Blooming

.

.

oOo

.

Keramaian padam. Meski tidak sepenuhnya. Setidaknya gedung kantor agensi dan sekitarnya sudah cukup sepi untuk Kyungsoo bisa melintas dengan nyaman. Dini hari, ia baru saja sampai di asrama tempat Baekhyun tinggal. Tidak ada kewajiban baginya untuk kembali namun keadaan artis itu benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Teleponnya sejak mereka belum lama berpisah di gedung agensi tidak diangkat. Baekhyun benar-benar tidak bisa berhenti membuatnya khawatir.

Kaki pendeknya melangkah di sepanjang koridor sempit. Beberapa meter lagi sebelum sampai di kamar Baekhyun. Kyungsoo merutuk dirinya yang lupa mampir membeli beberapa makanan. Mengingat keadaan anak itu terakhir kali, Kyungsoo bertaruh Baekhyun belum mengisi perutnya sama sekali, dan tidak pula memiliki niat untuk itu. Persetan, yang penting Kyungsoo ingin sesegera mungkin memeriksa keadaannya terlebih dulu. Dia bisa memesankannya nanti.

Kehadiran seorang pria di depan pintu kamar yang ditujunya membuat langkah Kyungsoo terhenti. Pria itu terus berdiri di sana bersama sebuah paper bag di tangan, tanpa melakukan apapun kecuali menatap pada permukaan daun pintu yang masih tertutup rapat.

.

.

"Baekhyun," Kyungsoo mengetuk pintu. Mengeraskannya sedikit dengan pikiran artisnya itu masih terlelap dalam tidurnya. Tetapi tak lama pintu segera terbuka tanpa Kyungsoo harus membuat ketukan kedua. Wajah Baekhyun muncul menggantikan cokelatnya pintu kayu. Kyungsoo sempat terdiam mendapati bagaimana wajah itu terlihat.

Matanya sedikit bengkak. Sorotnya juga redup. Bahunya turun. Sebelum Kyungsoo masuk, Baekhyun telah lebih dulu meninggalkan pintu dengan langkah tak bertenaga. Dibanding karena kesehatannya yang memang sedang tidak prima, Kyungsoo tahu bukan hal itu yang menjadi penyebab.

"Kau tidak tidur," kata Kyungsoo ketika melangkah masuk dan mendekati meja counter setelah menutup pintu. Dia bukannya bertanya, tentu saja. Hanya menyuarakan apa yang teramati dari polah Baekhyun sebagai bukti betapa jelasnya hal itu terlihat. "Kau seharusnya tidur."

"Aku tidak mengantuk." Baekhyun telah kembali merebahkan diri di kasur. Setengah kakinya masih memijak lantai.

Kyungsoo meletakkan paper bag ke atas meja. Membongkar isinya. Menatanya ke dalam wadah-wadah begitu sadar itu adalah termos berisi bubur panas serta kotak-kotak lain berisi sayur dan buah. "Kalau begitu kau harus makan."

Kalimat Kyungsoo dibalas suara serupa rengekan. Baekhyun masih terpejam di kasurnya. Tak tampak seperti bersedia mengangkat pantatnya dari tempatnya. Kyungsoo memutar bola mata. Ia mendekat pada sang artis, merunduk, menggenggam kedua pergelangan kaki tak beralas itu dan mengangkatnya.

"Bangun atau kutarik kakimu sampai pantat malasmu itu mencium lantai."

Baekhyun memekik saat Kyungsoo benar-benar nyaris menjatuhkan dirinya ke lantai. "Y-yah! Iya aku bangun aku bangun!" Sang Manajer menghentikan tarikannya tepat sebelum Baekhyun benar-benar jatuh.

"Bagus. Cepat ke meja."

Setelah mengejutkan tubuhnya sendiri dengan bangun tiba-tiba dan membuat kepalanya pening, Baekhyun bangkit mengikuti Kyungsoo ke counter mini di sana, tempat segala aktivitas mengurus makanan biasa dilakukan.

