Untuk Yang Tercinta
.
.
.
PLAK!
Gempa terhuyung ke belakang, bersamaan dengan rasa panas yang mendera pipi kirinya. Sakit. Namun, kakinya masih memijak lantai keramik putih mengilat itu, masih tegak berdiri mempertahankan segala ego yang ada.
"Tarik kembali kata-katamu!"
Ucapan penuh tekanan ternoda getaran dari pria paruh baya di hadapannya, menyentak Gempa sedikit. Pemuda itu berkaca-kaca. Namun, setelahnya, sepasang iris keemasan miliknya kembali mengeras. Sama seperti hatinya.
Tidak. Dia tidak akan mengalah lagi.
"Gempa, Nak."
Seorang wanita anggun berhijab yang berdiri tepat di samping pria tadi, akhirnya ikut buka suara, setelah sebelumnya hanya diam.
"Ibu mohon, jangan melawan ayahmu seperti ini."
Gempa mendengkus nyaris tak kentara. Biasanya kata-kata sang ibu selalu bisa meneduhkan hatinya. Membuatnya menerima apa pun keputusan yang dibuat sang ayah untuknya. Namun, tidak kali ini.
Tidak lagi.
"Aku. Tidak mau. Dijodohkan."
Perlahan, tetapi penuh tekanan. Begitulah cara Gempa mengucapkan keputusan finalnya. Ini hanyalah puncak dari segala ketidakpuasan yang dipendam selama belasan tahun tanpa pernah mendapatkan pelampiasan maupun penenangan.
Gempa diam saja ketika hobinya bermain bola diharamkan.
Dia masih diam ketika tidak diizinkan menyentuh dapur, walaupun dirinya gemar memasak.
Dia tetap diam ketika harus memasuki fakultas pilihan ayahnya ketika kuliah, alih-alih memperjuangkan pilihannya sendiri.
Dia juga diam ketika cita-citanya ditertawakan.
Dia selalu diam dan menjadi seorang anak yang penurut.
Dan sekarang, masa depan rumah tangganya kelak juga harus diserahkan ke tangan yang bukan tangannya?
Ini sudah cukup. Jika tidak, maka Gempa tidak tahu lagi, kehidupan yang sedang ditatanya ini sebenarnya untuk apa? Karena itulah, kali ini dia berbalik pergi.
"Kau menentang Ayah hanya demi gadis itu?"
Suara berat itu menghentikan langkah Gempa, tetapi dia tidak berbalik.
"Gempa, dengar. Ayah memilihkan lingkungan pergaulan yang baik untukmu. Teman-teman dari kalangan yang terhormat. Termasuk pendamping hidup yang pantas untukmu—"
"Maksud Ayah, teman-temanku dan gadis pilihanku ... mereka semua tidak pantas?" Gempa bukan tak menyadari nada suaranya meninggi. "Memang semua yang kulakukan tidak pernah benar di mata Ayah."
Gempa memutuskan untuk melanjutkan langkah. Ayahnya selalu seperti itu, menghakimi baik dan buruk tanpa mau memahami dari kacamata yang berbeda. Dan sekarang, bukan hanya dirinya, kawan-kawannya pun ikut dipandang rendah.
Bagus sekali.
"BERHENTI!"
Langkah Gempa terhenti lagi oleh satu seruan menggelegar itu. Namun, dia masih tidak berbalik.
"Kalau kau berani keluar dari pintu rumah ini selangkah saja, maka ... jangan pernah lagi memanggilku 'Ayah'. Paham?"
Entah kenapa Gempa tidak terlalu terkejut mendengar ucapan sang ayah. Meskipun begitu, satu desir tajam tetap menyayat hatinya bagai sembilu.
"Amato!"
Jerit setengah histeris sang ibunda kembali menyentak Gempa ke alam nyata.
Begitu, ya?
Jadi ... ini benar-benar saatnya dia harus membuat pilihan. Sesuatu yang seharusnya sudah dia lakukan sejak lama.
"Apa Ayah baru akan berhenti kalau sudah kehilangan aku? Sama seperti Ayah sudah kehilangan Kak Hali."
Tak ada jawaban.
Maka langkah-langkah kaki Gempa setelah itu, menuntunnya keluar dari belenggu yang mungkin selama ini diciptakannya sendiri.
.
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
Animasi "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta(c)
Lirik lagu yang terdapat di dalam fanfiction ini diambil dari puisi berjudul "Setelah Semua Hilang", dalam "Kumpulan Puisi (Mutiara Kata)" di akun Wattpad Heidy S.C.(c)
Fanfiction "Untuk Yang Tercinta" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.
AU. Drama-Family-Friendship. Singer!Petir. Maybe OOC.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
.
