BBB hanya milik ANIMONSTA

Semoga Terhibur


Sejak kecil, Kaizo sudah terbiasa hidup berpindah-pindah dikarenakan pekerjaan ayahnya, selama empat belas tahun hidupnya dia tidak pernah menetap di satu tempat lebih dari empat tahun. Tahun ini adalah kali ke lima dia pindah bersama keluarganya, ke sebuah kota kecil tempat ayahnya ditugaskan selama dua tahun.

Kebanyakan tempat yang dia datangi sebelumnya adalah kota besar dengan jejeran gedung percakar langit berarsitektur memukau, perumahan minimalis yang saling berdempetan, jalan penuh dengan kendaraan, pengap dan berisik, tempat di mana dia harus selalu waspada dikarenakan kota besar yang sejaterah juga memiliki bayang-bayangnya, kriminalitas yang mengarah pada penculikan, pencurian dan pembunuhan selalu mengisi berita di televisi, Kaizo belajar banyak untuk menghindar dan menghadapi tantangan disana, tapi apa yang dipelajarinya tidak berlaku di kota ini.

Tempat dimana ayahnya ditugaskan kali ini menyandang status sebagai kota, nyatanya status desa lebih cocok mewakilinya, tempat yang sunyi, jarak satu rumah dengan rumah lain terlalu jauh yang membuat perasaan Kaizo sedikit tidak nyaman, tidak ada bangunan yang memiliki lantai melebihi dua tingkat, minimarket dan pom bensin terdekat membutuhkan sekitar waktu 45 menit dengan naik mobil, jalan tidak terurus, penuh lubang beserta hiasan kotoran sapi dan kuda dikarenakan penduduk disini kebanyakan hidup dari hasil pertanian atau peternakan.

Penduduknya didominasi oleh kalangan tua karena para generasi muda lebih memilih untuk melanjutkan hidup ke kota besar. Kaizo sudah terbiasa dengan tempat baru, dia tidak membenci pekerjaan ayahnya yang memaksanya harus berpindah-pindah, justru kebalikannya Kaizo cukup menikmatinya. Suasana baru di setiap tempat yang dia datangi selalu dapat menghibur dengan level mengejutkan, namun kota kali ini sepertinya tidak seperti kebanyakan tempat. Entah kenapa, kota ini membuatnya lebih waspada melebihi kota-kota lain.

"Abang." panggil Fang.

Kaizo menunduk, adiknya yang berumur empat tahun sedang menyibukkan diri dengan menggali lubang di halaman rumah mereka, Fang sibuk menanam biji bunga matahari yang tadi mereka beli di minimarket, yang tentu saja tidak akan tumbuh tapi Kaizo tidak tega mengatakannya. Dia ditugaskan untuk menjaga Fang sementara kedua orangtuanya memasukkan barang-barang ke dalam rumah bersama dengan petugas pemindahan barang.

Satu hal bagus dari kota tempat ayahnya ditugaskan kali ini adalah mudahnya mencari rumah untuk disewa, setiap kali mereka pindah biasanya ayahnya akan memilih untuk menyewa apartemen dikarenakan strategis dan murah, namun dikarenakan mereka tinggal di apartmen, ruang untuk bermain sangat terbatas, ruang keluarga selalu sempit, dan Kaizo belum pernah merasakan memiliki halaman rumah sebelumnya. Biasanya orangtuanya akan membawa Kaizo dan adiknya ke taman jika jadwal tidak sedang padat agar mereka dapat bermain lebih bebas, kali ini tanpa harus mencari taman, Fang sudah dapat bebas berlarian bermain, ibunya bahkan sampai membelikan mereka ayunan dan papan jungkat jungkit untuk mereka bermain di halaman.

Tangan Fang menunjuk ke belakangnya, Kaizo berbalik ke arah Fang tuju. Tetangga terdekat mereka baru saja keluar dari rumahnya, dua orang anak remaja yang terlihat seumuran Kaizo berjalan ke arah mereka, kedua orangtua mereka menyusul dan segera menghampiri kedua orang tua Kaizo, menawarkan bantuan memasukkan barang.

Ramah sekali pikir Kaizo.

Kedua remaja itu datang dengan senyum lebar menghias wajah mereka, Kaizo yakin mereka kembar identik, bentuk wajah dan mata mereka serupa, jika saja gender mereka tidak berbeda, Kaizo sepertinya akan butuh waktu lama untuk membedakan mereka.

"Hai!" sapa riang si pemuda "Aku Sai, ini adik kembarku Shielda." ucapnya mengulurkan tangan.

Kaizo menyambutnya "Kaizo," balasnya memperkenalkan diri "ini adikku Fang." ucapnya seraya menarik Fang mendekat "Bilang hai juga Fang."

Fang meninggalkan sekop mainannya di tanah, mengelap tangan kotornya ke sweater ungu "Hai." salam Fang malu-malu sembari bersembunyi di belakang kaki Kaizo.

Si kembar menatap Fang lekat, yang membuat adiknya semakin menyembunyikan diri di belakang kakinya.

"Perempuan ya?" tanya Sai.

"Hmm? Bukan, dia laki-laki." jawab Kaizo ikut memperhatikan adiknya, Fang memang sedang mengenakan sweater ungu dengan kupluk yang menutupi kepalanya, karena Fang mirip dengan ibu mereka banyak yang menyangka Fang adalah anak perempuan jika dia sedang mengenakan topi atau sweater. Tangan Kaizo menarik kupluk sweater Fang, menampilkan potongan khas anak laki-laki.

Sai menyikut Shielda yang terdiam memandangi Fang, Shielda tersentak seakan bangun dari lamunannya, dia tertawa canggung lalu berlutut "Hai Fang." ucapnya serapa mengeluarkan permen lollipop dari saku pakaiannya "Ini untukmu."

Fang mengintip, memandang Kaizo terlebih dahulu untuk minta izin menerima permen dari orang asing, saat melihat Kaizo mengangguk, adiknya tersenyum lebar dan meraih lollipop itu "Terima kasih." Ucapnya sembari tertawa pelan saat Shielda mengusap kepalanya. Fang membalas kebaikkan Shielda dnegan mengajak gadis itu untuk ikut menanam biji bunga matahari yang diterima dengan senang hati oleh Shielda sendiri.