"Kau begitu rajin dan keras kepala jika itu menyangkut pekerjaan tapi berubah manja di hadapanku. Apa kau ini semacam hidup untuk menyusahkanku?" kata Kyungsoo, mengejek. Kalimat sejenis itu biasanya direspon dengan rengekan atau tawa main-main oleh Baekhyun. Tapi taunya kali ini tidak.

"Maaf."

Kyungsoo melirik raut wajah sang penyanyi tepat setelah ia menyodorkan semangkuk bubur. Ah, dia sepertinya salah bicara.

"Kyung," Baekhyun memanggil ketika tangannya mulai menyuap bubur hangat itu ke dalam mulut.

"Hm,"

"Kalau kau memang keberatan, kau tidak perlu rutin mengunjungi Jongin lagi."

Perkataan Baekhyun menghentikan kunyahan Kyungsoo pada tomat ceri yang dicurinya dari kotak di atas meja. Mata bulatnya menatap lurus pada sosok di hadapan seperti mencar-cari sesuatu.

Sebenarnya, kata-kata yang Baekhyun katakan lebih seperti menggambarkan bagaimana keadaan penyanyi itu dibanding sebuah ungkapan biasa. Baekhyun bilang ia tidak mengantuk, padahal dia iya namun tak bisa. Dia meminta maaf, dia meminta Kyungsoo berhenti mengunjungi adiknya ketika dulu ia bahkan begitu senang mengetahui manajernya mengambil alih kunjungan itu.

"Kau terlalu banyak bicara. Habiskan makananmu." gumam Kyungsoo, menyembunyikan hela napas yang dihasilkan dari pemikirannya sendiri akan keadaan Baekhyun saat ini. Mana mungkin Kyungsoo berhenti melakukan itu? Ia dibayar untuk itu. Lagipula, Jongin terlalu manis dan rapuh. Sebegitunya, sampai-sampai bila tak dibayar pun Kyungsoo takkan keberatan.

"Semua ini.. kau yang membuatnya?" tanya Baekhyun. Dilihat-lihat, kemasan makanan yang saat ini tersaji di meja tidak seperti sesuatu yang dibeli di luar.

Kyungsoo terdiam. Tampak menimbang-nimbang. Tetapi kemudian ia memilih untuk kembali mencomot satu dari isi kotak buah-buahan, menjawab tak acuh. "Makan saja."

Baekhyun sedikit merengut. "Galaknya."

Walaupun samar, Kyungsoo lega melihat sedikit dari diri Baekhyun yang biasanya dari ekspresi itu.

Setelah sedikit pertengkaran tentang siapa yang akan mencuci piring—Baekhyun memaksa melakukannya tapi Kyungsoo lebih memaksa—pagi mulai menjelang. Kyungsoo harus memaksa Baekhyun (lagi) agar mendapatkan sedikit tidur. Anak itu terus menolak, tapi begitu Kyungsoo berhasil membawanya bersandar di kepala ranjang dan mengajaknya bicara satu-dua topik, mata Baekhyun mulai memberat. Hanya perlu limabelas menit sampai Baekhyun benar-benar jatuh tertidur.

.

oOo

.

Gemerisik kertas menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruangan besar milik Chanyeol sejak berjam-jam lalu. Si empunya ruangan duduk di sofa bersama setumpuk laporan yang diberikan Junmyeon padanya siang tadi—laporan yang kalau saja Chanyeol fokus untuk memeriksanya, sudah rampung pula sebelum sore. Tetapi saat ini jam sudah lewat pukul lima. Hampir petang.

Lembar laporan ia balik. Pelan. Pikirannya tak benar-benar tertuju pada baris huruf yang tersusun menjadi pasal-pasal pembatalan kontrak itu.

Dua hari berlalu sejak hari itu. Dua hari Chanyeol tak fokus pada pekerjaannya. Dan dua hari pula ia tak bertemu dengannya. Chanyeol tak begitu yakin, tapi mungkin hari itu lah penyebabnya. Ia kalut. Ia kalut karena kata-kata yang hari itu ia teriakkan keras-keras pada Baekhyun terus berputar-putar di kepalanya. Bergantian dengan sekian hal acak lainnya.

