tomorrow

disclaimer: identity v (c) netease.

warnings: ooc. ada yang mati. au dari essence wildling (god's toy box). age gap. crossdressing. burung hantunya eli jadi burung gagak. soft magic system bc idk,, im bad at writing stuff. open ending, sedikit hopeful.

sinopsis: tiap malam, seseorang dalam istana itu mendongeng. tiap malam, dongengnya tak memiliki akhir.

note: terinspirasi dari 1001 nights/arabian nights/seribu siji malam apalah bleh + coronis dan apollo

note2: hi yea so fair warning i suck at consistent writing (or writing in general tbh)

note3: ini bukan genderbender—crossdressing warning meskipun gw ga begitu detailin pakaian eli

.


.

Tracy Reznik menciptakan miniatur kota Athena kuno di gudangnya.

Ia bilang, rangkaian miniatur patung pahat dengan miniatur bangunan yang ia rangkai dengan bunga rampai di dalam kotak besar itu adalah proyek sampingannya. Lagipula, ia sedang mengerjakan proyek besar—ia tidak boleh membiarkan proyek sampingannya menjadi batu sandungan. Kegagalan bukanlah opsi yang dapat ia ambil kala ia telah menghabiskan semua kartu di tangannya.

Namun kala ia bersitirahat dan duduk di sisi gudang, menghitung butir debu atau menenggelamkan pikirannya dalam teori rumit yang sekiranya dapat mendatangkan kemajuan dalam proyek besarnya, matanya tertuju pada kotak itu. Kotak besar berisi miniatur warga Athena kuno yang telah ia kerjakan sejak ia masih berbahasa ludah hingga ujung hayat ayahnya.

Saat itulah, nostalgia memaksa ruangan menyempit, dan matanya terpaku pada kotak besar itu. Kotak besar yang telah lama berada di dalam gudang rumahnya. Belum sepenuhnya selesai; belum sepenuhnya berdebar dengan detakan hidup seperti yang mendiang ayahnya harapkan. Kota Athena kuno seperti itu, kan?—sempurna, dan hidup.

Ia menghela napas.

Apa yang ia ketahui tentang Athena kuno? Ia menyukai struktur bangunannya. Ia menyukai busana orang-orangnya seperti yang ada di dalam film-film. Ia menyukai intrik para dewa dan rencana mereka terhadap kemanusiaan. Ia menyukai segala hal absurd dan ajaib yang ditawarkan dalam dongeng seribu tahun dari negeri asing nun jauh itu. Segala hal yang ia tidak ketahui, ia cintai seutuh jaman yang jauh berada di luar komprehensi manusia.

Haruskah ia kembali ke dunia kecil itu? Menjadi tuhan atas apa yang telah ia ciptakan, lalu abaikan? Atau haruskah ia menjadi tuhan untuk mengakhiri dunia kecil itu? Mungkin ia bisa menciptakan tuhan-tuhan kecil untuk menjaga manusia di dalam kotak itu, selagi ia sibuk mengerjakan proyeknya. Miniatur dewa—seperti minatur boneka taman. Pakaian yang indah, tempat tinggal yang bergelimang dengan emas.

Apa susahnya memahat boneka kecil, lagipula? Tracy bisa melakukan itu. Satu, untuk hari ini. Mungkin dua, minggu depan. Bila ia punya banyak waktu, ia akan membangun miniatur kota lain—Tesalonika, Lesbos, atau Patras, mungkin—ia kurang memahami geografisnya, tapi itu tidak masalah, ia bisa belajar. Belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup.

Tracy meluruskan kakinya, meregangkan tubuhnya yang telah lelah termangu terlalu lama di pojok gudang. Ia pikir, ia akan mulai dari Zeus—tapi ia tidak tahu apakah dewa akan mengutuknya bila ia berlaku keji seperti itu, seperti apa yang terjadi atas Alcyone dan Ceyx. Menjadikannya boneka kecil untuk Athena kecil. Mungkin Zeus akan membenci dan mengutuknya. Jadi ia pikir, mungkin Apollo. Apollo menyukai gadis, kan? Tentunya ia akan memaafkan Tracy?—

Ah.

Ia harap, besok suasana hatinya mendukung untuk membuat miniatur Apollo yang akan menjaga para manusia di Athena kuno miliknya.

.


.

.

Tiap malam, seseorang dalam istana itu mendongeng.

Bagi manusia memang terdengar seperti dongeng, tapi Joseph tahu ia berdoa. Orang itu berdoa; tiap kata yang keluar dari mulutnya merupakan rangkaian bunga doa di dalam hatinya, ditujukan pada siapapun tuhan yang mendengar untuk melegakan dirinya dari keputusasaan luar biasa yang membebani hatinya. Pendoa itu memiliki suara yang pelan dan lembut, seolah sedang mendongeng pada seorang anak kecil, tidak ingin menyulut emosi labil yang tak perlu di malam yang sunyi.

Doanya lantang, mencapai titik di mana Joseph tak bisa mengabaikannya. Ia tidak peduli pada malam pertama dalam ukuran waktu manusia. Ia tidak peduli pada malam kedua dalam ukuran waktu manusia. Hingga malam ketiga—ketika pendoa, pendongeng, atau siapapun sosok anonim itu, berhenti membuat akhir dalam cerita yang ia ceritakan.

"Bila bintangnya tepat, berjajar selaras di atas langit pada malam esok hari, mungkin pahlawan kita akan memiliki akhir yang terpantas untuk dirinya. Untuk hari ini, biarlah ia beristirahat di bawah bintang yang menyelimutinya untuk berperang melawan dinginnya malam."

Jadi Joseph menunggu.

Esoknya, ia menceritakan tentang kriminal dalam pelarian yang menemukan cintanya di dalam parit.

Ia pun, tidak memiliki akhir pada cerita itu—Joseph dapat mendengar jantung fiksional yang tak menggebu dalam dadanya, menantikan akhir yang tak kunjung dibawakan pada pelatarannya. Ia dapat merasakan kegelisahan pendongeng itu. Doanya semakin keras, namun ia tidak mengetahui untuk apa doa yang ia panjatkan.

Pendongeng itu bilang, "Menurut anda, apakah kriminal tersebut, dengan segala tindak cela yang telah ia perbuat, pantas mendapatkan wanita suci kuil itu, yang mengangkatnya keluar dari parit dan menunjukkannya jalan menuju keselamatan?"

Tidak ada jawaban, namun dongengnya berakhir. Joseph tahu dongeng itu tak akan berlanjut kala pendongeng itu tiba pada kesimpulan yang ia tarik dari angan-angan, "—saya sepenuhnya menyetujui itu. Tapi, apa yang kita inginkan terkadang tidak kita dapatkan—dan ini bukan berarti mereka memiliki akhir yang bahagia bersama dalam pelarian dari misi mereka masing-masing, atau mereka berakhir tragis di tangan penyamun lain. Pada akhirnya, mereka bukanlah apa-apa selain debu bintang yang sayangnya tidak signifikan dalam skema besar alam semesta ini."

Joseph menghela napas fiktifnya. Frustrasi? Jelas.

"Suatu saat nanti, dalam waktu dekat, anda bisa mengetahui apa yang terjadi. Mungkin esok, mungkin lusa." Ia bilang.

Tidak lama setelah itu, pendongeng itu menghela napas, dan memanggil dewa. Joseph tidak membalas.

.


.

Mungkin adalah secercah kemanusiaannya yang membuatnya dengan gegabah pergi meninggalkan kaumnya untuk mencari pendongeng itu. Adalah keingintahuan yang membawakan manusia pertama pada kehancuran. Adalah keingintahuan yang menumpahruahkan segala kemalangan bagi umat manusia keluar dari kendi tersegel milik Pandora. Adalah keingintahuan yang menumpahkan darah anak-anak Kekrops dalam Akropolis Athena [1]. Keingintahuan hanya akan meracuni jiwa dan pikiran; bila keduanya telah terpapar, raga paling perkasa sekalipun tak akan dapat tegak berdiri.

Ketika malam tiba dengan kemampuannya untuk menyelimuti segala tindakan cemar di balik jubah hitam kelamnya yang berkelap-kelip, Joseph menyelinap memasuki pekarangan kastil. Tubuhnya yang kecil mengingat ia mengambil rupa burung gagak menjadikan dirinya lebih mudah untuk menyelinap di dalam jubah itu.

Ada sebuah menara yang berdiri di sisi kastil ini; seorang diri berdiri kokoh meskipun tangan waktu telah mencekiknya hingga tumbuhan liar bertumbuhan bebas di dinding kayunya yang lembap dengan adanya lumut. Ia dapat mendengar pendongeng itu, dan doanya—di puncak menara itu, ia hanya sendirian. Bangunan ini hanya dihuni oleh seorang pendongeng.

Joseph mengistirahatkan sayapnya pada bingkai jendela yang terbuka untuk ruangan di puncak menara, mendengarkan langsung pendongeng itu bercerita pada seseorang lain, pakaian mewah dengan balutan batu-batu berkilat—orang ini adalah raja. Melihat gelagat si pendongeng yang gelisah dan kaku, Joseph tahu tidak ada familiaritas dalam hubungan keduanya; mereka hanya bercakap karena keperluan.

Hari ini pun, dongeng yang disampaikan tak memiliki kesimpulan, hanya dalih dan filosofi omong kosong yang tak bermakna, bahkan ketika sang raja pergi meninggalkan ruangan, wajahnya keras namun debar jantungnya tak luput dari pendengaran—keras dan menggebu, terpacu karena dongeng dari seseorang yang ia kunci di atas menara ini.

Ketika pendongeng itu tidak memperhatikan, ia mengubah dirinya. Berjalan dengan dua kaki, menjadi manusia. Kumpulan organ yang terikat oleh daging—melalui pita suara yang bergetar di lehernya dengan sensasi yang tak akan pernah ia labeli sebagai familiar, ia mengatakan, "Kau tidak pernah menyelesaikan cerita-ceritamu. Mengapa?"

Tentu saja, kehadiran manusia lain di atas menara ini tak pernah ada dalam dugaan si pendongeng, yang terlonjak kaget dengan sentakan, menahan pekik keterkejutannya agar tak menarik perhatian yang tak diinginkan oleh penjaga yang bertugas di sisi lain pintu. Orang itu memandangnya, napasnya yang tersengal membuat wajahnya merona merah. Dengan takjub, ia menghela napas, "Oh."

"Aku bertanya."

"Apa yang kau lakukan di sini, manis?" pendongeng itu bertanya, suaranya meninggi, namun tetap terjaga lembut. Tangannya berada pada dadanya, gestur sia-sia untuk menenangkan jantungnya yang masih gelisah. "Tempat ini seharusnya tidak dimasuki oleh mereka yang tak memiliki kepentingan."

"Aku mendengarmu bercerita." Joseph menyilangkan tangannya, pendongeng itu nampak sedikit lebih tinggi dibanding dirinya—atau mungkin tubuhnya yang terlalu pendek. "Sebagai seorang pendongeng, kau memiliki... katakan saja kebiasaan unik; tidak pernah menyelesaikan apa yang kau biarkan lari dari mulutmu."

Pendongeng itu tak segera menjawab. Ia melangkah mendekat ranjangnya, namun tetap menjaga jarak dari Joseph. Untuk saat ini, Joseph tidak tahu motif dari tiap perilaku yang ditunjukkan oleh pendongeng itu. "A-ah, itu... eh... dongeng yang baik harus mampu membangun rasa keingintahuan orang, benar begitu, kan?" tanpa memberikan ruang untuk respon dari Joseph, ia melanjutkan, "Dari mana kau naik kemari?"

"Jendela." Joseph tahu orang ini berbohong. Ia menyembunyikan sesuatu.

"Jendela, katamu? Kau memanjat naik?" lalu, berbisik, ada perasaan malu pada kalimat, "...adakah yang melihatmu?"

"Aku terbang kemari."

Pendongeng itu tertawa kecil—mungkin pikirnya Joseph sedang melucu. "Aku mendengar dongengmu, dan doamu."

Lawannya hanya tersenyum, binar biru pada sorot matanya seketika memudar, hampa asa barang secercah pun. Ia menghela napas, lalu memaksakan tawa dari mulutnya. "Terima kasih, adik manis, tapi mungkin... kau akan kecewa bila aku meladeni permainan peran ini—aku tidak bisa berperan barang sedikitpun, sekalipun nyawaku dipertaruhkan."

Mendengar tanggapan itu—seolah-olah ia hanyalah komedian di mata jelata ini; tidak ada sedikitpun penghormatan yang seharusnya ditunjukkan di hadapannya—membuat Joseph mengertakkan gigi-giginya, amarahnya meluap seperti gunung Etna [2] yang siap meletus. "Aku serius."

"Aku pun demikian." pendongeng itu menghela napas, tidak menganggap kalau perkataannya mengundang amarah seorang dewa. "Kau bersusah payah meraih tempat ini untuk mendengar dongeng, kan? Aku punya dongeng lain untuk anak seumuranmu."

Sejenak mengempaskan dengkinya menjauh dari rasionalnya, ia mengatur napas.

"Kau tidak akan menyelesaikannya." Joseph menuduh pendongeng itu. Ia tidak ingin dengar. Ia telah mengenal orang ini—walaupun orang ini tidak mengenalnya. Semua orang yang berdoa padanya kadang tidak mengenal tuhan mana yang ditujukan dalam doa-doa mereka. Doa mampu menenangkan jiwa manusia dalam kalibut, lagipula.

"Kau tidak akan tahu sebelum mendengarkan." Balasnya, ia tersenyum, menyembunyikan keresahan yang ada dalam hatinya. "Siapa namamu?"

