Title: Pak Kiai

Summary: Gara-gara itu, Gempa mulai digelari "Pak Kiai" oleh keenam saudaranya. [No pairings. #Ramadhanmubarak]

Author: mamanya_duri

Disclaimer: BoBoiBoy milik Animonsta Studios. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.

.

.

.

Telah menjadi kesepakatan secara de facto dan de jure bahwasannya Gempa adalah pemimpin dari tujuh saudaranya dan di dalam hirarki organisasi manapun tempatnya bercokol. Secara otomatis, semua partisipan akan memandang dan meminta buah pemikirannya karena Gempa memiliki bakat pemecah masalah yang ulung. Piawai pula bermanuver politik walau hanya sebatas urusan kas dan piket.

Namun Ramadhan tahun ini Gempa mulai disematkan julukan "Pak Kiai". Ia sendiri pun tak mengerti mengapa gelaran seberat itu disandangkan padanya.

Siapa pencetusnya?

.

.

Hari ke sembilan puasa. Blaze, Thorn dan Taufan tengah asyik bermain gim di gawai masing-masing. Riuh suara mereka bersahutan beriringan dengan deru pertarungan virtual tersebut.

"Blaze! Backing aku! Backing!"

"Iya, ini juga kok! Thorn, buruan ambil!"

"Bentar, Kak, lagi runyam!"

"Hyyyaaaahhhh! Rasakaaannn!"

"Aaaaaaaa!"

Gempa mengintip prihatin dari balik pintu kamar. Semenjak karantina wabah covid-19 dan sekolah online, praktis membuat tiga serangkai legendaris itu lengket bersemedi dengan layar LCD. Ditambah lagi mereka tengah puasa, jadilah mereka kian mesra dengan dunia maya. Malas karena lemas.

Tahu gim semacam itu tak bisa dijeda, maka Gempa tunggu sampai mereka rampung. Selang beberapa menit kemudian, terdengar sorak kegirangan mereka karena menang quest.

"Horeeeee!"

"Yip! Yip! Hura!"

"Wooohoooo!"

"Kalian," panggil Gempa seraya keluar dari balik dinding. Trio biang makar itu tersentak kaget.

"Kak Gem!" seru Blaze dan Thorn.

"Gegem!" sahut Taufan latah.

"Sudah mengaji?" tanya Gempa sambil tersenyum manis bin sejuk. Bisa diprediksi tiga serangkai itu hanya berpandang-pandangan dengan wajah bersalah (Taufan), tak enak (Thorn) dan ingin kabur (Blaze).

"Nanti Ashar aku ngaji kok," ujar Blaze cari alasan.

"Iya, iya," angguk Thorn.

"Nah sama, nanti deket maghrib deh," timpal Taufan. Gempa menggelengkan kepala.

"Kalian main gim dari lepas sholat subuh. Sekarang sudah jam 9 pagi," katanya. "Mandi aja belum."

"Badanku gak bau kok," sangkal Blaze sambil mengendus lipatan ketiaknya. Sontak Taufan dan Thorn segera menyingkir sejauh mungkin hingga Blaze tersinggung.

"Blaze! Jangan ngumbar dong kalau ada aku!" seru Taufan sambil memencet hidung.

"Emangnya Kak Upan gak bau?"

"Aku bau tapi gak sebau kamu!"

"Halah, bacot!"

"Hilih, bicit."

"Sudah cukup, astaghfirullah," lerai Gempa dengan ekspresi agak gemas. "Tujuan puasa itu mendidik dan melatih menahan diri, 'kan? Kalau masih suka berkata kotor, bertengkar dan berbuat sia-sia, maka hilang hakikat dan tujuan puasa itu."

Taufan dan Blaze tampak tidak puas adu argumen mereka berakhir cepat, tapi karena ada Gempa maka mereka harus puas dengan adu melotot. Melihat pemandangan familiar itu membuat Thorn menutup mulut agar tawanya tidak meletus.

"Ya sudah, ayo kita ngaji sama-sama. Kak Hali, Ice dan Solar sudah khatam sekali lho. Kalian udah sampai mana tadarusnya?"

"Uh, aku udah banyak kok, ehehe," kata Taufan sambil garuk pipi.

"Apanya, baru juz lima," bongkar Blaze.

"Lah, kamu baru juz tiga!" sungut Taufan.

"Kak Gem, Thorn udah juz empat," lapor si kopiah hijau.

Gempa memijat pelipisnya. Sebelas-dua belas saja tiga lapis legit ini.

"Ya sudah, ayo ikut tadarus sama-sama dengan yang lain. Kalian mandi, wudhu dan sholat Dhuha ya."

