Pria muda itu berdiri, bertatap muka dengan bayang dirinya di dalam cermin. Dua iris aquanya mengilat jernih bagai melukiskan luasnya permukaan samudra. Sorot mata itu begitu lemah. Selaras dengan sudut bibirnya yang melengkung ke bawah. Tidak begitu jelas. Namun, ia takkan mengingkari hatinya yang terbelenggu amarah.

Kedua telapak tangannya meraih refleksi pada permukaan mirat. Jemarinya terkepal erat. Batinnya meraung frustasi, kesal dan penuh emosi.

Ia murka. Ia sebal pada dirinya.

Kedua lengan itu terayun menghempas keras cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Bidang kaca yang retak menghambur melepaskan diri dari bingkai kayunya. Kedua tungkainya goyah membuatnya jatuh berlutut di atas keramik merah.

Kepalan tangan menumbuk lantai penuh murka. Rasanya abai dari perihnya serpihan kaca yang menoreh luka. Air mata menetes, mengalir dan jatuh menciptakan titik-titik kecil di lantai. Kepalanya menunduk lemah. Tubuhnya meringkuk layaknya anak kecil dirundung ketakutan.

Vokalnya berteriak nelangsa menyuarakan luka akibat sembilu dalam sukma. Rasa sesal memenuhi batin dan pikirannya. Hatinya remuk-redam menahan perih sedih.

Malam itu Ice berkubang dalam duka. Pantulan dirinya yang rapuh dalam pecahan cermin menjadi saksinya.

.

.

.


Boboiboy © to Monsta

Saia tak mengambil keuntungan apa pun dari fic ini uwu

Warning : Gaje bin garing :v No Pairings yaw -,-)v

Didedikasikan untuk prompt #eduficentry #survivor

Enjoy~


.

.

.

Jemari putih nan halus mengusap batang besi pagar pembatas. Buai bayu memainkan surai cokelat gelapnya, mengantarkan hawa dingin di saat yang sama. Kepalanya tertengadah. Sepasang netranya menatap jauh ke angkasa lepas.

Ice tersenyum sendu. Atensinya berganti destinasi ke arah dataran di bawah yang tak dapat ia gambarkan.

Gelap.

Satu warna yang mengisi visinya adalah hitam. Melebihi keruhnya langit malam.

Atas segala penderitaannya, asanya telah mati. Logikanya memutar haluan menuruti emosi. Ice telah berhenti meniti harapan di atas jembatan tuntutan. Ia tak lagi mengharapkan belas kasihan pun rekan seperjuangan. Ice menyimpan semua itu di sudut kecil ruang hatinya. Mengunci dan mengubur tempat itu dalam-dalam agar tak seorang pun dapat meraihnya. Kini, Ice telah menarik keputusan. Ia akan mengakhiri semuanya.

"Maaf jika aku merepotkanmu setelah ini, Kak Gempa ..."

Kaki kanan Ice terangkat berusaha menaiki pagar pembatas setinggi pinggangnya. Ia tidak tahu seberapa jauh tanah yang kini bersedia menyambutnya di bawah. Yang ia tahu, ia berada di posisi yang sudah cukup untuk membuang seluruh kehidupannya.

Ice tersenyum tipis sebelum mengangkat kaki kirinya. Sebelum mengucap selamat tinggal.

"HENTIKAN!"

Sebuah suara menarik atensi. Iris sebiru samudra menatap hampa pada sosok yang tak tertangkap saraf netra. Semua gulita meski sang surya masih bersinar di balik guratan awan.

Tak ada yang menyahut. Namun, Ice dapat mendengar suara langkah terseret yang semakin mendekat. Ice mengambil kembali posisi tegaknya, masih berpegang pada pagar pembatas.

"Siapa?" Ice menuntut jawaban. Ia tak memungkiri sepasang mata miliknya hanya dipenuhi pekatnya hitam.

"Aku tadi melihatmu dari bawah. Apa yang mau kaulakukan?" Suara ringan yang sama menjawab. Ice berdecak lidah.

"Aku tanya, kau siapa!?"

Sepasang lengan menggamit tangan Ice tanpa permisi. Manik aquanya menyorot sengit sosok lawan bicara yang hanya mampu ia lukiskan dalam imaji. Dalam bentangan tirai hitam, ia gambarkan sesosok pria muda sepantaran usianya tengah tersenyum penuh arti. Tanpa iaketahui hal itu sesuai dengan realita yang terjadi.

"Namaku Thorn. Bagaimana kalau kita kenalan sambil minum teh di kantin? Mumpung masih siang."

Ice tidak sempat menolak saat seseorang yang mengaku bernama Thorn menariknya kembali ke pintu masuk. Ia manut saat pria itu menuntunnya berjalan menuruni tangga, melintasi lagi lorong yang disesaki bau obat-obatan.

.

.

.