"Pentingkah namaku?"

"Bila kau berencana untuk datang lagi hari esok, maka ya, penting."

Joseph membalas dengan ketus, "Untuk apa aku kembali ke tempat ini esok hari? Untuk mendengarmu tidak melanjutkan apa yang kau ceritakan malam ini? Aku punya kepentingan lain."

Ia terdiam.

"Namaku Eli."

Joseph tidak membalas.

Kala ia menyadari bahwa pendongeng itu memberikan namanya karena ia berharap Joseph memberitahukan namanya agar impas, ia menyerah, dengan tidak rela. "Joseph."

Eli, pendongeng itu, tersenyum puas.

"Jadi... bersedia mendengarkan ceritaku?"

Ia berjalan mendekati Eli, mendekati kursi sofa agar ia bisa memposisikan dirinya untuk duduk dan mendengarkan. Eli mundur beberapa langkah sedikit menjauhinya, meraih almari yang tak pernah Joseph ketahui ada di sana. "Sebelum itu... kumohon," ia bergumam, wajahnya merona. Joseph mengamati orang itu, pandangannya beralih ke lain hal, tangannya menyodorkan kain demi kain dan aksesoris—pakaian.

Joseph menggumamkan maaf.

.


.

"Apa kau akan kembali besok?"

Ia mengamati Eli yang masih duduk di sisi ranjang, mengamati dengan penuh pengharapan akan hadirnya kawan bicara dalam menara menyedihkan ini. Sebelum ia melompati jendela untuk terbang meraih Mitikas [3], tempatnya seharusnya berada, ia menyampaikan jawabannya dengan mengangguk kecil, disertai helaan napas.

"Sampai jumpa, Joseph."

Joseph menoleh pada Eli, lalu, tanpa menunggu, ia melompati bingkai jendela, tubuhnya siap mengantam bumi dan menghamburkan konten tubuhnya ke atas bumi, bila ia hanyalah manusia. Ia pergi dengan cepat, mengepakkan sayap putih burung gagak, tidak sedikitpun menoleh pada sosok yang ia tinggalkan.

Meskipun demikian, sosok yang ia tinggalkan mengamati tanah di bawah sana—mencari-cari keberadaan seorang anak kecil yang melompat turun dari penjaranya.

Ia tidak melihat apapun.

Tidak lama setelah kepergiannya, Joseph mendengar doa sang pendongeng dari menara itu, pada kesehatan dan keselamatan seorang Fiona—mendoakan apapun itu yang ia lakukan, semoga mendatangkan kebahagiaan yang pantas untuk dimilikinya—dan Joseph. Eli mendoakan Joseph, teman baru dalam kesendirian ini—dimanapun dan kapanpun. Ia harap Joseph dijauhi dari petaka dan marabahaya.

...

Joseph hanya menertawakan apa yang dilakukan orang itu—hingga ada permintaan kecil dari Eli, permintaan kecil dengan harapan tuhan yang mendengar mengabulkannya: Joseph kembali ke menara ini pada hari esok, menemaninya dalam sekadar perbincangan kecil untuk membuang waktu dan meremukkan kesepiannya.

Untuk kali ini, usai mendengar doa manusia, Joseph terdorong untuk mengabulkannya. Satu permintaan itu.

.


.

"Esoknya, Burung Pipit yang keji digantung di atas tiang gantung layaknya pencuri."

Joseph mendengarkan hingga Eli selesai bercerita dengan mata yang ia pejamkan. Terdiam agak lama, ia lantas bertanya, "Adilkah ganjaran atas apa yang telah diperbuat Burung Pipit itu?"

Raja telah lama meninggalkan ruangan—malam ini pun, pada sang raja, Eli tidak memberitahu akhir macam apa yang menunggu sang protagonis. Ia pun tidak memberitahu Joseph. Orang itu duduk di atas ranjang, sementara Joseph, masih mengenakan pakaian yang tadi malam diberikan Eli padanya, duduk pada bingkai jendela, memandang rembulan, mendengarkan Eli menceritakan fabel yang ia dengar dari seorang bernama Aesop [4].

Ia tidak mendengar jawaban dari Eli. Penasaran, dirinya menoleh untuk mengamati pendongeng itu, dengan jari-jari yang gelisah bermain di atas kain yang dijadikan selimut. "Menurutmu, apakah apa yang menimpa Actaeon merupakan hukuman yang pantas atas apa yang telah ia perbuat; sebuah keadilan?"

Joseph tidak serta-merta membalas dengan kata-kata yang menggagas. Ia menertawakan Eli atas pertanyaan konyol seperti itu. "Ia melecehkan Artemis."

Saudaraku, Joseph ingin bilang.

"Ya, tapi—apakah ia pantas mendapatkan apa yang terjadi padanya? Kutukannya menjanjikan bahwa ia akan menjadi rusa bila mulutnya mengatakan sesuatu, apapun itu, hanya karena ia menjadi saksi atas suatu hal yang seharusnya tidak ia saksikan. Anjing-anjingnya, kawan perburuannya, mencabiknya hingga ia mati. Dewa tak mendengar permohonan ampunnya. Tidak ada yang tahu kalau ia mati, karena ia tidak meninggalkan apapun selain bangkai rusa di tengah hutan."

Ada implikasi bahwa Eli menyalahi Artemis dalam takdir yang menimpa pemburu itu—dan bila Artemis mendengarnya, Eli pun mungkin akan menjadi korban atas murkanya. Tapi Artemis tidak berada di ruangan ini. Ia telah lama tidak berada di manapun. Joseph mendengus. "Kesalahannya adalah ia memandang Artemis terlalu lekat. Mesum. Pemburu itu. Ia pantas mendapatkan kematian dan mati seperti anjing, semua karena ia tidak mampu menjaga matanya."

"Kau tidak masalah pada pemberian hukuman yang tidak sepadan dengan tindakan yang telah diperbuat?"

Karena seharusnya, hukum di dunia manusia ini hanyalah itu, kan? Mata-dengan-mata, gigi-dengan-gigi [5].

Joseph bilang padanya, "Menurutku Burung Pipit seharusnya berjalan bebas karena ia tidak melakukan kesalahan apapun. Ia hanya melakukan apa yang pantas ia lakukan usai dihina dan dilecehkan oleh Burung Merpati di muka umum seperti itu. Sama seperti Artemis pada Actaeon."

"Kau menanyakan apakah adil, hukuman mati bagi Burung Pipit yang telah membunuh Burung Merpati. Keadilan tidak selalu mengandung kebenaran dalam tindakan yang kita lakukan. Keadilan merupakan kesetaraan; hendaklah keadilan ditegakkan sekalipun dunia harus binasa [6]—seperti itu, kan?"

"Jadi menurutmu apa yang diterima Burung Pipit adalah ganjaran yang pantas atas perbuatannya?"

"Bicara tentang keadilan, maka tentu. Tapi benarkah apa yang telah ia perbuat? Tidak. Aku tidak percaya menghilangkan nyawa seseorang merupakan perbuatan yang benar secara moril." Eli memalingkan kepalanya menuju Joseph, dan Joseph merenung, bertanya-tanya apa yang ada di kepala manusia ini. "Aku percaya semua orang berhak mendapatkan pengampunan."

"Sekalipun mereka tidak pantas mendapatkannya?"

"Bila aku memaafkan mereka, dan mereka tetap berlaku salah padaku, maka itu adalah tanggungan mereka."

Joseph ingin membalas—percakapan ini tidak menuju kesimpulan manapun. Orang ini hanya mengajaknya berbicara, tanpa mengenal pemberhentian yang ingin mereka tuju. Ia ingin membalas, namun lidahnya yang bergerak tidak nyaman dalam rongga hangat mulutnya terhenti kala melihat Eli, tatapannya memandang jauh seolah merenungi suatu hal.

Ia membuka mulutnya lagi, kulitnya terasa hangat, namun bukan karena pakaian kebesaran yang ia paksa muat membalut tubuh ringkihnya. Ia meraih-raih topiknya perlahan, berusaha mencari kata yang sekiranya tidak menyinggung. "Apakah sang raja melakukan sesuatu padamu?"

Eli mengangkat tangannya dengan cepat. "Aku hanya mengatakan apa yang merefleksikan pikiranku, tidak ada hubungannya dengan apa yang telah menimpaku secara pribadi—sang raja tidak melakukan apapun padaku."

"Lantas mengapa kau dikurung di tempat ini? Kau melakukan sesuatu terhadap raja itu?"

Ada senyuman tipis yang terkembang dari bibir orang itu. "Karena..."

Joseph menantikan penjelasannya.

Namun Eli tidak kunjung memberikannya—hingga ia, sekali lagi, mengandung hati dan meluapkannya, jantungnya berdebar lebih kuat seolah menggedor rusuknya ingin merasakan kebebasan dari penjaranya. Dalam menjelaskan dirinya sendiri pun, ia tidak dapat menyelesaikannya—apa yang Joseph harapkan?

"Menurutmu lucukah kau, menggantungkan semua orang yang mendengar kata-katamu dengan rasa penasaran yang akan menggerogoti tiap malam dalam sadar dan tidur mereka?"

Ia kembali melompat melalui jendela, mengepakkan sayap putihnya untuk terbang mendekati rembulan layaknya Ikaros pada matahari—mendengar Eli dengan lirih berbisik, "Sampai jumpa, Joseph."

Salamnya terdengar seperti permohonan dalam doa.

.


.

Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di tengah dunia manusia, mengamati perkembangan yang selalu luput karena ia tidak pernah peduli. Mengamati manusia perempuan dan laki-laki, orang bebas dengan budak, dan para orang kuil yang tanpa kenal lelah berusaha menyenangkan para dewa dengan persembahan-persembahan. Ia duduk di anak tangga menuju kuil Apollo, di sebelahnya seorang dengan rambut pirang dengan bola mata merah delima mengabsen barang-barang di dalam keranjang anyamnya.

Ketika melihat kulit buah apel yang mengkilap di dalam serangkaian barang dalam keranjang itu, ia merasakan rasa tidak nyaman dalam rongga perut dan tenggorokannya. Perutnya seolah Ia mendekati orang itu, dan berkata, "Aku boleh minta apelnya?"

Orang itu menoleh, masih dengan senyuman yang menunjukkan deret gigi yang sedikit-tidak-sempurna, namun Joseph tak berkomentar, orang itu bilang padanya, binar matanya murung dengan ekspresi sedikit tidak rela, "Maaf, ini untuk saudara la—kakakku. Kakakku. Hari ini sang raja memperbolehkanku mengunjunginya setelah sekian lama."

Mendengar ucapan orang itu, meskipun halus, tetaplah penolakan. Ia menahan amarahnya. Penolakan atas permintaan dari dirinya yang seharusnya diouja di kuil ini adalah suatu penghinaan yang tak dapat dimaafkan—"Tidakkah kau ingin menyenangkan para dewa dengan buah-buah kebajikan?"

Usai kata-katanya keluar, tubuh orang itu nampak menegang, namun ketegangannya kempis kala ia menghela napas panjang. "Maaf, aku—aku tidak... bisa. Ini... untuk kakakku. Ia—aku tidak tahu apakah ia diberi makan di kastil, dan aku tidak punya uang lagi untuk membeli—"

Matanya melirik malu-malu ke arah Joseph. "A-ah, tapi—mungkin... mungkin bila untukmu... mungkin ia tidak keberatan kalau aku memberikannya... padamu..." jemarinya yang lentik menggali keranjang itu, Joseph mengamati orang itu dengan seksama, mengamatinya mengambil buah yang paling besar dari dalam keranjang itu.

Usai apel itu berada pada tangannya, Joseph tidak malu-malu untuk melahapnya hingga tak bersisa. Manusia di sebelahnya memandang dengan bola mata delima yang melebar, terkesiap menyaksikan seberapa lapar anak di sebelahnya. Seperti Tantalos [7] yang akhirnya mampu meraih buah dari ranting itu setelah sepanjang takdir dihukum akibat perbuatan kejinya terhadap Olimpus.

"Lapar sekali?" orang itu bertanya, penasaran, dan kasihan. Joseph mengangguk. Ini pertama kalinya ia merasa lapar seperti Erisichthon [8] yang ingin melahap segala hal yang dapat ia makan untuk memadamkan tungku api di dalam perutnya. Anggukan darinya disambut lagi dengan senyum lebar, orang itu menyerahkan satu lagi buah. "Maaf. Aku tidak punya apapun selain ini."

Joseph mengambilnya, dan segera menggigit kulitnya. Ketika habis, orang itu bilang, "Itu makan siangku."

Mendengar itu membuatnya merasa sedikit sedih dan bersalah—

apa yang kau lakukan?

"Maaf." bisiknya pada orang itu.

Ia dengan cepat mendapat sanggahan—justifikasi agar ia tak menumbuhkan perasaan bersalah pada orang asing yang ia temui di pelataran kuil. "Ah, tidak apa-apa! Anak-anak sepertimu butuh makan untuk bertumbuh, lagipula! Jangan khawatir..."

Joseph mendengar orang itu terisak, dan ia mengamatinya mendekap dirinya sendiri sambil meringis. "Aku yakin ia akan senang kalau aku berbagi pada kau yang lebih membutuhkan."

"..."

Dari khalayak pasar yang berkumpul, terdengar riuh-pikuk orang yang berteriak minta beri jalan. Orang yang duduk di sebelahnya, yang memberinya makan, mendadak berdiri. Kerudungnya ia kenakan agar bayangan mampu menyamarkan wajah feminimnya. Ia berlari menuju sisi kuil dengan tergesa-gesa, tak sedikitpun melihat Joseph, namun mulutnya berkata, "Maaf aku harus pergi."