Kesan pertama Kaizo pada si kembar cukup bagus, selain mereka menunjukkan tahu betul bagaimana berinteraksi dengan anak balita, si kembar juga tahu bagaimana memposisikan topik pembicaraan padanya. Percakapan mereka berjalan santai, Kaizo mengetahui kalau keluarga mereka juga tidak asli berasal dari kota ini, mereka pindah ke kota ini saat mereka berumur tujuh tahun untuk menempati rumah warisan, Kaizo juga mengetahui dia akan masuk ke SMP yang sama dengan si kembar. Yang membuatnya agak terkejut adalah Sai mengatakan kalau mereka juga akan sekelas. Kota ini nyatanya lebih kecil dari yang Kaizo duga, tidak ada taman kanak-kanak di sini, sekolah dasar hingga sekolah menengah atas hanya ada satu, dengan setiap tingkatnya hanya memiliki satu kelas.

Sai mengatakan juga tidak ada mall disini, mall terdekat ada di kota sebelah, butuh dua jam untuk mencapai mall tersebut. Tidak terlalu ada banyak hiburan di kota ini adalah hal kedua paling mengerikan.

"Apa yang pertama kalau begitu?" tanya Kaizo.

Sai menyisir rambut dengan jemarinya "Aku senang kau menanyakan itu."

Huh? Pikir Kaizo.

"Berapa umur Fang? Tiga? Empat?" tanya Sai.

"Empat tahun."

Sai mengangguk, tatapannya terarah pada adik kembarnya dan Fang yang sedang menggali lubang lain untuk biji bunga matahari "Kau mungkin tidak mau membiarkan adikmu tidur sendiri."

"Kenapa?"

Sai menengadah, memandang langit atau mungkin dia sedang mencoba melihat lebih dari sebatas langit, sesuatu yang mungkin tersembunyi di baliknya "Kota ini sedikit spesial."

Kaizo tertawa pelan, mendengar Sai mengatakan kota yang isinya nyaris hanya tanaman tani dan hewan ternak sebagai kota spesial.

"Apa yang begitu spesial dari tempat ini?" tanya Kaizo.

"Kau akan tahu." ucap Sai "Kau tidak akan mempercayainya dengan segera, tapi dengarkan ucapanku dengan baik." Sai menoleh pada Kaizo, tangannya bergerak meremas bahu Kaizo, tatapan matanya lurus dan tajam menatap Kaizo "Jangan pernah biarkan Fang tidur seorang diri saat malam datang, kau harus membawanya bersama denganmu kemanapun kau pergi, saat malam datang."

Dahi Kaizo berkerut bingung. Dikarenakan mereka selalu tinggal di apartmen, Kaizo dan adiknya selalu ditempatkan di kamar yang sama. Untuk kali ini, orangtuanya dapat memberikan mereka kamar untuk masing-masing, hanya saja mungkin untuk beberapa hari pertama mereka akan berada di kamar yang sama karena belum seluruh perabotan mereka akan dirapikan di hari pertama pindah.

"Kenapa?" tanya Kaizo

"Kau akan tahu, aku yakin kau akan melihatnya, segera, selama kau tidak membiarkan Fang tidur sendiri maka mereka tidak akan menyentuh Fang, hanya saja ada saat dimana tidur bersama saja tidak cukup." ucap Sai.

Satu hal yang segera muncul di kepalanya, orang ini terlihat bersungguh-sungguh, Kaizo tinggal berpindah-pindah, dia menemui berbagai tipe orang, membaca tujuan dan keinginan mereka bukan hal menyulitkan lagi baginya. Dia dapat menebak apa yang mereka inginkan terkadang hanya dengan melihat gerak tubuh mereka, tapi kali ini Kaizo cukup kesulitan untuk memutuskan.

"Siapa yang akan menyentuh Fang?" tanya Kaizo siaga, pikiran-pikrian tentang gerombolan anak nakal yang gemar melakukan bully segera bermunculan di kepala Kaizo.

"Aku tidak tahu apa mereka, tapi aku dan Shielda menyebutnya penyihir." ucap Sai

Kaizo tertawa kecil, berpikir Sai baru mengeluarkan lelucon, Kaizo mengakui lelucon itu bagus, dia bukan orang yang mudah tertawa dan Sai berhasil mengundang tawanya di pertemuan pertama mereka. Kaizo menunggu Sai ikut tertawa, namun dia terdiam dengan sorot mata khawatir.

Penyihir dia bilang? Makhluk yang biasa muncul di buku dongeng, digambarkan sebagai nenek tua berpakaian hitam dengan topi runcing, berkulit hijau berkutil dan dapat terbang dengan sapu terbangnya? Omong kosong macam apa yang disuapi kepada si kembar oleh orangtua mereka sehingga mempercayai dongeng itu saat usia mereka menginjak 14 tahun?

"Kau akan lihat sendiri," ucap Sai "karena aku dan Shielda pernah melihatnya, kami melihatnya mengambil adik kami."

Kaizo melihat bagaimana ada kemarahan yang keluar dari ucapannya, dia dapat melihat ada sorot penyesalan dan kerinduan di mata Sai, walaupun ucapannya terdengar tidak masuk akal, Kaizo merasakan kalau Sai berkata serius namun tidak dapat membawanya untuk mempercayai ucapan Sai. Kalau benar si kembar memang pernah kehilangan adik mereka, mungkin dikarenakan hal lain, bisa jadi kecelakaan atau penculikan, kejadian itu mungkin membuat si kembar trauma, menyebabkan mereka mengkhayalkan keberadaan penyihir untuk mengobati rasa kehilangan mereka atau sebagai pelampiasan rasa bersalah.

Kaizo membelokkan percakapan. Kaizo tidak mau mengambil kesimpulan terlalu awal. Mereka menghabiskan sepanjang sore bermain dengan Fang hingga orangtua mereka masing-masing memanggil untuk pulang, dia akhir permainan mereka si kembar kembali mengingatkan.

"Jangan biarkan dia tidur sendiri."

Kaizo hanya tersenyum kecil dan mengangguk, memutuskan untuk melupakannya dengan segera hingga malam datang.

