Aroma asing membangunkan Lena yang tertidur di meja kayu di sudut rumah kaca. Siapapun sosok yang memasuki wilayah kebun, Lena tak mengenalnya. Dia hafal betul semua aroma Operator Rhodes Island. Yang satu ini, Lena yakin, adalah penghuni baru atau tamu yang mampir berkunjung.

Bau obat-obatan. Lena membaui udara. Aroma zat kimia bercampur dengan aroma liar, aroma yang mengingatkan Lena akan hutan kecil di musim panas. Pasien baru?

Sambil sedikit merapikan gelas ukur dan mangkuk tumbuk di meja—Lena tertidur saat mengerjakan salah satu kreasi barunya—sang pembuat parfum beranjak berdiri untuk menyambut siapapun yang datang ke kebun kecilnya. Hari sudah malam, bukan waktu yang pas untuk berkunjung ke tempat ini, jadi mungkin orang baru ini tersesat.

Originium. Semakin mendekati pintu rumah kaca, hidung Lena menangkap lebih banyak informasi tentang sang pengunjung. Tanah kering. Vulpo.

Bau terakhir harusnya membuat Lena mengurungkan niatnya, tapi ia tetap membuka pintu dan melangkah keluar.

Darah.

Beberapa Operator Rhodes Island membawa bau darah, terutama jika mereka baru pulang dari misi. Lena sedikit banyak terbiasa dengan aroma itu dan bersikap seakan ia tidak menciumnya.

"Selamat malam," kata Lena. Suasana di kebun temaram dan penuh bayang-bayang. Ia tidak langsung menemukan sosok yang dicarinya, tapi indera penciumannya memberi petunjuk untuk menoleh ke kiri. "Ada yang bisa saya bantu?"

Sungguh, kalau bukan karena ia memiliki penciuman yang lebih tajam daripada Vulpo pada umumnya (di antara ras lain, ras Vulpo sendiri termasuk yang indera penciumannya paling unggul), Lena tak akan menemukan si pengunjung. Sosok itu bersembunyi di balik bayang-bayang rumpun bunga, diam tak bergerak sedemikian rupa hingga hampir pasti orang akan melewatkannya.

"Kalau butuh bantuan kembali ke ruanganmu, saya bisa membantu," lanjut Lena.

"Bau kamu aneh," jawab sosok itu. "Bau dua belas tanaman. Bukan. Sembilan. Ada yang beracun."

Lena tertegun sejenak. Ia memang tengah mengerjakan campuran baru yang menggunakan sembilan tumbuhan berbeda dan tiga di antaranya bisa memicu reaksi alergi jika terkena getahnya. Campurannya sama sekali belum jadi dan jarak antara Lena dengan si pengunjung cukup jauh. Harusnya dia tak bisa mencium baunya apalagi sampai bisa menyebutkan jumlah bahan bakunya.

"Kalau diolah dengan hati-hati, racun bisa dinetralisir," balas Lena. "Membuat wangi-wangian punya resiko tersendiri."

"Hmmh."

Sosok Vulpo yang bersembunyi di balik bayangan menampakkan diri. Hal pertama yang menarik perhatian Lena adalah daun telinga kiri si Vulpo yang sedikit terkoyak. Pakaian yang dikenakan si Vulpo adalah pakaian pasien baru Rhodes Island, tapi dia mengenakan jubah bertudung di atas stelan itu. Tatapan matanya tajam dan waspada.

"Ini tempat apa?" tanya si Vulpo.

"Kebun tanaman herbal dan rumah kaca." Lena tersenyum, sebisa mungkin menunjukkan bahwa ia tak berbahaya. "Dan tempat kerjaku."

"Oh." Si Vulpo menggaruk hidungnya. "Baunya lebih enak daripada di dalam."

"Banyak yang bilang begitu." Sang pembuat parfum mengangguk. "Lebih tepatnya, semua orang yang mengunjungi tempat ini berkata tempat ini menenangkan. Bebas dari bau obat-obatan dan mesiu."

"Mhm."