Gempa menarik napas dalam-dalam, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara pemakaman nan segar di pagi hari. Kawasan itu terletak di pinggiran Pulau Rintis. Jauh dari keramaian, dikelilingi kehijauan. Sungguh tempat yang damai untuk peristirahatan terakhir bagi jiwa-jiwa terkasih.
Sayang sekali, kedamaian itu tak mampu menjangkau hati Gempa saat ini.
"Atok." Tangan Gempa membelai lembut nisan putih di hadapannya. "Aku masih berjuang untuk mengembangkan kedai kesayangan Atok. Kedai Kokotiam yang dicintai banyak orang, termasuk aku dan—"
Ucapan Gempa terputus. Tatapannya meredup, bersamaan dengan sekilas desir tajam yang kembali menyakiti dadanya. Iapun menarik napas sekali lagi, dan tetap tak dapat merasakan kelegaan. Namun, ia tersenyum. Tipis, lemah.
"Aku pergi dulu, Tok Aba."
Gempa beranjak. Namun, alih-alih segera meninggalkan area pemakaman umum itu, dia menghampiri makam lain. Tepat berdampingan dengan makam sang kakek.
Sepasang iris keemasannya berkaca-kaca ketika tangannya mengusap nisan putih di makam itu.
"Kak Hali ... aku kangen ..."
Kata-kata itu terucap nyaris tanpa sadar, membuat Gempa tersentak sendiri setelahnya. Seulas senyum mewarnai wajahnya nan suram. Tampak lebih lemah dan menyedihkan dibandingkan sebelumnya.
"Apa menurut Kak Hali, aku sudah jadi lebih kuat? Ha ha ha ... Sepertinya belum, ya? Kalau dibandingkan Kak Hali, aku ini bukan apa-apa."
Gempa terdiam suram dalam detik-detik hambar.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa menggantikan Kak Hali. Kenapa Ayah nggak mau mengerti ...?"
Gempa membiarkan rasa sakit itu merajai hatinya lagi. Selalu seperti ini, setiap kali ia datang mengunjungi makam kakak sulungnya. Sudah belasan tahun berlalu sejak sang kakak tiada akibat kecelakaan lalu-lintas, tetapi rasanya masih sesakit ini.
"Ya sudah, Kak. Aku pulang, ya."
Kali ini, Gempa benar-benar beranjak pergi. Meninggalkan peraduan terakhir sang kakak yang hampir dua belas tahun telah tidur dengan tenang di tanah ini. Serta sang kakek yang tepat hari ini telah tiga tahun meninggalkan dirinya.
Untuk selamanya.
Tiga tahun, ya ... Berarti, sudah hampir tiga tahun pula Gempa keluar dari rumah itu. Rumah tempatnya dibesarkan. Rumah yang dahulu begitu penuh kehangatan. Gempa tidak tahu, sejak kapan rumah itu berhenti terasa sebagai 'rumah'.
Rasanya sudah sangat lama.
Sekali lagi, Gempa menarik napas dalam-dalam, begitu dirinya tiba di tempatnya memarkir mobil. Tak jauh dari area pemakaman. Tak butuh waktu lama, Gempa sudah duduk di belakang kemudi mobil kelabu metalik itu. Namun, dia tak kunjung bergerak lagi.
Pemuda itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi, masih belum memasang sabuk pengaman. Kedua matanya menangkap sepasang mata lain yang menatap sedih, terpantul dalam kaca spion di atas dasbor. Sepasang iris keemasan yang telah lama kehilangan cahaya.
Gempa mendengkus sinis. Sejak kapan tatapannya sesuram ini? Sejak kapan dia terlihat begitu mirip dengan ayahnya?
Gempa memejamkan mata. Kilasan masa lalu berkelebat tanpa permisi di benaknya. Masih tertanam jelas di dalam kenangan, ekspresi sang ayah ketika dia pergi meninggalkan rumah, hampir tiga tahun yang lalu. Sebelum melewati ambang pintu, ia tak mampu melawan keinginan untuk menengok ke belakang sekali lagi. Untuk melihat wajah orang tuanya terakhir kali.
Ibunya menangis. Ayahnya terduduk lesu di sofa, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Gempa nyaris luluh melihat betapa ayahnya tampak begitu frustasi. Halilintar sudah tiada. Taufan, kakak keduanya, juga tidak bisa diharapkan. Dan sekarang, Gempa juga akan pergi? Apakah dia tega? Apakah dia sampai hati mengecewakan dan melukai kedua orang tuanya begitu dalam?