Ice bisa merasai raksi daun teh yang menyapa indera pembaunya. Tali kantung teh itu menggantung lunglai di bibir cangkir. Jemari Ice meraba-raba dinding cangkir kaca bening yang terasa hangat.

"Kubelikan kue nih, Ice!"

Terdengar hentakan pelan dari benda yang diletakkan di atas meja plastik. Ice mengira-ngira itu adalah piring yang berisikan entah makanan kecil apa. Sepasang manik jernihnya berpaling menghindari obrolan yang mungkin akan dilanjutkan kembali.

"Ice, kudengar dari perawat-perawat, kau jadi seperti ini karena kecelakaan. Kecelakaan seperti apa?"

Ice mendengar tanpa minat. Dibiarkannya sekon waktu berjalan tanpa memberikan jawab.

"Mereka bilang kondisimu belum pulih benar. Terus, kau mau apa tadi di atas atap?" Thorn mengoceh lagi dan Ice masih berdiam diri.

Pemuda beriris aqua itu tak peduli barang sedikit terhadap keinginan lawan bicara untuk terus menyambung obrolan. Ia hanya berasumsi bahwa Thorn pastilah seorang yang cerah-ceria dan tak bisa diam. Soal bagaimana sebenarnya rupa Thorn itu, biarlah ia tidak tahu. Ingin tahu pun hanya akan jadi keinginan saja tanpa bisa diwujudkan.

"Ice." Suara Thorn memanggil saat Ice mengangkat cangkir kaca. Ice menunggu apa yang hendak disampaikan Thorn padanya.

Uluran tangan menyambut, menggenggam erat kedua tangannya yang masih memegang wadah mirat. Ice sedikit tersentak, menatap hampa Thorn yang sosoknya hanya berupa ilusi praduga.

"Aku nggak tahu apa yang sudah terjadi padamu selama ini ... tapi, jangan mengambil keputusan seperti itu lagi, ya."

.

.

.

Siang itu, terik matahari menerobos masuk melalui kaca jendela. Sinarnya bias, mencetak bayangan hitam interior ruangan dalam kamar serba putih. Ice duduk berselonjor di atas kasur. Menyembunyikan kakinya di bawah haribaan selimut putih.

"Nah, Ice, kita main kartu, yuk!"

Tawaran itu tak dihiraukan sama sekali oleh Ice. Dan ia lebih tidak peduli saat Thorn menggeram sebal padanya.

"Yah, Ice! Aku ajak main biar gak bosan, loh. Jangan cuek, dong!"

Ice berdecak pelan. "Kau bodoh, ya? Bagaimana aku bisa bermain dengan kondisi seperti ini?"

"Bukan main kartu yang biasa. Kita susun kartunya jadi menara gimana? Seru loh."

"Oh."

Tak ada balasan dari Thorn atas kata-katanya yang tajam. Ice diam menggenggam erat selimut putih yang menutupi sepanjang kakinya.

Ice ingin sekali berteriak mengusir pemuda seusianya itu. Menyuruh Thorn untuk pergi meninggalkan ia seorang diri. Membiarkan dirinya bergelung dengan keinginannya untuk mati.

Namun, Ice tak mampu. Ia tak bisa melepaskan emosinya kepada seseorang yang bahkan tak iaketahui figurnya.

"Ya udah, deh ... Aku main sendiri aja."

Ice masa bodoh mendengar kalimat Thorn yang seperti memberengut kesal. Ice masa bodoh dengan Thorn yang mungkin sudah mengambil posisi duduk di atas lantai putih kamar. Ice masa bodoh dengan Thorn yang mungkin sudah mulai menyusun dek kartu miliknya menjadi menara segitiga.

"Kamu dingin banget Ice. Sesuai dengan namamu."

Ice masa bodoh. Ia tak peduli.

Namun, ia menyadari betul semua sikapnya hanya dusta.

.

.

.

Ice bersandar pada ranjang putih tempatnya biasa merebah. Menyembunyikan nestapa dari siapa pun jua. Ia ingin semua segera berakhir. Namun, seorang asing yang selalu mampir ke kamarnya menunda semua niatnya.

"Ice, Ice! Kau tahu tidak, nama lensa mikroskop yang berdekatan dengan mata pengamat namanya apa?"

Pertanyaan itu tak serta-merta dijawab. Ice cuek pada Thorn yang mengakui ingin mengisi TTS sebelumnya.

"Ice jawab kenapa, sih? Aku datang ke sini tiap hari, tapi rasanya sepi kayak hati. Jangan kacang terus, dong! Kacang mahal, loh."

"Tak ada yang memintamu datang, kan?"

Thorn yang menggeram sebal kembali membalas, "Iya, iya ..."

Sesungguhnya, Ice merasa tergelitik mendengar reaksi Thorn yang demikian. Ia ilustrasikan saja bagaimana raut wajah Thorn kini dalam semburat warna hitam. Tak tahan akan rasa gelinya, Ice pun bersuara kembali.

