Normal POV
Kisah ini akan dimulai dengan hujan sebagai latar suasana.
Rintikan air yang muncul bersahut-sahutan tidak membuatnya untuk lepas dari singgasana. Dia berdiri tegap dengan payung sebagai pelindung badan. Lelaki dengan tinggi serta tubuh proposional telah menampakkan diri di sana, di depan benda mati yang menampilkan tulisan dari sebuah nama. Genggaman pada payung tidak pernah berkontradiksi dalam perubahan, melainkan kedua mata heteromatika hanya membatu dan membaca tulisan tersebut sampai tiga jam lamanya.
Hujan adalah satu-satunya keajaiban yang dapat menyembunyikan air mata.
beristirahatlah dengan tenang, pergilah menuju permukaan tertinggi
— Kuroko Tetsuya, 01 Februari —
Akashi Seijuurou tidak percaya. Ia tidak ingin percaya. Ia berusaha untuk tidak percaya.
Pemuda itu berdiri di sana dengan rambut merah yang basah; membatu seperti terjatuh layaknya bunga layu di tengah lautan, dihantam oleh sesuatu yang begitu keras, ditusuk dengan ribuan pedang, merasakan kehampaan di luar batas, keinginan untuk segera pergi dari kenyataan adalah sebuah impian.
Seijuurou tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin berteriak, namun tidak memahami akan tujuan dari tindakan bodoh yang harusnya tidak perlu dilakukan.
Payung berwarna hitam adalah salah satu saksi yang melihat seorang Akashi Seijuurou dalam kondisi terpuruk seperti saat ini. Ia tidak terisak seperti anak kecil, berlutut seperti orang patah hati, atau membuat ekspresi menyesal hingga ingin tahu bagaimana rasa ketika mati. Pemuda dengan harga diri tinggi sangatlah tidak cocok untuk berbuat hal tak masuk akal yang sering dirinya lihat dalam drama televisi. Ia tidak akan membuat dirinya kotor akibat fenomena hujan yang terus menghampiri. Ia bersumpah untuk tidak berlutut di depan batu nisan sebagai tanda tempat peristirahatan terakhir. Ia hanya ingin menampakkan ekspresi berupa jeritan yang tidak dapat didengar oleh semua orang di dunia ini.
Seijuurou hanya terdiam, merenungi sebuah dosa besar yang telah dirinya perbuat.
Seijuurou hanya menampakkan ekspresi datar, berusaha untuk tidak memberikan penyesalan.
Seijuurou hanya dapat meletakkan bunga, berniat untuk mempercantik makam itu dengan sesuatu berwarna merah.
"Aku mencintaimu."
— ujar kekasihnya waktu itu.
Meski tetap menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya baik-baik saja, namun hal tersebut tidak akan mempan terhadap perasaan serta rasa bersalah yang bersarang di dalam dada.
"Hubungi aku kalau sempat, sampai jumpa."
— kesempatan itu tidak akan pernah datang.
Seijuurou tetap berdiri tegap di depan sana.
— air mata dapat terlihat walau dirinya telah dilindungi oleh payung berwarna hitam.
Hatinya menjerit maaf.
Hatinya berkata bahwa dia menyesal.
Hatinya berujar bahwa dia yang penuh keabsolutan ini adalah sampah.
Hatinya berbisik bahwa dia sangat merindukannya.
.
.
.
IF YOU LOVE ME
Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi
If You Love Me by stillewolfie
Akashi S. & Kuroko T.
OOC, Alternate Universe, typos, etc.
.
.
A Sequel Fiction of Can You Hear Me by stillewolfie on March 2020
— please read can you hear me first, thank you —
.
.
Akashi Seijuurou, Kuroko Tetsuya.
Mereka bertemu saat berada di universitas yang sama.
Akashi Seijuurou.
Akashi Seijuurou adalah pemuda yang sangat terkenal; mungkin bagi orang yang tidak mengenal dia, mereka akan disebut sebagai manusia gua dan tidak pedulian. Ia adalah salah satu mahasiswa yang memiliki predikat terbaik dalam berbagai bidang. Ia memiliki ratusan kolega yang dapat membuat dirinya semakin berada di atas semesta, meninggikan hati bahwa tidak ada di dunia ini yang dapat membuatnya jatuh ke dalam hal yang disebut sebagai perasaan putus asa.