Sebelum Lena sempat memikirkan topik pembicaraan selanjutnya, sosok tinggi besar muncul di ujung lain kebun. Sekali lagi, penciuman Lena bekerja lebih cepat daripada telinga dan matanya.

Sankta pria. Mesiu. Tidak ada Originium.

"Vermeil," panggil si Sankta. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Jalan-jalan."

"Tidak perlu mencoba-coba kabur."

Vulpo bernama "Vermeil" itu menghela napas panjang. "Toh aku kabur juga akan kamu kejar sampai dapat kan …?"

"Kuantar kembali ke kamarmu."

"Aku bisa sendiri."

"Aku perlu memastikan tugasku terlaksana dengan baik."

Tapi si Sankta tetap menunggu sampai Vermeil menghampirinya dan berjalan di dekatnya seperti sipir penjara.

Sekilas, Lena melihat Vermeil membetulkan jubahnya dan menyadari sesuatu.

Tangan kirinya tidak ada.


Meskipun hanya satu atau dua yang mengatakannya secara langsung, kebun kecil dan rumah kaca Lena adalah tempat favorit bagi banyak penghuni Rhodes Island, terutama bagi para Vulpo yang butuh mengistirahatkan hidung mereka dari bau zat kimia, bau mesiu, dan bau logam. Lokasi tempat ini juga dipilih sedemikian rupa hingga jauh dari hiruk pikuk alarm kebakaran yang berbunyi minimal sehari sekali dan apapun atau siapapun penyebab alarm berbunyi.

Lena tidak perlu pergi jauh-jauh dari tempat kerjanya jika ia ingin tahu sesuatu. Selalu ada yang berkunjung dan bisa ditanyai.

Saat ini ada Myrrh yang datang meminta masukan dari Lena untuk obatnya dan Frostleaf yang duduk di sudut jauh, kelihatan setengah tertidur sambil mendengarkan musik dari headphone.

"Dia … datang ke sini semalam?" Wajah Myrrh langsung terlihat khawatir. "Gawat. Harusnya tidak boleh …. Miss Gavial bisa-bisa memukulnya."

"Infeksinya cukup parah?" tanya Lena.

Myrrh mengangguk. "Sudah ada kristalisasi di paha dan lengan kanan. Dia kesakitan, tapi tidak benar-benar paham apa yang terjadi atau tahu apa yang membuatnya terinfeksi."

"Tidak benar-benar paham?" ulang Lena.

"Ya." Myrrh terdiam sejenak. "Vermeil bertahun-tahun hidup sendirian di alam liar. Yang ia tahu hanyalah dia sakit dan sebaiknya tidak dekat-dekat orang lain, tapi tidak paham cara mengobatinya atau harus menemui siapa untuk berobat."

"Hee, ada juga ya yang seperti itu. Lalu Sankta yang bersamanya? Saya baru melihatnya kemarin."

"Mister Executor. Sankta dari Laterano. Dia bersih. Aku hanya dengar dia harus menjalankan tugas dan tugasnya adalah memastikan Vermeil diobati dengan layak di Rhodes Island."

Setahu Lena, profesi "eksekutor" adalah pelaksana untuk segala jenis permintaan terakhir warga Laterano, baik sekadar mengantarkan sesuatu hingga menghilangkan nyawa seseorang. Ini jenis profesi yang lebih sukar dipahami ketimbang menjadi tentara bayaran atau pembuat parfum.

"Amiya dan Dokter Kal'tsit lebih paham detailnya," lanjut Myrrh.

"Yah, mereka petinggi Rhodes Island, apa jadinya kalau mereka tidak tahu?" Lena tertawa pelan.

Telinga Myrrh bergerak sedikit. "Anu … Miss Perfumer kelihatannya …."

Kebiasaan buruk Myrrh adalah ia sering ragu-ragu pada apa yang hendak dikatakan, membuat ucapannya mengambang tak tuntas. Seperti yang baru saja ia lakukan.

"Hmm?" gumam Lena. "Saya sepertinya kenapa?"