Ia mengamati orang itu berlalu, namun tak mengekor. Matanya kembali pada kondisi pasar yang mulai tenang, melihat prajurit mengamankan jalan untuk datangnya figur penting pada kuil Apollo. Ia mengamati raja itu, enggan beranjak dari anak tangga tempatnya duduk karena ia tahu, ini adalah rumahnya. Tidak ada yang berhak memerintahnya untuk berpindah; ia bisa duduk di mana saja karena ia adalah—

Dari belakangnya, ia mendengar orang yang tadi memanggil-manggilnya untuk menyingkir, namun ia tak mengindahkan permintaan orang itu.

Ketika para prajurit datang untuk menjaga jalan yang akan dilalui sang raja, Joseph tetap enggan berpindah. Ia duduk, memangkukan tangannya dengan mata yang mengawasi gerak-gerik sang raja yang melangkah semakin dekat padanya. Ketika sang raja telah berdiri di hadapannya, memandang rendah Joseph yang tidak menanggapinya, orang dengan perak yang memahkotai kepalanya menghardik, "Apa kau tidak akan memberi jalan?"

Ia mendengar pekik-berbisik dari orang yang memberinya makanan untuk melegakan laparnya, mendengar lirih doa dari orang itu, jauhkanlah anak itu dari amarah sang raja, ya Apollo, jangan biarkan darahnya menodai kesucian kuil-Mu—mendengar rasa takutnya pada konsekuensi masa depan yang tidak dapat ia ketahui. Tapi Joseph tidak mengindahkan sang raja, tidak peduli bahwa ia menyakiti harga diri orang tua itu.

"Apa kau orang yang bertanggung jawab atas berdirinya kuil ini?" ia bertanya pada sang raja dengan tenang dan dingin. Sang raja mengepalkan tangannya yang lemas di samping tubuhnya; Joseph tahu ia mulai menyulut emosi sang raja di hadapannya.

"Tidak, tapi tahukah kamu kalau akulah yang memiliki tanah tempat kuil ini dibangun?"

Joseph memandangnya, tatapannya hampa seolah tak menanggapi eksistensi manusia di hadapannya. "Manusia tak berhak mengklaim sepetak pun bagian bumi sebagai miliknya seorang."

"Menurutmu, siapa kamu?"

"Aku—"

"Ma... maaf—saya minta maaf sekali!" orang yang tadi berlari mendekat, Joseph menoleh ke arahnya, melihat manusia itu melepaskan penyamarannya. "Ia... ia saudara jauh—bukan... bukan orang sini. Ia tidak tahu apa-apa, jadi saya minta maaf—!"

Joseph mendecih, ia kembali mengalihkan perhatiannya pada sang raja. "Dengar, kau—"

Tetapi perkataannya dipotong oleh orang itu, yang dengan sedikit paksaan mendorong kepalanya untuk menunduk di hadapan orang tua ini. "Apapun itu hal menyinggung yang ia katakan pada anda—saya harap anda memiliki hati yang ringan untuk memaafkannya."

Orang-orang yang bergerombol mengitari riuh mereka mendadak ramai, namun semuanya jatuh pada dekapan sunyi kala sang raja membuka mulutnya, tak sedikitpun menggoreskan senyum atau sedikitpun petunjuk ekspresi dalam wajahnya yang menua. "Kamu... Fiona, kan?"

Fiona mengangkat kepalanya, dan Joseph menghentikan omelan dan geraman egonya. Orang itu menimbang pilihannya, Joseph pikir. Ia mendengar suaranya, lirih, dan ditimpa dengan jawaban dengan volume yang jauh lebih kecil dibanding doanya, "Y-ya..."

Fiona...

Eli menyebut seorang Fiona, beberapa kali dalam doanya.

"Apa kau jadi mengunjungi kakakmu malam ini?"

"Um. Y-ya? Bi-bila anda berkenan, tentu saja."

Sang raja tersenyum, tipis. "Gerbang akan ditutup untukmu jika matahari telah terbenam."

Orang itu melepaskan Joseph, wajahnya bersemu. Joseph mengamati matanya yang berbinar, helaan napasnya terdengar jelas dan keras. "Terima kasih..."

Joseph tak merasakan sentimen yang sama terhadap sang raja—ia tak mengatakan apapun.

.


.

Mereka meninggalkan kerusuhan yang tadi, Joseph mengikuti Fiona yang memintanya untuk ikut serta bersamanya ke rumah manusia itu. Ia tahu bahwa mungkin langkah terbaik baginya saat ini adalah menjauhi kehidupan simplistik milik manusia yang mempekerjakan tanah ini, karena bila ia terlalu peduli... ia akan ikut campur dalam takdir manusia, dan hal seperti itu—

"Kau masih lapar?" Fiona bertanya, suaranya lembut, seperti berbisik supaya tak ada orang lain diluar mereka berdua yang dapat mendengar. "Mungkin aku punya roti..."

Namun Joseph tak kemari untuk memuaskan raga fananya; ia kemari untuk mendapatkan jawaban. "Apa urusan kakakmu dengan sang raja?" ia bertanya, gamblang.

—hal seperti ini—mencampuri perkara-perkara manusia—hanya akan menjadikan masa depan semakin rumit. Bagi para Takdir, dan bagi dirinya.

Tapi Joseph ingin tahu—

Fiona membuka pintu rumahnya pelan-pelan. Orang itu memaksa Joseph untuk masuk melalui celah kecil pintu yang telah dibuka, dan kemudian ia ikut masuk, seolah kegentingan yang ia ciptakan dalam pikiran paranoidnya menjadikan urusan masuk rumahnya sendiri sebagai suatu isu yang mendesak. Namun ketika Joseph melihat dari jendela batu, tak jauh dari sana—ia melihat dua prajurit, memantau dari jauh.

Ada berbagai macam karung di bawah lantai, di bawah meja—bila Joseph menebak, orang ini telah mengosongkan rumah dan hartanya, siap untuk lari ke negeri lain karena suatu tekanan.

"Kau akan pergi?" ia bertanya, acuh tak acuh, namun pertanyaan simpelnya membuat orang itu terkesiap. Ia meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, gestur pembungkaman yang tak biasa ia lihat dari seorang manusia yang ditujukan untuk dirinya.

Joseph terus menekan. "Apa raja itu memaksamu untuk pergi?"

Fiona mengintip dari jendela, mengintai pengintai yang mengawasi rumahnya. Ketika ia merasa aman, ia bertelut, kedua tangannya meraih lengan Joseph. "Aku tidak punya pilihan."

"Apa maksudmu?"

"Eli—"

Ia menelan salivanya. Joseph tahu manusia ini menyembunyikan sesuatu daripadanya, matanya berkilat perih kala ia membuka mulutnya. "Aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan kakakku—ia memintaku untuk pergi, jadi aku harus—"

"Mengapa kau lari?"

"Aku tidak lari." Balasnya, sedikit defensif.

"Kau berlari." Ia mendorong orang itu. "Kau meninggalkan kakakmu. Kau melindungi dirimu sendiri dan membiarkan kakakmu menanggung semua salah yang kau lakukan terhadap raja—apapun itu, untungnya aku tidak peduli. Mengapa kau lari?"

"Aku tidak punya pilihan!" Fiona bilang, bisikannya menjadi jeritan kala ia memandang Joseph dengan air mata yang mulai bergulir jatuh ke pipinya yang pucat. "Aku tidak punya pilihan... ia—Eli... ia tidak seharusnya di sana,"

Orang itu menyentuh pipinya, tangannya berusaha untuk menampung segala duka dalam hatinya yang kini meluap ke permukaan, namun sia-sia usahanya karena sakit yang ia pendam telah lama menggunung, siap untuk memuntahkan isi perut bumi. "Aku sudah... bilang padanya—aku akan baik-baik saja... aku tidak keberatan saat sang raja mengambil kami semua, perempuan, satu per satu untuk—tapi... tapi ia bilang padaku..."

Joseph melangkah mundur, mengamati perempuan itu menangis di lantai rumahnya. Lemah, jelek—namun Joseph memakluminya atas segala kemanusiaan yang perempuan itu perlihatkan padanya saat ini. "Apa yang raja itu inginkan dari semua manusia perempuan yang ia ambil?"

Bukankah satu lebih dari cukup?

Bukankah manusia memang selalu, dan akan selamanya, menjadi makhluk serakah?

Perempuan itu menyeka air matanya yang mulai mereda, hidung dan pipinya memerah. Suaranya tercekik pada lehernya, namun ia terus memaksa untuk bersuara. "Kau tidak mau tahu, sayang..."

"Katakan."

"Joseph..."

"Tidak—ia sudah menolak untuk memberitahuku. Katakan padaku!"

Suaranya yang meninggi membuat Fiona menunduk, mulutnya terkatup rapat, kunci yang membuka kotak berisi kebenarannya telah lama ia buang ke laut lepas. Perempuan itu tak akan bicara, Joseph tahu itu. Untuk sepersekian saat ia mengamati Fiona yang mencuri pandang pada dirinya, ia merasa konyol telah mengambil rupa manusia yang bercacat. Mengambil rupa seorang anak-anak agar ia dapat dengan mudah memfamiliarkan dirinya dengan pendongeng itu, dan manusia lainnya.

Pendongeng suka anak-anak, kan?—mereka suka mendongeng. Anak-anak menyukai mereka, mereka tentunya menyukai anak-anak pula. Ia tidak berpikir jauh ke depan, bahwa manusia, terutama yang telah mengecap getir dan masamnya takdir, tak akan mengekspos ketidaknyamanan hidup ini pada seorang anak kecil yang tak mengetahui apa yang tabir takdir tutupi bagi masa depannya.

Ia mendecih, lalu pergi meninggalkan manusia itu, seorang diri di bawah lantai rumahnya, menangis dan merintih.

.


.

Ia pikir, ia mendapatkan kesempatan yang bagus kala melihat jendela menara itu terbuka, dan mengingat perempuan itu—Fiona—yang seharusnya mengunjungi Eli malam ini. Ia pikir, ia akhirnya akan mendengar bukti yang dapat menceritakan kembali garis takdir yang telah dan akan mereka lalui. Joseph bertengger pada jendela yang terbuka, matanya melirik Eli yang memandang cemas ke arah pintu di sisi lain ruangan. Ia tak datang padanya sore ini.

Matahari telah jauh merendah kala pintu terbuka, dan perempuan yang semula ia temui di kota—Fiona—datang dengan keranjang anyamnya. Wajah pendongeng itu kini dihiasi dengan senyum lebar, bola matanya berbinar seolah dibawa oleh nostalgia ke masa kanak-kanaknya. Fiona meletakkan keranjang tersebut di atas meja, lantas mengurung Eli dalam dekapan erat.

Ia mendengarkan mereka layaknya Feme [9] yang haus akan skandal terbaru yang dapat ia siarkan.

Percakapan kasual, sepasang saudara yang menjadi korban atas keadaan—ia melihat mereka, tertawa dan tersenyum dengan sedikit kepedihan yang mereka campakkan jauh-jauh dari percakapan yang mereka rakit bersama. Percakapannya berlayar mulus, hingga telah tiba waktunya perempuan itu untuk beranjak.

"Fiona?"

Joseph menoleh, matanya tajam memperhatikan pergerakan Eli dan Fiona—wanita itu telah berdiri dari tempatnya duduk. Akan angkat kaki sebentar lagi.

"...y-ya?"

"Dengar... bila waktunya telah tiba... lupakan segala hal tentang aku."

Perempuan itu memandangnya dengan konyol, wajah dan kode dalam matanya tak sinkron dengan apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. "Eli—"

"Lekas pergi, jangan pernah kembali." pendongeng itu melipat tangannya, kepalanya menoleh ke arah jendela, memandang rembulan yang telah lama meninggi. Ia pun, pasti tahu, sang raja akan tiba sebentar lagi, karena Joseph dapat mendengar hatinya merapalkan doa yang sama, dengan intonasi lain, kegundahan yang enggan melemaskan cekikannya. "Kumohon." Ia bilang, dengan sedikit asa yang tergantung pada ujung jaring laba-laba.

Fiona memandang pintu, matanya mengerling, menginspeksi situasi mereka kini.

"Eli, aku... aku tidak akan bisa meninggalkan—tanpamu, aku..."

"Burung-burung dalam sarang pun suatu hari akan membubung tinggi dengan bebas menuju langit yang baru. Bila sekarang kau meninggalkanku, ketahuilah bahwa aku telah mengajarimu untuk terbang."

Eli menarik napas dalam-dalam, ada senyuman pada bibirnya—senyum tipis yang membuat Joseph memandang sedikit agak lama; binar mata biru gerau seolah bergurau pada seorang perawan kala ia bilang, "Berbahagialah, Fiona, ke manapun angin membawamu, karena aku akan selalu bersamamu."

Fiona dengan cepat berbalik untuk meraih Eli, tangannya gemetar, air matanya mulai turun ke pipinya. Ia bertekuk lutut di hadapan Eli—ini tidak akan terjadi, hati kecilnya berbisik. "Aku tidak akan bahagia tanpamu, Eli... kumohon... ikut aku."

"Fiona..."

Perempuan itu mengamati jendela yang terbuka, demikian pula Eli, keduanya memiliki pikiran yang sama, namun Eli enggan mengikuti. "Maaf, Fiona... bila kau ingin aku lompat dan pergi dari sini... ia akan memperketat pengamanan pelabuhan esok, dan tidak ada akhir yang ideal untuk kita berdua. Maka kau harus pergi. Aku akan baik-baik saja, kau tahu itu."