Jadwal solois itu ia buat longgar. Saat seharusnya ia tidak, nyatanya Chanyeol turun tangan langsung mengatur.

Dia hanya tidak ingin lelaki itu lepas dari pengawasaannya. Sedikitpun.

"—nim.."

Chanyeol mengerjap. Pandangannya terangkat mendapati kehadiran sekretarisnya di dalam ruangan.

"Ya?"

Apa yang ingin Junmyeon katakan tertahan. Ia telah mengetuk pintu beberapa kali sebelumnya, namun Chanyeol bahkan tak bereaksi setelah ia pun masuk dan memanggil berkali-kali. Dan hal demikian telah terjadi dalam dua hari belakangan.

Kalau Junmyeon memang tak salah menerka, ia tahu alasan di balik sikap tersebut. Itu tidak sulit untuk menebak karena, sesungguhnya hari itu bukan kali pertama Chanyeol membentak bawahan atau artisnya. Tetapi kali ini Junmyeon tahu segalanya tidak sama.

"Jun?"

Junmyeon membungkuk lagi, cepat-cepat kembali pada niat awalnya memasuki ruangan sang direktur. "Ini laporan yang terakhir," katanya bersama sebuah map yang ia letakkan di samping map-map lain di atas meja.

Atasannya itu hanya melirik dan membalas dengan gumaman, kembali pada berkas di pangkuan. Junmyeon membungkuk sekali lagi, hendak pergi meninggalkan ruangan. Namun, ia berhenti.

"Sajangnim," panggilnya.

Chanyeol kembali mengangkat wajahnya. Menatap sang sekretaris menunggu apa yang hendak disampaikannya lagi.

Sempat ragu sejenak, barulah Junmyeon mengujar kalimat yang ia anggap perlu ia katakan pada pria itu. "Byun Baekhyun mungkin baru saja selesai dengan jadwalnya."

Bola mata Chanyeol beralih perlahan. Seperti menerawang jauh. Hanya satu kalimat berisi informasi sederhana, tapi Chanyeol menangkap maksudnya.

Junmyeon menunggu. Beberapa detik Chanyeol sempat kembali membalik halaman laporan yang ia pegang. Tapi itu tak lama sebab sang direktur akhirnya meletakkan benda itu ke meja, berdiri. Ia menatap Junmyeon sejenak, lantas beranjak menuju meja kerja dan mengambil kunci mobil dari sana.

"Tolong," ucap Chanyeol, yang segera dibalas dengan bungkukkan tanda mengerti. Ia akan membantu pekerjaan direktur itu untuk sementara.

Limabelas menit kemudian, Chanyeol sudah melajukan mobilnya memasuki kawasan sebuah gedung stasiun penyiaran radio, dan ia sampai di lobi belakang gedung tepat ketika seorang lelaki pendek keluar dari sana, diikuti sang manajer berkacamata di belakangnya.

Chanyeol mendesah lega. Sebuah kebetulan yang patut ia syukuri.

Mobilnya berhenti melintang pada akses jalan sang artis menuju mobil van.

Baekhyun di tempatnya membeku seketika. Mata sipitnya melebar. Ia bahkan tak sadar melewatkan isyarat sang direktur yang menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

Chanyeol?

Kyungsoo yang cepat sadar akan situasi langsung menepuk bahu si lelaki Byun. Menyadarkan kalau-kalau ia tak sadar telah menghabiskan sekian detik sejak sang direktur merilis isyarat. "Masuk, Baek." bisiknya.

Sorot khawatir setengah takut Kyungsoo dapatkan dari solois itu. Kyungsoo tidak heran, pertemuan di ruangan Chanyeol dua hari sebelumnya mungkin masih menyisakan rasa tidak nyaman untuk Baekhyun.

"Masuk saja," kata Kyungsoo lagi, memberi tatap yang meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Lagipula, Kyungsoo tidak melihat bahwa sang direktur berniat mengulang kejadian tempo hari.