Rumah mereka terasa kosong walaupun seluruh barang dan perabotan sudah diantarkan dan dimasukkan ke dalam rumah. Kebiasaan keluarganya yang tinggal di apartemen kecil dan terus berpindah membuat orangtuanya sangat efisien memiliki barang, selain bingkai foto dan beberapa tanaman plastik, kedua orangtuanya tidak pernah mencoba mendekor rumah mereka dengan benda lain. Apartmen mereka selalu terlihat penuh hanya dengan dekorasi minim itu, rumah sewaan kali ini sepertinya tidak begitu,

Setelah makan malam, Kaizo dan Fang menghabiskan sisa waktu mereka untuk mengelilingi isi rumah. Masuk ke satu ruangan ke ruangan lain, Fang begitu semangat seolah sedang menjelajah labirin besar. Di lantai bawah diisi ruang tamu dan ruang keluarga, satu kamar mandi, dengan dapur dan tiga ruangan berukuran standar. Di lantai atas hampir sama namun tanpa dapur dan digantikan kamar tidur lain.

Kedua orangtuanya akan tidur di kamar lantai bawah sedangkan Kaizo dan Fang memilih kamar di lantai atas, untuk sementara mereka akan berada di satu kamar karena belum seluruh rumah dibersihkan oleh orangtuanya. Kamar mereka hanya diisi dengan dua kasur tanpa ranjang karena mereka tidak pernah menggunakan ranjang, sekotak mainan Fang dan beberapa buku beserta dua koper berisi pakaian mereka. Ada sebuah jendela besar yang menghadap sisi rumah, saat Kaizo mengecek bagaimana pemandangannya dia segera disambut dengan si kembar lagi, kamar si kembar bersampingan dan masing-masing memiliki jendela yang berhadapan dengan kamar yang nantinya akan menjadi kamar Fang.

Fang jatuh tertidur segera setelah selesai mengelilingi rumah, sedangkan Kaizo masih terjaga hingga larut, mereka punya jam tidur pukul 9 malam hanya saja Kaizo selalu berhasil mengelabui orangtua mereka untuk berpikir Kaizo telah tidur sebelum jam malam walaupun sebenarnya tidak. Membiarkan lampu kamarnya mati, dia menghabiskan waktu dengan membaca buku menggunakan senter kecil hingga larut, lagipula Kaizo belum mulai bersekolah jadi bangun di siang hari tidak akan jadi masalah.

Dia besandar ke tembok, meresapi kata per kata dari bukunya untuk membentuk gambaran di kepalanya. Sekejap, Kaizo merasakan ada sesuatu yang bergerak dari balik gorden jendelanya. Dia mengacuhkannya karena mengira mungkin itu burung atau kelelawar, tidak lama, sisi matanya menangkap gerakan lain walaupun seluruh perhatiannya terarah pada buku dia dapat merasakan bayangan itu seperti bukan berasal dari kelelawar atau burung semata, Kaizo mulai penasaran, dia bangun untuk mengecek keadaan di luar, Kaizo menyibak gordennya dan disambut dengan kegelapan, dari kamarnya dia dapat melihat kalau lampu kamar Sai dan Shielda sudah mati, yang pasti mereka sudah tertidur. Kaizo mengecek kunci jendela yang ternyata sudah terkunci.

Jangan pernah biarkan Fang tidur seorang diri saat malam datang, kau harus membawanya bersama denganmu kemanapun kau pergi, saat malam datang.

Perasaan Kaizo seketika waspada mengingat ucapan Sai, tatapannya kembali berkeliling melihat keadaan sekitar dan tidak menemukan apapun atau siapapun. Selain kamar Fang ada di lantai dua, di sisi rumah mereka juga tidak ada pohon, jika saja ada pencuri, kamar Fang akan menjadi kamar terakhir yang mereka pertimbangkan untuk dibobol.

Kaizo menutup gorden lalu keluar dari kamarnya di tengah malam karena dorongan untuk pergi ke toilet, sebelum kembali ke kamar dia memutuskan untuk turun dan mengambil segelas air di dapur. Saat kembali ke kamar, Kaizo menemukan gorden kamar mereka bergerak akibat terpaan angin dari luar.

Dahinya berkerut penuh heran. Dia menaruh gelas di sisi kasurnya, lalu mengecek jendela, Kaizo menyibak gorden yang berkibar itu, jendela kamar mereka terbuka lebar.

Apa aku bermimpi tadi? Pikir Kaizo, dia ingat mengecek jendela kamar mereka sebelum pergi ke toilet, dia sudah memastikan jendela itu terkunci. Kaizo mencondongkan kepalanya untuk melihat keluar jendela, keadaan masih sepi diluar, tanpa ada siapapun. Dia menggelengkan kepalanya, berpikir dia setengah tertidur saat mengecek jendela. Kedua tangan Kaizo meraih sisi jendela, berniat menutupnya.

Hingga dia merasakan sesuatu mencengkram tangannya.

Kaizo terpekik, dia menarik tangannya masuk, mundur dan jatuh terduduk.

"Abang?" panggil Fang, dia terbangun sembari menggosok matanya "Abang kenapa?" tanyanya ingin menghampiri Kaizo.

"Diam disana Fang!" balas Kaizo "Jangan kemari!" ucapnya seraya berdiri.

Kaizo meraba pergelangan tangannya, rasanya sedikit nyeri, namun tidak ada bekas apapun disana. Perlahan Kaizo mencondongkan tubuhnya kembali, dadanya berdebar saat kepalanya menoleh ke bawah, saat dia tidak menemukan apapun selain semak-semak, Kaizo menghembuskan napas lega, dia tidak menyadari sedang menahan napas sejak tadi. Kepalanya menoleh ke atas dan hanya menemukan bulan beserta awan kelabu.

Dia ingin melupakannya dan segera mengunci jendelanya rapat-rapat, tapi rasa penasaran mendorongnya untuk memeriksa kedua sisinya, jantungnya kembali berdebar keras saat kepalanya tersentak ke kanan untuk melihat keadaan, dia tidak menemukan apapun atau siapapun, Kaizo mengatur napasnya, memberanikan diri untuk menoleh ke kiri, matanya terpejam tanpa perintahnya, kelopak matanya terasa berat saat Kaizo membukanya untuk memeriksa setiap jengkal lebih seksama. Namun tidak ada apapun atau siapapun disana. Keadaan diluar sama seperti beberapa saat lalu.

Kedua tangannya cepat-cepat bergerak menutup jendela setelah memastikan keadaan aman, dia mengunci jendela, dan menyibak gordennya.

"Ada apa?" tanya Fang.