Seijuurou memiliki nilai lebih karena dia berasal dari keluarga terpandang. Akashi, ketika kau mendengar namanya, maka yang ada di dalam pikiranmu hanya satu: kesempurnaan. Keluarga Akashi identik dengan keturunan mereka yang jenius dan luar biasa, Seijuurou adalah sebuah bukti nyata; dapat dibuktikan dengan puluhan prestasi membanggakan yang dapat membuat dirimu berdecak sekaligus menggelengkan kepala.
Intinya, Akashi Seijuurou dikenal sebagai lelaki absolut yang dapat memberi perintah. Dia akan membuat dirimu malu sampai ke akar hingga kau akan berpikir bahwa lebih baik mati dari pada mencari masalah.
"Akashi, kau lihat apa?"
— suatu hari dalam pertandingan basket.
Keriuhan telah terdengar hingga membuat sesak. Pekikan dari segala sudut dapat terasa sampai membuat muntah. Lapangan tersebut diisi oleh dua tim: tim tuan rumah sekaligus tim lawan. Universitas Teikou adalah salah satu kampus terbesar, memiliki satu lapangan basket tentu bukanlah masalah. Akashi Seijuurou kembali mencetak angka, mengundang jeritan dari penonton yang didominasi oleh perempuan. Lengkingan peluit pertanda pertandingan selesai adalah sebuah awal, ketika manik heteromatika tidak sengaja melihat salah satu rupa unik di antara berbagai warna gelap.
— di sana, terduduk satu manusia dengan rambut berwarna biru muda.
Seijuurou melihat sosok itu datar, namun hati berkata satu hal;
— aneh.
Seijuurou menerima minum yang telah diberikan oleh sosok yang tidak dia kenal. Ia terlalu terpaku oleh lelaki di depan sana yang sibuk memandangi lapangan, bukan dirinya. Iris heteromatika memperhatikan begitu dalam, pun perasaan mulai menunjukkan penasaran. Ia menarik baju dari sosok berkulit lebih gelap, berbisik satu pertanyaan yang membuat Aomine Daiki seketika mendelikkan mata.
"Kau kenal dia?"
Daiki ingin bertanya lebih jauh, namun dia sadar bahwa mata Seijuurou hanya berpaku pada satu.
"Oh," Daiki berujar santai, "Dia Kuroko Tetsuya, temannya Kise."
Kemudian, Seijuurou tidak bertanya lebih jauh.
Kuroko Tetsuya.
Kuroko Tetsuya adalah pemuda dari jurusan yang tidak terkenal. Ia menyukai buku dan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal tradisional. Pemuda dengan tubuh yang tidak terlalu besar, memiliki mahkota biru muda seperti langit musim panas. Ia memiliki binar mata yang berbeda dengan orang biasa; kosong, hampa, datar. Tetsuya adalah seorang mahasiswa tanpa predikat apa-apa. Ia tidak memiliki prestasi yang cukup signifikan. Ia hanya seorang pemuda apatis yang suka menghabiskan waktu di dalam perpustakaan. Ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan lebih terhadap sesuatu yang bersifat viral dan romansa. Ia menyukai kesendirian. Ia menyukai kebebasan. Ia adalah sesuatu yang tidak terlihat.
Hingga ada suatu ketika, seseorang menepuk pundaknya seperti mereka adalah teman akrab.
"Kau Kurokocchi, 'kan?" Tetsuya hanya membalas dengan kedipan mata. "Dari pada sendirian di sini, kurasa menonton pertandingan basket jauh lebih menarik-ssu."
— satu kata, basket.
Ia merasa bahwa basket adalah olahraga yang sedikit membuatnya tertarik.
Tetsuya mengiyakan 'paksaan' dari Kise Ryouta, seorang mahasiswa terkenal yang entah datang dari mana. Mereka pergi ke lapangan basket di tengah pusat kampus dan berpisah. Ryouta berkata bahwa dia adalah salah satu pemain utama yang akan tampil di lapangan, Tetsuya hanya mengangguk serta mengatakan semoga beruntung.
Ryouta bermain di depan sana; begitu lincah, begitu hebat, begitu pantas, begitu luar biasa. Tetsuya menonton dari belakang jaring dan duduk di tengah jeritan para wanita yang bersorak untuk masing-masing idola. Pemuda bermata terang hanya duduk sembari memangku tas, menatap proses permainan yang sangat mengerikan sekaligus mengundang jantung berpacu cepat. Ia melihat bahwa anggota tim kampusnya adalah yang terbaik, terlebih lagi, rambut mereka berwarna-warni.
Tetsuya tidak mengerti, namun berusaha untuk paham bahwa orang-orang itu adalah anggota terpilih.
PRIIIITT!