Sementara Kyungsoo mendorongnya agar segera masuk ke mobil, Baekhyun menelan ludah gugup. Kakinya melangkah satu-satu, mendekat dan masuk ke mobil. Katakanlah ia terlampau lemah karena menjadi begitu takut hanya karena satu kali menerima amukan direkturnya. Hanya saja, Baekhyun sendiri tidak tahu mengapa efeknya bisa demikian hebat. Sejak menjadi trainee, menerima kritikan hingga amukan dari pelatih juga direktur agensi lamanya bukanlah sesuatu yang asing. Tapi ia tak menyangkal bahwa itu terasa berbeda, karena ia adalah Chanyeol.

Jarak yang tak begitu jauh membuat waktu terasa berlalu begitu cepat. Beberapa menit singkat perjalanan menuju asrama habis begitu saja dalam diam. Langit beranjak gelap. Ketika mobil terhenti di depan pintu masuk, keduanya bergeming di tempat.

"Eh, anu.. apakah ada sesuatu yang harus didiskusikan?" Pertanyaan Baekhyun memecah sunyi. Ia pikir, sang direktur datang ke lokasi karena perlu menyampaikan sesuatu.

"Tidak ada. Masuklah." jawab Chanyeol, mata memandang lurus ke depan.

Baekhyun menolehkan kepala. Sedikit terkejut. Ia baru akan bertanya sekali lagi saat bayangan kejadian hari itu kembali lagi, dan membawanya bungkam. Baekhyun memilih patuh, membungkuk beranjak keluar dari mobil. Akan lebih baik jika ia tak banyak membantah lagi.

Dalam sekian detik selama Baekhyun membuka pintu mobil dan melangkah keluar, isi pikir Chanyeol berkecamuk. Ini belum cukup. Chanyeol masih membutuhkannya.

Maka dalam sekejap Chanyeol membanting terbuka pintu mobil. Mengambil langkah lebar menyusul Baekhyun yang belum lima langkah menjauhi mobil.

"Baekhyun,"

Begitu berbalik, pandangannya bertemu dengan kemeja putih yang terbalut jas biru muda. Baru sadar setelah mengangkat kepala bahwa sang direktur telah berdiri satu langkah di depannya.

"Y-ya?"

Chanyeol tak serta merta menjawab. Atau, ia memang tak sepenuhnya telah matang memikirkan hal yang menyebabkannya keluar dari mobil dan memanggil nama si penyanyi begitu saja. Ia bergeming, merunduk menatap wajah yang mendongak bingung padanya sebelum kembali menunduk.

Lama Chanyeol hanya diam. Mengamati bagaimana mata sipit itu sesekali meliriknya. Embus angin meniup helai-helai surai hitam itu. Lucu dan cantik.

"Bagaimana keadaan adikmu?" tanya Chanyeol pada akhirnya. Baekhyun menatapnya sedikit lebih lama untuk itu.

"Jongin baik-baik saja," jawab Baekhyun meski ia tak yakin. Tetapi memangnya apa lagi yang harus ia katakan pada direkturnya? Ia tidak mungkin menyebutkan tentang Kyungsoo yang menceritakan bagaimana Jongin terlihat begitu buruk setelah hari tak terduga itu.

"Kau mau mengunjunginya?"

Baekhyun mendongak cepat. Mulutnya membuka, kemudian menutup lagi. Ia nyaris menyahut menyetujui—karena memang itu yang diinginkannya—tapi segera urung. Beberapa detik, Baekhyun berpikir dalam diam. Ia mungkin akan membawa kekacauan baru lagi..

"Baekhyun?"

Baekhyun menggigit bibir. Sungguh, ia memang ingin mengunjungi adiknya.

"Bisakah?" tanyanya pada akhirnya. Mendongak, ia menatap ragu sang direktur.

Melihat sepasang mata yang bersinar takut-takut menatapnya, Chanyeol menemukan sedikit sesal dalam hati. Baekhyun tidak menatapnya demikian sebelum hari itu.