Tidak ada akhir untuk mereka bersama.

Joseph ingin melompat pergi. Ia pikir, ia telah cukup mengetahui segala hal yang perlu ia ketahui.

"Eli—"

"Fiona... Fiona-ku yang manis,"

Joseph mengepakkan sayapnya, ia terbang tinggi meninggalkan menara itu, melambung, Bersatu dengan malam secantik Andromeda, dengan konstelasi bintang menunjukkan jalan pulangnya.

"Suatu saat... kelak, seseorang akan mengingat kita di masa depan." [10]

...

Esoknya, ia mengantar Fiona dari bayangan, mengamati paras mungil perempuan itu menaiki kapal yang berlayar pertama hari itu menuju negeri lain—negeri yang baru.

.


.

Ia datang malam itu. Usai sang raja telah meninggalkan ruangan dan mendapati Eli melamun, sepenuhnya tak mengamati jendelanya yang terbuka lebar. Joseph kembali kala kesempatan terbuka untuknya menyelinap masuk, mengambil rupa yang sama; seorang anak kecil, penuh cacat, tak dicurigai. Membuat dirinya merasa familiar dengan sensasi aneh di bawah kulitnya, seperti binatang yang telah dijinakkan, dikerangkeng yang merupakan kulitnya sendiri.

Ketika pendongeng itu mengangkat kepalanya, ia kembali melebarkan senyumnya. "Oh, selamat malam Joseph." jeda, agak lama. Mungkin menunggu respon. Tensi yang sedikit tak nyaman merebak di antara mereka berdua "Ingin mendengar cerita?"

Joseph tidak kemari untuk itu. "Menurutmu berapa umurku?"

Pendongeng itu terkekeh, tubuhnya tak bergerak sedikitpun dari atas ranjang tempatnya duduk. Ia pun tak menggulirkan matanya pada Joseph. "sembilan, sepuluh—katakan aku orang dermawan dengan menyebutmu 11 tahun."

Ia meringis.

Joseph menyadari itu, namun tak berkomentar apapun. "Aku Apollo."

Ia tak segera membalas, namun balasannya disertai implikasi humor. "Dan aku Branchus [11]."

Joseph menghela napas, perilaku Eli semakin membuatnya geram, namun hatinya tak sampai untuk meluap seperti kemarin. "Kau ingin keluar dari tempat ini, kan?"

Eli terdiam. Diam yang bertumbuh di antara mereka menjadi bayangan yang mencekam, Joseph ingin memecahkannya. "Tentu aku ingin keluar, Joseph. Aku tidak ingin berada di tempat ini, menunggu akhirku. Tidak hari ini, tidak esok." Pendongeng itu tersenyum tulus, matanya sayu dengan belas kasih, "Tapi bila aku melarikan diri, aku sama saja telah menjadi keji; melemparkan nasib ini, yang seharusnya adalah milikku, kepada perempuan lain yang tak pantas mendapatkannya. Aku tidak sampai hati mewariskan ini pada siapapun hingga waktuku habis seperti kehendak takdir."

Joseph tertawa, hambar. "Kau lucu." Lalu, "Apakah nasibmu ini dapat berakhir bila aku pergi dan membunuh raja itu?" ia melangkah mendekati ranjang tempat Eli duduk, pendongeng itu menggeser tubuhnya sedikit, mungkin untuk memberi tempat agar Joseph dapat duduk. Namun yang Joseph tangkap dari perilaku demikian adalah rasa sakit Eli yang ia tahan dan sembunyikan.

"Joseph... jangan membunuh. Seberapa lalim orang yang menindasmu, kekerasan bukanlah jawabannya. Apalagi membunuh." Eli meraih lengan Joseph, menariknya untuk duduk di sisi ranjangnya, malam itu. "Ah, aku memiliki cerita lagi, untukmu. Tertarik mendengarkannya?"

"Aku tidak kemari untuk ini."

"Kau yakin?"

Joseph mengamati pendongeng itu—ia melihat ada lebam pada kulitnya, di bawah lengan panjangnya, melingkari pergelangan tangannya seperti ular berbisa. Ada perasaan aneh yang meluap dari dirinya kala matanya mendarat pada berkas kekasarannya, namun ia tak mengatakan apapun—ia tidak tahu apa reaksi yang akan ia tunjukkan pada Eli. Ia menundukkan kepalanya. "Kau tidak akan mengatakan apapun, ya?"

"Hm?"

"Apa yang membuatmu didekam di sini?"

Jeda. Eli menghela napas, kepalanya tertunduk untuk menyembunyikan apapun itu emosi yang beraduk, hingga ia mengangkat kepalanya ke arah Joseph dengan senyuman. Tapi bukan itu jawaban yang Joseph inginkan. "Bila aku bukan anak-anak, apa kau akan memberitahuku?"

"Bila aku memberitahumu, apa kau akan kembali padaku?"

Ia tak menjawab. Menurutnya, pertanyaan itu tak pantas untuk diladeni dengan jawaban. Ia diam.

"Mengapa kau tak pernah menyelesaikan dongeng-dongengmu untuk raja?"

Ia harus pergi.

"Oh... katakan saja... aku sedang mengulur waktu..."

...

"Untuk seseorang yang sangat kusayang. Untuk seseorang yang terpenting dalam hidupku yang ini. Mungkin aku akan menyelesaikan semuanya, esok. Atau lusa. Dan bila itu terjadi... aku harap ia telah menemukan orang lain yang dapat membuatnya melupakanku. Seseorang yang dapat membahagiakannya.

"Aku hanya menginginkan kebahagiaannya, Joseph... sulitkah itu untuk terwujud?"

Eli tertawa kosong; tidak memiliki harapan yang berarti untuk keinginannya—mungkin harapannya pergi dibawa lari oleh Fiona yang telah menapaki kakinya pada dunia baru di balik horizon ini, sedangkan Joseph hanya mendengar pedih di tiap suara yang ia hasilkan—membuat binatang di bawah kulitnya meraung simpatik, menyedihkan, seperti manusia.

Saat itulah Joseph tahu, apapun yang keingintahuannya sajikan pada dirinya tak mungkin memiliki akhir yang baik. Takdir pun akan menaruh dengki padanya, bila binatang yang adalah egonya mulai mengambil tindakan drastis untuk menginterupsi kisah yang telah mereka gariskan.

Ia menelan salivanya—ia dapat merasakan pergerakan organ daging di bawah kulitnya. Merasakan seberapa tidak nyaman tubuh tempatnya bersemayam. Ia merasa saliva melewati tenggorokannya, namun kekeringan tetap tak terpadamkan. Jari-jarinya membeku, tak dapat bekerja seperti pikirannya yang berupaya bersimpati dengan Eli, namun nihil.

"...bila..." ia mulai, meskipun ia tidak tahu apa yang harus ia katakan—ia bukan manusia, ia tidak memahami apapun itu yang ada dalam beban pikiran pendongeng ini. "Bila... para dewa mengizinkan... tentunya ia pasti akan bahagia... kan?"

Bila ia manusia, tentunya bersimpati akan lebih mudah, kan?

Ia meringis di dalam sana; tahu bahwa ia kemungkinan akan melakukan apa yang ia sesali, membawakan dirinya sendiri pada kehancuran.

Tidak lagi, ia bilang.

"Kuharap begitu." Ia tersenyum, kembali pada posturnya yang normal, kembali memandang Joseph dengan penuh harap. "Kau kemari untuk mendengar dongeng, kan? Tertarik mendengar cerita tentang seekor angsa yang gemar sekali mengusik seorang pendusta?"

Jadi Joseph mendengarkan.

.


.

Ia pergi ke kota, esok pagi.

Mengistirahatkan tubuhnya yang telah mencapai batas pada anak tangga kuil Apollo, ia mulai memainkan tanah liat di tangannya. Tak jauh darinya, ada seseorang lain, tubuhnya tegap, rambut panjang terikat rapih (Apollo di dalam dirinya meludah merasakan pahit menyaksikan itu), dan bola mata kelabu yang kosong, menatap entah apa, lemas. Mereka duduk agak jauh, manusia lainnya mengurusi urusannya, dan Joseph mengurusi urusannya.

Beberapa perempuan muda lari pada pria itu, mengerumuninya seperti semut pada madu. Bahunya menegang, namun manusia itu menghela napas untuk menenangkan dirinya, dan mulai bicara, suaraya lembut, mencicit seperti tikus. Ketika ia tidak memperhatikan, seseorang segera mengambil posisi duduk di sebelahnya, tidak memberikan spasi bagi tubuh mereka.

Ia menoleh, tersenyum gerah pada pendatang yang mengganggunya. "Murro."

"Joseph." balas pria tua yang ia kenali itu, matanya berbinar dengan kebijaksanaan yang datang bersama umur. Ia menyerahkan pada Joseph sebuah apel, lalu memberikan satu lagi pada binatang kesayangannya yang duduk di sebelah tubuhnya. "Aku tidak pernah melihatmu sejak kemarin. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Memanjakan Narkissos dalam diriku." Ia bilang, acuh-tak-acuh. "Lihat kuil di belakang kita?"

"Ya."

"Manusia membangun itu untuk Apollo."

Sedikit membanggakan dirinya. Murro tertawa.

"Dan tanganmu?"

Joseph membuka tangannya, tanah liat di tangannya nyaris membentuk seekor burung—belum hidup. Ia masih mencoba untuk membuatnya berbeda dari burung gagak lain.

"Oh? Kau menjadi Epimetheus [12] sekarang?"

Joseph menghentikan kegiatannya.

Apa yang ia lakukan?—ia tidak tahu. Ia masih memandang gumpalan tanah liat di tangannya. Mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan? Joseph meremas tanah liat di tangannya. "Aku tidak menyuruhmu untuk berhenti. Lanjutkan apapun itu yang kau lakukan. Pertanyaanku, mengapa?"

"Banyak tanya. Urus urusanmu sendiri."

"Oke."

Keduanya diam.

Joseph kembali mencoba untuk membentuk burung gagak dari tanah liat itu, sedangkan Murro memperhatikan tubuh kawannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Apa-apaan perawakanmu?"

Helaan napas. Ia kembali meremas tanah liat di tangannya "Apa?"

"Kau—anak-anak? Sungguh Joseph?"

"...semua manusia menyukai anak kecil, apa salahnya?"

"Oh—oh. Kukira kau ingin mencari manusia lain untuk kau... pacari."

...

"Murro."

"Ya?"

"Tutup mulutmu."

Jadi kawannya menutup mulutnya.

Tapi atas proposal yang telah Murro ucapkan, Joseph tak bisa menghentikan pikirannya untuk berpikir, mengapa ia melakukan ini semua—sejauh ini, demi manusia yang tak ia ketahui sama sekali. Seharusnya. Seharusnya ini hanya ia lakukan untuk menghentikan keingintahuan menggerogoti rasionalnya. Jadi mengapa ia bersikukuh tetap di sini, meskipun ia tidak tahu kapan masa depan di mana keingintahuannya terpuaskan?

Semakin lama ia di sini, semakin banyak pertanyaan yang tak terjawab.

Ketika ia mengingat pendongeng di atas menara itu—dan segala aura hangat yang ia pancarkan, atas hatinya yang meradiasikan tabiat baik yang mulia sesuai dengan gambar-gambar kesempurnaan, ia tak dapat menghentikan dirinya untuk berpikir; tentunya takdir adalah monster durja yang seharusnya ia bunuh sejak sekian lamanya, menjebloskan manusia seperti Eli pada nasib seperti itu.

Ia tahu manusia, luar-dalam.

"Murro. Ingin tahu untuk apa ini?"

Ia bertanya. Murro dan rekan setianya menoleh pada Joseph. Di tangannya, tanah liat yang membentuk burung gagak tergeletak tanpa nyawa.

"Ini adalah penyesalanku."

.


.

Ia menegadah, mendengarkan Eli bercerita—ia merasa mengetahui ceritanya. Ia merasa tahu apa yang menginspirasi kisah ini, namun ia tidak tahu persis darimana. Mungkin kisah para dewa, atau tragedi dari masa lampau.

Apapun itu, ia menyukainya.

Manusia ini.

"Kau."

Jangan biarkan kata-katanya mengundang amarah yang tak diinginkan dari para Takdir. Ia tidak ingin berakhir seperti Minthe yang mengundang amarah Demeter dengan perkataannya [13]. Ia membuka mulutnya, dari belakang tubuhnya ia menarik burung gagak yang ia bentuk di pagi sebelumnya. Burung gagak menggeliat kaku, tubuhnya yang semula dingin perlahan diliputi kehangantan dan mulai bergerak. Sayapnya terkepak perlahan dan cakar-cakarnya menekuk dan meregang.

Pendongeng itu mengamati burung gagak Joseph dengan bola mata yang melebar.

Semoga Lakhesis [14] tak menumpahruahkan amarahnya atas sulamannya yang perlahan Joseph tanggalkan untuk ia rajut ulang.

"Ia bisa. Menemanimu di sini."

Eli mengangkat burung gagak itu dengan kedua tangannya, wajahnya ia dekatkan dengan paruh milik gagak tersebut, tanpa sedikitpun takut ia akan dipatok—pendongeng itu tersenyum, satu bahasa dengan apa yang jiwanya rasakan, terlihat jelas seperti mentari melalui bola matanya. "Oh, Joseph... tapi aku tidak memerlukan—"

"Diam. Cukup diam dan terima. Ia milikmu sekarang. Ia akan menjaga dirinya sendiri. Ia juga akan menjagamu hingga kau tidak kesepian."