"Eh, anu … um …." Myrrh melihat ke arah lain, pura-pura menaikkan kacamata. Telinganya bergerak-gerak makin gugup. Ia mungkin tak sadar kupingnya membocorkan emosi yang berusaha disembunyikan. "Ku … kupikir tidak biasanya Miss Perfumer bertanya soal pendatang baru …." Suara Myrrh lirih sekali saat ia melanjutkan kalimatnya.

"Waktu saya bertemu dengannya, dia bisa membaui apa yang seharusnya tak tercium. Memang anak itu tak menyebut persisnya apa tanaman yang kugunakan, tapi dia tahu jumlahnya dan dia juga tahu beberapa di antaranya beracun."

Myrrh terbelalak. "Be-benarkah? Itu berarti—"

"Selamat siang~!" Seruan ceria memotong ucapan Myrrh. Gadis Vulpo yang baru datang itu langsung menghampiri dan menyodorkan buku tulis pada Myrrh. "Titipan dari Sussurro. Catatan dan ringkasan rekaman simulasi tempur seperti biasa."

"Oh! Terima kasih banyak!"

"Miss Perfumer, ada wangi-wangian baru yang menarik?" Si gadis Vulpo berpaling pada Lena.

Angelina, seperti biasa, penuh energi. Semangat dan aura positif Vulpo muda itu menular, walaupun banyak yang tahu kalau diam-diam Angelina amat sangat merindukan hidup normal seperti sebelum ia diketahui terinfeksi. Angelina harusnya masih berada di sekolah menengah atas, tinggal bersama keluarganya, bekerja paruh-waktu sebagai pengirim pesan, dan bersenang-senang dengan teman sebayanya. Harusnya. Mengidap Oripathy membuat hidupnya berubah.

"Saya sedang mencoba membuat sesuatu yang baru," jawab Lena. "Mungkin akhir minggu ini selesai."

"Kali ini dari bunga apa?"

"Hmm … dari beberapa jenis bunga lebih tepatnya. Dan beberapa bahan rahasia."

"Mungkin harusnya aku minta diajari membuat parfum sendiri, ya?"

"Croissant akan minta diajari juga supaya dia bisa berjualan," kata Lena, tertawa kecil. Croissant, salah satu teman akrab Angelina yang berasal dari Penguin Logistic, punya jiwa wirausaha yang menggebu-gebu. Dia akan menjual apapun (yang legal), kapanpun (saat Penguin Logistic sepi pesanan), dan dimanapun (ada cukup ruang untuk meja 1x0,5 meter).

"Dia tidak akan bisa menirunya." Frostleaf, entah kapan dia bergerak mendekat, menyodorkan headphone pada Angelina. "Sudah pernah dengar lagu ini?"

Sementara Angelina memasang headphone untuk mendengarkan lagu, Frostleaf berpaling pada Lena dan Myrrh. "Si anak baru, aku berpapasan dengannya tadi pagi."

"Vermeil, ya, namanya?" celetuk Angelina.

"Ya."

"Seperti apa orangnya? Anak-anak Penguin Logistic membicarakannya, tapi aku belum pernah melihat sendiri."

"Hmm … seperti apa orangnya, ya?" Frostleaf terlihat berpikir. "Dia waspada. Jenis yang bisa dan tahu caranya bertarung."

"Jenis yang dulu sepertimu?"

Sebelum bekerja di Rhodes Island, Frostleaf bagian dari Pasukan Muda Columbia dan kemudian menjadi tentara bayaran setelah skuadnya dibubarkan.

"Ah. Bukan. Dia berbeda." Frostleaf kembali terlihat mengingat-ingat. "Bagaimana mengatakannya …?"

"Pemburu?" tanya Lena.

"Mungkin. Dan aku yakin dia pernah membunuh orang. Ursus." Frostleaf menunjuk lehernya. "Vermeil itu memakai kalung identitas prajurit bayaran Ursus. Itu trofi. Dia mengambilnya dari orang yang ia kalahkan."

"Rhodes Island benar-benar menerima segala jenis orang, ya …," gumam Myrrh.