Chanyeol mengangkat tangan yang semula ia sembunyikan di balik saku, perlahan menyentuh rambut hitam milik Baekhyun. Merapikan poninya yang mulai terkacaukan angin, menyelipkan beberapa helai rambut yang sudah semakin panjang itu ke belakang telinga.

Angin malam berembus. Terasa dingin. Namun, Baekhyun merasa pipinya menghangat. Memanas. Semu merah akan terlihat jelas kalau saja pencahayaan di sana sedikit lebih terang. Jantungnya yang semula berdetak tak nyaman karena kesan yang timbul saat berbicara dengan sang direktur setelah dua hari tidak kini berubah. Ia mungkin nyaris mengalami heart attack.

"Besok malam. Kuantar."

.

oOo

.

"Apa adikmu benar-benar tinggal sendiri?" tanya Chanyeol. Tangan sibuk mengendalikan kemudi. Sudah setengah jalan terlewati sebelum mereka sampai ke tujuan.

"Ya. Dia menolak saat kutawarkan pindah ke rumah sanak saudara di Bucheon." Baekhyun mengangguk. Sedikit aneh mendapati dirinya bisa kembali berbicara seperti ini dengan Chanyeol. Tetapi pria itu terus melontarkan pertanyaan sejak ia masuk ke dalam mobil. Dan Baekhyun terus menjawab sampai tanpa sadar telah kembali pada ritme obrolannya yang biasa.

"Lalu bagaimana dengan kebutuhannya?"

"Ada seorang bibi tetangga yang rutin datang ke rumah. Aku menitipkan Jongin padanya." Baekhyun memutar ingatan pada seorang wanita paruh baya yang mengenal baik keluarganya sejak lama. Pernah satu kali ia meminta tolong pada wanita itu untuk menjaga Jongin selama ia sibuk dengan pekerjaannya. Secara rutin Baekhyun pula mengirimkan uang sebagai ungkapan terima kasih.

Chanyeol mengangguk paham. Ada banyak yang belum dia ketahui. Dan banyak itu terjawab satu per satu.

Selain itu, ia tidak akan melewatkan fakta bahwa Baekhyun telah sedikit demi sedikit memberi respon dengan lebih nyaman.

Chanyeol memperhatikan jalan. Sebuah supermarket terlihat di ujung sana.

"Kau ingin membeli sesuatu?" tanyanya, sekilas menoleh pada lelaki di samping sebelum kembali pada jalan raya.

"Eh?"

Chanyeol mengangkat bahu. "Kau selalu memasak untuk adikmu, kan?"

Meski dengan agak lamban, Baekhyun akhirnya menangkap maksud perkataan Chanyeol. Setelah mengingat-ingat hari, Baekhyun menjawab, "Tidak perlu. Persediaan bahan seharusnya sudah diperbarui kemarin."

Lagi, Chanyeol mengangguk paham. Maka ia melewati begitu saja supermarket di sisi kiri jalan.

Beberapa obrolan lagi bergulir di antara keduanya sampai mobil akhirnya menepi di jalanan sepi sebuah perumahan. Hari sudah nyaris berganti. Jalanan hanya diterangi lampu jalan yang redup saat Baekhyun dan Chanyeol melaluinya.

Ketika sampai, Jongin menyambut. Ia menghambur memeluk kakaknya itu. Hanya, ketika menyadari kehadiran Chanyeol, ia terkejut. Ia menarik sang kakak ke balik punggungnya, menunduk, tapi terang-terangan berusaha menolak kehadiran pria tinggi bersurai platina itu bersama kakaknya.

"Jongin.." Baekhyun sebagai satu-satunya yang mengerti perangai adiknya baru ingin membujuk. Jongin selalu defensif terhadap orang-orang yang tidak ia sukai.

Tapi Baekhyun membelalak saat Chanyeol tiba-tiba membungkuk sembilan puluh derajat. Tepat di hadapan adiknya. Meminta maaf dalam satu kalimat singkat sebelum berdiri tegak kembali menatap Jongin yang tak beda jauh kagetnya dari Baekhyun.