"Ashiiiaaapp Pak Kiai!" ujar Taufan, Blaze dan Thorn. Mereka lalu berhamburan lomba lari ke kamar mandi.

"Pak Kiai...?" gumam Gempa heran. Tapi sedetik kemudian ia buru-buru menyusul trio itu. Kalau tidak disupervisi, nanti mereka malah main air!

.

.

Selesai mandi, wudhu dan sholat Dhuha di kamar masing-masing, mereka bertiga bersama Gempa menuju ruangan sholat. Ketika hendak memasuki mushalla, terdengar lantunan halus ayat suci. Tampak Halilintar memimpin tadarus diiringi suara Solar dan Ice—lazimnya mereka berganti-gantian memimpin tadarus agar tak lelah. Giliran Halilintar yang terakhir.

Empat kembar itu memasuki ruangan dengan diam dan duduk mendengarkan.

Tak lama kemudian, Halilintar, Ice dan Solar menutup pembacaan ayat dengan zikir dan doa. Setelahnya, Ice merapikan semua Al-Quran dan menaruhnya di rak kecil bersama sajadah. Solar dan Halilintar serempak menatap jam tangan mereka.

"Sudah jam segini, waktunya kajian Kak Gempa," tagih Solar.

"Emang kita ada kajian?" ulang Taufan.

"Kajian apaan?" tanya Blaze.

"Kajian itu apa?" tanya Thorn.

"Sudah rutin jam segini Gempa beri materi tafsir sedikit," kata Halilintar. "Kalian dengarkan aja walau cuma sekali."

"Waktu dan tempat dipersilahkan," ujar Ice sambil tersenyum ke arah Gempa.

Gempa berdehem sebentar dan membuka buku tebal yang dibawanya. Ia lalu membuka dengan salam dan doa majelis ilmu yang di-aamiin-kan oleh keenam saudaranya.

"Oke kita sambung yang kemarin, masalah bacaan Al-Fatihah dan pandangan empat mazhab," mulai Gempa. "Sebelum itu, aku mau tanya ke Kak Upan, Blaze dan Thornie ya. Kalian tau 'kan arti surah Al-Fatihah?"

Ketiganya tampak salah tingkah. Taufan melempar cengiran tak enak. Blaze tampak berpikir keras sambil merapalkan sesuatu. Thorn menggaruk kepalanya.

Halilintar facepalm.

"Gimana mau sholat kalau kagak tau arti surah terpenting?" tanya Halilintar.

"'Kan yang penting hafal bacaan sholat!" ujar Taufan bela diri.

"Gak bisa gitu, kita harus tahu arti setiap bacaan sholat kalau mau khusyuk dan diterima," ujar Solar.

"Benar. Memperbaiki kualitas sholat sama dengan memperbaiki kualitas hidup," ujar Ice. "Gak cuma itu, sholat yang benar akan mencegah seseorang melakukan perbuatan munkar."

"Jadi kalau ada yang sholat tapi masih asyik melakukan hal jahat, maka ada yang salah dengan sholatnya," tambah Gempa seraya tersenyum.

Taufan, Blaze dan Thorn tampak mencerna nasihat keempat saudara mereka. Meskipun mereka agak usil, namun tabiat mereka cukup lembut hingga mau menerima nasihat dengan ringannya. Baik Halilintar, Ice, Solar terutama Gempa menjadi agen pengontrol bagi tiga yang lain—dan ini lumrah.

Agar terjadi keseimbangan lingkungan, harus ada pengendali kekacauan di mana saja. Tak heran akan selalu ada kejahatan digandengi kebenaran sebagaimana dusta dengan kejujuran. Dua hal yang bertentangan meski dengan paradoks akan selalu berbenturan hingga yang benar akan membinasakan yang salah—dan inilah ketetapan dari Yang Maha Adil.

Acap kali kita mengeluh saat melihat moral yang sangat bobrok—itu takkan terjadi jika budaya menasihati berkembang subur, bukan budaya acuh tak acuh dan mental "yang penting aku senang". Ini agar benih-benih kejahatan dibasmi sebelum menjadi kuat tertanam, namun sayangnya kini generasi yang berlalu lebih baik daripada generasi mendatang.

Lagipula, jika trio ini dibebaskan berbuat sesuka hati, justru menandakan para kembar lain terlalu asyik pada diri mereka sendiri. Seolah tak mau repot-repot melayangkan teguran yang berfondasi rasa sayang.

Karenanya mereka selalu membimbing satu sama lain jika ada yang tergelincir, seperti perkara bacaan sholat ini.

"Ehe, ya Kak, nanti aku hafalin lagi arti bacaan tiap gerakan sholat," ujar Blaze seraya menggaruk kepalanya.