"Tidak apa-apa." jawab Kaizo kembali ke kasurnya "Kembali tidur Fang." dia menarik selimut hingga menutupi dadanya, tidur menyamping menghadap ke kasur Fang di seberang ruangan. Kaizo memejamkan mata.

Kau mungkin tidak mau membiarkan adikmu tidur sendiri.

Kenapa?

Kota ini sedikit spesial.

Apa yang begitu spesial dari tempat ini?

Kau akan tahu.

Matanya terbuka kembali saat pembicaraannya bersama Sai terulang di kepalanya. Sial pikirnya, dia baru saja termakan omong kosong.

.

.

.

Kaizo terbangun karena Fang mengguncangnya, mengatakan kalau Ibu memanggil mereka untuk sarapan, Kaizo mengangguk pelan karena masih mengantuk, menyuruh adiknya untuk pergi terlebih dahulu sementara dia ingin memasukkan nyawanya terlebih dahulu.

Tidak sarapan bukan masalah baginya, walaupun Kaizo tahu Ibunya akan menceramahinya nanti saat dia keluar dari kamar saat siang hari, Kaizo menarik selimutnya lagi, mancari posisi lebih nyaman untuk melanjutkan tidurnya sebelum sengatan sakit menjalar di tangannya.

Dia menggerang kesal, menarik tangannya dari dalam selimut untuk melihat apa yang menimbulkan rasa sakit itu, di pergelangan tangan kanannya ada memar keunguan, Kaizo mengerjap seperti tidak percaya apa yang dilihatnya, dia bangun dan meraba dengan jarinya, ada tiga garis memar disana, seolah Kaizo baru saja diikat kuat-kuat dengan tiga tali.

Kaizo menyibak selimutnya, berjalan ke jendela, menyibak gordennya untuk membiarkan sinar matahari pagi masuk, dia membuka kunci jendela dan mendorongnya terbuka, udara sejuk nan segar mengisi paru-parunya. Di seberang rumah dia melihat Sai sedang beraktivitas di kamarnya. Dia bergantian melihat ke memar ditangannya dan ke sisi kanan jendelanya. Kaizo sudah mengeceknya tadi malam, dia tidak menemukan apa-apa, tapi seingatnya dia memang merasakan sesuatu seperti mencengram tangannya.

Kaizo menggeleng, dia yakin dia bermimpi, dia pasti hanya bermimpi, dan memar ini mungkin saja dia salah posisi tidur tadi malam. Kaizo mengenyahkan pikirannya, dan turun untuk sarapan.

Hari ini dia menyibukkan diri dengan menata perabotan dan barang-barang Fang sedangkan orangtuanya sibuk mengelap dan mengepel berbagai tempat di ruangan ini. Fang terlihat riang hari ini, baru kali ini dia merasakan pindah rumah, dan mendengar dia akan punya kamarnya sendiri sepertinya menambah semangatnya untuk segera menyelesaikan kamarnya dengan segera, tadinya Fang sekamar bersama dengan orangtua mereka hingga umurnya menginjak dua tahun, setelah itu dia mulai berbagi kamar dengan kakaknya.

Mereka menghabiskan waktu untuk merapikan rumah hari itu, selama pekerjaan ayahnya baru dimulai esok lusa, orangtuanya ingin segera menyelesaikan rumah mereka agar terasa nyaman. Di luar dugaan hari itu acara rapi-rapi mereka akhirnya selesai. Bahkan kamar Kaizo dan Fang juga sudah siap.

Menjadi hiburan tersendiri bagi Kaizo melihat adiknya yang bersemangat untuk memiliki kamarnya sendiri ternyata baru sadar itu artinya dia akan tidur sendiri. Saat jam tidurnya datang Fang masuk ke kamar Kaizo untuk menanyakan kenapa kasur abangnya ada di ruangan lain, Kaizo hanya dapat menjawabnya dengan tawa.

Kaizo memakluminya, dia mengantar Fang kembali ke kamarnya. Kaizo mengingatkan dirinya untuk hari ini dia akan menemani Fang tidur, bukan karena termakan ucapan Sai, dia hanya ingin Fang membiasakan diri. Mereka berbaring berimpitan, namun Fang tidak terlihat terganggu karena baru beberapa menit setelah Fang berbaring di ranjangnya dia segera tenggelam dalam tidur nyenyak, Kaizo seperti biasa, akan terjaga sembari membaca buku, sayangnya dia tidak dapat fokus, tatapannya terus berpindah ke arah jendela, susunan kata perkata yang dia baca dari bukunya tidak terserap ke dalam imajinasinya.

Dengan sangat perlahan, Kaizo turun dari kasur Fang, mencoba untuk tidak membangunkannya, Kaizo mengintip sedikit melalui gorden jendela, seperti yang dia lihat kemarin, tidak ada apa-apa disana, Kaizo memastikan jendela terkunci, dia bahkan mencoba mendorong jendela itu untuk memastikan jendelanya memang terkunci.

Tangannya tanpa sadar meraba kembali tiga garis memar di pergelangan tangannya. Kaizo bahkan baru mengenal Sai satu hari dan ucapannya berhasil menganggunya. Sedikit merasa pusing akibat pikiran, Kaizo memutuskan untuk turun mengambil segelas air sejenak, saat menaiki tangga untuk kembali ke kamar Kaizo mengendus aroma yang mengingatkannya pada luka bakar di kakinya yang dia derita dua tahun lalu, aromanya menyerupai kulit terbakar.

Kaizo menarik pintu kamar Fang terbuka dan melihat Fang terbangun, dia terduduk di Kasurnya, terlihat tidak menyadari kedatangan Kaizo.

"Fang, kenapa bangun? Haus?" tanya Kaizo, dia memperhatikan adiknya masih tidak merespon seolah terpaku menatap sesuatu, tangannya terulur menunjuk kearah jendela, tatapan Kaizo mengikuti jari Fang.

Otot tubuhnya menegang, gelas ditangannya jatuh terlepas dari genggamannya. Apapun yang dilihatnya membangunkan sesuatu di kepalanya, dia mangacuhkan pecahan gelas di lantai, melawan kehendak tubuhnya untuk mematung, dia berlari meraih Fang, Kaizo tidak tahu apa yang merasukinya, tapi pikirannya kesulitan mencerna apa yang terjadi. Yang ada dipikirannya sekarang adalah Fang dan pergi. entah kenapa, Kaizo seperti tahu, jika bukan dia yang segera membawa Fang lari, maka…

"Ayah!" jerit Kaizo memanggil ayahnya, tangannya menarik Fang ke gendongannya "Ayah!" dia berlari seraya meneriakkan hal yang sama.