Pandangan Frostleaf masih menerawang, seakan ada jawaban yang belum ia temukan, tapi ia berkata pada Lena: "Dia akan kemari pada waktunya. Jangan dikejar."


Selama seminggu berikutnya, Lena mendengar potongan-potongan cerita tentang Vermeil dari mereka yang berkunjung ke kebun atau rumah kacanya.

Seperti kata Frostleaf, Dobermann menawari Vermeil bergabung sebagai Operator Rhodes Island. Hasil uji kelayakannya sangat baik. Vermeil ahli menggunakan busur dan panah. Dengan sedikit arahan, ia bisa langsung diterjunkan dalam misi.

Tentu saja Lena sempat bertanya-tanya bagaimana caranya Vermeil memegang busur dan panah kalau tangan kirinya buntung? Jawabannya, Vermeil punya prostetik. Dia tidak memakainya saat bertemu Lena tempo hari.

Tangan prostetik itu juga punya cerita tersendiri.

Desain prostetik Vermeil bukan jenis yang ditemui di pasaran. Para Operator, yang bertanggung jawab di bagian mesin dan perlengkapan, penasaran hendak memeriksa prostetik Vermeil lebih lanjut, namun belum mendapat kesempatan. Vermeil masih bersikap waspada ke semua orang, secara jelas menunjukkan kesulitan membaur.

Lena memejamkan mata sejenak, bertanya-tanya kenapa ia sedemikian tertarik dengan si Vulpo baru. Apakah … karena dia merasa menemukan seseorang yang mirip dengannya? Atau karena penasaran ingin tahu bagaimana Vermeil mengindera sekitarnya?

Kadang kala Lena memang merasa kesepian. Ada waktu di mana ia begitu antusias menemukan suatu aroma baru, namun tak ada yang mampu mengapresiasi hal yang sama dengan yang ia rasakan, dengan apa yang tertangkap penciumannya.

Mungkin itu sebabnya dia begitu ingin bertemu dengan seseorang yang mirip. Seseorang yang menangkap bau dan aroma lebih banyak dari yang lainnya.

Dan seperti kata Frostleaf lagi (mereka yang pernah lama berkecimpung di medan perang memang punya insting yang tak dipahami Lena), Vermeil kembali berkunjung ke kebun. Kali ini ia mengenakan pakaian sehari-harinya alih-alih baju pasien.

"Selamat siang," Lena menyapa.

Vermeil yang sedang berjongkok mengamati salah satu rumpun bunga, mendongak. "Kamu yang kemarin."

"Iya. Saya belum memperkenalkan diri kan? Saya Lena, pembuat parfum dan aromaterapi, bagian dari unit medis Rhodes Island."

Balasannya singkat dan tegas: "Vermeil. Pemburu."

"Pemburu seperti Miss Meteor?"

"Meteor bukan pemburu. Dia bilang dia 'penjaga hutan'."

Lena berusaha mengingat-ingat apa ada Operator Rhodes Island lainnya yang punya profesi pemburu. Yang muncul di ingatannya hanyalah: pasien, ilmuwan dan dokter, pengantar barang dan surat, pemburu hadiah dan tentara bayaran, lalu ada juga mantan anggota Kesatria Kazimierz, bahkan ada mantan biarawati dan bekas murid toko roti.

Rasanya tidak ada "pemburu". Sama seperti tidak ada "pembuat parfum" sebelum Lena datang.

"Aroma kalian sama-sama seperti hutan," kata Lena.

"Mhm. Meteor bau pohon lain. Lebih tajam dari pohon di hutan tempatku."

"Hutanmu hutan Siracusa, bukan?"

"Ya."

Saat Vermeil berdiri, kristal gelap di paha dan lengannya terlihat jelas. Lena juga mengidap Oripathy, tapi ia sudah mulai menjalani pengobatan sebelum ada kristal tumbuh di kulitnya.

"Semua orang membicarakan kamu," lanjut Vermeil. "Katanya kamu membuat wangi-wangian."

"Ya. Saya satu-satunya pembuat parfum di sini."

"Kenapa membuatnya?"