"Aku juga, aku juga," angguk Taufan. Thorn ikut mengangguk antusias.

"Hmm baguslah," ujar Gempa. "Nah, karena kalian gak tau arti surah Al-Fatihah maka biar aku bacakan ya."

Gempa lalu tampak berkonsenterasi. "Bismillahirrohmannirrohim, artinya, dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..."

Taufan angkat tangan, minta interupsi. Dengan sabar Gempa menoleh.

"Ada apa Kak?"

"Eh, aku cuma belom terlalu ngerti makna 'Yang Maha Pengasih lagi 'Maha Penyayang' itu... maaf pertanyaanku rada bodoh Gem, ahahaha."

Gempa tersenyum saja.

"Gak bodoh kok, itu pertanyaan sangat dalam," ujarnya. "Sebelumnya aku mau tanya. Kita sholat untuk siapa?"

"Untuk Allah," jawab keenam saudaranya serempak. Gempa menggeleng kecil.

"Allah gak perlu sholat kita. Allah gak perlu ibadah kita. Kalau Allah gak perlu apapun dari kita, lantas buat apa Allah memberikan surga dan rezeki bagi kita? Bukannya kita sama sekali gak beri keuntungan apa-apa ke Allah?" cecar Gempa.

Semua saudaranya hening. Pandangan seperti ini sama sekali berbeda dengan pemikiran mereka. Dawamnya mereka hanya patuh ibadah tanpa memikirkan implikasinya, dan pertanyaan Gempa barusan seolah air es yang mengguyur kepala mereka berenam.

"Ada yang bisa jawab?" tanya Gempa. Enam lain hanya diam menunggu. Gempa lantas menghela nafas kecil.

"Allah gak dapat secuilpun keuntungan menciptakan kita dan memberikan kita rezeki tapi Allah masih melimpahkan karunia tak terbatas pada kita. Bahkan karunia yang tak pernah kita minta sebelumnya seperti tubuh sehat dan menjadikan kita Muslim. Allah tetap beri kita makan enak sekalipun kita berbuat dosa dan durhaka. Kurang baik apalagi Tuhan kita?"

"Kitanya yang suka lupa betapa baiknya Allah. Kita buat baik ke orang saja suka marah kalau jasa kita dilupakan, nah Allah tetap penyayang dan pemurah pada kita walau kita suka menyakiti agama Allah. Tapi mana perlu Allah dengan rasa terimakasih kita? Justru kitalah yang perlu menghambakan diri atas segala kebaikan dan kasih sayang Allah yang tak terbatas."

"Kita diberi uang segepok pasti kita tidak akan lupakan orang itu. Kita pandai ingat kebaikan orang ke kita lantas mengapa kita selalu lupa kebaikan Allah? Apa karena Allah tak terlihat mata jadi kita mudah lupa? Ingatlah jasad manusia ini terlalu sederhana untuk dapat melihat Dzat sekaliber Tuhan, namun keberadaan Allah tetap meliputi kita semua."

"Karenanya Allah menyuruh sholat dan ibadah untuk diri kita sendiri, agar kita selamat dari sifat Iblis dan ikut dipanggang di neraka gara-gara ikutan latah ingkar. Ibadah kita hanya untuk memisahkan kita dari golongan setan. Ini bukti Allah ingin kita bisa pulang ke surga, sebagaimana seharusnya. Manusia diciptakan agar tinggal di surga—hanya saja tak semua manusia berhasil mudik ke sana."

"Ingatlah, ibadah kita ini terlalu sepele untuk membeli surga Allah. Ibadah kita ini terlalu receh untuk membeli segala karunia-Nya. Ibadah kita tidak akan mengantarkan kita ke surga, tapi sifat Maha Pemurah, Maha Pengasih Allah yang memasukkan kita ke surga. Itu saja."

"Karenanya jangan bangga pada jumlah sholat dan bacaan Al-Quran kita. Jangan bangga pada pengetahuan agama kita. Jangan bangga pada tiap kebaikan kita. Kita bisa berlaku baik, bisa rajin sholat dan mengaji itu atas kehendak Allah! Jangan terlalu percaya diri dan ge-er kalau semua itu karena usaha kita. Itu karena Allah menuntun kita berbuat baik."

Gempa menutup bukunya. "Sekarang kalian bisa paham kenapa Allah disebut sebagai "Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pemurah"? Semoga kita semua selalu diberi petunjuk dan hidayah serta rahmat-Nya, aamiin."

"Aamiin ya Robbal 'alamiin," ucap keenam saudaranya serentak. Artinya, "kabulkanlah wahai Tuhan semesta alam."