Ia menggeleng—Joseph merasakan dadanya menjadi berat, jantungnya berhenti memompa darah selama sepersekian detik dan menyebabkan otaknya berhenti berfungsi—seseorang menolak hadiahnya. "Joseph... apa ia semacam... hadiah perpisahanmu untukku?"

Joseph mendengus. Ia menyentuh punggung tangan Eli, membiarkan tangan. "Apa salahnya berbuat baik untuk seseorang?"

Ia merasakan tatapan yang panjang dari perempuan itu.

"Aku sangat senang mendengar itu, Joseph, tapi... jangan khawatirkan aku; aku tidak pernah kesepian. Semenjak kau sering datang kemari,"

Joseph membuang pandangannya. Matanya mengintip ekspresi Eli; masih tersenyum halus, memandang burung di tangannya yang semakin dipenuhi dengan kehidupan—mulai menggaok, sayap terkembang dan paruh terbuka ingin menyantap.

"Terima kasih, Joseph..."

Joseph mengangkat tubuhnya sedikit, mendekatkan dirinya pada Eli dan mendaratkan kecupan singkat pada bibir pendongeng itu—adalah hadiahnya, untuk orang-orang pilihan yang ia rasa pantas mendapatkannya. Aksinya mengundang reaksi yang ia antisipasi, kala Eli menarik tubuhnya mundur, menjauhi Joseph. Responnya terlambat, pikirannya masih mengolah apa yang terjadi.

Ia memandang pendongeng itu, agak lama. Wajahnya bersemu merah—ia mendustai dirinya bila ia dapat bersinar lebih dibandingkan Eli di hadapannya.

"Aku akan kembali." Joseph bilang.

.


.

Burung gagak itu memiliki bulu putih bersih tanpa cacat yang menutupi sekujur tubuhnya.

Joseph dapat melihat melalui sepasang mata kecil milik si gagak, kini ia bertengger nyaman di meja kayu ruangan di atas menara itu, menyaksikan Eli menata ranjangnya usai tadi malam. Pendongeng itu berpikir dengan suaranya.

Pendongeng itu memakan makan siangnya dengan percakapan satu arah, membagi sedikit miliknya dengan gagak yang menyantap dengan nikmat—ia memanggil gagak itu dengan nama aneh, khas dari seorang yang suka dilena dengan fantasinya: Brooke Rose. Pikirannya lantang melalui suaranya: ia mendengar nama itu kala memikirkan Fiona.

Pendongeng itu mengusap dahinya—ia mengatakan pada Brooke bahwa kepalanya sakit.

Brooke membalas dengan menggaok.

Apa yang ia lakukan?

Murro kembali padanya, menghampirinya dengan senyum khas. "Masih bermain dengan manusia? Tidak bosan?"

"Menjauh dariku." Ia bilang, dan Murro, tidak tahu apa yang membuat kawannya memiliki suasana hati yang sedikit sulit diajak kompromi, menurut. Ia duduk beberapa meter agak jauh dari Joseph di anak tangga kuil Apollo, lalu bermain bersama peliharannya. Harap-harap cemas Joseph menanggapi eksistensinya kembali.

Joseph mendengarkan Eli, matanya memandang manusia itu melalui burung gagak yang ia tinggalkan. Eli suka bercerita tentang banyak hal, namun hal yang paling sering keluar dari mulutnya adalah cerita tentang kebajikan dan simpati terlalu besar yang ia miliki pada manusia di sekelilingnya—dan Joseph berbohong apabila ia mengatakan bahwa ia tega meninggalkannya dalam kondisi memprihatinkan seperti itu.

"Murro." Kawannya segera menoleh, berdiri dengan cepat dan girang hati mendekati Joseph. "Apa yang kau ketahui tentang orang yang memimpin tempat ini?"

"Sang raja? Oh, ia bajingan."

Ah.

Dan Eli tetap tak menaruh dendam pada orang semacam itu? Murro tak pernah melempar kata-kata demikian untuk mendeskripsikan sesuatu (terlebih manusia), namun apabila ia menggunakan kata semacam itu untuk mendeskripsikan seseorang, tentu saja... Murro memiliki alasan. Alasan yang Joseph ingin ketahui.

"Istrinya mengkhianati pernikahan mereka, jadi ia berniat untuk membunuh semua kaum perempuan karena ia percaya bahwa 'semua wanita sama saja'."

Itu—

Itu sama saja mengatakan bahwa semua manusia sama saja.

Itu sama saja dengan Joseph, pada jaman dahulu kala.

Sentimen seperti itu sangat bodoh, kan? Semua manusia sama saja—tidak penting dan tak berarti, mereka ada hanya untuk memuaskan ego para dewa yang ingin disembah dan dimuliakan, lain dari itu, mereka bukanlah apa-apa selain titik kecil yang tidak memiliki signifikansi, suatu saat akan ditelan ketiadaan.

mereka bukanlah apa-apa selain debu bintang yang sayangnya tidak signifikan dalam skema besar alam semesta ini, ia pikir.

Namun Eli...

"Tapi kudengar beberapa minggu ini sang raja belum mengambil wanita lain lagi untuk ia tiduri sebelum eksekusi—siapa tahu? Mungkin sang raja berubah pikiran. Mungkin ia masih memiliki hati."

Eli berbeda—dan ia manusia.

"Apapun yang ada di pikirannya, ia tetaplah bajingan."

Selama ini... Eli menunggu eksekusinya. Selama ini ia tidak mengatakan apapun pada Joseph karena—

Joseph mengamati telapak tangannya, kecil dan tidak berdaya—lembut, rapuh karena tidak pernah mengangkat beban dan meneteskan keringat upaya keras untuk melakukan apapun. Eli tidak ingin ia mengetahui ini: rahasia dunia ini. Ia mengamati kakinya, jari-jarinya bergerak, ia merasakan tensi yang terbangun dan runtuh seketika pada dadanya—perasaan yang mencekik lehernya dan mencuri hidup dari nadinya. Mengetahui rahasia hati yang dimiliki dunia ini hanyalah apa yang diperlihatkan, dan bukan apa yang diterapkan.

Ia mengamati telapak tangannya, mengepal dan membukanya.

Ia tertawa, hampa dan tak berarti. "Adakah yang bisa kau lakukan untuk mengubah hatinya, bila ia punya?"

Murro memandangnya seperti ia orang gila. "Tidak. Gampangnya, bunuh saja dia. Mungkin Takdir memaafkanmu bila aku memberikan justifikasi nanti. Aku pun gerah melihat manusia seperti itu."

Joseph... Jangan membunuh.

Ia mengertakkan giginya—"Aku tidak bersedia membunuhnya."

"Aku bersedia."

"Jangan. Membunuhnya." Ia menekan, final, memaksa Murro mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.

"Aku tidak tahu apa yang merasukimu, Joseph—biasanya kau tak akan berkedip dua kali bila ingin membunuh seorang manusia."

...

Itu karena—

Bila ia membunuh... Eli akan sedih?

"Bila kau membunuh sang raja, akan ada orang lain yang menggantikannya di atas takhta itu—kau tidak akan merusak aturan apapun. Jangan khawatir soal Takdir."

Napasnya terasa menyempit dan ia mulai kehilangan dirinya kala ia bilang pada Murro, "Semuanya berubah, Murro—aku—aku tidak bisa. Membunuhnya."

"Oh? Mengapa demikian?"

Ia mendengar suara Eli di dalam kepalanya—dalam matanya ia melihat manusia itu bertelut dan memanggil dewa, memanggilnya, mendoakan semua orang yang ia kenali dengan kebahagiaan dan keselamatan sepanjang jalan hidup mereka. Brooke memberikannya sedikit nubuat tentang masa depan, memperlihatkan Fiona yang berjalan sendirian di kota dengan tanah yang asing, jauh dari bahaya, aman dan terlindungi.

"Aku... tidak bisa." Ia bilang. Kepalanya tertunduk—tiap kali ia berpikir untuk itu, ia mengingat Eli. Dan kata-katanya. Dan kode moralnya yang tidak seperti manusia. Naif. Joseph pikir—ia bodoh bila berpikir ia dapat menaklukkan dunia ini dengan kebaikan dan pengampunan. Memberikan orang lain dirinya agar mereka bisa mencuci tangan dari dosa-dosanya. Ia mengingat cerita-cerita yang dipaparkan Eli—renjana dari lubuk hatinya yang dalam; dunia dari perspektif baru yang tak pernah Joseph ketahui dapat hadir di lensa manusia.

Murro tertawa mendengar itu. "Apa yang terjadi padamu, oh, Apollo yang Agung?"

Joseph membuang pandangannya. "Suatu kekuatan yang lebih dasyat dari milikmu mengancammu? Suatu kekuatan lain yang membuatmu tak mampu berkutik melawannya? Seorang manusiakah...?"

Senyuman telak pada wajah Murro membuat Joseph tak berkutik untuk menyangkal.

"Ada apa denganmu, Joseph? Terpincut dengan satu manusia?"

"Ia bukan." Joseph menarik napas. "Ia berbeda."

"Lucu, pernyataan itu keluar dari mulutmu." Rekannya berdiri, meninggalkannya dengan pikirannya—ketika ia mengangkat kepalanya untuk memandang Murro yang memunggunginya, ia melihat Eli, tersenyum padanya, pada Brooke yang terbang merendah untuk mendekatinya. "Kau tahu seunik apapun mereka di matamu, mereka semua memiliki akhir yang sama. Keluar selagi bisa, Joseph. Sebelum kau menjatuhkan kutuk atas bumi manusia ini."

.


.

Kini ia memahaminya; apabila dongeng yang ia bawakan itu berakhir, hidupnya pun berakhir.

Joseph memikirkan bagaimana manusia dapat mati dengan tubuh ini—memikirkannya membuat dadanya sesak dan kepalanya terasa ringan. Ketika ia mengingat bahwa ia pernah merasakan sakit fisik kala seseorang mencabik kulitnya untuk mengeluarkan darah yang tersembunyi di balik nadinya, ia mengingat Ker [15]—dan bagaimana kematian akan memisahkan jiwa dari raganya yang tak lagi mampu menopang hidupnya. Ia pun dapat mati dalam tubuh ini.

Ia bisa saja pergi meninggalkan Eli, dengan keputusan yang telah manusia itu ambil, membiarkan manusia itu menelusuri jalan yang ia tempuh—namun Brooke tak mengizinkannya untuk pergi. Melalui matanya, sebuah upaya terakhir untuk membuat Joseph tinggal dan memberikan yang terbaik untuk manusianya—upaya untuk memberikan asa, dan memutuskannya. Memperlihatkan Eli dengan sisi manusianya yang tidak berbeda dari manusia lainnya.

Tidak berbeda, namun berbeda karena ia adalah Eli.

Ia tidak memiliki kapasitas hati yang sampai untuk semena-mena mengabaikan Eli.

Eli membingungkan.

Sebuah anomali yang seketika meruntuhkan apa yang Joseph tanggapi sebagai suatu hal yang tidak penting—bila satu mati, akan ada yang lain lahir untuk menggantikannya. Enigma yang tak dapat disentuh oleh cahaya paling terang sekalipun, selamaya diliputi dalam kegelapan abadi—tapi hari ini, cahayanya menyinari terang dalam sudut kegelapan itu, kala ia melompat dan mendapati Eli duduk di sisi ranjangnya.

Matanya terfokus pada Joseph, gelimangnya penuh kebijaksanaan yang ia simpan untuk dirinya sendiri, tidak akan ia perkarakan pada dunia bebas di luar hatinya.

Ia tahu—Brooke memberitahunya. Ia tahu Joseph telah mengetahuinya.

"Selamat siang Joseph." tidak ada yang berubah. Senyumnya masih sama—matanya masih memandang Joseph dengan hati-hati, seolah ia masih memandang anak kecil yang perlu dilindungi dari segala kedursilaan. Masih berusaha menyembunyikan bahwa ia telah lama mengetahuinya. "Maaf kau kembali."

Ia mengepalkan tangannya, Joseph memandang Eli—ia tidak marah, ia tidak bisa membawa hatinya pada amarah setelah mengetahui segalanya. Eli jauh dari kata egois. Ia tahu itu.

"Kau tahu," Joseph memulai, lebih merujuk pada pernyataan dibandingkan pertanyaan. Dan Eli memberikannya senyuman—jawaban enigmatis yang menjadi sandi universal bagi mereka berdua; ia pun telah tahu. "Sejak kapan?" ia bertanya—Eli tahu apa yang ia maksud.

"Pertama kali kau kemari." tak sedikitpun menyembunyikan faktanya.

"Lantas mengapa kau berpura-pura tak tahu?"

"Akan lebih baik untukmu, dan untukku, bila kau—"

Joseph menertawakannya. Selalu. Eli dan altruismenya. "Hentikan itu."

Pendongeng itu memalingkan pandangannya, memperlihatkan Brooke Rose yang terbang padanya kala tangannya terulur. Burung gagak itu bertengger pada bahu Eli, dan Joseph dapat melihat dirinya sendiri melalui mata burung itu—tajam dan seksama; berdiri teguh di hadapan manusia yang bergeming tak tertarik menyaksikan kesempurnaannya, tanpa sedikitpun cacat yang dahulu ia kenalkan pada Eli. Sekali lagi, Joseph pikir, tersenyum dengan getir, sekali lagi manusia ini berlaku di luar dugaannya.

"Apa yang menurutmu kau lakukan?" ia melangkah menuju Eli, tubuhnya tak lagi ringkih dan rapuh—segala kekanak-kanakan yang dahulu ia tampilkan telah menghilang, ia meraih manusia itu dan mendorong tubuhnya agar terbaring di atas ranjangnya, kedua tangannya memaku bahu Eli agar ia tak bangun dari posisinya. Brooke terdiam—ia terbang menjauhi tuannya dan tuhannya. "Jawab."