Lena terdiam sejenak. Biasanya ia akan menjawab: karena ia punya bakat untuk melakukannya. Lena memutuskan menjadi pembuat parfum karena profesi itu unik dan indera penciumannya yang tajam cocok untuk melakukannya. Ia selalu percaya wewangian dan bau-bauan adalah sesuatu yang begitu berpengaruh, yang, jika dibawa ke tingkat ekstrem, bisa digunakan untuk mengontrol orang lain.

Tapi jawaban itu sepertinya tidak akan terdengar benar untuk seorang pemburu. Mereka tidak menggunakan indera penciuman untuk mengontrol orang lain. Pemburu menggunakan indera penciumannya untuk melacak mangsanya.

Vermeil mengerutkan kening, tiba-tiba mengendus udara. "Astaga …. Dia lagi."

Sosok jangkung Executor muncul di ujung lain kebun.

"Vermeil."

"Iya, aku ingat. Makan siang lalu periksa."

"Mungkin lain kali beritahu Mister Executor kalau kau mau kemari?" kata Lena.

"Dia akan mengikuti dan menunggu."

"Tidak masalah. Tempat ini terbuka untuk semua orang."


Hari-hari berikutnya, Angelina membawa lebih banyak cerita tentang Vermeil.

"Jadi, ceritanya Cliffheart dan Rope mengambil pai apel Exusiai dan menukarnya dengan pai kacang merah," kata Angelina. "Exusiai mencari-cari mereka di segala tempat tapi tak menemukannya, lalu entah bagaimana dia berhasil membujuk Vermeil untuk membantunya mencari Cliffheart dan Rope."

"Bukan mencari pai apelnya?" tanya Lena.

Angelina berpikir sejenak. "Betul juga …. Harusnya langsung saja cari pai apelnya. Yah, singkat cerita, Vermeil menemukan mereka. Jangan tanya aku bagaimana detailnya. Exusiai dapat pai apelnya kembali, tapi Mister Executor membawa Vermeil ke orang-orang Kjerag untuk meminta maaf."

"Wah …. Sepertinya jadi runyam …."

"Nyaris runyam." Angelina mengangguk. "Tapi tidak terdengar ada masalah. Malah, lucunya, Croissant bilang padaku kalau Matterhorn jadi semacam … mempekerjakan Vermeil untuk mencari bahan baku masakannya menyambut Mister SilverAsh dan adiknya. Sebagian besar daging hewan liar."

"Hee … jadinya begitu …."

Angelina tertawa. "Rope dan Cliffheart kudengar bertanya-tanya apa ada parfum jenis tertentu yang bisa membuat bau mereka tak tercium. Mungkin dekat-dekat ini mereka akan mampir kemari."

"Daripada parfum yang menghilangkan bau," tukas Lena, matanya melirik ke rak berisi botol-botol sampel eksperimen yang setengah jadi atau sudah jadi, tapi ia anggap kurang bermanfaat, "jauh lebih mungkin membuat pengejarmu punya bau khas yang sulit sekali hilang."

Angelina mengerjap. "Benar juga …. Ngomong-ngomong, Miss Perfumer, ada sampel baru tidak? Katanya akhir minggu ini?"

"Ada. Sebentar saya ambilkan."

Seraya bangkit dari tempat duduk, Lena mengendus aroma Cautus di udara. Ada beberapa Cautus di Rhodes Island, tapi aroma samar lain yang tercium bersama aroma tadi langsung memberitahu Lena siapa yang baru saja pergi: Rope.

Wah. Dia pasti dengar obrolan tadi.

Malamnya, Lena meninggalkan botol kecil dengan catatan di pegangan pintu rumah kaca. Untuk Rope, tulisnya di catatan itu.

Lebih baik memberikan apa yang dicari daripada membiarkan Rope menjebol masuk dalam rumah kaca dan mengambil botol dari lemari secara acak. Sudah cukup banyak masalah harian di Rhodes Island, tak perlu ditambah lagi dengan keracunan zat kimia karena bercanda yang kelewatan.