Lengkingan teriakan melolong menusuk telinganya, bagi Kaizo suaranya terdengar seperti lengkingan lumba-lumba hanya saja berkali-kali lipat lebih tajam dan menyakitkan. Kaizo membanting tertutup pintu kamar Fang, dia turun ke bawah dan nyaris terpeleset di tangga.

"Ayah!" Kaizo merasakan tenggorokkannya serak, suaranya mulai bergetar, dia kesulitan menarik udara masuk ke paru-parunya, matanya terasa panas "Ayah tolong!"

Kamar orangtuanya terasa begitu jauh, kakinya terasa berat dan lemas seakan ingin berhenti bergerak "Ayah!" suara Kaizo memelan nyaris hilang.

Pintu kamar orangtuanya terbuka, mereka terlihat panik ingin menghampiri Kaizo, namun Kaizo menghambur ke kamar orangtuanya terlebih dahulu, dia berhenti berlari, dan baru menyadari Fang menangis keras di gendongannya, tubuhnya bergetar hebat membuatnya kesulitan bernapas.

Ibunya mengambil Fang dari gendongannya dan berusaha menenangkan Kaizo.

"Ada apa Kaizo?" tanya Ayahnya.

Kaizo membuka mulut, tapi getaran yang dia rasakan menyulitkannya untuk berucap bahkan hanya satu kata, Ibunya menarik Kaizo ke pelukannya masih berusaha menenangkan Kaizo, pendengaran Kaizo sendiri terasa tumpul, apa yang dikatakan Ibunya seperti tidak dia cerna sama sekali, Kaizo melihat pantulan wajahnya di meja rias Ibunya, dia nyaris tidak mengenali wajahnya sendiri karena hampir tidak ada warna, tanganya yang melingkar di pinggang Ibunya masih bergetar hebat.

"Ada…" Kaizo kesulitan bernapas, dadanya terasa sangat sesak, getaran tubuhnya seperti membakar seluruh tenaganya "Di kamar… Fang." hanya itu, hanya itu yang mampu Kaizo katakan.

Tidak butuh waktu lama bagi orangtuanya untuk menyadari apa yang sedang terjadi, masih dalam pelukan ibunya, Kaizo melihat ayahnya mengambil senjata api yang selalu dia sembunyikan bawah bantal, ayahnya mengatakan sesuatu sebelum pergi mengecek lantai atas dan Ibunya mengarahkan Kaizo untuk duduk di ranjang mereka tubuhnya masih bergetar, Fang di dudukkan di pangkuannya, masih menangis keras, sedangkan Ibunya mengambil ponsel genggam, menekan nomor, dan saat itu Kaizo tahu kalau Ibunya sedang menghubungi polisi.

Kaizo berusaha menenangkan dirinya sendiri, menarik napas panjang dan pelan-pelan menghembuskannya, dia ingin memeluk Fang tapi tangannya sendiri terasa mati rasa akibat gemetaran, perutnya terasa terkocok. Akalnya masih memberontak untuk mempercayai apa yang dia lihat tadi hanyalah tipuan cahaya, tapi Kaizo sendiri tidak dapat menyangkalnya, tatapan yang menusuk dadanya, warna kuning kotor yang menyala dalam kegelapan, dia tidak pernah melihat seseorang yang memiliki wujud seperti itu, tidak… apa yang dilihatnya bukanlah seseorang, namun sesuatu.

.

.

.

Rumahnya tidak pernah seramai ini. Polisi datang dua kali ke rumahnya, saat malam dan pagi hari. Kaizo tidak begitu mengingat apa yang dilakukan polisi-polisi itu saat malam hari, mereka berusaha menanyai Kaizo tentang beberapa hal namun karena dia sendiri masih terlalu terguncang untuk berkata-kata, polisi memutuskan untuk menunda pertanyaan hingga esok hari.

Baik Kaizo dan Fang menghabiskan malam mereka dengan tidur bersama dengan orangtua mereka. Saat Kaizo bangun polisi itu sudah ada di rumahnya lagi. Bersama dengan beberapa tetangga yang menanyakan apa yang sedang terjadi.

Kaizo mengatakan apa yang dia dapat katakan, dia berusaha menggunakan akalnya untuk menyusun cerita logis. Dia mengatakan dia melihat beberapa orang menerobos masuk ke jendela kamar adiknya, Kaizo tidak melihat wajah mereka karena tertutup gorden, karena memang begitulah kenyataannya. Namun begitu, Kaizo masih dapat melihat pancaran cahaya mata mereka, seorang manusia tidak mungkin memiliki mata yang memancarkan cahaya.

Ayahnya yang memerika kamar mereka waktu itu tidak menemukan siapapun, jendela terbuka lebar seakan tidak di buka paksa, Kaizo bersumpah dia tidak membuka jendela itu dan bahkan telah memastikan kalau jendelanya telah dikunci sebelum dia keluar dari kamarnya.

Polisi juga menanyakan sesuatu pada Fang, Kaizo berada tepat di sisinya saat Fang mengatakan apa yang dia tahu, jantung Kaizo terasa berhenti berdetak saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut adiknya.

"Kurus juga panjang, tangannya panjang, kakinya juga panjang, matanya kuning" ucap Fang pada polisi polisi itu, yang tentu saja membuat mereka berkerut bingung, mereka menyimpulkan Fang masih setengah sadar saat kejadian itu berlangsung dan tidak dapat membedakan mimpi dan kenyataan.

Namun Kaizo tahu Fang sadar apa yang dia lihat, karena apa yang Fang deskripsikan sesuai dengan apa yang Kaizo lihat.

Polisi memutuskan untuk membuka kasus ini sementara mereka melakukan penyelidikan. Polisi-polisi itu pergi setelah berdiskusi dengan Ayahnya dan tetangga lain tentang kemungkinan pencurian, menganjurkan mereka untuk mengganti kunci jendela dan pintu, memastikan jendela dan pintu mereka tidak keropos sehingga tidak mudah di buka paksa.

Selama Ayahnya sibuk dengan polisi, Kaizo dan Fang berada dalam perhatian penuh Ibu mereka hari itu. Ibu mereka membuatkan masakan kesukaan mereka, berusaha membuat kedua anaknya merasa baikkan akibat guncangan tadi malam. Mereka menghabiskan waktu di dapur sembari menggambar.

