lift, Sehun menemukan sosok wanita dengan kaca matanya. Ikut memasuki pintu, tanpa mau tahu jika dirinya mengenali sosoknya. Lirikan Sehun kemudian sibuk menerka. Lewat pantulan dinding ia pun yakin jika benar mengenali si wanita berambut coklat.

Dari segi penampilan, wanita itu jauh terlihat tidak menarik. Rambut tidak terurus, pakaian ditutupi mantel. Lalu wajah itu penuh pucat. Lesu bahunya memberitahu. Untuk sesaat, Sehun pun berani menebak, jika sosok itu adalah Seyoon yang kakaknya ceraikan saat itu.

Si pria pucat lalu menelisik pada ujung genggaman kertas yang dibawa kakak iparnya. Ingin penasaran, jadi ia menarik kertasnya. Seyoon pun terkaget-kaget. Hampir berteriak karena perlakuan Sehun yang sangat tidak sopan.

"Kau hamil?" Sehun membaca sederet kalimat pada lembar kertas itu. Sedangkan Seyoon sudah melotot dalam kacamata hitamnya. Merampas kertasnya kasar, setelah mengetahui manager Sehun mendengar dengan amat jelas pertanyaan itu.

Sehun yang membeku segera memiringkan kepala. Tercengang dengan sangat tidak percaya. Jika hal ini benar, bukankah akan sangat menarik? Bukan karena ia akan mendapatkan keponakan, tapi sesuatu yang lain. Hanya kabar mencengangkan soal Chanyeol yang─berubah? Bagaimana mungkin kakaknya itu tiba-tiba menjadi tertarik dengan wanita? Pada Seyoon pula, ini jelas terlalu mengejutkan baginya.

"Jadi dia sudah sejauh ini?"

Pun Seyoon masih terdiam. Tidak tertarik dengan beberapa perlawanan karena ia tahu bahwa Sehun tidak tertarik dengan beberan rahasia. Dan hal itu membuat Sehun menurunkan maskernya sampai dagu. Membuat wanita itu berbicara dengan satu pertanyaan, "Apa yang sebenarnya dia rencanakan?"

Seyoon mengambil nafas beratnya. Menyambut pintu yang terbuka lebar ia menjawab dengan nada ketus. "Jika kau bertemu dengannya, kau bisa sampaikan pesanku?"

Kini giliran Sehun yang membisu. Sebenarnya pria pucat itu lebih tertarik untuk ikut campur. Siapa tahu bisa ikut mengambil kesempatan emas. Karena ia juga perlu menyingkirkan Chanyeol dari jalannya.

"Bilang padanya bahwa aku tidak akan menggugurkannya,"

Mendengar itu Sehun menyernyit. Segera wanita itu keluar dari pintu. Melenggang dengan angkuh bersama sandal tingginya.

"Tertarik untuk mengatakannya sendiri?" sahut Sehun masih tidak bergerak. Masih berada di dalam lift bersama managernya yang setia. Dan tanpa ia duga, Seyoon menghentikan langkahnya. Berbalik menurunkan kacamata. Tertarik mungkin.

"Aku bisa membantumu."

e)(o

Gelap masih menghantam kelopak Baekhyun yang tak kunjung terbuka. Kepalanya terasa berat, kebas lehernya tertekuk. Untuk beberapa saat ia dapat menyaksikan langit yang sedikit pekat dari kaca. Bersama tubuhnya yang lemah, Baekhyun akhirnya benar-benar membuka kedua mata. Ada beberapa hal yang membuatnya terdiam beberapa saat. Bahkan ketika ia merasa tubuhnya terbawa arus yang tidak mulus.

Samar-samar Baekhyun menemukan dua pria yang duduk di kursi depan. Keduanya belum menyadari keberadaannya yang sudah sadarkan diri. Sejujurnya, ia berharap salah satu dari mereka adalah Chanyeol. Namun nihil ketika ia menyaksikan pakaian serba hitam yang salah satunya pakai. Dan Baekhyun ingin berteriak ketika menemukan dirinya dilintas hal buruk. Ia mungkin dalam bahaya, karena Chanyeol tidak berada dimanapun.

Ia lalu mengingat dengan berat bagaimana terakhir kali ia tak sadarkan diri. Berharap Chanyeol akan keluar saat itu, lalu menemukannya. Tapi entah bagaimana ia berakhir dibawa pergi dengan mobil. Bukan lagi berada di dalam kapal yang semalam ia kagumi tiap inci aspeknya.

Baekhyun ingin beranjak sedikit ketika menemukan noda darah mengering di tangannya. Kepalanya lambat laun terasa pedih. Ada sebuah luka yang menganga di belakang kepalanya. Yang sialnya salah satu di antara pria-pria seram di depan sana dengan cepat menemukannya. Mengambil seuntas tali lalu mundur mendekatinya.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Si pria besar tidak mengindahkan. Lebih cepat menarik kedua tangannya, sebelum ia sempat menarik gagang pintu yang terkunci. Mobil itu sekali lagi melintas di jalanan sepi. Pepohonan lebat sudah menutup kiri dan kanan jalan. Entah berada dimana mereka saat ini.

Baekhyun mencoba memberontak. Ia menendang pria itu berkali-kali. Beralih meninju kaca mobil dan mendorong beberapa kali gagang pintunya. Dengan sisa tenaganya, Baekhyun memikirkan cara yang lain. Ia butuh sesuatu untuk memecahkan kaca jendela.