Lena harus berjuang keras menahan tawa saat Vermeil mengunjunginya lagi. Anak itu menguarkan bau manis yang luar biasa pekat, seolah-olah ia baru saja tercebur dan diselamatkan dari segentong madu lengket. Sepertinya Rope atau Cliffheart sukses menyiramnya dengan campuran yang "dipinjamkan" Lena pada mereka. Aslinya, ramuan itu salah satu eksperimen untuk membuat obat Myrrh yang pahit jadi lebih mudah diminum, setidaknya dengan mengubah aromanya. Tidak terlalu berhasil karena Myrrh ternyata menggunakan sesuatu yang menetralisir aroma manis tersebut.

"Aku butuh bantuan," gumam Vermeil. Nadanya datar dan serius seperti biasa, tapi ekspresi wajahnya kelihatan seperti nyaris menangis. "Baunya tidak mau hi—"

Vermeil terbatuk-batuk. Kalau untuk hidung normal saja aroma manis itu tercium dengan amat sangat jelas, untuk hidung setajam Lena dan Vermeil, bau itu membuat mereka tersedak.

"Ada bak mandi di kamarmu?" tanya Lena.

"Tidak ada. Pancuran air."

Lena beranjak, mengambil botol lain dari lemari. "Butuh berendam sekitar lima belas menit sampai setengah jam supaya baunya hilang. Pakaianmu kena juga?"

"Kena."

"Wah." Lena tertawa kecil.

"Tidak lucu," geram Vermeil.

"Maaf." Lena melambaikan tangan, menyuruh Vermeil mengikutinya. "Ayo, di kamarku ada bak mandi."

Lena dan Vermeil melewati sosok jangkung Executor yang berdiri di lorong menuju kebun. Vermeil menggumamkan, "Aku tidak berniat kabur."

"Saya akan menjaganya," kata Lena pada sang Sankta berambut putih.

"Itu tugasku."

"Kalau mau, ikutlah, tapi tunggu di luar," lanjut Lena.

Executor tak mengatakan apapun dan tak menunjukkan tanda bahwa dia mengikuti, tapi Lena bisa membauinya hingga ia tiba di kamar. Sang Sankta mengikuti mereka, namun menjaga jarak sedemikian rupa hingga tak terlalu mencolok.

Setibanya di kamar, Lena mengisi bak mandi dengan air hangat, menuangkan isi botol yang dibawanya saat bak sudah setengah terisi. Aroma mirip daun mint mengisi udara.

"Baju dan jubahku bagaimana?" gumam Vermeil.

"Bisa direndam juga lalu dicuci seperti biasa, tapi kurasa kau perlu mengambil baju ganti."

"Mhm. Sebentar."

Vermeil membuka pintu kamar. Executor terlihat menunggu tak jauh dari sana. Mereka berbicara sebentar dan setelahnya sang Sankta berjalan pergi.

"Minta tolong ambil," kata Vermeil. "Sekarang bagaimana?"

"Berendamlah. Biar saya urus baju dan jubahmu."

Vermeil kelihatan ragu.

"Kenapa?" tanya Lena, entah kenapa geli melihat tingkah si Vulpo muda. "Perlu ditemani?"

Di luar dugaan, Vermeil mengangguk. "Aku tidak mengerti cara memakainya," katanya.

Sama sekali tidak ada mesin atau peralatan aneh yang sukar dioperasikan di dalam kamar mandi, jadi Lena tidak yakin apa persisnya yang membuat Vermeil mengatakan "tidak mengerti cara memakainya". Tapi mengingat si Vulpo muda bertahun-tahun hidup sendiri jauh dari peradaban, mungkin fasilitas di Rhodes Island terasa asing dan aneh baginya.

Badan Vermeil kelihatan kurus namun liat. Bekas luka cakaran dan koyakan taring mendominasi bagian kiri tubuhnya. Di bagian kanan, kristal akibat infeksi Originium mencuat di lengan dan paha. Dibanding beberapa hari sebelumnya, kristal-kristal itu terlihat lebih pucat, pertanda kondisinya sudah semakin stabil.