Peluit dari wasit sudah dibunyikan, Universitas Teikou dinyatakan menang dengan skor yang cukup lebar. Ia tidak berdiri dan bertepuk tangan, hanya diam sembari melihat para pemain yang sibuk bersalaman. Ia tersenyum tipis, berandai-andai seperti mimpi; dirinya yang memiliki tubuh kecil memiliki impian untuk berdiri di sana, bertanding, mencetak angka, dan mengundang kesenangan dari teman-temannya.
— meski hal tersebut terkesan mustahil.
Hm?
Tetsuya tiba-tiba menyadari satu hal.
— kilasan penasaran yang tersirat dari kedua mata heteromatika.
Tetsuya segera mengalihkan pandangan, tidak peduli dengan seorang pemuda berambut merah dengan mata yang berbeda. Ia seketika berdiri ketika Kise Ryouta menghampirinya menggunakan senyum cerah serta mata emas yang berbinar.
"Kurokocchi, habis ini tidak ada jadwal 'kan?" Tetsuya mengerutkan alis, bingung. Ia menggeleng sebagai tanda bahwa dirinya adalah sosok yang jujur. "Kalau begitu, ayo ikut aku-ssu!"
— ini perasaannya saja atau model yang sedang naik daun ini adalah sosok pemaksa?
"Akashicchi, Akashicchi!" Tetsuya sama sekali tidak bisa berdalih saat tangan kanan digenggam kencang oleh Ryouta, menyeretnya menuju tempat luas di sebelah lapangan. "Aku berhasil membawanya ke mari!"
Tetsuya merasa ambigu, apa-apaan perkataannya yang tidak sopan itu?
— dari sanalah, awal mula dari sebuah kisah romansa antara mereka berdua.
Pemuda berambut merah memberikan senyum tipis. "Akashi Seijuurou."
Yang dimaksud mengangguk. "Kuroko Tetsuya."
.
.
if you love me –
.
.
Kuroko Tetsuya tidak tahu sejak kapan hal ini terjadi.
Ia merasa bahwa apabila dirinya pergi ke suatu tempat, maka Akashi Seijuurou berada di tempat yang sama.
"Akashi-kun," Tidak ada yang tahu ada apa dengan otak milik lelaki berambut merah. Tetsuya berhenti melangkah, menoleh ke belakang, mendapati Seijuurou juga menghentikan langkah, menatap dirinya. "Kumohon, jangan mengikutiku terus."
"Aku tidak mengikutimu."
Tetsuya menatap Seijuurou, datar sekaligus mencari kebenaran akan sesuatu.
"Kalau ada perlu, katakan saja." Mereka berada di lorong perpustakaan pusat dengan beberapa mahasiswa berlalu-lalang. Sejujurnya, Tetsuya tidak terbiasa; berbeda dengan Seijuurou yang menyukai perhatian. "Ada apa?"
Tetsuya dapat menemukan senyum tipis di bibir sang pemuda tampan. Iris heteromatika seketika berbinar saat melihat sosok itu menghampirinya, datang kepadanya.
"Aku memang ingin pergi ke perpustakaan."
"Kalau begitu, kenapa berjalan di belakangku?"
"Aku hanya ingin melihatmu dari jauh."
"…untuk?"
"Untuk mengagumimu." Seijuurou melebarkan senyum. Tetsuya dengan wajah tanpa ekspresi adalah dua fragmen yang sangat menyatu. "Punggungmu indah, Tetsuya."
— dan tamparan keras pada pipi adalah hal yang terjadi selanjutnya.
.
.
Akashi Seijuurou menopang dagu.
Kuroko Tetsuya sama sekali tidak terganggu dengan keadaan itu.
Perpustakaan adalah tempat yang cocok untuk bertemu, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Seijuurou. Pemilik sifat keabsolutan hanya terdiam, terduduk di depan lelaki kecil yang sedang membaca buku. Ia menyukai keheningan. Ia menyukai ketenangan. Ia menyukai orang yang tidak banyak bicara.
— dan semua kesukaannya berada di dalam Kuroko Tetsuya.
Seijuurou menyukai bagaimana Tetsuya bergerak, berjalan pelan, menghindari orang-orang. Ia menyukai pemuda itu dengan sikap sabar serta penuh kerja keras. Ia takjub saat mengetahui bahwa Tetsuya dapat menulis tiga bab novel garapan dalam waktu dua jam. Ia senang melihat Tetsuya membaca buku dengan kapasistas halaman di luar akal. Ia senang saat memiliki kesempatan untuk mengawasi Tetsuya bekerja sambilan di salah satu supermarket hingga pulang larut malam. Ia senang saat melihat Tetsuya tampak suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan basket. Ia juga senang saat melihat Tetsuya senang. Seijuurou merasa bahagia kala melihat peluang bahwa mereka bisa berduaan seperti sekarang.
