disclaimer: standard disclaimer applied. haikyuu! milik haruchi furudate

I think I'll make it into two parts with Akaashi's POV first and probably Bokuto's in the 2nd part. Since this is my first time writing for haikyuu and bokuaka, I gladly accept all of your reviews/constructive comments.


On the day when I didn't see your back once
It was definitely boring all day long
The classroom, the hallway, the stairs, the edge that you returned to of the hill
If you realized that I was looking for you

卒業メモリーズ〜サヨナラ、あなた
- Sawai Miku

.

.

.

Akaashi sama sekali tidak menangis saat dia mengucapkan, "Selamat atas kelulusanmu, Bokuto-san."

Malahan, Akaashi hanya tersenyum simpul sambil menyerahkan sebuket bunga atas nama teman-teman klub voli. Bokuto yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari adik kelasnya yang lain, kini mulai beralih untuk memandang Akaashi dan membalasnya dengan tersenyum lebar.

"Aku juga, terima kasih untuk semuanya Akaashi".

Akaashi ingat bagaimana cara Bokuto mengucapkannya, tanpa beban, tanpa paksaan. Yang benar-benar dirasakannya saat itu adalah balasan ucapan terima kasih yang begitu tulus, seakan-akan seluruh tiga tahunnya saat sekolah tertuang dalam satu kalimat sederhana. Akaashi tahu Bokuto adalah seseorang yang paling ekspresif dalam mengungkapkan sesuatu, tetapi dia tidak pernah tahu Bokuto bisa mencurahkan seluruh perasaannya dalam dua tahun dengan begitu mudah.

Andai Akaashi juga begitu.

Mungkin menangis seperti teman-teman klub voli lainnya bisa membuat perasaannya sedikit lega. Namun, Akaashi sama sekali tidak menangis. Dia masih bisa tersenyum, dia masih tertawa, dia juga masih bisa memandang Bokuto tanpa merasa pemuda itu tidak akan ada di sini lagi esok hari. Tidak apa-apa, hanya satu tahun tanpa Bokuto-san, adalah pikirannya ketika bayangan Bokuto tidak ada di sekolah ini mulai muncul lagi. Akaashi selalu mengulang-ulang pikiran itu, seperti mantra, dan agaknya mulai tertanam dalam benak, sampai Akaashi mengambil kesimpulan, tidak apa-apa, tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.

Akaashi sama sekali tidak menangis pada hari kelulusan Bokuto, bahkan ketika pemuda itu menepuk pundaknya dan berkata:

"Ayo, Akaashi, setelah ini temani aku di lapangan voli untuk terakhir kali."

.

.

.

Pada tahun ajaran baru, dia merasakan musim semi yang sama seperti musim semi tahun sebelumnya. Merah muda masih menghiasi langit biru yang cerah, dan angin sisa musim dingin masih membuat jarinya kaku. Selain itu, riuh dan ramainya anak-anak yang kembali ke sekolah atau anak-anak baru masih sama, pidato kepala sekolah juga masih membosankan seperti tahun lalu. Tidak ada yang berubah, dia baik-baik saja, semuanya masih sama.

Kecuali, dia tidak lagi menemukan Bokuto yang ketahuan tertawa dengan suara keras di aula sekolah. Dia juga tidak lagi berpapasan dengan pemuda tinggi dengan bahu yang lebar di koridor setelah keluar dari aula penyambutan siswa baru. Tidak ada lagi sapaan, Akaashi setelah sekolah, datang ke lapangan voli seperti biasa, ketika mereka berpapasan, dan Akaashi juga tidak lagi menjawab, tentu aku akan ke sana, Bokuto-san.

Bokuto tidak ada di deretan bangku anak-anak kelas tiga, Bokuto juga tidak ada lagi di koridor sekolah setelah mereka keluar dari aula. Akan tetapi, Akaashi bisa melihat dan mengingat dengan jelas jika seandainya pemuda itu berdiri di sana dan tersenyum lebar ke arahnya.

.

.

.

Akaashi merasa semuanya baik-baik saja saat dia masuk ke dalam kelasnya yang baru.

Ada wajah baru yang tidak dikenal, tetapi ada wajah lama yang sudah dikenalnya sejak kelas satu dan dua. Pembagian tempat duduk dilakukan secara acak, dan Akaashi duduk lagi di baris ketiga dari depan dekat jendela yang langsung menghadap ke lapangan sekolah. Saat wali kelas barunya sibuk menjelaskan tentang apa yang akan mereka hadapi selama setahun ke depan, Akaashi bisa melihat beberapa anak kelas dua yang berjalan melewati pinggir lapangan sambil tertawa.

Tawa mereka memang tidak terdengar sampai telinga Akaashi, tetapi dia bisa sedikit membaca bibir salah satu dari anak yang sedang bicara. Akaashi terbiasa membaca bibir seseorang karena dia terlalu sering bertemu pandang dengan Bokuto yang berada di sisi lain sekolah. Akaashi paling sering memperhatikan Bokuto dari dalam kelas ketika pemuda itu berada di luar untuk pelajaran olahraga. Ketika mata mereka bertemu, Bokuto akan melambai dengan penuh semangat, kemudian bibirnya bergerak tanpa bersuara karena jika Bokuto berteriak, tentu akan ada yang dimarahi. Akaashi ingat sekali apa yang sering dikatakan pemuda itu:

"Akaashi."