"Kecelakaan berburu," kata Vermeil seraya menunjuk salah satu bekas lukanya, menjawab pertanyaan dalam benak Lena yang tak ia ungkapkan. "Tangan kiriku juga."

"Apa yang terjadi?"

"Aku meremehkan buruanku." Vermeil menggerakkan tangan prostetiknya perlahan-lahan. Jemarinya menekuk dengan kaku. "Orang yang menolongku memberikan tangan ini juga. Karena dia, aku jadi bisa menuntaskan balas dendam."

Balas dendam? Setelah bertemu dengan berbagai jenis orang di Rhodes Island, harusnya Lena tidak kaget kalau menemukan ada satu-dua yang punya motivasi atau cerita masa lalu tentang balas dendam, tapi toh ia tetap kaget. Apa itu sebabnya aku merasa mencium bau darah darinya?

"Rambutmu perlu disiram juga," kata Lena.

"Mhm." Vermeil membenamkan diri ke dalam air dan muncul kembali beberapa detik setelahnya. "Airnya hangat."

"Memangnya pancuran air di kamarmu tidak ada air hangatnya?"

"Oh … aku tidak tahu. Biasanya aku mandi air dingin."

"Orangtuamu pasti khawatir waktu kau kecelakaan."

Vermeil bergumam pelan sebelum berkata, "Mereka sudah tidak ada. Saudara-saudaraku dan teman-temanku juga sudah tidak ada. Aku sendirian."

"Ah …. Maaf."

"Tidak apa-apa. Urusannya sudah tuntas." Dengan tangannya yang utuh, Vermeil memainkan kalung yang melingkari lehernya.

Itu trofi. Lena teringat ucapan Frostleaf. Dia mengambilnya dari orang yang ia kalahkan.

Pelan-pelan, Lena mulai bisa menyusun urutannya: keluarga yang tiada, balas dendam, kalung trofi. Ceritanya mungkin belum lengkap, tapi garis besarnya bisa dibayangkan.

Lena memejamkan mata. Aroma seperti apa "balas dendam" itu? Sepertinya bukan aroma yang menyenangkan.

Tanpa mengatakan apapun, Vermeil kembali membenamkan kepala ke dalam air dan muncul lagi setelah beberapa detik. Hidungnya berkedut-kedut. Ia menciduk sedikit air dengan telapak tangannya, lalu mengendus.

"Bau asing. Tapi bau menyenangkan," kata si Vulpo muda.

"Menyenangkan atau menenangkan?" tanya si pembuat parfum.

"Menyenangkan," jawab Vermeil tanpa keraguan. "Kalau soal tenang, aku percaya kamu. Kamu bukan orang berbahaya. Makanya bisa tenang."

"Padahal saya kira masih butuh waktu lebih lama sampai kau mulai terbiasa dengan orang lain. Beberapa Operator seperti it—"

Ucapan Lena terpotong oleh Vermeil yang tiba-tiba bangkit dan mencondongkan tubuh ke arahnya. Si pemburu mengendus leher Lena. Jaraknya terlalu dekat. Lena bisa merasakan hembusan napas mengenai kulitnya. Kalau ini dilakukan pada Operator lain dengan refleks pertahanan ekstrem, tidak sampai sedetik Vermeil akan terpotong atau tertusuk. Tapi mungkin sebagai pemburu, Vermeil tahu kalau Lena tak akan melakukan itu.

"Benar," gumam Vermeil. "Mirip."

"Mirip … apa?"

"Mirip seseorang dari tempatku dulu. Orang baik." Vermeil menjauh. "Dia bukan pemburu."

"Saya kira yang seperti itu tak bisa ditentukan dari aroma tubuh," kata Lena seraya mengusap tengkuk dan lehernya. Bulu kuduknya meremang. Kalau gerakan tadi adalah serangan, dia pasti kena dan terluka.

"Hanya ada dua jenis orang, pemburu dan bukan pemburu," Vermeil menjelaskan. "Pemburu perlu diwaspadai. Bukan pemburu biasanya tidak perlu diwaspadai. Kamu bukan pemburu. Tidak ada bau darah."