Kaizo tidak tertarik untuk menggambar dengan crayon dan memutuskan untuk minum coklat panas banyak-banyak. Dan dia nyaris tersedak saat melihat gambar yang dibuat Fang.

Fang menggambar jendela besar, gorden nya putih sedikit tembus pandang menampilkan enam titik kekuningan, awalnya Kaizo mengira Fang menggambar kayu di disi jendela, setelah melihat lebih dekat dia tahu apa yang Fang sebenarnya coba gambar karena Kaizo sendiri melihatnya.

Kaizo belum melihat seluruh wujudnya, saat dia datang, mata Kaizo menangkap dua tangan panjang yang sudar berada di dalam kamar Fang, tangan yang begitu panjang sehingga nyaris menggapai ujung dinding, tangan yang terlalu kurus menyerupai tulang kecoklatan, hanya ada tiga jari di setiap tangan. Satu kakinya sudah menginjak lantai kamar, terlihat persis seperti tangannya, tulang kecoklatan dengan tiga jari panjang. Apapun itu masih berusaha masuk sehingga tubuhnya masih berada di luar, tertutup oleh gorden, namun bayang-bayang tubuh mereka memberikan terror bagi Kaizo.

Aku tidak tahu apa mereka, tapi aku dan Shielda menyebutnya penyihir.

Bulu kudunya meremang, tangannya segera meraba tiga garis memar dipergelangan tangannya, tiga jari panjang, tiga jari yang menyerupai tulang kecoklatan itu menggenggam tangannya di malam pertama. Coklat panas tiba-tiba terasa menjijikan karena napsu makannya hilang sudah, perutnya kembali terkocok mengingat ucapan Sai. Kaizo meminta gambar Fang, dia segera pergi ke rumah si kembar.

Orangtua si kembar ada di luar bersama dengan Ayahnya, masih berdiskusi tentang beberapa hal saat Kaizo mengetuk pintu rumah si kembar.

Shileda membuka pintu, sebelum Kaizo mengatakan apa-apa dia memberikan sebuah kertas untuk Kaizo.

"Apa ini?" tanya Kaizo.

"Peraturan yang harus kau ikuti agar mereka tidak mengambil Fang." ucapnya "Mereka datang bukan?"

"Kau tahu mereka datang? Kau melihat mereka masuk ke kamar Fang?" tanya Kaizo.

Shielda menggeleng "Kami tidak melihatnya, tapi kami bisa mendengar teriakanmu, dan teriakan mereka."

Kaizo menenggak liur, merasa bersalah meragukan ucapan Sai sebelumnya, lalu dia teringat tentang adik mereka. Kaizo memberikan gambar Fang pada Shielda, gadis itu menatapnya lama, Kaizo melihat mata Shielda mulai memerah sebelum gadis di depannya segera merobek gambar itu. Namun Kaizo tidak marah, dia sendiri ingin merobeknya.

"Masuklah." ucap Sai yang baru muncul di belakang Shielda "Ada banyak hal yang perlu kau dengar."

Kaizo mengangguk. Mengikuti si kembar masuk ke rumah mereka, si kembar tidak mengarahkan Kaizo ke ruang tamu, namun ke sebuah ruangan di lantai satu, ruangan kosong tanpa jendela. Kaizo memang berencana mencari tahu apa yang sedang terjadi namun dia tidak menyiapkan diri untuk apa yang si kembar ceritakan.

"Dulu ini adalah kamar." Ucap Sai seraya masuk "Kamar kami bertiga, sebelum makhluk-makhluk itu datang dan merenggut dia dari kami."

"Kami selalu tidur di kamar yang sama saat kami kecil, adik kami seumuran Fang saat mereka mengambilnya, adik perempuan." ucap shielda "Kami tidak pernah sadar tentang keberadaan mereka, jika kau pikir kami aman karena kamar ini tidak memiliki jendela kau salah besar, kamar ini justru lebih buruk, kami terhanyut dalam ketenangan tanpa menyadari makhluk-makhluk itu sedang menunggu kekuatan mereka berada di puncaknya."

Kaizo mendengarkan cerita mereka tanpa dapat berkata apa-apa, mendengarkan seluruh ketakutan mereka saat makhluk-makhluk itu datang menembus tembok di malam ke tiga puluh mereka menempati kota ini, mendengar bagaimana bingungnya mereka karena tiba-tiba terjebak di kamar itu sehingga mereka tidak dapat melarikan adik mereka, mendengar keputusasaan mereka kerena orangtua mereka tidak terbangun walaupun mereka berteriak, menjadi mimpi buruk terbesar mereka melihat makhluk yang terlihat seperti susunan tulang belulang itu membawa pergi adik mereka melalui tembok seolah tembok itu memiliki pintu.

Mereka merenggutnya bersama dengan memori tentang adiknya dari banyak orang kecuali mereka. Sai dan Shielda menyaksikan seluruhnya, saat makhluk itu pergi, tubuh mereka yang kaku kembali normal, mereka berlari ke orangtua mereka dan mengatakan adik mereka diambil.

Orangtuanya terbangun panik karena mereka berteriak, namun pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh si kembar justru keluar.

Adik? Kalian tidak punya adik.

Orangtua mereka seperti melupakan segala hal tentang keberadaan adik mereka, menganggap anak mereka hanya dua anak kembar tanpa ada keberadaan anak lain, Sai dan Shielda menarik kedua orangtuanya ke kamar mereka, untuk menunjukkan kalau mereka memang memiliki adik, saat mereka masuk ke kamar yang sebelumnya diisi barang-barang mereka bertiga hanya menyisakan barang-barang mereka berdua, mereka histeris. Segala yang berhubungan dengan adik mereka lenyap dalam hitungan detik.

Sai dan Shielda tidak melupakannya, mereka tidak melupakan adik mereka dan tidak dapat melupakannya hingga kini, si kembar melakukan segala hal untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, penuh harap dapat menemukan cara untuk merebut adik mereka kembali. Hingga pencarian mereka mengarahkan pada seorang kakek tua yang tinggal di kota ini sejak dia lahir. Dari dia mereka mengetahui bahwa kota ini spesial, atau sebenarnya terkutuk.