"Okuler, bodoh."

Dan Ice sungguh tak mengetahui bagaimana semringahnya Thorn karena menjawab pertanyaannya kala itu.

.

.

.

"Katanya kau belum menemukan pendonor yang sesuai?"

Ice hening. Wanita itu berdiri di ujung kasur seraya bersidekap. Menatap pongah kepada Ice yang tertunduk lemah.

"Bukan tak sesuai. Pendonornya memang belum ada." Ice membalas pelan. Tatapan kosongnya mengarah pada kepalan tangannya di atas selimut putih.

"Lantas, mau kautunggu sampai kapan?"

"Entah ...?"

Ada desah lelah yang tertangkap saraf auditori Ice. Batinnya mencelos, bersiap dengan keluh kesah yang akan meluncur dari bibir wanita itu.

"Ibu benar-benar tak percaya. Bagaimana kau masih bisa selamat dari kejadian itu?"

Kedua pundak Ice menegang. Rangkai aksara itu sungguh menghujamnya sampai batin. Ia berusaha menekan murka, menahan vokalnya yang tercekat di tenggorokan. Ingin manyampaikan murka dan kesalnya kepada sang ibunda.

Namun, Ice memilih diam. Wajahnya berpaling ke sebalik jendela mencapai alam luas terbentang.

"Ah, sudahlah. Dari awal Ibu memang tak terlalu berharap padamu. Cabang bisnis ayahmu di sini biar Gempa yang ambil alih. Kalau kau kesusahan, biar Ibu yang mencarikan pekerjaan baru untukmu."

Ice menggigit lidah. Emosinya membuncah nyaris meledak dipenuhi amarah. Batinnya bergejolak. Dengan hinanya menguntai serapah kepada seorang wanita yang telah berjasa melahirkannya ke dunia. Tak satu pun ia ubah menjadi suara. Ia sadar betul ia tak boleh. Maka yang demikian itu cukuplah ia yang tahu. Dan Ice tak sedikit pun menyangka aksara sang ibunda berikutnya membuat ia semakin pilu.

"Kau memang tak sesuai ekspetasi Ibu."

Gigi Ice gemeretak. Dalam pekatnya hitam, Ice menggambarkan figur sang ibunda. Netranya memberi sorot tajam, memberi limpahan atensi terhadap sosok yang berdiri di hadapan.

"Pergi!" Nada dingin berujar tegas.

Sosok ibunda dalam angan Ice tersentak, lantas membalas sengit.

"Berani sekali kau berkata seperti itu pada ibumu, Ice!?"

"Apa bedanya dengan ibu!? Kalau ibu datang menjengukku hanya untuk mencela, lebih baik pulang saja!"

Ice tak peduli lagi. Persetan ia dikatai sebagai anak durhaka. Ia kesal. Ia muak atas semua tuntutan ekspetasi ibunya. Ia muak terus dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Dan ia lebih muak saat sang ibu tak menunjukkan simpati apapun saat Ice kehilangan penglihatannya. Yang ia dapat hanya cela dan cerca.

Ice sudah berusaha setengah mati. Namun ibarat segunung kertas lapuk nan tak bernilai, usahanya diremuk, diinjak dan dibakar dalam nyalang api hingga bersisa abu. Dan abu itu akan disapu, dibiarkan tertiup bayu hingga dengan mata tak lagi bertemu.

Usahanya tak berguna. Terbuang dan sia-sia.

Dengan isi hati yang sudah ia utarakan, Ice tak tahu lagi bagaimana ekspresi wanita itu. Ice menunduk dalam, berharap dengan itu ia dapat enyah dari dunia.

Pria muda itu memijit pelipisnya. Untaian kata yang selama ini selalu menyayat hatinya kembali berkelana. Perlahan tapi pasti mengiris harapannya terhadap dunia.

"Segini saja yang kau mampu? Harusnya kau bisa lebih."

"Kau jauh beda dengan Gempa ya, Ice."

"Kau tidak serius dengan semua tanggung jawabmu kan?"

"Kudengar kamu buta sekarang. Kenapa bisa?"

"Ternyata kau memang tak bisa diharapkan."

Ice menahan ngilu. Sukmanya perih layaknya ditoreh oleh tajam sembilu. Pikirannya meraung, menyuarakan keinginan terbesarnya detik itu.

Mati.

Genggaman Ice pada selimut putih semakin erat. Nafasnya naik-turun menyembunyikan afeksi yang kian menguat. Suara ketukan pintu bahkan tak mampu menjemput sadarnya dari konflik emosi yang masih berseteru.

"Siapa kalian?" Ibundanya melempar tanya.

Ice mengedarkan atensinya yang hampa terhadap seseorang yang mungkin berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Saya temannya Ice, Nyonya. Maaf kalau saya mengganggu." Suara itu sangat dikenali oleh Ice. Suara ringan milik seseorang yang selalu mengganggu rutinitasnya beberapa waktu belakangan.