"Barakallahufiik," ucap Halilintar, Ice dan Solar pada Gempa hampir bersamaan. Artinya, "semoga Allah memberkahimu."

"Terimakasih banyak Gem, ceramah singkatmu barusan itu ngebuka mata," kata Taufan sembari menampilkan seulas senyum manis. "Gak pernah mikirin itu sebelumnya."

"Ha'ah, emang gak heran jadi Pak Kiai!" kata Blaze tertawa renyah. "Ehe, tapi makasih banyak nasihatnya Kiai Gem~"

"Makasiih banyak Pak Kiai!" sorak Thorn ceria.

"Kalian... aku bukan kiai lah! Aku masih bodoh!" kata Gempa salah tingkah. "Siapa yang memulai trend ini?"

Serempak Taufan, Blaze dan Thorn menunjuk Halilintar. Si sulung tampak gelagapan, Solar dan Ice menutup mulut menahan tawa.

"Kak Hali?" echo Gempa.

"Iya, aku liat nama kontakmu di hape Kak Hali itu "Pak Kiai" lho!" adu Taufan. Halilintar kian tersipu bercampur defensif.

"Itu karena aku berharap Gempa beneran jadi alim ulama, oke? Biar jadi suluh penerang kita semua, bahkan orang lain. Apa salahnya aku berharap baik-baik ke adikku sendiri?"

Halilintar menggerutu dengan semburat merah di pipinya. Solar dan Ice menepuk bahu si sulung sebagai tanda solidaritas.

"Kita setuju sih, makanya kita bikin trend ini," kata Solar.

"Kak Gem gak keberatan 'kan?" tanya Ice. Gempa menggaruk pipinya.

"Aku senang didoakan baik-baik tapi kalau sampai aku digelari kiai itu bikin aku takut muncul fitnah ilmu dan kesombongan," ujar Gempa. "Lagipula aku banyak cacatnya jadi gak terlalu pantas beri wejangan."

"Gempa, kalau tunggu sempurna tiada dosa dahulu baru beri nasihat, niscaya takkan ada penceramah di muka bumi ini," kata Halilintar datar.

"Yang penting beri nasihat ke diri sendiri dahulu baru ke orang lain, dan selalu sibuk mencari aib sendiri," kata Ice.

Gempa mengangguk paham.

"Iya, sangat benar perkataan kalian berdua. Kita mesti selalu sibuk perbaiki diri. Hanya saja panggil aku kayak biasa ya?"

"Iya deh Gem," ujar Taufan mengalah. Ia lalu menyikut Halilintar. "Dengerin tuh Pak RT, ganti nama Gem-Gem di hapemu."

"Iya, iya," kata Halilintar. Sedetik kemudian Halilintar mengerutkan kening. "Kamu panggil aku Pak RT tadi?"

"Iya, itu nama kontak Kak Hali di hapeku," ujar Taufan dengan wajah polos. Halilintar mulai jengkel.

"Kamu ini—"

"Sudah, sudah, sabar Kak, jangan marah. Sayang puasanya," lerai Gempa. "Kak Upan mohon jangan suka mengusili orang puasa ya. Kakak 'kan bukan setan."

Semua kembar menahan tawa sementara Taufan memamerkan cengiran malu.

"Ehehe, oke, Gem!"

Kajian pagi itu kembali berlangsung dengan lancar. Sesekali ada pertanyaan dilontarkan dan dibahas secara terperinci tanpa ada yang merasa harga diri terinjak saat dinasihati. Memang indah kebersamaan dalam wadah yang baik—ibarat tanaman yang tumbuh pada tanah yang gembur dan basah. Tanaman itu akan menumbuhkan buah yang mengenyangkan bagi makhluk memerlukan, sebagaimana insan yang baik memberikan makanan rohani pada sekitarnya.

Bila suatu lingkungan tidak berhasil memberi manfaat dan menambah keimanan, maka berpalinglah dari sana. Setidaknya itu yang ditanamkan para cucu Tok Aba ini ke diri mereka sendiri tanpa merasa wajib memenuhi standar semu "agama adalah produk ketinggalan zaman".

Menjadi manusia yang mengenal Allah adalah hal paling romantis, sebab kita belajar mencintai Dzat yang tak pernah kita lihat. Memikirkan hal-hal yang membuat kita kian rindu pada negeri keabadian, negeri tanpa susah hati serta mendapat kehormatan tertinggi menyaksikan sosok Dia.

Karenanya, mengapa harus malu menjadi manusia yang berpegang erat tali agama Allah? Agama ini bukan aib!

.

.

Fin.

.

Ambil manfaatnya. Buang buruknya.

Semoga berkah dan selamat beribadah!