"Kakek itu meninggal setahun yang lalu, dia meninggalkan segala yang dia tahu di catatan itu, kami tidak memerlukannya, karena segalanya sudah terlambat bagi kami, tapi kau memerlukannya, segala yang perlu kau ketahui tertulis disana." ucap Shielda.

Kaizo meremas catatan itu, rasa bersalah menghantam dadanya keras "Terima kasih," ucap Kaizo "dan aku ikut berduka."

.

.

.

Kertas itu sudah lusuh, dari pada disebut kertas Kaizo baru menyadari kertas di genggamannya ini lebih terlihat seperti kain, atau sebenarnya kulit, kulit hewan. Kaizo membuka catatan itu segera setelah dia sampai di kamarnya. Catatan itu mengeluarkan aroma tidak enak, tulisannya sedikit buram namun masih dapat terbaca;

Aku tidak tahu apa mereka, Aku juga tidak tahu siapa mereka, yang aku tahu mereka telah merenggut adikku, menyiksaku dengan perasaan bersalah dan kesedihan, mereka menyiksaku dengan kebingunan dan mereka seolah selalu menghantuiku. Aku membenci mereka, aku ingin adikku kembali, aku ingin mereka lenyap, tapi aku tidak pernah menemukan cara untuk melakukannya.

Mereka berkeliaran setiap bulan menguasai langit. Mencari seorang anak termuda dari sebuah keluarga yang dikaruniai beberapa anak, seorang anak tidak bersalah mereka bawa, mereka merenggutnya dari orangtuanya, merenggutnya dari saudara-saudaranya, tanpa menyisakan apa-apa tentang keberadaannya.

Aku belajar… bahwa hanya orang-orang yang pernah menyaksikan makhluk itu secara langsung yang hanya dapat mengingat segalanya. Aku termasuk dari orang-orang itu, aku melihat bagaimana makhluk itu datang, aku menyaksikan bagaimana makhluk itu mengambil dia.

Aku tidak bisa hidup selamanya untuk menyampaikan pesan ini, dan tidak pernah ada yang benar-benar mempercaiyaiku. Aku hanya dapat menuliskan pesan ini bagi siapapun yang mencari jawaban. Pesan ini mungkin saja tidak akan dapat menjawab semua pertanyaanmu, namun aku mungkin bisa membantumu agar kau dapat mencegah makhluk itu merenggut adikmu.

Ada beberapa peraturan yang harus kau taati, jangan pernah sekalipun untuk melupakan peraturan ini. kau harus ingat, makhluk ini punya kekuatan di luar akal manusia, setiap kali mereka datang, mereka akan mengeluarkan sihir yang membuat para orang dewasa tidak akan dapat bangun dari tidur mereka, para makhluk itu juga dapat menghapus memori tentang keberadaan adikmu setelah mereka mengambilnya.

Hanya kau yang bisa melakukannya, ingatlah dan jalankan, jika kau tidak ingin merasakan bagaimana perihnya mengingat seseorang yang orang lain tidak dapat ingat. Pertama dan yang paling utama adalah selama 29 hari pertama kau melihat makhluk itu, jangan pernah membiarkan adikmu untuk tidur seorang diri saat malam datang, tidak masalah bagimu untuk ikut tertidur, selama kau selalu bersama adikmu saat malam datang, semua itu akan cukup untuk mencegah mereka untuk tidak mengambilnya.

Tapi… selalu ada saat khusus di mana menemani adikmu tidur saja tidak akan cukup. Makhluk-makhluk itu memiliki kekuatan yang manusia tidak dapat mengerti, puncak kekuatan mereka akan datang setiap malam ketiga puluh, malam itulah puncak kekuatan mereka, malam penentuan dari segalanya, jika kau menang maka mereka akan meninggalkan kau dan adikmu untuk selamanya namun jika kau kalah, tidak hanya adikmu yang akan dibawa mereka.

Jika kau tidur di kamar tanpa jendela, kau lebih baik pindah ke kamar yang memiliki jendela, jika jendelamu tertutup oleh gorden maka bukalah lebar-lebar, saat malam itu datang kau harus melihat wajah mereka, kau harus mengerti pesan yang mereka berikan.

Ada tiga pesan yang akan mereka keluarkan. Mereka tidak akan bicara, kau hanya perlu melihatnya dari gerakan tubuh mereka. Jika mereka mengetuk jendelamu maka kau harus terus menatap makhluk itu hingga pesan kedua datang, hal ini mungkin terdengar berat namun setelah ini mungkin kau akan berpikir kebalikkannya. Jika kau melihat makhluk itu membuka mulut mereka, maka kau harus segera berpindah ke tempat adikmu berada atau bawa adikmu ke tempat kau berada, carilah selimut tebal dan lebar, dan tutupi tubuh kalian dengan selimut itu, jangan pernah, sekalipun, jangan pernah kau membuka selimut itu sebelum mereka memberikan pesan yang terakhir. Di pesan terakhir, jika kau mendengar mereka menepukkan tangan tiga kali, kau tidak boleh lari, diamlah di tempatmu berada, jawablah pertanyaan mereka, kau harus jujur, tidak boleh ada kebohongan yang terucap, mereka akan tahu.

Aku harap kau berhasil…

Kaizo melipat tulisan itu kembali. Sebelum malam puncak, masih ada 28 malam tersisa, selama malam itu dia harus selalu bersama Fang. Dia tidak mau ragu lagi, tanpa memikirkan banyak hal lain Kaizo menyeret kasurnya kembali ke kamar Fang. Orangtuanya tidak berkata apa-apa, seolah mereka tahu kalau Kaizo khawatir. Dia menaruh kasur itu berdempetan dengan kasur Fang.

Dia tidak akan membiarkannya, dia tidak akan membiarkan makhluk itu mengambil adiknya.

Bingkai jendela kamar Fang diganti hari itu juga, kerangka yang lebih kuat dan dengan kunci rumit, ayahnya memasang gerigi di jendela kamarnya dan adiknya, andaikan Kaizo tidak mengetahui soal keberadaan makhluk itu, melihat gerigi yang terpasang sudah cukup untuk membuatnya tenang, sayangnya, gerigi itu tidak akan menimbulkan efek apapun.