Akan tetapi, saat itu, masih ada api yang membara di dadanya. Api amarah akibat rasa keterkekangan, mengalahkan semua emosi lain di dalam dirinya. Karena itulah, Gempa berpaling dari kedua orang yang telah menjadi mataharinya selama lebih dari dua puluh tahun.
Sejak Gempa dan kedua kakak kembarnya masih kecil, kedua orangtuanya sudah jarang ada di rumah. Kemudian, Halilintar tak lagi ada di hidupnya. Lalu, Taufan pun menenggelamkan diri di dalam kesibukannya sendiri. Gempa yang selalu kesepian, makin kesepian. Sampai akhirnya ia merasa tak ada lagi yang harus dipertahankannya di rumah itu.
Karena itulah, ia bisa memutuskan untuk pergi.
Tapi ... apakah Gempa menyesali keputusannya waktu itu? Mungkin. Kalau tidak, dadanya takkan terus-terusan terasa terhimpit setiap kali mengunjungi makam Tok Aba. Setiap kali kenangannya kembali kepada kejadian tiga tahun berselang. Setiap kali air mata dan kesedihan ayah ibunya terbayang jelas di ingatan.
"Aku tidak pernah minta dilahirkan di dalam keluarga yang seperti ini!"
Sampai detik ini pun, Gempa masih tidak percaya, kata-kata itu benar-benar telah keluar dari mulutnya. Kata-kata yang sudah membuat sang ayah menamparnya. Kata-kata yang bukan hanya telah menyakiti kedua orangtuanya, tetapi juga dirinya sendiri.
Kata-kata jahat yang tak mungkin bisa ditarik kembali.
Gempa membiarkan kepalanya rebah, tersembunyi di dalam lingkungan kedua lengan yang bertumpu di atas kemudi. Bagaimanapun juga, nasi telah menjadi bubur. Pilihan itu sudah diambil. Tapi, tetap saja ...
Kalau ini memang keputusan yang benar, kenapa hatinya tak pernah bisa merasa tenang?
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Kedai Kokotiam di pagi hari yang hangat, sudah diramaikan pembeli seperti biasa. Yang tidak biasa hari itu, bukan Gempa yang berada di balik meja counter, melainkan seorang pemuda serba kuning elektrik yang gemar mengenakan topi berwarna senada.
"Hhhhh ... Capek juga mengurus kedai ini sendirian."
Pemuda berpakaian kuning itu, Petir namanya, meregangkan tubuh sedikit ketika aliran pengunjung akhirnya berhenti. Hanya tinggal tiga orang yang masih menikmati pesanan di meja masing-masing.
"Hebat sekali Gempa," katanya lagi, "bisa melakukannya selama ini."
Petir mengangkat bahu sedikit, lantas memutuskan untuk mencuci gelas-gelas kotor. Masih begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
"Pagiii~"
Sebuah suara menyapa riang, menginterupsi kegiatan Petir yang baru setengah jalan. Dia menoleh sebentar, memberikan seulas senyum tipis ketika mengenali siapa yang barusan datang.
"Oh, lanjutkan saja dulu pekerjaanmu," orang itu mencegah Petir yang baru mau melayani pengunjung barunya. "Aku cuma mau beli cokelat bubuk buat persediaan di rumah, kok."
"Baiklah, Hanna." Petir terkekeh kecil. "Tunggu sebentar, ya?"
Tak perlu waktu lama sampai semua gelas bersih kembali. Petir menatanya dengan rapi di tempatnya semula, baru kemudian menaruh perhatian penuh kepada sang gadis yang kini duduk santai bertopang dagu di depan meja counter.
"Gempa belum kembali, ya?"
Petir menjawab pertanyaan itu dengan satu gelengan kecil. Tangannya mengambil dua kaleng—jumlah yang biasanya selalu diminta pelanggan yang satu ini—cokelat bubuk khas Kokotiam dan langsung meletakkannya di depan Hanna.
"Tahun ini juga," kata Hanna, "dia nggak menutup kedai di hari peringatan kematian kakeknya."
"Gempa bilang, kakeknya akan lebih senang kalau kedai tetap buka seperti biasa."
"Iya."
Hanna mengambil sejumlah uang dari tas tangannya, segera diserahkan kepada Petir. Ia pun langsung memasukkan dua kaleng cokelat bubuk ke tas yang sama.
"Omong-omong, sudah lama juga aku nggak mampir kemari." Hanna masih belum beranjak dari kursinya. "Jadi kangen sama suaramu."
Petir tersenyum sangat tipis.
"Oh ya?" komentarnya. "Bukan kangen sama yang punya kedai ini?"
Hanna tertawa renyah. "Apa, sih? Gempa itu, 'kan—"
"Sahabatmu sejak kecil." Petir memutar bola matanya. "Terus, memangnya kenapa kalau kangen sama teman sendiri? Kecuali kalau kamu sebenarnya memang ada rasa lain."