Buru-buru menarik Jongin, Baekhyun menjelaskan cepat. Ia lalu mempersilahkan Chanyeol masuk, dan membungkuk berbalik meminta maaf.

"Kau tidak diizinkan meminta maaf lagi setelah ini." ujar Chanyeol. Baekhyun sedikit terkejut dengan nada sarat otoritarian itu, ingin menyahut lagi tapi Chanyeol lebih dulu memotong, "Santai saja." Dan ia mengusak lembut surai halus milik si penyanyi.

Baekhyun tertegun di tempatnya. Seperti halnya kemarin, jantungnya seketika melompat. Pipinya panas. Baekhyun menunduk dalam takut-takut sang direktur menangkap ekspresi kejutnya.

Chanyeol lebih dulu beranjak. Ia menempati sofa panjang di sana, yang ada tak jauh dari pintu masuk. Jam-jam setelah itu Baekhyun menghabiskan waktu bersama adiknya. Berjarak tak jauh dari sang direktur mengambil tempat, karena memang sedikit ruang yang terdapat di antara sofa dengan counter dapur di rumah sederhana itu.

Obrolan Baekhyun dengan sang adik berlangsung sedikit lebih lama dari yang biasa terjadi. Adiknya itu terus meminta maaf, mengatakan ini semua salahnya. Baekhyun tersenyum tipis. Jongin benar-benar masih adik kecilnya yang dulu.

"Semuanya baik-baik saja," kata Baekhyun untuk ke sekian kalinya, memberi usakan gemas pada rambut Jongin yang sudah lebih dulu berantakan karena tampaknya anak itu baru saja bangun saat ia datang.

Lepas makanannya tandas, Jongin memaksa mengambil bagian cuci piring, yang hanya Baekhyun jawab dengan gelengan dan perintah mutlak agar remaja itu segera kembali ke kamarnya karena ada beberapa hal penting yang harus ia bicarakan dengan Chanyeol di ruang tamu. Meski enggan, Jongin menurut. Ia mengecup pipi kakaknya.

Aku menyayangimu.

Baekhyun tersenyum menanggapi isyarat yang Jongin berikan sebelum berlalu.

Selepas menyelesaikan pekerjaannya, Baekhyun menghampiri sang direktur yang masih berkutat dengan ponselnya di salah satu sofa. Turut menempati satu sofa yang lain.

"Terima kasih sudah mengantar.. lagi." ucapnya pelan, membungkuk kecil di tempatnya duduk.

Chanyeol mengangkat wajah dari layar ponsel. Di sofa single yang ditempatkan menyiku dengan yang didudukinya lelaki mungil itu duduk. Beberapa detik Chanyeol memakukan matanya pada Baekhyun, membuat artisnya itu semakin canggung di tempatnya.

"Bukan masalah," jawabnya kemudian, mengetikkan beberapa hal di ponsel kemudian menyimpan benda itu. Setelahnya, hanya ada hening. Baekhyun duduk dengan pandangan jatuh ke permukaan meja.

"Maaf untuk yang tadi—eh, maksudku—"

"Itu yang terakhir, Baekhyun." potong Chanyeol.

Teringat perkataan Chanyeol tadi, Baekhyun mengangguk patuh. Ia mungkin akan mencari kosakata lain yang bersinggungan makna dengan kata maaf.

Chanyeol baru ingin membuka mulut untuk membawa beberapa topik ringan ketika Baekhyun kembali bersuara. "Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membalasmu?"

Bergeming, Chanyeol memikirkan pertanyaan itu seolah Baekhyun mengucapkannya dalam entah bahasa apa. Chanyeol tidak merasa memiliki jawaban. Lagipula, mengapa harus? Apakah pikiran seperti itu yang berulang kali membuat lelaki itu mengucap maaf dan terima kasih dengan penuh rasa segan?