— ia menyukai semua hal dalam diri pemuda bermata cerah.
"Apa yang Akashi-kun pikirkan?" Tetsuya mendongak, mengalihkan pandangan dari buku yang dia baca. Bagi Seijuurou, gerakan itu sangatlah indah. "Berhenti tersenyum-senyum seperti itu."
Seijuurou malah semakin tersenyum. Tetsuya hanya mengernyitkan alis, bingung. "Entah, aku hanya sedang senang saja." Ia tertawa pelan. "Hari ini, aku hanya ingin bersamamu, Tetsuya."
Tetsuya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Seijuurou. Ia hanya mengangguk pelan, tidak terlalu peduli dengan status mereka yang cukup berbeda. "Kalau Akashi-kun merasa senang, aku tidak keberatan."
.
.
Seijuurou memelototi sesuatu.
Demi uang Akashi Masaomi yang dijamin tidak akan habis sampai kiamat datang, ia benci melihat pemandangan yang sedang terjadi di depannya. Ia tidak tahu bahwa hal sepele seperti ini dapat membuat dirinya yang selalu benar dan absolut akan merasa terbakar. Ia tidak ingin mengerti mengapa seseorang yang menjadi incaran untuk menjadi pacar malah rela dipegang-pegang oleh seseorang yang memiliki maksud kurang ajar. Ia tidak memahami perasaan macam apa saat melihat salah satu rekan terpercaya, Kise Ryouta, tampak menggenggam tangan Kuroko Tetsuya karena sebuah alasan konyol yang dapat membuatnya marah hingga ke puncak alam semesta.
"Kurokocchi, bolehkah aku memegang tanganmu?" Suatu hari, Ryouta bertanya dengan semangat. "Tanganmu kecil sekali-ssu! Terlihat manis!"
Yang dimaksud hanya menatap Ryouta, begitu datar minim ekspresi. Ia pun mengangguk, tidak keberatan sama sekali. "Boleh, Kise-kun."
— singkatnya, dia cemburu.
Akashi Seijuurou yang hebat, yang dielukan, yang menakutkan, yang memegang kendali atas segala hal, yang selalu sempurna; sedang cemburu.
"Tangan Kurokocchi sangat lembut-ssu! Pakai sabun apa?" Seijuurou mendelik ganas ke tangan keduanya. Ia dapat melihat bahwa jemari Ryouta sedang menyelip dan mengelus-elus jemari milik Tetsuya. "Nyaman sekali—" Tangan mereka terangkat secara sepihak. Pemuda berambut kuning cerah menciumi jemari itu, membauinya. "—dan harum-ssu!"
"Hanya sabun lokal, Kise-kun." Tetsuya tersenyum. "Tangan Kise-kun juga sangat besar, cocok kalau digenggam oleh seorang perempuan."
"Eeeeh, aku tidak mau mereka-ssu! Aku hanya mau pegangan tangan sama Kurokocchi—HIIIII!"
Entah dari mana, gunting berwarna merah mendadak melayang; hampir mengenai Ryouta yang ingin dekat-dekat dengan Tetsuya.
— seketika, semuanya terdiam.
Aomine Daiki yang dari tadi juga ada di sana pun ikut membatu, melepaskan bola basket di tangan, berkeringat dingin.
Midorima Shintarou pun sempat menahan napas. Ia menghapus gelagat gugup dengan menaikkan tangkai kacamata.
Kuroko Tetsuya tampak mengerjap heran, Kise Ryouta juga terlihat sudah setengah sadar.
Di sana, Akashi Seijuurou berdiri; diam dengan keabsolutan yang tinggi.
"Ryouta, lepaskan tanganmu."
— hanya satu perintah, mereka pun mendadak bubar.
.
.
Seijuurou menatap Tetsuya dari jauh.
Ketika mendengar kabar ini dari Ryouta, Seijuurou tidak berkata apa-apa. Ia hanya berbalik dan pergi menuju lokasi yang saat ini merupakan area pemakaman. Ia dapat melihat sosok itu berdiri di depan dua makam yang masih basah, masih baru.
"Kurokocchi tidak datang. Dia … uh, orang tuanya tewas karena kecelakaan dua hari yang lalu, Akashicchi."
— di sinilah dia berada sekarang.