Hanna berdecak. Petir kembali tersenyum tipis, kali ini sedikit miring, ketika mendapati rona samar menghiasi pipi gadis itu.
"Kamu sok tahu," cibir Hanna. "Aku sudah punya pacar."
Petir mengernyit sedetik. "Taufan? Abangnya Gempa?"
"Kamu cepet banget tahu kabar terbaru, ya."
Kali ini Petir hanya tersenyum nyaris tak kentara.
"Ya udah kalau nggak mau nyanyi," kata Hanna kemudian. "Aku pamit pulang—"
Ucapan Hanna terputus oleh suara mesin mobil yang sangat familier. Saat menoleh ke arah sumber suara, sepasang netra cokelatnya menangkap sedan kelabu metalik tengah diparkir tak jauh dari kedai. Gadis itu melepas senyum cerah ketika sang pemilik mobil keluar dan bergegas menghampiri kedai.
"Tumben bawa mobil kemari?" sambut Petir tanpa basa-basi.
"Persediaan gula dan beberapa bahan lain sudah mau habis, kan? Biar aku cek dulu apa saja yang dibutuhkan. Nanti aku akan membelinya di minimarket, sekalian mengembalikan mobil ke rumah." Gempa, pemuda yang baru datang itu, tersenyum tipis sembari mengambil alih kembali posisinya di belakang meja counter."Dan terima kasih sudah membantuku menjaga kedai."
"Sama-sama."
Petir pun menyingkir, lantas mendekati salah satu pojok kedai yang biasa dijadikannya tempat untuk menyanyi.
"Hanna." Gempa menyapa ramah ketika menyadari kehadiran gadis itu. "Sudah lama?"
"Lumayan." Hanna mengamati sahabat masa kecilnya sejenak dalam diam. "Gempa, kamu baik-baik saja?"
Gempa kembali tersenyum tipis, sebelum menjawab singkat, "Ya. Terima kasih atas perhatianmu."
Hanna ikut tersenyum, tetapi tak mengatakan apa-apa lagi. Ia kemudian beralih memandang Petir yang masih sibuk dengan gitar berwarna kuning elektrik kesayangannya.
"Hei, Petir. Nyanyikan sesuatu, dong."
Petir memetik satu nada dari senar gitarnya, menjawab pinta Hanna. Ia memainkan beberapa nada lagi secara acak. Setelah memastikan gitarnya benar-benar sudah siap, barulah ia memetik nada-nada yang membentuk alunan irama tertata. Sebuah lagu yang belum pernah didengar sebelumnya oleh Hanna maupun Gempa.
.
Setelah semua hilang
Hanya tanya terpatri membayang
Mengapa, kapan, di mana semuanya hilang
Lantas tiada yang tertinggal
Selain sesal nan kekal
.
Suara merdu Petir mengalun jernih diiringi gitar yang memainkan melodi lambat. Gempa merasakan desir pelan merambati dadanya. Lirik lagu Petir begitu mengena terasa. Begitu padu dengan situasinya saat ini.
Bagi Gempa, semua yang disayanginya telah hilang. Hanya dirinya sendiri yang masih tertinggal dalam sesal.
.
Pernahkah rindu datang
Setelah semua hilang
Rindu akan jendela berbalut petang
Rindu akan ladang penuh ilalang
Rindu akan hutan luas membentang
Kini tergantikan dinding-dinding putih menjejak
Angkuh berdiri tegak
Memaksa damai tertelan tamak
.
Rindu?
Ah ... Begitu rupanya. Lagu Petir kali ini ternyata bercerita tentang kerinduan terhadap alam yang telah kehilangan banyak hal. Bait ini ... begitu penuh dengan kesan 'kesepian'. Gempa bisa ikut merasakannya, walau dalam konteks yang berbeda.
.
Hilang burung akan nyanyian
Hilang udara akan kesegaran
Hilang rimba akan kehijauan
Hilang biru dari lautan
Pun gelak tawa hilang dari kerumunan
.
Sama.
Benar-benar sama.
Begitu banyak yang hilang. Bagi Gempa pun, sekadar senyum pun telah lama menghilang dari hidupnya. Alih-alih gelak tawa.
.
Setelah semua hilang
Hanya kisah-kisah tersisa malang
Memeluk pilunya sesal dalam kesunyian
Bersaksi tentang damai yang pernah menghangatkan
Sekaligus menyejukkan
.