Bibir itu bergerak pertama kali menyebutkan namanya.

"Setelah sekolah, datanglah lapangan voli seperti biasa."

.

.

.

Akaashi menghabiskan setengah hari pertama sekolahnya dengan melamun memandangi jendela, dan tidak menyadari bahwa jam makan siang sudah datang. Dia menghabiskan waktu istirahatnya di dalam kelas dengan makan siang tanpa gangguan. Tidak ada seorang kakak kelas berambut jabrik yang datang ke kelasnya dan hampir berteriak, hei, Akaashi, ayo ke kantin, atau, hei, Akaashi, ada yang ingin aku bicarakan. Teman-temannya dulu sedikit terganggu setiap si kakak kelas itu datang pada jam makan siang, tetapi lama-lama mereka terbiasa dan membiarkan saja si kakak kelas merusuh karena mencari-cari Akaashi.

"Jarang-jarang sekali kau bisa menghabiskan makan siangmu, kan?"

Salah satu temannya sejak kelas dua datang sambil mengunyah roti. Temannya itu duduk pada bangku di depannya, dan menghadap Akaashi yang mulai membereskan bekal makan siangnya. "Biasanya kau tidak pernah benar-benar menghabiskan makan siang karena Bokuto-san selalu datang merusuh makan siangmu," katanya lagi.

Akaashi tertawa kecil, dia tidak mau mengelak karena apa yang dikatakan temannya itu benar. Makan siangnya selalu tersisa karena sebelum Akaashi benar-benar menghabiskannya, Bokuto akan mendatanginya lebih dulu. Entah untuk mengajaknya pergi ke kantin, membicarakan urusan klub, atau hanya sekadar ingin menceritakan bagaimana dia dihukum karena lupa membawa tugas matematika. Akaashi bisa saja menghabiskan makan siang sambil mendengarkan cerita Bokuto, tetapi Akaashi selalu memilih untuk meletakkan alat makannya dan memperhatikan cerita Bokuto sambil menyimak tawanya yang renyah berdenggung merdu di telinganya.

"Ah, kau benar," ujar Akaashi sambil mengabiskan minumannya. "Aku baru menyadarinya sekarang."

Temannya itu mulai bicara lagi, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Bokuto, tetapi dalam ramainya pembicaraan makan siang di kelasnya, samar-samar Akaashi bisa mendengar tawa Bokuto. Dan ketika bel sudah berbunyi, tawa itu terhenti, digantikan dengan sebuah kata-kata yang akan selalu diucapkan Bokuto kepadanya sebelum pemuda itu beranjak untuk kembali ke kelas:

"Jangan lupa datang untuk latihan, seperti biasa."

.

.

.

Datanglah ke lapangan voli hari ini.

Jangan lupa latihan.

Aku menunggumu di ruangan klub—

Akaashi bisa mengingat semuanya dengan benar, dan bagaimana cara Bokuto mengucapkannya. Namun, dia tidak pernah tahu bahwa akan ada pada suatu hari di mana Akaashi tidak bisa mendengarnya lagi langsung dari bibir pemuda itu. Setelah bel pulang sekolah hari itu berbunyi, Akaashi tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Butuh beberapa saat sampai salah satu temannya menepuk punggung Akaashi, dan berujar, "Ayo, Akaashi, kita pergi karaoke hari ini dengan yang lain."

"Maaf aku ada kegiatan klub."

"Ah, benar juga."

Satu persatu temannya mulai pergi, dan Akaashi memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya terasa berat, tetapi dia tetap melangkah dengan tempo lambat. Akaashi hanya perlu berjalan turun, mengganti sepatunya lebih dulu, menuju gedung sebelah, dan masuk ke ruangan klub untuk mengganti pakaian kemudian baru menuju lapangan voli.

Alih-alih menuju ruangan klub, Akaashi memutuskan untuk berbalik ke lapangan voli lebih dulu. Dia membukanya dengan kunci cadangan yang dipunya, dan entah mengapa, untuk pertama kali pintu lapangan terasa lebih berat ketika dibuka. Ketika melangkah masuk, Akaashi bisa merasakan aroma lapangan klub yang tidak berubah. Pengap karena baru dibuka setelah beberapa minggu tidak digunakan, dan bercampur dengan sedikit aroma asam dari karet bola voli yang tertinggal. Akaashi menghela napas pendek, mengedarkan pandang untuk merasakan begitu heningnya tempat ini jika dibandingkan dengan yang biasa dia temui setiap hari.

Akaashi sama sekali tidak menangis pada hari kelulusan Bokuto, tetapi dia menangis ketika sosok yang selalu bisa tertangkap sudut matanya itu, kini sudah tidak bisa ditemukan di sini lagi.

Bokuto-san, aku tetap datang, seperti biasa.

.

.

.