Sejak kejadian tempo hari, Chanyeol tahu Baekhyun semakin segan padanya. Atau takut? Kemungkinan kedua lebih menggambarkan bagaimana Baekhyun bersikap padanya daripada yang pertama. Ini seperti lebih buruk ketimbang waktu-waktu awal pertemuan mereka. Saat Chanyeol kira ia telah mengikis sedikit demi sedikit jarak dan segan yang selalu tampak dari penyanyi mungil itu, dia sendiri pula yang membangunnya kembali hanya karena amarah yang gagal ia tangguhkan.

"Kau ingin membalasnya?" tanya Chanyeol. Punggung ia sandarkan pada sofa, menyilang kedua tangan. Mata elangnya tak lepas dari Baekhyun, menatap langsung lurus-lurus.

Melirik sekilas, Baekhyun mengangguk.

Sudut bibir Chanyeol terangkat—sedikit, karena ia berusaha menahan. Ia mengedikkan kepala ke sisa ruang kosong pada sofa yang ia duduki, memberi isyarat agar sang penyanyi berpindah duduk ke sana.

Baekhyun tampak bingung. Selain takut salah tangkap, isyarat itu memang tampak ambigu. Seperti tak berkorelasi dengan pertanyaannya. Tapi ia tak ingin membuat sang direktur mengulangi perintah. Jadi Baekhyun berdiri, berpindah duduk di samping pria tersebut. Kedua telapak tangan menyatu di atas pangkuan. Baekhyun tidak mengerti apa kaitan antara menanyakan balas budi dengan hanya duduk di samping pria itu.

Dudukan sofa terasa bergerak. Baekhyun baru akan mendongak ketika ia begitu saja mendapati wajah terpejam Chanyeol di atas pahanya, memaksa kedua tangan di pangkuan terangkat. Mata sipit Baekhyun membola. Napasnya sesaat berhenti saat Chanyeol menyamankan diri pada posisi itu.

"Chan—" Bahkan nama sang direktur berhenti di tenggorokannya. Kelopak mata itu membuka, menatap padanya. Dan dari jarak yang amat dekat, alih-alih mengintimidasi, Baekhyun justru menangkap kesan lain dari tatapan itu. Kesan yang begitu berbeda dari yang pernah ia dapati dari sang direktur.

Bisakah ia menggunakan kata lembut untuk mendeskripsikan itu?

"Chan? Kau ingin memanggilku dengan itu?"

Baekhyun tergagap. "B-bukan—aku—" Ia kembali tercekat. Kali ini, karena sebuah senyum miring yang tersungging pada wajah di hadapannya. Hanya dengan senyum itu, yang disunggingkan dari jarak sedemikian dekat, cukup untuk membuat waktu terasa melambat bagi Baekhyun. Matanya tidak bisa lepas darinya. Ada apa dengan dirinya?

Sang direktur memejamkan mata. Napasnya berembus teratur. Baekhyun kira pria itu tengah mencoba untuk tidur, tetapi ia mendapat pertanyaan setelahnya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Apa?"

"Keadaanmu," ulang Chanyeol.

Baekhyun menggigit bibir, menelan ludah sekali sebelum menjawab. "Aku.. baik?"

Dalam pejam matanya, Chanyeol menggumam ragu. Nada itu tidak memuaskan. Tapi, Baekhyun mungkin hanya bingung dengan pertanyaan yang ia lontarkan tiba-tiba.

Hening menyambut kemudian. Chanyeol tidak bertanya lagi, dan Baekhyun tentu memilih diam.

Baekhyun menyimpan kedua tangan di sisi tubuh. Ke atas permukaan sofa yang kosong. Ia sedikit mengutuk diri, mengapa ia tak juga mampu mengalihkan pandangannya dari wajah yang tengah memejam di pangkuannya. Seperti sebuah insting, matanya menelusuri tiap lekuk wajah itu. Persis seperti saat terakhir kali mereka ada di posisi serupa.

Rahang tegas. Hidung mancung. Telinga peri. Tapi dibanding pahatannya yang tampak sempurna, Baekhyun menemukan sesuatu lain yang jauh lebih memikat. Sesuatu yang tak tampak, tapi menguar jelas dari direktur tersebut. Aura yang tajam, dan—dengan cara yang menakjubkan—memesona.