Nada-nada syahdu kembali dimainkan, mengakhiri lagu dalam sendu. Para pengunjung kedai yang masih berada di situ, bertepuk tangan sejenak. Merasa beruntung bisa mendengarkan sebuah lagu yang begitu menyentuh hati, dalam suara nyanyian bagaikan malaikat.
Petir hanya tersenyum sembari membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Seperti lagu patah hati," celetuk Hanna.
Petir mengangkat sebelah alis. Ditatapnya gadis yang posisi duduknya hanya berjarak tiga langkah di depannya, nyaris tanpa berkedip. Sedetik. Dua detik.
"Apa?" tanya Hanna ketika Petir tak kunjung bicara.
"Kamu lagi patah hati?"
Tanggapan tak terduga itu membuat Hanna terdiam bingung sejenak.
"... Hah?"
"Impresi terhadap sebuah lagu tergantung kepada orang yang mendengarnya," jelas Petir. "Jadi ... kenapa kamu bisa bilang begitu?"
Hanna malah tertawa, menyadari Petir baru saja meledeknya.
"Hei ... Makna 'patah hati' itu bisa macam-macam, lho." Gadis itu memiringkan kepala, tepat ketika angin semilir membuat rambut cokelat sebahunya bergerak-gerak pelan. "Kamu membuat lagu ini karena 'patah hati' akibat alam yang rusak karena ulah manusia, 'kan?"
Petir mengangkat bahu. "Aku juga termasuk 'manusia', sih."
"Karena itulah, 'penyesalan' yang kamu ungkapkan di lagu itu sangat terasa." Hanna tersenyum tipis. "Nice song."
"Thanks."
Setelah berbasa-basi sedikit lagi, Hanna berpamitan pulang. Ia sempat berbalik kembali setelah beranjak dua langkah.
"Gem ... ingatlah, kamu nggak sendirian."
Kata-kata yang sukses membuat Gempa terpekur lama. Bahkan hingga sosok Hanna tak tampak lagi dari pandangan.
"Segitunya ngeliatin Hanna."
Teguran Petir menyentak Gempa dari kembara angannya. Pemuda yang memiliki sejumput rambut putih di bagian depan itu—keturunan dari sang ayah—kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan di balik counter. Mencatat bahan-bahan baku apa saja yang harus dibeli. Tak sedikit pun ia menanggapi ucapan Petir, walau ia paham kawannya itu nyata-nyata sengaja mengusiknya.
"Gem." Rupanya Petir tak berniat untuk diam meski tak diacuhkan. "Kau serius, mau membiarkan semuanya seperti ini?"
Pertanyaan itu tak dijawab. Kebetulan, ketiga pengunjung kedai sudah selesai dan mengantri untuk membayar di kasir. Petir terpaksa mengesampingkan dulu dirinya yang diabaikan dua kali. Sampai pelanggan terakhir telah membayar dan mendapatkan kembaliannya, lantas beranjak pergi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Gempa," Petir mendesak dengan keras kepala.
Gempa mengangkat bahu. "Aku nggak ngerti maksud pertanyaanmu."
Petir berdecak pelan. "Soal Hanna. Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu kau suka padanya."
"Perasaanmu saja—"
"Jangan memberiku alasan itu," Petir memotong kalimat Gempa tanpa ampun. "Kenapa? Kau mengalah untuk abangmu, Taufan?"
Petir menatap sahabatnya yang menghela napas dalam-dalam. Dilihatnya Gempa tersenyum, tipis saja. Terkadang Petir benci melihat senyum Gempa yang seperti itu. Sebab terlihat jelas di matanya, Gempa sesungguhnya terluka.
"Gem—"
"Yang disukai Hanna adalah Kak Taufan, bukan aku," kali ini Gempa yang menyela kata-kata kawan baiknya. "Dua orang yang sangat kusayangi, sudah berbahagia bersama. Dan aku nggak akan merusaknya hanya demi keegoisanku sendiri. Oke?"
"Apa salahnya sesekali kau bersikap egois?"
"Nggak untuk masalah ini."
"Kenapa? Kau takut merusak kebahagiaan mereka?"
Gempa menghentikan segala kegiatannya hanya untuk menatap Petir dalam-dalam. "Aku nggak mau merusak apa pun. Lagi."
Petir mendesah, merasa percuma membantah keputusan Gempa lebih jauh. Karena dia tahu persis, mengapa Gempa selalu bersikap seperti ini.
Mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi orang lain.
"Kau masih kepikiran tentang kedua orangtuamu, ya?"
Pertanyaan Petir selanjutnya melenceng jauh dari percakapan sebelumnya. Mungkin akan tampak seperti itu bagi orang lain, tetapi sebenarnya tidak. Lama berteman dengan Gempa, Petir sangat tahu kalau itu sangat erat kaitannya.