"Tak apa. Urusan saya juga sudah selesai."

Kaki yang memakai sepatu hak tinggi mengambil langkah demi langkah keluar dari ruangan. Sedikit demi sedikit mengangkat luka batinnya yang dihimpun sejuta beban. Ice menutup wajah dengan kedua belah tangan. Emosinya bercampur aduk. Sedih, marah, sebal dan sesal berotasi menghapus fokus sadarnya dalam alam pikiran.

Ia telah kehilangan penglihatannya. Keluarganya perlahan menyisihkannya. Melupakannya dan meninggalkannya sendirian. Sang kakak yang selalu menjadi panutan itu pun belum pernah datang membesuk dengan kejelasan alasan.

Ia tak menuntut kehadiran Gempa di sisinya. Hanya mengharapkan keramahan sang kakak menyapanya meski hanya via suara. Memberi penghiburan dan dukungan kepada dirinya yang tenggelam dalam laut nestapa.

Ice tak mengetahui lagi tujuan eksistensinya. Entitasnya bagai raib ditelan gemerlap dunia. Ia putus asa. Menenggelamkan diri dalam lautan ketidakberdayaan.

Uluran sebelah tangan merangkul Ice dengan ramah. Menariknya untuk bersandar pada pundak yang tidak begitu lebar. Sebelah tangan lagi mengusap punggungnya pelan.

"Aku nggak tahu kalau kau punya masalah seperti ini, Ice." Samar, tangan Thorn yang mengusap punggung Ice terasa bergemetar.

"Kau tak tahu apa-apa. Pergilah!"

Ice menolak, menepis empati yang coba Thorn berikan. Tapi, Thorn lebih keras kepala. Ia kembali merangkul, mengirim sirat instruksi agar Ice meluapkan emosi.

Ice telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Mengunci rapat dan mengubur dalam-dalam harapan hidupnya di sudut kecil ruang hatinya. Agar tak seorang pun dapat meraih dan mengusik keinginannya untuk mati. Namun, kepedulian yang Thorn berikan seolah berusaha menggali lagi tempat itu. Mencoba menggapai agar Ice mau kembali membuka mata serta hatinya yang hanya dinaungi angan hitam.

Ice belum menarik keputusan yang pasti. Tapi, saat ini ia telah mengambil opsi. Ice menyandarkan sedihnya kepada sosok yang tak dapat iakenali parasnya. Sosok yang kini menemaninya dalam duka. Sosok yang telah mengaku sebagai temannya.

Dari sudut pelupuk mata sewarna samudra, liquid bening mengarus, bermuara pada pundak Thorn yang memberikan rangkul hangat nan tulus.

.

.

.

Thorn berkata hari ini gurat awan di angkasa berwarna putih cerah. Cuacanya sesuai untuk menikmati teh sambil bersenda gurau bersama.

Thorn menarik Ice keluar dari kamarnya. Menuntunnya duduk di bawah rimbun pohon yang menyembunyikan sinar hangat mentari. Menikmati semilir angin yang membuat surai gelapnya menari-nari. Namun, ajakan Thorn untuk keluar ruangan tak mengubah serta netra Ice yang masih gulita. Ia tak ubahnya hanya melihat sapuan debu hitam menyisir panorama dalam visinya yang seolah sirna.

"Ice, kautahu? Pohon mangga di belakangmu itu tinggi. Lebat sekali daunnya. Buahnya pun ranum-ranum." Thorn mengoceh agak jauh di depannya. Mambahas sebatang pohon tempat Ice menyandarkan punggungnya.

Terdengar suara yang cukup khas di telinga Ice. Angannya mengira-ngira bahwa Thorn tengah menangkap gambar melalui lensa kamera atau ponselnya.

Dahi Ice berkerut, lantas bertanya sensitif, "Kau tidak sedang menghinaku, kan?"

Ice tak mendapati bagaimana roman muka Thorn saat ini. Ia menajamkan pendengaran, meraup suara langkah yang mendekatinya perlahan-lahan. Keberadaan seseorang yang duduk di sampingnya lantas menggantikan sekon waktu terbuang.

"Kenapa Ice berpikir begitu?"

"Kau tahu kondisiku saat ini. Tapi, tetap saja menceritakan hal di sekelilingku dengan mudahnya."

Suara Thorn mengemuka menepis argumen lawan bicara. "Ya, aku tahu. Tapi, apa itu berarti kau ingin biar selamanya buta?"

Ice berjengit. Netra hampanya menyorot ke arah Thorn di manapun ia mendudukkan diri.

Vokal ringan Thorn kembali bersuara. "Tentu saja aku tahu bagaimana kondisimu sekarang, tapi apa gelap pandangmu benar-benar menjadi batasan? Kupikir tidak akan salah jika kau melihat semua hal meski hanya dalam angan."