Seijuurou pergi melangkah, mendekati Tetsuya yang masih berdiri dengan punggung tegap, menatap kosong pada dua nisan hitam yang bertuliskan nama dari sebuah keluarga.
Pemuda itu menyadari ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya, namun ia tidak perlu berbalik karena tahu siapa manusia yang telah datang tanpa diperintah.
Akashi Seijuurou, Kuroko Tetsuya.
— mereka tidak saling berbicara, memahami situasi dengan cara berdoa dalam diam.
.
.
Pada suatu malam dengan taburan salju yang turun dari alam semesta.
Akashi Seijuurou terdiam di depan gerbang taman, menatap Kuroko Tetsuya yang masih heran dengan alasan mengapa dirinya ditarik menuju tempat ini oleh pemuda berambut merah. Ia mengerjap lucu, memandangi Seijuurou yang dibalut oleh mantel cokelat serta syal berwarna senada dengan rambut.
"Tetsuya."
Kedua mata bagai hamparan langit bergeming, menatap iris heteromatika yang terlihat sedikit panik oleh sesuatu yang bersifat transparansi.
"Ada apa, Akashi-kun?"
Seijuurou adalah pemuda yang selalu yakin dengan sebuah keputusan. Tidak ada di dunia ini yang mampu membuat dirinya bertekuk lutut seperti manusia gagal. Ia tidak pernah merasakan apa itu ketakutan. Ia adalah manusia yang memiliki keyakinan dalam berbagai hal. Keegoisan adalah sikap utama, namun pantang menyerah adalah sebuah kelebihan. Dengan penuh keyakinan, Seijuurou mengambil tangan kiri Tetsuya, menyelipkan benda gemerlap yang seketika membuat sang pemilik terheran-heran.
"Akashi-kun," Jari manis telah terselip oleh sesuatu yang indah—cincin perak dengan ukuran pas, ukiran sederhana namun begitu terang seperti bintang di angkasa. "…kenapa—"
"Ayo menikah."
Tetsuya membulatkan mata.
Setelah kepergian orang tua dari Kuroko Tetsuya, Seijuurou tahu ia harus segera bergerak. Ia tidak mau menyia-nyiakan segala kesempatan yang telah diberikan. Ia ingin menjaga Tetsuya. Ia akan membuat dia bahagia. Ia akan menjadi seseorang yang bisa diandalkan. Ia akan bersama Tetsuya agar pemuda itu tidak merasakan definisi dari kesepian.
"Jika kau juga mencintaiku—" Seijuurou menusuk kedua mata yang telah membuatnya jatuh cinta. "—aku berjanji, akan kubuat kau bahagia."
— satu kata; sederhana.
Kuroko Tetsuya menatap kedua mata heteromatika, yang masih memandanginya dengan penuh pengharapan.
— bolehkah dia, pemuda yang tak pernah disadari keberadaannya, bahagia?
Genggaman mereka pun mengerat.
Seijuurou terkejut saat melihat Tetsuya menganggukkan kepala.
.
.
ended
.
.
.
.
omake
.
.
Pukul sebelas malam, Seijuurou membuka kedua mata.
Masih sama dengan pakaian yang dia kenakan tadi sore, ia terbangun dari kasur dengan jemari meremas rambut; pusing terlihat menghampiri, mengingat dirinya meninggalkan payung hitam di makam sang terkasih.
Suasana apartemen yang terlihat hanyalah kosong, hening.
Ia menoleh ke kiri; tidak ada siapa-siapa di sana, dia sendirian.
Ponsel di meja nakas terlihat berbunyi. Seijuurou mengabaikan panggilan itu karena dia tahu siapa yang telah menghubungi. Momoi Satsuki, mantan kekasihnya, kembali memanggil untuk ketiga belas kali pada hari ini. Seijuurou tampak tidak peduli, dirinya lebih memilih untuk melangkah dan terduduk di samping jendela kamar yang menjadi sebuah saksi.
Seijuurou mengeluarkan batang rokok, menyalakan nikotin tersebut dan menghirupnya pelan.
Demi Tuhan, dia benar-benar merindukan Kuroko Tetsuya.
— kembali, tangisan itu datang.
"—aku berjanji, akan kubuat kau bahagia."
Ia mendengus pelan. Omong kosong macam apa itu?
— ujung-ujungnya, dialah pihak yang membuat Tetsuya paling menderita.
.
.
A/N: salah satu kepingan kisah perjalanan mereka berdua, sebelum pelakor datang dan menghancurkan segalanya.
big thanks to guest reviews: Yuu Yukimura, Bona nano.
mind to review?