Dia tahu persis, alasan kesedihan mendalam yang terlihat jelas di wajah Gempa setiap kali kembali dari makam kakak sulungnya tiap tahun. Dan tiga tahun belakangan ini, ditambah dengan peristirahatan terakhir kakeknya.
Sedih karena kehilangan, itu sudah pasti. Namun, kesedihan tersebut akan semakin terkikis seiring waktu. Tergantikan kenangan-kenangan indah bersama almarhum di masa hidupnya.
Ya, Petir sangat tahu akan hal itu. Bahwa kesedihan terdalam Gempa bukanlah disebabkan mereka yang telah tiada, melainkan mereka yang masih bernapas di Bumi yang sama dengannya. Di dalam rumah yang seharusnya sama dengannya.
"Aku nggak mau membahas itu."
"Sampai kapan?"
Ucapan tegas Gempa dibalas dengan nada tegas yang sama oleh Petir.
"Sampai kapan kau mau terus seperti ini, Gempa?"
Lagi-lagi pertanyaan itu tak terjawab. Gempa kembali menyibukkan diri dengan urusan di balik counter yang sudah hampir selesai. Petir pun kembali memetik gitarnya. Kemudian, sekali lagi, menyanyikan nada-nada indah menyentuh hati.
.
Setelah semua hilang
Hanya tanya terpatri membayang
Mengapa, kapan, di mana semuanya hilang
Lantas tiada yang tertinggal
Selain sesal nan kekal
.
Hanya satu bait, dan Petir sudah menghentikan nyanyiannya. Tepat ketika Gempa sudah selesai mencatat.
"Kau menyesal, 'kan?" Kali ini Petir tak ingin berbasa-basi lagi. "Karena satu kalimat yang telah kauucapkan di hadapan ayah dan ibumu."
Gempa terdiam. Rahangnya mengeras, sementara kedua tangannya mengepal erat. Petir adalah satu-satunya tempat di mana dirinya pernah mencurahkan segala resah gelisah. Sahabat yang setia, yang selalu ada di saat ia membutuhkan bahu untuk bersandar.
Di antara teman-temannya, hanya Petir yang benar-benar memahami posisinya saat ini. Bahkan kepada Hanna, yang kawan baiknya sedari kecil sekaligus tetangga sebelah rumahnya, Gempa tak pernah bercerita hingga sedetil itu.
"Kenapa nggak coba bicara lagi dengan kedua orangtuamu?" tanya Petir lagi. "Kalau sekarang, kurasa kau dan mereka sama-sama sudah lebih tenang."
Gempa masih terdiam.
"Mungkin saja, bukan cuma kau yang menyesal, tapi ayahmu juga, kan?"
"Aku ..."
Ucapan Gempa terputus lama. Petir memutuskan untuk menunggu, hingga akhirnya Gempa menghela napas panjang.
"Aku nggak tahu."
Gempa melepaskan pandangannya jauh ke angkasa biru tak berawan. Petir masih menunggu.
"Aku nggak tahu," akhirnya kalimat itu dilanjutkan, setelah detik-detik yang seperti nyaris tak berkesudahan, "apakah aku masih berhak untuk menemui mereka atau nggak."
Gempa tersenyum, pahit. Tatapan Petir menajam sejenak, sebelum ia menghela napas pelan. Lantas ditinggalkannya gitar, sedangkan dirinya menghampiri meja counter. Diambilnya tempat duduk, sehingga ia bisa persis berhadap-hadapan dengan sahabatnya.
"Kau tahu, apa masalah terbesarmu?"
Gempa mengerjap mendengar pertanyaan Petir. Pemuda itu kemudian menggeleng.
"Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri saat orang lain kecewa atau bersedih."
"Apa?"
Petir menatap kedua mata Gempa dalam-dalam. Yang ditemukannya di sana hanyalah kebingungan. Sekali lagi, napas terhela pelan.
"Dengarkan aku," berkata Petir. "Menyenangkan semua orang itu mustahil. Jadi, kumohon, hentikan. Kalau enggak, kau sendiri yang bakal menderita."
Gempa terdiam.
"Kau harus lebih mencintai dirimu sendiri. Dan itu dimulai dari jujur terhadap perasaanmu sendiri. Kau berhak untuk bahagia. Paham, 'kan?"
Sang pemuda bermata emas tercenung ketika Petir mendadak menceramahinya panjang lebar. Namun, setiap kata-kata sahabatnya itu meresap hingga ke dalam hatinya.
Gempa mengulas satu senyum samar. Masih tampak berat, tetapi juga lebih lega. Diam-diam ia merasa beruntung, saat ini ada Petir di sampingnya. Meski lebih muda setahun darinya, kadang-kadang Petir bisa bersikap lebih dewasa. Rasanya seperti seorang kakak yang bisa mengayomi.