Terdengar lagi suara jepretan kamera yang mungkin telah menangkap indah panorama sekitar. Suara itu berulang beberapa kali seiring Ice yang melabuhkan atensinya menembus langit.

"Ice, coba lihat ke depan!"

Thorn menarik paksa Ice dari renungannya dengan satu perintah. Suara jepretan kamera kembali tertangkap auditrori Ice, entah mengambil gambar objek apa.

"Apa yang kaufoto barusan?" Sepasang mata Ice menyipit menuntut jawab.

"Harta karun kita."

Ice merotasikan kedua manik aquanya saat Thorn tertawa cengengesan.

"Ah, ya! Boleh kuminta nomor ponsel dan alamat e-mailmu? Nanti akan kukirimkan foto-foto ini. Biar kau tahu seperti apa suasananya saat kita berkumpul sekarang ini."

Ice mendengus, merapal nomor ponsel dan e-mailnya dengan setengah hati. Pikirnya menduga bahwa Thorn pasti telah mengambil foto aibnya yang terbengong-bengong beberapa waktu sebelumnya. Namun, batinnya kontra akan pendapat itu. Kata-kata Thorn selama ini menjadi lensa bagi Ice untuk melihat sosok lelaki berpikiran polos yang selalu menyebar senyum penuh arti.

Ice mulai menyadari uluran tangan yang selalu Thorn berikan perlahan membuat keinginan matinya perlahan menghilang. Hadirnya Thorn membuatnya sedikit demi sedikit merakit harapnya untuk kembali berdiri meski masih memerlukan pegangan untuk bertopang.

Pepatah seorang bijak mengenai roda nasib itu mungkin ada benarnya. Ice saat ini adalah seseorang yang tersungkur di bawah. Tergeletak putus asa diliputi rasa tak berdaya. Dan Thorn adalah orang yang mencoba menggerakkan kembali roda hidupnya, menolongnya agar dapat mengambil lagi intensinya yang telah pupus dan sirna.

Ia lukiskan figur Thorn sebagai laki-laki yang tak jauh beda usia dengan dirinya. Bersurai hitam dengan senyum elok nan rupawan. Bola mata sosok dalam imaji itu mengilat jernih, senantiasa menyampaikan tulus dan belas kasih. Sosok dermawan yang patut dijadikan teladan. Kendati demikian, Ice masih meragu pada sosok Thorn yang hanya mampu ia lihat dalam termangu.

"Apa kau tak pernah menyesal menolong orang yang tak ada hubungannya sama sekali denganmu?"

Tanya yang terlontar dari mulut Ice memantik sunyi. Memanggil hening berlayar untuk sekadar menepi. Ice dengan bentang malam yang mengisi tiap detik waktunya tak mengetahui raut wajah Thorn serta-merta, berikut dengan isi hati dan jalan pikirnya. Yang Ice tahu, kilas figur Thorn saat itu duduk di sampingnya. Menyerahkan punggungnya kepada batang pohon yang bagi Ice juga menjadi tempat sandar beradu.

"Apa itu ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpamu?"

Retorika Thorn membuat Ice membuka lembar memori sebulan lalu tanpa aba-aba. Ice tidak pernah menyebut hal itu sebagai kecelakaan. Kisah bagaimana pupusnya gemintang dunia dari sepasang manik sebiru samudra miliknya.

Tengah malam itu, sepulang lembur kerja. Dalam lambatnya ia berkendara, Ice menangkap sayup-sayup kebisingan dari arah rumah di penghujung jalan yang sepi.

Intuisi Ice berujar ancaman menunggu di sebalik pintu rumah tersebut. Sisi realistis dalam pikirnya memberi instruksi untuk abai meninggalkan kebisingan itu agar ia terelak dari marabahaya. Namun, logikanya tak pula menang dari nuraninya yang mencicit lemah.

Ice memilih menelepon polisi, kemudian memarkirkan mobil hitamnya di tempat yang cukup jauh dari sumber keriuhan. Ia mengira mungkin saja penduduk di sekitar rumah itu beranggapan ada pertengkaran kecil yang menjadi privasi bagi penghuni rumah tersebut. Maka tak seorang pun keluar berniat melerai perseteruan yang terjadi di sana.

Ice melewati pagar memasuki kawasan rumah. Kakinya berjinjit saat melenggang ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar.

Di ruang keluarga yang antah-berantah pemiliknya, netra Ice membulat lebar. Atensinya ia limpahkan kepada anak kecil yang meringkuk di pojok ruangan, berhadapan dengan pria jangkung yang memegang parang. Sementara seonggok tubuh wanita yang tergeletak bersimbah darah di pojok lain berusaha ia abaikan.

Ice melempari kepala pria jangkung itu dengan benda yang ia gapai di lantai, kemudian menarik anak kecil di pojok ruangan melarikan diri. Didorongnya anak tersebut untuk segera keluar rumah mencari pertolongan dari tetangganya.