Namun si pria asing dengan cepat menangkapnya. Memukul wajahnya dengan keras sampai sudut bibirnya berdarah. Baekhyun terhempas jatuh ke lantai bawah mobil. Limbung dengan kepalanya yang kembali berdenyut sakit. Pada kesempatan itu, tangannya ditarik kuat. Diikat pada lilitan tali yang mengikatnya kuat.

Baekhyun yang tidak menyerah kini menendang wajah pria itu. Mendapatkan kesempatan, dengan sekuat tenaga Baekhyun bangkit dari sana. Berusaha melompat ke kursi depan meski pakaiannya ditarik mundur. Ia berhasil mendapatkan leher si supir. Mencekiknya kuat hingga mobil yang mereka tumpangi berdecit kehilangan arah.

Pria di belakang semakin marah dengan perlakuannya. Berakhir menancapkan benda tajam pada punggungnya tak tanggung-tanggung. Rasa pedih pun segera membakar punggungnya. Sempat ditarik kasar untuk mundur, ia kemudian mendapatkan cekikan di leher begitu kuat.

Baekhyun tidak bisa berteriak. Tangannya menggapai lengan-lengan kuat pria itu. Di sisa nafasnya yang tercekat, ia dapat melihat bayangan Chanyeol yang datang. Tersenyum padanya tanpa luka. Pria bersurai hitam itu dilihatnya tidak merespon apapun, meski dirinya terhimpit di pintu mobil.

Air mata Baekhyun lalu tumpah. Kemeja putihnya basah oleh darah yang melumuri punggungnya. Dalam benak ia berharap, dan mungkin menjadi impiannya jika ia masih hidup di suatu pagi. Baekhyun ingin kembali. Ingin kembali ke Barcelona dan tidak lagi ingin pergi kemanapun seperti permintaan Kris.

Karena pada nyatanya, Kris selalu melindunginya. Kris selalu mencegahnya pergi tanpa izin. Ia menyadari semua itu saat ini. Begitu bodoh dirinya menyadari hal ini begitu terlambat. Namun dibandingkan dengan memanggil Kris, entah mengapa nama Chanyeol yang kini ribut ia panggil di kepala. Pun dalam sudut hatinya, ia ingin berlari kuat, ingin memanggil pria itu dengan lidahnya yang kelu.

Hampir mendapatkan irama jantungnya yang terhenti, mobil yang membawanya itu kini mendadak menginjak rem. Roda mereka berdecit, menyisakan sesak yang Baekhyun tahan lama di lehernya. Pria itu lantas melepaskan cekikannya, memeriksa bahwa keadaan rekannya baik-baik saja. Karena menurut siapapun mereka belum juga sampai pada tujuan.

Dengan terbatuk-batuk, Baekhyun dengan samar melihat sosok hitam turun dari mobilnya yang menghalangi jalan. Mendekat pada mobil mereka dengan langkah panjang, lalu membuka pintu belakang dimana punggung si pria yang mencekiknya berada.

Pria dengan pakaian serba hitam itu kini diseret keluar. Dihajar dengan satu pukulan keras. Sementara si supir sudah begitu tercengang di luar. Seakan tidak percaya dengan semua hal yang ia temukan saat ini.

Baekhyun tidak dapat merasakan apapun saat nafasnya nyaris lepas. Ada banyak oksigen yang ia butuhkan untuk memompa kuat paru-parunya. Lantas ia berakhir bersandar di sudut pintu. Mata bulan sabitnya masih memburam, namun dengan cepat ia mendapatkan sosok asing itu memasuki mobil. Mengambil lengannya yang terikat lalu memotongnya dengan pisau lipat yang sudah berlumuran darah.

Sepasang manik hitam pria itu kemudian memandangnya dalam. Begitu kuat jemari itu menggenggam jemari pucatnya. Ada sesuatu yang seakan menembus Baekhyun saat sosok itu menyentuh pipinya. Baris-baris ketenangan didapatkan jernih buraman Baekhyun sekali lagi. Yang membuat tangis kecilnya pecah, membuncah dadanya ingin meluapkan rasa takut. Baekhyun pun segera menangkap begitu kuat kemeja pria bersurai hitam itu dengan jemari.

"Hadiah apa yang kau suka?" Suara berat itu menendang pendengarannya. Namun telak memberinya sekotak ketenangan. Sorot itu tidak lupa berusaha tersenyum dalam pilu. Menangkup wajahnya yang lebam, seakan menenangkannya dari gaduh yang menyiksa.

Sesak lain di dada Baekhyun semakin menjadi. Tangisnya semakin keras didengar, gemetar tubuhnya ketakutan. Maka dengan cepat ia peluk tubuh besar itu dengan semua kalut. Aroma mint yang menghantam paru-parunya pun membuat pasokan udara masuk dengan benar ke dalam sana. Memberinya segenggam nyawa, karena menemukan satu harapan untuk hidup.

Pria itu balas memeluk begitu erat. Menggenggam bahu kecilnya yang gemetar takut. "Katakan padaku, hadiah apa yang kau suka?" tanyanya kembali.

Isak tangis Baekhyun menghalangi lidahnya untuk bergerak. Tidak ada sesuatu yang dipikirkannya selain pulang. Ia ingin pulang dengan segera, sebelum semua pria jahat itu menusuknya dengan belati yang lebih tajam. "Pergi─"

.

"bawa aku pergi, Chanyeol."

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Aku terlambat lagi…

see you next Chap.