Jujur pada diri sendiri, ya?
Jika memang itu yang terbaik, maka Gempa tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Sesuatu yang memang sudah lama ingin dilakukannya.
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Rumah besar di kawasan perumahan elit itu tampak sepi. Hanya ada seorang pria paruh baya tengah duduk santai di beranda sambil membaca koran. Suasana begitu damai, dengan halaman rumah yang cukup luas dan dihiasi taman berisi bunga-bunga dan tanaman hias.
Namun, kalau boleh jujur, suasana hati sang pemilik rumah sesungguhnya tak sedamai itu.
Harum teh melati mendadak tercium dari arah pintu rumah. Pria itu sontak menoleh, dan mendapati sang istri datang dengan nampan berisi dua gelas teh yang langsung diletakkannya di meja.
"Minumlah dulu."
Wanita anggun itu berkata lembut, lantas ikut duduk di kursi rotan yang lain. Berseberangan dengan suaminya terpisah meja. Sepasang netra cokelat madunya mengawasi sang suami yang kini tengah menikmati tehnya perlahan.
Ada gurat-gurat kesedihan nan samar di sana. Tentu saja, suaminya itu takkan pernah mau mengakui. Namun, sebagai seorang istri, ia tetap tahu.
"Amato," suara lembutnya mendayu setelah sang suami meletakkan kembali gelas, lantas hendak kembali membaca koran. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
"Hm?" Pria yang memiliki sejumput rambut putih di sisi kanan depan itu mengangkat alis sejenak. "Kenapa bertanya begitu?"
"Teringat Tok Aba, ya?"
Pertanyaan yang sangat wajar. Mengingat hari ini adalah peringatan meninggalnya sang ayah, kakek dari anak-anak mereka. Keduanya pergi ke makam tadi pagi. Hanya berdua, karena putra mereka, Taufan, ada urusan penting. Katanya dia akan pergi sendiri ke sana setelah urusannya selesai.
"Sayang sekali ya, kita tidak bertemu Gempa tadi. Mungkin kita berselisih jalan."
Kedua mata Amato melebar sekejap. Kemudian ia menutupnya sekian detik, sembari menghela napas pelan. Masih belum mengatakan apa pun.
"Kalian berdua ini memang sangat mirip, sama-sama keras kepala." Amato hanya melirik sedikit ketika sang istri melanjutkan ucapannya. "Apa salahnya, sih, sesekali orangtua yang lebih dulu menemui anaknya? Kau pasti sudah sangat rindu padanya, 'kan? Sama sepertiku."
Amato menatap wajah ayu sang istri sepenuhnya. Permata hatinya itu tersenyum lembut.
"Aku tidak akan percaya kalau kau mau bilang, sampai sekarang amarahmu masih mengalahkan rasa cinta pada putra kesayanganmu itu."
Sang istri kembali tersenyum hingga kedua matanya tertutup sesaat. Amato ikut tersenyum, samar. Napas panjang terhela sekali lagi.
"Karena sejak awal, tidak pernah ada yang bisa mengalahkan rasa cinta itu. Benar 'kan, suamiku tersayang?"
Ucapan pamungkas sang istri yang takkan bisa dibantah oleh Amato. Hidup berumah tangga nyaris tiga dekade, membuat mereka sudah tak memerlukan kata-kata untuk saling mengerti.
"Oke, oke. Istriku memang selalu benar," Amato menggerutu dengan nada bercanda. "Kau mau kita menemuinya malam ini? Atau sekarang juga?"
Sang istri tertawa kecil. Denting paling indah di telinga Amato dalam tiga tahun terakhir, setelah selama ini ia terus bersikukuh kepada keegoisannya.
"Tidak perlu, Ayah, Ibu."
Suara yang tiba-tiba terdengar itu menyentak sepasang suami-istri yang baru saja saling berpegangan tangan itu. Keduanya menatap ke depan, ke arah seorang pemuda yang tengah mendekat dengan senyum terkembang.
"Aku ada di sini."
Sang pemuda melihat ibunya bergegas bangkit dengan kedua tangan menutupi sebagian wajah. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Gempa!"
Wanita itu setengah berlari menghampiri si pemuda. Segera dipeluknya sang putra yang sudah nyaris tiga tahun tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini.
"Aku pulang, Ibu."
Ucapan lirih Gempa mengiringi dirinya yang membalas pelukan hangat sang ibunda. Sepasang iris keemasan itu berkaca-kaca, sebelum akhirnya benar-benar menitikkan air mata.
"Maafkan aku."