Pria yang menjadi antagonis malam itu menggeram murka. Melempar parang berlumur merah yang berhasil dihindari Ice. Bilah besi tajam itu menyasar lemari kaca menghamburkan serpih dari bingkainya. Ice tak dapat mengelak debu mirat yang merangsek masuk melewati kelopak matanya, menjemput gelap bagi visinya.

Ice histeris sebelum satu tendangan mengenai ulu hatinya. Dengan tebatuk-batuk, pria muda itu mengandalkan insting dan kilas memorinya guna mengingat lagi jalan keluar dari rumah itu. Meski menabrak properti dan interior ruangan, gentarnya akan kematian menghapus seluruh perih yang ia dapat.

Pria jangkung di belakangnya kembali melancarkan satu serangan. Mengiris luka dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ice. Pria bermanik aqua itu menjerit, tapi tak ayal berlari dari ancaman berikutnya.

Pada akhirnya, Ice tersungkur di halaman rumah. Merenungi riuh warga sekitar dan sirene mobil polisi yang semakin terdengar samar seiring kesadarannya yang perlahan berkabut.

Ice mengingat itu semua. Luka di punggungnya yang terasa ngilu saat ia bersandar pada sesuatu menjadi buktinya. Satu dengan netranya yang seolah ditutupi kain hitam.

Hela napas meluncur dari bibir Ice. Ia berkilah dari pertanyaan Thorn sebelumnya. "Tidak juga ..."

"Kalau begitu, kenapa kau bertanya?"

Ice mengatup bibir rapat-rapat. Setengah hatinya tak ingin membalas. Namun, akhirnya ia menjawab,

"Waktu itu, kupikir aku sudah mengambil pilihan terbaik. Tapi, tak berjalan sesuai apa yang kurencanakan. Pada akhirnya, yang kudapat hanya kehilangan."

Lima jari bertengger di pundak kiri Ice melepaskan sensasi hangat secara tiba-tiba. Siluet Thorn tergambar dalam bayang gelap Ice. Tersenyum semringah dan mencoba merangkai kata.

"Apapun keputusanmu dalam menentukan pilihan, hasilnya pun pasti akan sepadan. Biar susah senang yang kau rasakan, semua akan tetap bermuara dengan semestinya."

Ice sejenak merenung. Mencerna kalimat Thorn dengan ekspresi yang tidak iaketahui. Sedetik berlalu, Thorn kembali meraih vokalnya. Menyampaikan buah pikirnya.

"Yang telah hilang mungkin tak bisa diambil kembali. Tapi, aku yakin akan ada penggantinya yang lebih baik lagi. Jadi ... sekarang kau tak perlu menyesali apapun. Semua pasti ... telah berjalan pada jalur yang semestinya. Yang harus kau lakukan sekarang ... cukup ... bertahan ..."

Dahi Ice mengernyit kala Thorn bicara penuh jeda. Ia tak mengerti, lantas membuang muka. "Ternyata kau senaif itu, ya. Entah aku harus berkomentar bagaimana."

Ice bersumpah mendengar suara benda yang terjatuh setelah ia berujar. Tapi ia yakin sekali, dari frekuensinya itu jelas bukan buah mangga ranum yang ada di atas mereka.

"Thorn?" Tangan Ice menggapai-gapai mencoba mencari keberadaan lawan bicara beberapa saat sebelumnya.

"Maaf." Sebuah suara membuat Ice menumpukan atensi. "Aku ada sedikit urusan."

Bersamaan dengan kalimat itu selesai terucap, auditori Ice menangkap derap langkah yang kian menjauh. Dan Ice berani bertaruh pemilik suara itu bukanlah orang yang sama dengan yang duduk berbagi cerita dengannya.

.

.

.

Ice bergelung dalam naungan selimut putih yang menghalang sinar lampu ruangan. Pikirnya berkelana penuh tanya di mana Thorn yang belakangan selalu ada di sampingnya. Sedang dirinya terlalu malu untuk bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya.

Berbagai prasangka berkelibat membuatnya batinnya bergejolak. Kembali pria muda itu meringkuk dalam gelap. Berusaha menepis semua kemungkinan buruk yang terjadi pada seorang yang telah menjadi temannya. Meski hal itu belum pernah sekali Ice mengakui.

Ice mengatupkan kelopak mata. Untuk langit hitam yang memenuhi penglihatannya, Ice berharap ia diberi pernik bintang-bintang. Biar pelitanya redup temaram, namun menenangkan. Ice berharap ia bisa duduk lagi bersama Thorn untuk menatapi langit yang demikian itu.

Hari itu, Ice mengingat lagi kalimat Thorn yang diucapkan terakhir kali. Ia mencoba mengumpulkan lagi asanya, merangkai lagi harapnya yang telah putus nyaris terbuang. Ice mencoba bertahan sebagaimana yang telah Thorn sampaikan.

Dalam gelap membentang, Ice mengharapkan hadir Thorn kembali. Dan keinginan itu tak pernah terpenuhi hingga ia mendapat penglihatannya lagi.