"Aku melihatmu... membunuh sang raja."

"Kau melihat?"

"Aku melihatmu, Joseph." ia mengulang lagi, gelimang biru lautnya berkilat lega, mengetahui ia telah membelokkan masa depan yang seharusnya terjadi—jauh sebelum Joseph memberikannya sebuah berkat. Joseph memandangnya. Memandang jauh ke dalam matanya yang seolah mengetahui segalanya—mungkin, mungkin ia memang melihat segalanya, masa depan yang tersingkap di balik pelupuk matanya. "Aku melihatmu..."

"Apa yang kau lihat?"

Napasnya tertahan. Tak ada jawaban, tapi jawaban bukan lagi hal yang ia cari di tempat ini.

"Pergi dari sini." Joseph mengatakan padanya, tangannya meraih pipi manusia di bawahnya, ujung jarinya membayangi permukaan kulitnya dengan sentuhan fiktif. Eli meraih lengannya. "Pergi denganku, bersama mencari Fiona, atau siapapun itu. Jauh dari tempat terkutuk ini. Kau—kau tidak seharusnya berada di sini, kau tidak pantas untuk ini."

Joseph tahu membujuknya adalah upaya yang sia-sia. Kendati demikian, ia tetap merasakan dadanya menyesakkan dirinya, matanya mengabur dan telinganya meredam segala perkataan Eli setelah manusia itu, dengan air muka yang tenang namun penuh dengan kemasygulan, tersenyum pedih dan membalas, "Maaf."

Ada alasan, namun Joseph tak mendengarkannya—napasnya terlanjur memburu, jantungnya menggebu seperti akan meledak; takikardia di atas batas wajar. Sebelum ia menyadarinya, Eli telah mengulurkan tangannya dan meraih pipi Joseph, bola matanya melebar seluas lautan tak berujung, menilik jiwa Joseph pada binar matanya. Ia tak mengapresiasi keelokannya, apa yang Eli lakukan bukan untuk itu.

Motifnya jelas kala ia bertanya, suaranya lembut seperti bisikan angin, "Mengapa kau menangis, Joseph?"

Bukankah kau dapat mengetahui jawabannya?

"Mengapa kau bertanya?" ia membalas lagi dengan pertanyaan, suaranya sedikit lemah—ia tidak lemah. Namun manusia ini—lemah. Kelemahannya.

Joseph melihat matanya menerawang di bawah sana, ujung jemarinya dingin kala menelusuri pipi Joseph yang dijejakkan oleh air matanya. "Untukku?"

Ia menggigit lidahnya hingga hanya sakit yang ia rasakan dari dalam rongga mulutnya. Akhirnya, ia tidak menjawab apapun—namun Eli tahu, kelip matanya mengetahui. Ia selalu tahu.

"Kata orang... para dewa tidak memiliki hati..." Eli menghempaskan napas yang tersimpan pada paru-parunya, Joseph sedikit menyentak ketika Eli melepaskan sentuhan mereka yang terasa abadi. "Segala petaka dan sampar yang datang, moral yang bobrok dan kejahatan menjamur di mana-mana, para dewa tak pernah peduli untuk menurunkan berkat untuk melakukan perombakan besar atas hinanya dunia ini."

"Itu benar." Joseph bilang, menekan Eli dengan sedikit lagi tekanan, wajahnya ia dekatkan pada manusia di bawahnya. "Aku tidak punya hati."

"Kurasa... itu tidak benar, kau terlalu meremehkan dirimu sendiri, Joseph." kala Eli mengangkat tangannya, Joseph mengalah, membiarkan tubuhnya dibawa menuju pelukannya yang hangat—ia dapat mendengar Eli dan jantungnya yang berdebar, kehidupan mengarus di tiap senti tubuhnya. Joseph tak menginginkan hal lain selain ini semua. Kehangatannya menjalar dan Joseph merasa air mata meleleh dari emosinya yang seharusnya keras seperti bongkah es.

"Aku tidak punya." Ia bilang dari antara kertak giginya, setengah-hati menyangkal Eli, setengahnya lagi memberikan ilusi pada dirinya sendiri. Bila ia memang tidak punya hati, mengapa ia peduli?

Mungkin egonya. Mungkin karena ia hanya ingin tahu bagaimana kerja Eli di dalam cangkang raganya. Tidak sedikitpun terbersit pada pikirannya bahwa ia peduli hanya karena ia peduli. Ia tak sampai berpikir bahwa tak ada motif lain di balik kepeduliannya pada manusia ini, pada Eli yang menahan dirinya dalam dekapannya, menepuk punggungnya seolah sedang menenangkan anak kecil yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Tangannya meremas ranjang di bawah tubuh Eli.

"Kau bisa mengambil hatiku, bila kau merasa kau tak memilikinya."

"Omong kosong." Ia tertawa rendah, menghapus air matanya pada lengan pakaian Eli. Tangan Eli tiba pada puncak kepalanya, mengacak mahkota keemasannya dengan afeksi. Untuk pertama kalinya, Joseph tak merasa direndahkan, diperlakukan seperti ia bukanlah makhluk yang seorang diri mampu menggantungkan matahari di atas langit; dimanja dan dicintai.

Ia selalu mencurigainya—Eli mengetahui lebih dari apa yang ia katakan.

"Apa yang kau lihat sekarang?" ia bertanya.

Manusia itu menghentikan tangannya yang mengusap Joseph kala sang dewa menarik mundur dirinya, kembali menggunungi Eli di bawahnya dengan kedua telapak tangannya menopang tubuhnya. Riak matanya gelisah, muram dan tak berbinar, hampa seperti badai—namun ia tersenyum, "Esok cerah sekali, ya..."

Ia melihat sesuatu.

Namun menyimpannya, tak berniat untuk membagi.

.


.

Ketika ia kembali beberapa hari kemudian, ia melihat Eli berbaring, tak sedikitpun beranjak atau menyambutnya, tangannya terlipat di depan dadanya. Hanya berbaring dengan kepalanya terdongak ke atas langit, matanya terpejam. Joseph mengamati burung gagak itu mengusap kepalanya pada pipi Eli yang bergeming—ia menggaok, memilukan segala khalayak yang mendengar termaksud Joseph yang tak mampu melangkah mendekat, skenario yang tak ia inginkan merembes pada realitanya.

Namun kemudian matanya terbuka—dan Joseph merasa beban pada bahunya terangkat ketika tubuh itu kembali bergerak, duduk perlahan pada sisi ranjangnya. Ia mengusap matanya, lalu memandang Joseph. "Maaf, aku... ketiduran. Selamat siang, Joseph."

Perasaan tak nyaman itu—seperti ular melilit jantungnya, seperti petaka menenggelamkan paru-parunya, seperti gua singa yang tak dapat ia elakkan—membuatnya kembali merasakan sesuatu. Ia memandang Eli, mengamati tiap lekuk ideal manusia perempuan di hadapannya dan berpikir kembali, bahwa ia tak pantas berada di sini. Kuil. Ia lebih pantas berada di kuil dibandingkan penjara.

Ia mengambil posisi di lantai, duduk dengan kaki yang ia silangkan, tak memandang Eli yang di sampingnya, beristirahat di sisi ranjang. Helaan napas, ia bilang, "Ceritakan sesuatu padaku."

Eli nampak lebih lelah dari biasanya, seandainya Joseph menyadari itu.

.


.

Ketika ia melihat prajurit beramai-ramai menarik Eli dari menaranya melalui mata Brooke, ia merasakan bahaya telah bertumbuh di rahim waktu untuk Eli, dan segera datang berlari.

Sayapnya terkembang dan ia terbang melawan angin dan air hujan yang semakin deras menamparnya dengan peringatan badai yang akan datang. Ketika ia tiba, tubuhnya dikuasai oleh kelelahan dan berat oleh karena air hujan, ia melihat Brooke Rose terkapar di bawah lantai, tergenangi oleh darahnya yang bersumber dari luka menganga pada tubuhnya, putih tanpa cela yang semula adalah bulunya ternoda.

Ia menghampiri burung gagak itu, tangannya melingkupi lukanya sebagai upaya untuk memperbaikinya. Ketika burung itu kembali hidup, ia membiarkan burung itu melambung, menunjukkannya jalan yang tepat menuju lokasi di mana Eli berada. Ia berusaha untuk berlari secepat kakinya dapat membawanya, namun rasanya sulit—tubuhnya berat, kakinya berat, ia tetap berlari, menelan lelah dan lemasnya untuk menemukan Eli.

Brooke menggaok histeris sebelum cakar-cakarnya datang menyakiti bola mata seorang prajurit yang berjalan santai dari belokan pertama. Ia mendengar prajurit lain, dua orang, menuduhnya dengan kata-kata yang tak ia sukai—Brooke terbang meninggalkannya kala prajurit yang berada dalam perimeter menghampirinya.

Ini bukan waktunya, ia pikir. "Kesejahteraan hidup kalian akan terjamin apabila kalian menuntunku pada Eli."

Ketika mereka mendengar itu, mereka tertawa, menggelegar. "Kau?" dengan tidak percaya, mengolok Joseph kala mereka menurunkan pedang mereka seketika, tak sedikitpun ragu pada kelemahan lawan mereka. Joseph berusaha untuk meredam amarah di hatinya—ia tersenyum, mendengar hinaan lain dari mereka, satu-per-satu.

Ketika Brooke kembali nampak pada visualnya, Joseph mendorong kedua prajurit agar memberi celah bagi dirinya dan lekas berlari. Beberapa mengejarnya, namun tak jauh karena terhenti oleh keterkejutan mereka—beberapa mulai menjerit, mata meleleh dari pelupuk dan darah mendidih dalam nadinya setelah kontak langsung dengan matahari, demikian terjadi pada satu, lalu tiga, hingga semua orang yang semula mengoloknya.

Mereka akan hidup, komplikasi kesehatan dan kebutaan tak segera mendatangkan kematian prematur pada mereka.

Ia mengikuti ke mana burung itu terbang, namun berhenti kala melihat dari jendela di sisi lain pekarangan, sang raja duduk di atas takhtanya, dengan pasif mendengarkan keluhan rakyatnya. Dari khalayak itu, Joseph tak melihat satupun manusia perempuan, selain anak-anak. Ketika kakinya melangkah dengan niatan untuk memberikan sang raja apa yang ada di pikirannya, Brooke membuka matanya, membiarkan visinya merembes pada Joseph—melihat Eli yang meringkuk di suatu ruangan kecil yang gelap, dengan satu lubang kecil untuk membiarkan air hujan dan angin masuk.

Ada suara tetesan air yang ia sensasikan dari penginderaan si burung gagak—dingin dan lembab, badai telah tiba.

Joseph mendecih, ia berlari meninggalkan takhta itu, beberapa prajurit mengikuti langkahnya sambil berusaha menjaga jarak, kondisi semakin ditelan oleh keresahan mengingat adanya penyusup di ruang hidup sang raja.

Brooke berhenti pada taman yang dihiasi berbagai macam tanaman berbunga, lantainya dilapisi marmer yang kini telah sedikit bercela karena lumpur. Burung itu mengais lantai yang ditutupi karung goni, membuat Joseph melihat celah tak sempurna di sisi-sisinya; tak salah lagi sebuah pintu jebakan. Ia menyibakkan karung tersebut, lalu bertelut di depan pintu jebakan itu dan melihat lubang kecil untuk mengangkat bukaannya.

Sebelum tangannya dapat mengangkat batu yang menutupi, ia merasakan hunusan tajam pedang, menyentuh tengkuknya seperti hantu. Pelan-pelan ia berbalik, bertemu dengan beberapa prajurit yang menodongkan ujung mata pedangnya pada Joseph, dan pemimpinnya memunggungi mereka, menghadap Joseph.

Ia berdiri, badai yang kuasanya semakin erat atas cuaca bumi ini terbukti membuat Joseph segera lumpuh dalam pertarungan di masa depan nanti, terlebih dalam segala kemanusiaan yang ia dekap untuk meraih Eli di tempat ini. Dalam tubuh ini, tanpa pedang ataupun busur, yang bisa ia lakukan hanyalah—

Kala petir menyambar, Joseph menengadah, merasakan air hujan menghunjamnya tanpa ampun, matanya terasa perih, ia melihat kegelapan tak berbatas memandangnya balik, mempertanyakan motif atas aksi yang ia ambil. Ia memejamkan matanya, merasakan dirinya menjadi pusat perhatian manusia yang memandangya curiga—ilmu hitam, mereka pikir, apa yang dilakukan Joseph di belakang sana.

Tangannya meraih matahari di balik awan hitam di atas langit—

Kemudian matanya terbuka, terkejut bukan main kala mendengar jeritan manusia dan sesuatu menyambarnya dari langit. Diikuti dengan hening lepas dari irama disharmoni air hujan, darah segar bercampur air hujan di atas taman dan kini ia melihat Murro, yang berbalik untuk menghampirinya, wajahnya memiliki berkas emosi yang beraduk antar geram dan keki. Ia melempar pedang di tangan, tak lagi membutuhkannya karena perbuatannya telah membuahkan hasil berupa kematian atas mereka yang menyalahi Joseph.

Di bawah kakinya terdapat pembantaian, namun Murro tak berkedip ataupun memusingkannya.