Gempa masih melanjutkan ucapannya dengan suara bergetar. Sang ibu hanya menggeleng pelan. Pelukannya semakin erat, seolah takut putranya akan menghilang kembali.
"Jangan pergi lagi, Nak," sang bunda berkata. "Ibu sangat menyayangimu."
"Aku juga sangat menyayangi Ibu."
Perlu waktu satu-dua menit lagi sampai ibu-anak itu rela untuk melepaskan pelukan. Gempa membiarkan sang ibu membelai wajahnya penuh kerinduan. Setelah itu, barulah ia berpaling kepada ayahnya.
Detik-detik laksana berlari dalam keheningan. Gempa nyaris yakin, ia dan ayahnya akan sama-sama betah terus membisu bila tak ada yang mau memulai bicara duluan.
"Ayah."
"Nak."
Gempa dan Amato tersentak, tak menyangka mereka akan mulai berbicara di waktu yang sama. Sementara, sang ibunda hanya tertawa kecil. Ditepuknya punggung Gempa dengan lembut, sebagai tanda supaya putranya lebih mendekat kepada sang ayah.
"Aku pulang, Ayah." Gempa membawa dirinya berlutut di hadapan sang ayah. "Maafkan aku."
Gempa meraih tangan sang ayah, lantas menciumnya dengan khidmat. Sementara Amato terdiam lama. Dan mungkin akan terus diam seandainya ia tak melihat isyarat kerlingan dari sang istri.
Maka, kedua tangannya pun terulur meraih bahu Gempa. Pemuda itu tersentak sedikit. Sedikit ragu, ia mengangkat wajah. Haru seketika menyerbu tatkala hal pertama yang tampak di matanya adalah senyuman sang ayah.
Senyum lembut, tanpa amarah. Yang bisa dilihat Gempa di dalam sepasang mata ayahnya sekarang hanyalah kerinduan dan kasih sayang nan tulus. Tak ada yang lain lagi.
"Ayah yang harusnya minta maaf, Nak. Ayah yang salah."
Gempa membeku. Ayahnya tiba-tiba memeluknya, begitu erat, begitu hangat. Pemuda itu merasakan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Tak satu pun kata mampu terucap. Hanya satu yang bisa dilakukannya saat ini, membalas pelukan itu dengan curahan kasih sayang yang sama.
"Aku ... hanya ingin menjalani hidupku sendiri ... dengan caraku sendiri ..."
"Iya, Nak."
"Aku tidak pernah ingin menyakiti hati Ayah ..."
"Ayah tahu ..."
"Aku sayang Ayah ..."
"Ayah juga sayang padamu, putraku."
Tangis Gempa pecah. Segala beban yang memberatinya selama bertahun-tahun, kini terangkat sudah. Tanpa harus ada kata-kata lagi, Gempa paham bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mulai dari sekarang, saat ini, takkan ada lagi ganjalan di antara dirinya dan sang ayah.
Mungkin hanya prasangka Gempa saja yang selama ini membuatnya yakin hubungan mereka sudah tak bisa lagi diperbaiki. Mungkin kata terlambat itu memang tidak akan pernah ada. Karena salah satu dari sedikit orang yang bisa menerima dirinya apa adanya, mencintainya tanpa syarat, adalah keluarganya.
Dan di sini, sampai kapan pun, akan selalu menjadi rumah baginya.
"Aku pulang."
.
.
.
TAMAT
.
.
.
* Author's Note *
.
Hai, haiiiii~
Adakah yang merindukanku? X"D *plak*
Lama nggak nulis, maaf-maaf jikalau masih terasa kaku. Dan yhaaa ini memang drama sekali. Dan mood-nya memang sangat baper, karena mengikuti mood sang author. *jangan curhat, nak*
Sebenarnya, fic ini ingin kupersembahkan buat event #LoveYourSelf sekaligus untuk #SoSChallenge. Tapi telat pakai banget sih, ini. Dan nggak tahu juga, apakah temanya cukup 'masuk' atau enggak. XD *maafkan saya*
But, I'd like to publish it anyway.
Nggak kerasa nyampe 4k yah, padahal niatnya maksimal 3k aja, ahahaha ... Semoga pembaca menikmati kisah ini seperti ketika aku menulisnya. :")
Oh ya, soal sosok ibunda BoBoiBoy, masih belum ada informasi resmi secara canon. Di sini, aku mengikuti headcanon paling populer saat ini, di mana ia digambarkan sebagai wanita muslimah berhijab, seperti ibu Yaya. Tanpa menyebutkan nama, tentunya.
Stay optimist and stay safe, everyone! Tetap semangat~!
.
Regards,
kurohimeNoir
23.03.2020