.

.

.

Ice menapak tegap sepanjang lorong putih yang dilaluinya, menjemput bau obat-obatan yang menyesaki paru-parunya. Manik aquanya tampak mengilat melahap cahaya, memberikan berbagai panorama pada visinya yang tak lagi gulita. Segala hampa yang pernah hinggap pada netranya telah berubah menjadi keping masa lalu yang satu-persatu raib dibawa arus waktu.

Para petugas dengan seragam putih-purih silih-berganti berlalu mendiamkan Ice yang sejenak memaku. Jemari Ice menunjuk denah yang tergantung pada dinding lorong rumah sakit. Mengira-ngira di mana agaknya ruangan tempat seseorang yang tengah ia cari berada.

Dahaganya akan jawaban yang tak terpuaskan mengeringkan pikirnya, sejenak membuat napasnya terhela. Ice bimbang untuk memertanyakan eksistensi orang itu kepada perawat di sekitar, sementara ia tak hendak pulang tanpa membawa kabar yang jelas.

Berdiri tegap dengan jas putih dan kacamata berbingkai oranye, sosok pria yang luput dari pandangan Ice memberi tatapan intens dari sebelahnya. Ice meneguk ludah membiarkan netra mereka bertemu beberapa detik.

"Emm, maaf. Apa Anda salah satu dokter di sini?" Ice bertanya penuh ragu.

Pria berkacamata itu menyembunyikan tangannya ke dalam saku jas. Ia mengangguk halus. Manik kelabunya lantas memberi tatapan menusuk pada Ice yang berusaha menarik senyum.

"Dok, apa Anda tahu salah satu pasien di sini yang bernama Thorn?"

Manik kelabu di balik kacamata menyipit, kemudian menumpukan sandarnya pada dinding. "Kau tahu kornea yang sekarang ada padamu itu milik siapa. Tapi, kau tak tahu bagaimana nasib orang yang memberikannya?"

Ada desir tajam yang tak dapat dimengerti oleh Ice sebelum ia melempar retorika. "Jadi, Thorn memang sudah tak ada?"

Sekali lagi dokter muda itu mengangguk. Matanya yang menyorot tajam menarik gentar Ice untuk dapat bersuara. Dan sekali lagi, pria yang mungkin sedikit lebih tua dari Ice bertanya, "Kau masih ingat kata-kata terakhirnya padamu?"

Ice membalas dengan gestur mengiyakan, lantas menunduk dalam. Suaranya ciut lantaran takluk di bawah takutnya untuk membalas.

"Baguslah. Thorn memberikan korneanya agar kau dapat kembali melihat normal. Tapi, bukan untuk melihat hal-hal seperti itu."

Perban yang melilit sepanjang lengan Ice mendapat limpahan atensi dari sang dokter muda. Meski sudah dilapisi dengan menggunakan kemeja lengan panjang, hal itu tak mampu menutupi perban yang membalut telapak tangannya. Dan hal itu pula tak luput dari pengamatan dokter di hadapannya.

"Aku hanya kesal. Merasa tak cukup pantas untuk mendapat penglihatan seperti semula. Terlebih setelah mengingat lagi sikapku pada Thorn selama ini."

Ice tak tahu soal-menyoal dunia medis. Pengetahuannya hanya sebatas melakukan P3K dan penggunaan antibiotik. Lebih dari itu, ia tak ubahnya seperti sosok dirinya sebulan yang lalu. Buta dan tak tahu apa-apa.

Maka setelah mencari tahu seluk-beluk mengenai donor mata, Ice akhirnya mengetahui kabar Thorn yang sebenarnya. Ia merundung, kesal dan bermuram durja. Ice memorak-porandakan seisi kamarnya. Meluapkan afeksinya.

Dan saat mengingat lagi kata-kata Thorn hari itu, ia merasa tak boleh terus seperti itu. Pada akhirnya Ice kembali berdiri. Menapak menuju tempat yang telah mengisi lembar memori. Sekadar mencari kabar, sekadar mencari tahu.

"Sejujurnya aku tak begitu senang padamu." Dokter muda itu lagi meraih vokalnya membuat Ice tersenyum getir.

Ice sendiri tahu seberapa kurang ajar dirinya kepada seseorang yang telah berniat menolongnya. Atas dasar itulah ia tak memberi jawab apa pun.

"Tapi, Thorn telah menentukan pilihannya agar semua jadi seperti ini. Sekarang giliranmu untuk memilih."

Ice merenung sejenak. Sesungguhnya ia telah memutuskan sebelum tiba di sana. Sekarang ia hanya perlu membulatkan suara, menyampaikan opsinya.

"Aku sudah memutuskan untuk menjadi lebih baik lagi. Untuk saat ini mungkin hanya itu."