"Kau bisa membunuh mereka semua, mengapa tidak kau lakukan?—mereka bisa membunuhmu tadi, kau paham kan, kalau kau bisa mati." Murro bertanya—menuduh dengan kecurigaan bahwa sesuatu telah bobrok dalam diri kawannya. Suaranya teredam dengan air hujan yang konstan bertikai melawan bumi. "Bila kau mati tadi, jangan harap badai ini akan berhenti."

Kepedulian temannya tak ia hiraukan, tangannya kembali bekerja untuk mengangkat pintu batu di bawah lantai. Brooke datang padanya, bertengger pada bahu, berusaha menjaga keseimbangannya ditengah angin yang semakin mendorongnya.

"Kau paham kan?"

Ketika Murro menoleh pada Joseph yang kini memandang tangga menuju ruangan bawah dari pintu perangkap itu, ia menertawakannya, geramnya menghilang dan kembali pada diri pria tua yang ramah. Ia bertanya, "Apa yang kau cari, Joseph?"

"Manusia itu—"

Sebelum meralat.

"Eli. Aku mencari Eli."

"Oh, manusia yang menjadi objek obsesimu?" Murro bertanya tanpa mengharapkan jawaban, seketika telah memahami apa yang dimaksud. Ia menghampiri Joseph, memandang anak tangganya. "Perbuat sesukamu, kalau begitu." Katanya, merestui apapun itu yang ada di benak Joseph. Rekannya mengangguk, senyum tipis terkembang sebelum melangkah menuruni anak tangga. Murro tak beranjak dari tempatnya berdiri.

.


.

Pertama-tama, ia disambut dengan kegelapan.

Ruangannya sempit, namun apapun itu yang disembunyikan di dalam sana dapat ia temui dengan cepat. Ia melihat Eli, kaki-tangannya dibelenggu, ia meringkuk di ujung ruangan, kepalanya dibenamkan pada lututnya yang dilipat ke dadanya. Joseph melihatnya mengangkat kepalanya sedikit, tak nampak jelas karena kegelapan yang melingkupinya—tapi ia dapat melihat biru, amat biru, dan biru mendalam yang memandangnya, sedikit terpejam. Lalu kembali terbenam.

"Kuharap kau tidak membuat masalah untuk bertemu denganku, Joseph..."

Joseph menghela napas lega mendengar suara Eli—suatu pertanda bahwa ia masih hidup. "Lihatlah sendiri dengan matamu."

Ia menghampiri Eli, mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan itu berdiri, namun tangannya tak disambut.

"Apa yang mereka inginkan darimu?"

"Mereka... akan mengeksekusiku... besok." Eli bilang, suaranya netral—tak sedikitpun takut pada kematiannya yang tak dapat ia hindari. Ia tak mengangkat kepalanya, menyembunyikannya sekalipun ia tahu dengan siapa ia sedang berbicara. Atau mungkin karena kelelahan.

"Lalu kau akan menerimanya begitu saja?"

Jawabannya tak serta-merta diberikan, namun senyap yang mengisi memberikan Joseph jawaban untuk menutupi kebisuannya. "Kau meresahkan, kau tahu?"

Eli menggelengkan kepalanya.

"Fiona telah lama berlayar menjauh dari tempat ini, sesuai dengan apa yang kau inginkan—apa lagi yang kau tunggu? Ayo pergi bersamaku."

Eli diam, membuat Joseph meraih paksa dan menariknya—reaksi yang ia dapat ada tarikan napas yang tercekat, ringisan kesakitan ketika Joseph mengeratkan lingkar jarinya pada lengan perempuan itu sedikit terlalu erat. Namun Joseph tak membiarkan reaksi itu menghalangi niatannya; ia menarik Eli menuju tangga semula.

Ia bisa langsung naik ke permukaan, membagi dengan manusia itu sedikit berkatnya dan menuntun Eli menjauh dari sini—namun ketika seminim cahaya yang ia dapatkan dari hujan badai itu menunjukkan sakit yang menyuarakan siksaan sebelum ia menemukan Eli—siksa dari para manusia yang menyeretnya ke mari, siksa dari sang raja yang menghempaskannya ke tempat ini—

Joseph menghentikan langkahnya, jantungnya menggebu dengan keras. Jari-jarinya menelusuri memar dan sayatan pada telapak tangan Eli, matanya memandang wajahnya yang biru dan ungu akibat pendarahan dalam, memar dengan sedikit darah yang keluar dari permukaan kulitnya yang robek. Ketika Eli membuka mulutnya, Joseph melihat darah pada saliva dan deretan giginya.

Eli menarik tangannya daripada Joseph, yang tak memberikan perlawanan apapun. "Maaf." ia bilang, tetap tenang meskipun suaranya lirih—ia mulai memanjatkan doa di dalam hatinya, dan Joseph bukan Apollo bila ia tak mendengarnya. "Aku tidak ingin kau... melihatku—"

Ia tak tahu kepada siapa ia merasakan amarah yang membludak di dalam hatinya (dirinya sendiri atas keterlambatannya, pada Eli yang berusaha menutupinya, atau pada orang-orang yang menyakiti Eli)—kepada siapapun itu, Joseph mendecakkan lidahnya. "Kau akan jelaskan semuanya nanti." Ia bilang, tak memberi sedikitpun ruang untuk Eli mengelak.

Mereka menaiki anak tangga yang ada, di atas ia melihat Murro masih berdiri, pedang kembali pada tangannya memandang lepas ke horizon.

"Aku bisa membunuhmu. Dan orang-orangmu." Murro bilang pada lawan bicaranya. Seperti janji yang gelisah ingin segera ia tepati. "Tapi temanku di bawah sana pernah bilang kalau ia tak menyukai itu."

Joseph tetap berjalan dengan Eli mengikutinya—suara yang menjadi respon diredam dengan air hujan, namun apapun itu responnya mengundang Murro menggeram dan segera menerjang cepat, pedang yang beradu terdengar nyaring, membuat Joseph mempercepat pemanjatannya menuju permukaan.

Ketika tiba di atas ia melihat sang raja berdiri di sana dengan bala pasukannya.

Tangannya segera meraih Eli, menyembunyikan perempuan itu di balik tubuhnya.

Murro menoleh pada mereka berdua, ia menundukkan kepalanya sedikit pada Eli—tahu bahwa ini bukan waktunya untuk memperkenalkan diri pada satu sama lain.

"Aku mengenalmu." Ia bilang, sang raja mengusap dagunya, matanya tertuju pada Joseph. "Waktu tentu bergulir cepat, terakhir aku bertemu denganmu, aku ingat betul kau..."

"Kau tidak memberitahunya?" Murro memandangnya dengan bingung, penuh harapan untuk menghancurkan harga diri orang ini. "Tidak ingin memberitahunya agar ia merasa konyol?"

Joseph membalasnya dengan napas yang tak beraturan kala merasa panik memberi diri untuk menguasai hatinya.

Mereka akan mengambil Eli lagi, dan ia merasakan sesuatu dalam dirinya memberontak tak menyukai konsep itu.

Sang raja memberikan isyarat untuk mendekati mereka, dinding fiktifnya semakin mendesak, membuat Joseph semakin protektif pula pada Eli yang sedang terluka di belakangnya—ketika para prajurit semakin dekat dan tangan mereka terulur untuk memisahkan tahanan mereka dari para penyusup itu, Joseph melecutkan bara api pada tangan mereka, membuat tubuh mereka seketika menjadi kayu bakar yang terus menyala meskipun air hujan terus turun tanpa henti.

Semua orang yang melihat mengambil langkah mundur, beberapa mulai ketakutan—insting pertarungan mereka lenyap kala mengamati Joseph yang mengisyaratkan kematian semata-mata dengan tatapannya.

"Joseph?" kawannya memanggil, ia pun, mulai melangkah mundur, kepalanya ia palingkan ke atas langit kala merasakan suhu yang mendadak meningkat untuk melihat gumpalan awan hitam tak lagi di sana; badai lari ketakutan dan hujan pun demikian. Ia melihat matahari menyeruak dari balik awan-awan yang mulai minggat, radiasi panasnya bersinar terik hingga Murro merasa seperti ia akan terbakar hidup-hidup—

Sampai angin tenang datang menyapu petaka menjauh, barulah ia berani memalingkan kepalanya, memandang Eli yang mengguncang bahu Joseph dengan tenaga sisa yang ia miliki, membuatnya segera tersadar dari apapun itu yang melingkupinya. Joseph menarik napas tajam, ketika ia tersadar, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari Eli dengan pandangannya yang membelot kesana-kemari—kala ia menemukan manusianya, Murro melihat senyuman yang tak pernah ia lihat sebelumnya; matanya ikut tersenyum, berbinar dengan tenang dan sukacita yang tak berbatas.

Tangannya meraih Eli dan mendekapnya—tak ada yang berani mendekat, sang raja pun, tertunduk, kini menyadari bahwa tak ada yang dapat menghentikan Joseph untuk membawa pergi Eli dari tempat ini.

Murro melihat Joseph mengecup dahi manusia itu, dan dibalas dengan tawa lemas.

Joseph tak menyadari beban yang semakin berat kala ia menopang Eli dengan kedua tangannya—mungkin ia lelah, adalah pikiran pertamanya, kala Eli memandangnya dengan mata yang mulai menitikkan air mata, tangannya meraih pipi Joseph dan menyentuh, jari-jarinya gemetaran, hingga tangan yang semula memberikan sentuhan jatuh bersamaan dengan kakinya yang mendadak menyerah untuk menopang tubuh manusianya.

Kala melihat itu, Joseph berpaling, suaranya bimbang saat memanggil, "Eli?"

Oh—Murro membiarkan tatapannya lekat, ingin memberitahu bahwa ia melihat Takdir bergandengan bersama dengan Kematian datang menghampiri mereka, menghampiri Eli yang tertawa pelan, semakin ringan dan lemah—

"Joseph, ayo pergi."

Kau tidak ingin melihat ini; waktunya telah tiba.

Atropos [16], lagipula, telah menentukan kematiannya—dan ia tak terelakkan.

Namun Joseph tak membalas ataupun menanggapinya, ia pun tak berdiri seolah Murro hanyalah angin lalu yang menyapu inderanya. Segala perhatiannya tertuju pada manusia yang kepalanya dibaringkan pada pangkuan Joseph. Tangannya menggenggam Eli, seolah dapat menuntunnya menjauh dari takdirnya, namun Eli tak membalasnya—Murro tahu, dari tubuhnya yang mulai kepayahan untuk melawan racun yang telah mulai menyerang sarafnya, ataksia dan jari yang gelisah dan pernapasan yang kacau

Joseph mungkin tahu.

Apa yang ia lihat?

Tentunya ia melihat Atropos mendekati manusianya, seharusnya ia dapat mengetahuinya—

Joseph tak melepaskannya. Ia melihat Eli tersenyum dan segera mengetahui apapun itu yang merisaukan pikirannya, detik-detik sebelum kematian tiba—dan Joseph ingin menertawakannya karena ia tahu apapun yang keluar dari mulutnya tak akan jauh dari hal bodoh.

"Kurasa... aku akan mati,"

"Orang buta pun dapat melihat itu." Joseph bilang, cemas melilit hatinya, meremas hingga matanya kembali mengeluarkan air mata yang semakin deras, merasakan ujung jari Eli yang kaku dan dingin kembali berusaha untuk menghapus air mata dari pipinya. Suaranya ia usahakan untuk mengikuti nada bicara Eli—tenang dan tak gentar sedikitpun, namun napasnya gemetar.

"Bertahanlah—"

"Maaf,"

Tangannya pun, kini lemas mengikuti gravitasi yang menariknya ke bawah.

Yang dapat ia dengar dalam sadarnya adalah deru napas Eli, semakin detik semakin lemah—mereka diam menantikan apa yang akan datang, bergidik mengetahui tak ada pelarian yang dapat menampung mereka untuk bersembunyi daripada kematian itu sendiri. Napasnya tertahan.

Kala manusia itu menghela napas terakhirnya, tak ada suara yang melantun, tak satupun datang untuk berkabung menemaninya—matahari bersinar terik di atas kepala mereka, namun tak ada burung-burung yang terbang bernyanyi. Murro meremas gagang pedang pada tangannya. Bila langit mengamuk akibat murkanya—ia harus bisa menebas jatuh Joseph yang termakan dukanya—

Selagi ia bisa.

Ia menunggu, namun Joseph tak berdiri dari posisinya, tangannya masih meremas tangan Eli yang ia letakkan datar pada dadanya. Murro melihat mata kawannya tak berkedip memandang kematian tenang di pangkuannya, air matanya mengalir diam-diam. Seolah ia hanya jatuh terlelap menuju tidur panjang.

Melihat matanya yang memandang manusia di bawahnya dengan emosi mendalam yang dipenuhi oleh kasih sayang dan ketulusan sejati—Murro merasa bahwa ia tidak akan mampu melakukan apa yang harus ia lakukan, seandainya waktunya tiba untuk itu. Joseph tak bergerak dari sana, ia hanya... diam.

Waktu membeku di tengah terik matahari yang membara. Tak ada interupsi. Tak ada suara.

Joseph memanggil namanya lagi.

.


.

Ia tengah duduk di anak tangga kuil Apollo kala seorang budak menghampirinya.

Murro tersenyum pada budak itu, ia melihat jelas tanda pada lingkar tangan dan lehernya. Mungkin sedang menunggu tuannya yang mengunjungi kuil, berdoa agar musim kering ini berakhir sesegera mungkin. Murro mendongakkan kepalanya. Ia tak dapat menemukan Joseph setelah hari itu, mencari di atas langit atau di dalam perut bumi, ia tak dapat menemukannya, seolah kawannya disembunyikan oleh dewa lain untuk mengendalikan amarah yang bersumber dari dukanya.