Pada titik ini, Lena yakin Vermeil tidak sekedar mencium bau dan aroma. Indera penciumannya tajam, ya, tapi si pemburu ini juga mengindera sesuatu yang lain. Apapun itu, akurasinya begitu tinggi hingga Vermeil mempercayainya.

"Kamu senang tinggal di sini?" tanya Vermeil lagi.

Lena tersenyum dan mengangguk. "Ya. Biarpun saya lebih suka hidup seperti sebelumnya, membuka toko, dan tidak perlu khawatir akan perang, di sinilah saya sekarang. Tidak seperti yang diharapkan, tapi saya tetap bisa mengerjakan hal yang paling saya sukai dan menurut saya itu cukup."

"Hm."

Sorot mata Vermeil tidak kehilangan ketajamannya, tapi untuk sesaat, ia terlihat merenungkan sesuatu sebelum membenamkan diri ke dalam air dan muncul kembali.

"Aku masih harus berendam berapa lama lagi?"


"Mungkin aku tahu kenapa kau tertarik padanya. Selain bahwa ia sama-sama punya penciuman tajam."

Hari ini, seperti biasa, Frostleaf menyendiri di sudut kebun sambil mendengarkan musik. Ia duduk di tempatnya biasa, tidak memulai interaksi apapun dengan Lena sampai sang pembuat parfum memeriksa petak tanaman muda di dekat Frostleaf.

Lena mendongak, menunggu kelanjutan ucapan si mantan tentara bayaran.

"Anak itu 'tersesat' dan kau tanpa sadar mengetahuinya," kata Frostleaf. "Kau peka pada hal-hal seperti itu."

Sejujurnya, Lena sendiri tak menyadari hal tersebut. Mungkin itu kepekaan yang berkembang selama ia mengelola toko?

"Dia sudah menuntaskan apa yang menjadi tujuannya," lanjut Frostleaf, "dan tak tahu apalagi yang harus dilakukan selain tetap mengikuti rutinitas. Dia bertahan hidup, tapi kemudian Oripathy menggerogotinya. Ia tak tahu harus bagaimana. Ketika ia dibawa kemari, kesempatannya untuk bertahan hidup dari Oripathy muncul, tapi hidupnya tak lagi sama. Rutinitasnya tak lagi sama."

Lena mengerjap. "Saya tak mengira akan mendengar itu darimu."

Frostleaf mengangkat bahu. "Bergabung dengan Rhodes Island membuat hidupmu mau tak mau berubah. Aku tahu bagaimana rasanya. Membingungkan."

"Tapi pada akhirnya kita menerima perubahan itu."

"Ya."

Lena menghentikan pekerjaannya sejenak dan berdiri. Ada yang datang dan Lena merasa orang itu mencarinya.

Vermeil menghampiri Lena, mengambil satu tangannya dan meletakkan sesuatu yang dingin di telapak tangannya.

"Aku akan tinggal," kata Vermeil. "Kamu bilang kamu suka tinggal di Rhodes Island. Aku tidak akan membiarkan Rhodes Island hancur seperti tempatku dulu."

Vermeil mengatupkan jemari Lena di sekitar benda di tangannya. "Aku titip ini. Kuambil setelah misi."

Secepat datangnya, Vermeil berlari pergi meninggalkan kebun. Sayup-sayup di kejauhan terdengar pengumuman panggilan untuk para Operator yang akan segera berangkat bertugas.

Lena membuka tangan, melihat apa yang dititipkan Vermeil padanya.

Benda di tangan Lena adalah sebuah batu mengkilat berwarna madu, berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai taring atau cakar hewan buas.

"Ah." Frostleaf mengangkat alis. "Simpan itu baik-baik. Itu jimat pemburu Siracusa. Untuk melindungi pembawanya."

"Bukannya dia lebih membutuhkan ini daripada saya?"

Frostleaf tersenyum samar. "Bawalah. Jaga baik-baik. Dia ingin kau membawanya selama ia pergi."