Senyum terpatri di paras tirus sang dokter, menarik kurva tipis serupa pada paras Ice jua. Pria muda bermanik aqua itu tercenung melihat sang dokter mengulur tangan.

"Namaku Solar. Aku kakak Thorn sekaligus dokter di sini. Dan ... yah, kau pasti sudah mengenal suaraku sebelumnya."

Ice mengangguk, kali ini menyambut uluran yang diberikan padanya. "Ya, aku cukup ingat suaramu waktu itu. Namaku Ice."

"Terimakasih karena sudah mengambil pilihan itu, Ice. Karena harap Thorn sebelum ia kehilangan kemampuan bicaranya adalah agar dapat berguna untuk orang lain. Dan saat itu, Thorn ingin bisa menjadi sosok yang berguna untukmu."

"Dia sudah melakukan lebih baik dari yang dia harapkan."

Solar mendengus pelan dengan senyum samar, kemudian kembali berujar, "Kalau begitu, aku pamit dulu. Masih ada yang harus kukerjakan."

Keduanya sama berjalan ke arah berlainan setelah bertukar salam.

Sepasang manik Ice bertolak menghadap angkasa di mana gurat awan terukir merias langit. Memperluas cakrawala netranya guna mengais lagi apa yang dulu pernah terbuang. Samudra dalam matanya memantulkan sinar jernih dari rekat asanya yang pernah menyerpih.

Ice paham betul akan eksistensi Thorn yang tak lagi ada. Namun, tak surut harapnya agar Thorn mencapai suaranya meski nun jauh di sana, menggapai rangkai kata Ice yang tak sempat tersampaikan.

"Terimakasih, Thorn."

.

.

.

END


/pundung *uhuk*

Hola~ Kuro di sini ˊvˋ)~ gimana gimana? Garing? Klise? Wkwkwk mon maap, I'm out of idea hohohoh :v telat banget ane postnya? Wkwk iya. Kesibukan RL mengalihkan duniaku /.\ mana pas nulis endingnya nge stuck lagi hadeehhh... berasa maksa ga? Wkwk

Oke, jadi ane ga tau mau ngebacot apa di sini. Ga mau nambah word lagi juga. Oh, ada ekstra di bawah yaw uwu yang mau lanjut silakan~ Sekian dari saia :v

From Wkwk Land,

Bubye~


.

.

.

Ice termangu di sebalik kaca mobil, menunggu lampu jalan lintas kota yang masih memberi isyarat berhenti. Ia bosan, lantas menyuarakan senandung pelan. Kemudian, sosok anak kecil di tepi jalan tak jauh darinya mengambil atensi yang hendak melakukan kelana pikiran.

Ice mengenali figur mungil itu. Sosok yang pernah ia tolong hingga memberi tumbal penglihatannya. Ia membuka kaca mobil, mencoba mencuri dengar suara gadis itu yang tampak bercakap dengan wanita tua di sampingnya.

"Nek, tadi saya dapat nilai seratus di ulangan matematika. Kira-kira ... Mama akan senang nggak?"

"Pasti senang, dong! Mamamu pasti sedang bahagia sekarang. Terus membangga-banggakan kamu kepada orang-orang di sekitarnya."

Ice terkekeh mendengar percakapan itu dan segera menutup lagi kaca mobil. Dan ia pun tak dapat mengerti kenapa dirinya mengingat lagi salah satu kalimat Thorn hari itu.

"Apapun keputusanmu dalam menentukan pilihan, hasilnya pun pasti akan sepadan."

Jika ia berpikir lagi, benarlah yang Thorn katakan. Kala itu, Ice memutuskan mengambil pilihan meski harus dibayar dengan penglihatannya. Tapi kini, ia dapat melihat hasil dari putusannya waktu itu. Ada senyum dan hidup seseorang yang berhasil ia selamatkan. Dan Ice hanya perlu sebentar bertahan agar dapat melihat semua itu sekarang.

Denting notifikasi ponsel meraih fokus Ice untuk kembali ke realita. Ia membuka inbox pesannya dan mendapati belasan foto dari nomor tak dikenal. Ada foto yang menunjukkan langit dipenuhi gurat awan. Ada foto yang menunjukkan pohon mangga dengan buah yang ranum. Ice pun mendapat kilas masa lalu dari gambar-gambar itu.

Satu foto terakhir membuat angannya sejenak berkelana, menggambar selayang rekam memori dalam sukma.

Ia duduk di bawah pohon rindang dengan seorang teman di sampingnya. Seorang pria muda yang mengacungkan dua jari tanda damai. Ada seulas senyum lebar pada parasnya, menambah impresi bahagia bagi sepasang netra yang melukiskan luas hamparan rerumputan. Bagai kilatan zamrud murni.

Bersama orang itu Ice duduk bersebelahan, bersembunyi di bawah bayang-bayang pohon rindang. Dan Ice tak pula lupa bagaimana orang dalam gambar itu memberikan sebutan bagi foto mereka berdua.

"Harta karun kita."