Menyadari dirinya baru saja terang-terangan memuji sang direktur di dalam hati, pipinya memanas. Astaga, lancang sekali dia.

Sebelah tangannya terangkat, ke bagian di mana sesuatu terasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Itu membuat napasnya sedikit sesak.

"Kau tahu apa yang terjadi saat terakhir kali kau tertidur di sampingku, di tempat ini?"

Pertanyaan Chanyeol sempat membuat Baekhyun berkerut dahi. Begitu ingat pada satu waktu yang dimaksud, Baekhyun bersemu. "Apa saat itu aku melakukan hal yang aneh?" tanyanya was-was.

Suara kekeh kecil terdengar. Chanyeol kembali menyunggingkan senyum miring dalam pejamnya. Tapi pria itu tak lagi menjawab. Ia merasa itu sedikit lucu ketika Baekhyun tidak mengingat kejahatan yang Chanyeol lakukan saat itu.

"Aku butuh tidur."

"Huh?" Baekhyun membeo saat suara Chanyeol kembali terdengar. Pria itu kembali bicara, betah dengan mata tertutup. "Di sini?"

"Hm. Sebentar saja,"

"K-kalau begitu aku bisa siapkan tempat yang lebih—"

"Tidak. Biarkan seperti ini."

Baekhyun mengulum bibir. Sungguh, ia tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Chanyeol hingga memikirkan seperti apa ia harus bertindak pula terasa sulit.

Mata yang tadinya menutup kini terbuka, menampakkan dua bola mata milik sang direktur. Dan Baekhyun, terkesiap dalam diam untuk yang ke sekian kalinya—kagum.

"Kau bilang, kau ingin membalasku?" tanya Chanyeol, lurus melihat pada wajah mungil di atasnya. Sambil menggigir bibir Baekhyun mengangguk patah-patah.

Baekhyun berjengit kala sesuatu terasa menyentuh punggung tangannya. Bibirnya nyaris melontarkan tanya lagi namun tatapan Chanyeol menguncinya. Dan berkat itu, Baekhyun bungkam. Ia hanya berusaha keras menenangkan detak jantungnya yang terus berdentum keras karena tangan besar sang direktur menarik tangannya kepada pria itu, menggenggamnya lembut, kembali memejamkan mata.

Gigitan pada bibirnya semakin kencang ketika melihat tangannya kini diselimuti milik Chanyeol, di atas abdomen pria itu. Rasanya, ia mulai kewalahan karena jantungnya juga tak henti-hentinya berdetak kencang. Ia tidak mengerti mengapa Chanyeol justru menggenggam tangannya dalam tidur setelah memberikan pertanyaan seperti itu. Dipikirkan pun, Baekhyun tak menemukan jawabannya. Ia hanya terus-terusan memperoleh gelenyar aneh—merambat dari sentuhan pada tangannya, ke jantungnya, hingga ke seluruh bagian tubuhnya.

Baekhyun berusaha menolak, saat otaknya secara kurang ajar memberikan konklusi, mengartikan semua yang ia rasakan terhadap sosok di pangkuannya sebagai sebuah rasa yang khusus.

.

oOo

.

Blooming [adv.] the process of flowering; growing

.

.

Cheeeeeeesyyyyyy wkwkwk Baek kebanyakan mikir nih, ueueue

Ini nggak diedit, jadi maklumi kalau-kalau ada yang aneh, ya.. Terima kasih yang selalu sempetin baca apalagi ninggalin jejak! :") Buat saya yang sebenernya nulis hanya untuk seneng-seneng ini, kehadiran pembaca terasa macam serotonin boost yang lebih lagi huehuehuehe xoxo izzahnurul034 | Lucyana6104 | someflufi | baechiatto | baekhyuneew | KlyJC | lightdelight | jinahyoo | Guest614 | crescentchie | ChanBaek09 | dolenny1328 n ofc story followers!