Banyak hal yang terjadi setelah hari itu. Murro tak tahu darimana ia harus memulai.

Manusia itu—Eli, namanya kan?—jelas meninggalkan kesan yang mendalam pada Joseph.

Karena tidak mungkin Joseph melakukan ini—tanah ini tak pernah lagi diberkati dengan hujan semenjak hari itu. Gagal panen terjadi di mana-mana, paceklik datang dan tak akan pergi dalam waktu yang dekat, suplai air yang semakin menipis dan orang-orang mulai berpuasa untuk mengirit apapun itu yang tersisa di dapur mereka. Tanah sangat kering hingga terdapat retakan nyata di tiap petaknya.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam di tempat ini dan menunggu hingga Joseph kembali menunjukkan batang hidungnya.

Setelah hari itu, Murro menebak bahwa Joseph akan membunuh sang raja. Murro masih mengingat ketika Joseph perlahan membaringkan tubuh Eli di tempat itu, ia berdiri dengan mata yang tak meninggalkan Eli. Setelah itu... matanya dilayangkan pada sang raja.

Ia menghilang begitu saja di hadapan para manusia yang semula mengepungnya, suara kepakan sayap yang meninggi tak memiliki wujud konkrit kemanapun Murro memalingkan pandangannya. Ia meninggalkan Murro yang menjatuhkan pedangnya untuk mengangkat pergi tubuh Eli agar ia dapat mengistirahatkannya di tempat yang lebih tenang. Tak ada dari mereka yang menahannya.

Sang raja pun, menggantungkan kepalanya dengan sesal dan jengah.

Ia pergi untuk mengubur Eli di padang rumput yang sejuk, dengan pohon rindang dan angin sepoi-sepoi menemaninya. Bunga-bunga bertumbuh liar di tempat ini, warnanya beragam dan tidak beraturan, namun kalibut demikian memiliki keindahan yang dapat Murro apresiasi. Tempat paling nyaman untuk beristirahat.

Sesekali ia dapat melihat burung hitam terbang mengekor tiap pergerakannya.

Ketika ia telah mengubur Eli dan meletakkan beberapa batu di atas kepalanya, burung hitam seperti gagak itu bersiul pilu menyaksikan tubuh dingin manusia itu dikembalikan ke bumi, kemudian terbang menjauhinya.

Ia tak mendengar berita tentang kematian sang raja hingga dua bulan lebih mengantisipasinya—jadi Joseph pun, akhirnya tetap berpegang teguh pada perkataannya dan tak membunuh bajingan itu. Bila ia dapat memundurkan waktu, ia ingin berkenalan lebih dulu dengan Eli. Mengetahui seperti apa manusia yang dapat mengguncang Joseph sedemikian rupa hingga ia berubah menjadi... apapun itu. Sosok yang tak lagi termotivasi oleh egonya.

Mungkin menyenangkan bila mereka bertiga dapat duduk bersama untuk mengenal satu sama lain. Mungkin Eli orang yang menarik untuk diajak bicara. Pengertian, pasti. Ia hanya dapat berandai. Tapi bila ada lain waktu...

Di waktu senggangnya, ia mencoba untuk menamai tanaman-tanaman yang ia temui di sekitar kota. Salah satunya hemlock [17]—yang ia ketahui persis karena kesan pertama yang ia dapat dari tanaman itu adalah mereka membunuh Eli. Ia memetiknya, lalu segera membakar tanaman itu kapanpun ia menemukannya tumbuh di taman seseorang—ia bahkan membiarkan kawan perjuangannya memakan beberapa, tak masalah karena ia tidak akan mati.

Selain dari itu, ia suka menyebarkan gosip. Beberapa prajurit raja yang hadir hari itu mengenalnya. Mereka suka berpatroli. Langkahnya pelan-pelan untuk memamerkan gelar mereka pada rakyat jelata, hingga mereka tiba pada kuil Apollo—saat itulah langkah kaki mereka langsung melebar dan tergesa-gesa ketika melihat Murro duduk di anak tangganya, berpangku tangan seperti biasa.

Ia pikir, sang raja membunuh Eli karena Eli saat itu mengetahui bahwa ia impoten kala sang raja mencoba untuk menidurinya.

Lucu.

Jadi itulah rumor yang ia sebarkan pertama kali dari kuil Apollo di waktu senggangnya. Namun ketika ada prajurit baru yang datang dengan mengamuk, ingin mengetahui siapa bajingan yang menyebarkan rumor kosong itu—ia mengangkat tangannya dengan enteng.

Diseret ke takhta raja memang tak menyenangkan, namun ia senang kala melihat wajah bajingan itu kembali diliputi penyesalan dan—"Bawa ia pergi dari sini dan biarkan ia berlaku sesukanya."

"Oh? Tidak akan berusaha untuk membuatku jengkel setengah mati? Kukira kau ingin tulah lain selain kekeringan berkepanjangan ini." ia terkekeh. "Supaya tulah di negeri ini lebih bervariasi?"

Selanjutnya ia dibiarkan berdiri dan memandang sang raja dengan senyuman, lalu pergi. Meludah di hadapan sang raja di atas lantai di bawah kakinya. Ketika ia tiba pada pintu keluar takhta, ia kembali berbalik, "Mengapa kau memutuskan untuk meracuninya setelah sekian lama memilikinya?"

Sang raja tak membalas, namun Murro tetap mendapatkan jawabannya.

Ia benar. Sang raja ingin menidurinya saat itu—namun ketika ia tahu Eli bukanlah perempuan seperti apa yang selama ini ia pikirkan, ia merasa malu karena ia benar-benar mencintai pendongeng itu—yang tak ia sukai adalah rasa bahwa ia telah dikhianati dan ditipu (ia cerdik sekali untuk menyembunyikannya—terlebih wajahnya yang bergaris feminim sangat mempermudahnya untuk dikenali sebagai perempuan, dan semua orang terkecoh, hingga ia dapat menyusup ke kastil itu untuk menjerat sang raja dalam jaringnya).

Mungkin selama ini Joseph pun tak tahu bahwa Eli laki-laki, tapi Murro entah mengapa tahu bahwa itu tidak akan mengubah perasaan yang Joseph miliki untuk manusia itu. Perasaannya pada manusia itu akan selamanya tetap, tak berubah; Joseph telah terlanjur mencintai apa yang ada di dalam sana, bukan parasnya.

Murro tahu setelah ia melihat bagaimana Joseph memandang manusia itu di detik-detik terakhir hayatnya. Seperti ia bersedia untuk menukar keabadiannya saat itu juga bila itu artinya dapat membiarkan Eli mencurangi kematiannya.

"Mungkin Prometheus mabuk saat menciptakanmu." [18] Murro bilang pada Eli, tangannya menyentuh tumpukan bebatuan yang ia sebut sebagai batu nisan.

Hari ini pun sama, demikian hari esok, dan esoknya lagi. Matahari bersinar terik, enggan mundur atau dibayangi oleh awan hitam, membakar energi yang ia miliki menjadi peluh yang deras seperti air sungai di musim penghujan. Angin masih bertiup di tempat ini—seolah tempat ini dijauhkan dari hukuman yang Joseph tuangkan atas negeri itu. Murro memanjat pohon untuk memetik satu buah apel di atas pohon sana dan memberikannya pada kawan babinya.

Ia bersandar pada batang pohonnya, rindang dan sejuk. Ia biasa beristirahat di sini—bercakap dengan Eli. Eli pendengar yang baik. Orang mati adalah pendengar yang baik.

Tak lama, biasanya burung gagak akan tiba. Atau biasanya burung gagak itu telah mendahuluinya untuk mengunjungi makam Eli. Bulu-bulu putihnya semakin usang tiap waktu yang semakin bergulir. Sebelum Murro menyadarinya, ia bertemu dengan kekelaman. Terik matahari membakarnya hingga putih tanpa cela menjadi hitam kelam. Burung gagak hitam itu bertengger pada bahunya—saat itu ia mengingat kembali hari itu, seolah ada ilham yang mendatangi akalnya.

Joseph membuat burung gagak sebelum—

Ia melirik burung yang kini bertengger pada bahunya. Hitam. Satu-satunya burung gagak berwarna hitam yang pernah Murro temui.

"Kau... apa Joseph mengirimmu?" Selama ini?

Burung itu berkoak nyaring.

Esoknya, di tempat yang sama, di waktu yang sama, namun juga berbeda dari hari yang sebelum-sebelumnya, Murro dapat mendengar langkah kaki seseorang mendekatinya, membangunkannya dari tidur siangnya.

.


.

[end.]


note (god its longgggggg):

[1]: kekrops (cecrops i), raja pertama kota athena. 3 anak perempuannya, herse, pandrosus, dan aglaurus, diminta sama athena buat jaga erikthonios, anak hephaestus yang lahir dari gaia setelah dia berusaha buat merkosa athena. dia masukin erikthonios ke dalam kotak dan diserahin ke 3 orang itu dengan syarat mereka dilarang liat apa isi kotaknya. tapi herse sama aglaurus, karena penasaran, ngebuka kotaknya. setelah ngeliat isinya, mereka jadi gila dan lompat dari akropolis.

[2]: gunung etna, di bawah sana hephaestus punya workshop.

[3]: mitikas, puncak gunung olimpus.

[4]: aesop, budak dan pendongeng fable yang terkenal melalui aesop's fables.

[5]: eye for an eye (lex talionis) adalah konsep yang pertama kali muncul di undang-undang hammurabi (liat hukum ke-196 dan ke-197.)

[6]: Fiat justitia ruat cælum, "hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh" dan variasinya, fiat iustitia, et pereat mundus, "hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa"

[7]: tantalos (tantalus), raja dalam mitologi yunani. dia mengundang para dewa buat makan di istananya, dengan daging anak laki-lakinya, pelops, sebagai hidangan utamanya. atas perbuatannya, dia dihukum di tartaros, dia ditaro di tengah kolam air dan di bawah pohon berbuah. tiap kali dia mau minum, air di bawah bakal surut. tiap kali dia mau makan, batang pohonnya bakal terangkat naik.

[8]: erisichthon, raja thessalia. dia motong pohon ek demeter, ngebunuh driad (peri pohon) yang bersemayam di sana. peri itu ngutuk dia sebelum dia mati, dan demeter denger kutukan dari peri ini untuk erisichthon. demeter ngirim limos (dewi kelaparan/paceklik) ke perut erisichthon, supaya dia selalu lapar. setelah gatau lagi mau makan apa, dia makan dirinya sendiri.

[9]: feme (pheme), dewi ketenaran dan kemasyuran. dia suka gosip.

[10]: i tell you / someone will remember us / in the future — puisi sappho

[11]: branchus: salah satu pacarnya (cowo) apollo. dia dikasih kemampuan bernubuat dari apollo.

[12]: epimetheus: titan/saudaranya prometheus, dia yang distribusiin sifat/trait binatang.

[13]: minthe: bilang kalo dia lebih cakep dari persephone dan suatu saat nanti hades bakal balik ke dia, demeter marah dan ngutuk dia jadi tanaman mint, terus diinjek.

[14]: lachesis: satu dari tiga takdir/moirai, dia nentuin panjang umur manusia dan nentuin gimana nasib orang itu.

[15]: thanatos: personifikasi kematian; dewa kematian yang tenang—saudaranya ker, pembawa kematian yang menyakitkan

[16]: atropos: satu dari tiga takdir/moirai, dia yang nentuin bagaimana manusia mati.

[17]: hemlock: tanaman beracun, sokrates dieksekusi dengan cara minum teh yang dicampur tanaman ini.

[18]: etiologi yang diatributin ke fabulis aesop terkait homoseksualitas.


niatnya sejak awal sampe eli sekarat joseph ga pernah manggil eli pake namanya—semoga gw ga kelupaan poin itu, amin—jadi pas akhirnya joseph manggil eli pake namanya kesannya lebih bermakna, kayak joseph bener-bener ngerasa takut kalo bakal terjadi sesuatu ke eli. semoga terasa sensasinya(?) asdfghjkl

selfless/selfish awalnya pengen gw tulis sbg tema dasar fic ini—joseph yang berpandangan kalau dia selalu berhak buat apapun itu yang dia inginkan (semua pertanyaannya harus dijawab, semua kehendaknya harus diturutin), dan eli yang berpandangan kalau orang lain lebih berhak buat apapun itu yang seharusnya kepunyaannya, termaksud kebebasan dan kebahagiaannya (dia nyamar jadi perempuan biar fiona bisa pergi, dan sekalipun tau fiona dah lama pergi, dia tetep pertahanin penyamarannya sepanjang mungkin supaya sang raja ga ngambil perempuan lain untuk dieksekusi)—tapi karena gw mulai ngantuk di pertengahan dan mindset gw jadi "gw-mo-kelarin-ini-satu-malem", gw rasa poin ini makin ilang makin mendekati akhir hahahaha maap

there's a lot of stuff to note on this fic, kalo ada pertanyaan (karena ga semuanya bisa gw tulisin satu2 di notes ini dah panjang bgt gw nangis dalem ati tbh)

gw dah lama bgt pengen nulis joseli pake au dari essence wildling, sejak essence itu rilis malah tapi ga pernah kesampean soalnya gw bener2 suka nunda2 nulis, dan tiap kali ada fic model ini (Apollo!joseph/citizen of athens!eli) yang selesai, gw selalu ngerasa kalo ini masih kurang bagus. ini masih kurang X atau Y, tapi yang ini 50+ halaman di word dan decent (buat standar gw, tp standar gw ampas), jadi post aja dulu. makasih dah baca!

—Sabtu 16 Mei 2020, 4:46 AM, Jakarta.