Malam datang bergatian, Kaizo berhasil membawa dirinya untuk sedikit tenang agar dia dapat membawa dirinya beristirahat, di malam-malam pertama dia dapat merasakan mereka mengawasinya dari luar. Dia akan terbangun di waktu-waktu tertentu, dan titik-titik kekuningan itu ada disana, di kegelapan. Terkadang saat dia terbangun untuk ke toilet dia akan membawa Fang bersamanya, Kaizo juga harus memperingatkan adiknya untuk selalu membangunkannya jika dia sendiri ingin ke toilet atau mengambil air.

Di malam-malam selanjutnya Kaizo terbangun karena Fang terisak, Kaizo tahu alasannya, walaupun dia selalu mengunci jendela bahkan sebelum matahari terbenam, Kaizo sudah tidak terkejut saat menemukan jendela itu terbuka. Enam jari panjang menggaruk-garuk jeruji jendela mereka seperti memetik gitar, Kaizo harus mengakui ke enam jari itu terlihat seperti tulang, aroma kulit terbakar mengisi kamar mereka.

Makhluk-makhluk itu datang setiap malam, cara mereka untuk menciutkan nyalinya semakin beragam, mereka tidak akan ragu mencakar-cakar jendela mereka, atau menarik gorden jendela mereka untuk menampilkan tiga pasang mata berwarna kuning kotor itu. Kaizo dapat merasakan kemarahan mereka meningkat setiap malam, rintihan yang menyerupai suara lumba-lumba itu semakin melengking tiap malam, ada malam dimana mereka akan sengaja memasukkan tangan mereka, mencakar dinding atau merobek gorden jendela, aroma kulit terbakar selalu menyertai kedatangan mereka, dan semakin hari tulang kecoklatan itu berubah semakin gelap.

Malam dimana catatan itu mengatakan akan menjadi puncak kekuatan mereka datang tanpa dia sadari. Kaizo menyiapkan dirinya dengan tidur sepanjang siang, dia mengurangi asupan airnya hari itu, Kaizo juga menyuruh Fang melakukan hal serupa, yang dilakukan adiknya tanpa banyak pertanyaan. Kaizo bahkan meminta ibunya untuk membelikan selimut super besar. Kaizo membiarkan Fang tidur saat malam puncak itu, adiknya tepat berada disampingnya dengan selimut lebar menutup tubuhnya.

Di malam ke tiga puluh, dia membuka gordennya lebar-lebar. Dan bersiap. Waktu berjalan lambat menunggu kedatangan makhluk itu. Saat hidungnya mengendus aroma kulit terbakar, Kaizo tahu mereka datang. Titik-titik kekuningan itu menampilkan diri di luar jendelanya. Berkedip bergantian. Mereka mengeluarkan suara menyerupai suara terkikik seperti telah menantikan mala mini untuk datang.

Jari mereka meraba kaca jendela dan tiba-tiba berhenti.

Tuk… tuk… tuk.

Tuk… tuk… tuk.

Tuk… tuk… tuk.

Jari itu mengetuk kaca, perlahan namun keras, Kaizo tahu apa artinya itu, mereka ingin agar dia menatap mereka, tepatnya menatap wajah mereka. Untuk pertama kalinya Kaizo melihat wajah mereka, dan dia sangat ingin mengalihkan pandangan dan memejamkan mata, tangannya bergetar hanya karena melihat ketiga makhluk itu. Wajah mereka terlihat seperti terngkorak hitam namun berbentuk tidak manusiawi, kepala kerucut dilapisi kulit tipis terbakar, meninggalkan dua lubang mata kekuningan, satu lubang hidung kosong dan mulut yang sepertinya menyatu, ada tiga dari mereka, menatapanya dengan amarah.

Tangan Kaizo mencengkram selimutnya, dia ingin berteriak dan memaki agar mereka pergi. Tapi dia menahannya. Suara kikikkan mereka mengisi kesunyian selama mereka bertatapan, hingga kikikkan itu berubah menjadi jeritan, mulut mereka yang tadinya menyatu, seketika terbuka, merobek lapisan kulit gosong diluarnya. Jantungnya berdetak seakan ingin meloncat keluar.

Pesan kedua, mereka masuk ke pesan kedua. Kaizo masuk ke dalam selimut besarnya, memastikan tidak ada bagian tubuh Fang ataupun bagian tubuhnya yang tidak terlapisi, akalnya berteriak, cara ini terasa seperti omong kosong dan dia mulai mempertanyakan apakah dia harus mempecaiyai catatan itu.

Di dalam selimut Fang terbangun, Kaizo harus sangat besyukur karena Fang bukan anak yang rewel dan sangat penurut, saat dia melihat Kaizo menyuruhnya diam, anak itu benar-benar mematung di dalam selimut besamanya.

Derit engsel terdengar, Kaizo tahu mereka telah membuka jendela. Sebelumnya Kaizo tidak pernah sadar kalau makhluk-makhluk itu berkeretak setiap kali mereka bergerak, dia sadar makhluk itu masuk ke kamar mereka, langkah kaki mereka keras, setiap langkah yang mereka ambil, kaki mereka selalu dihempasan ke lantai, selain hentakan langkah itu Kaizo juga mendengar sesuatu yang diseret, entah apa.

Dari balik selimutnya, Kaizo melihat bayangan itu mendekat. Dia dapat melihat ketiga makhluk itu berada di tepat di sisinya, dua dari mereka berdiri dan satu dari mereka berlutut disisinya, Kaizo tidak dapat membayangkan wujud tubuh mereka karena dari bayangan yang dia lihat, tubuh mereka tidak tidak mendekati wujud dari makhluk yang pernah dia lihat sebelumnya.

Makhluk itu menyentuhnya dari balik selimut, Kaizo ingin berteriak saat jari jari itu meraba wajahnya dari balik selimut, aroma kulit terbakar semakin kuat dan perlahan tergantikan dengan aroma daging gosong. Jarinya berpindah, menyetuh dadanya dengan satu jari seolah ingin menikamnya, lalu berpindah ke perutnya, mencakar-cakar.

Satu pesan lagi, Kaizo mengingatkan dirinya sendiri, hanya tersisa satu pesan lagi dan semua akan berakhir. Waktu seakan berhenti, dia dipaksa merasakan jari-jari itu seolah ingin mengulitinya. Di sisinya Fang bergetar, begitupun dia.

Plok… plok… plok…

Plok… plok… plok…

Plok… plok… plok…

Kaizo tidak menyadari suara tepukan itu awalnya, tepukan tangan yang dilapisi oleh daging dan tepukan yang hanya dilapisi oleh kulit terdengar berbeda. Kaizo menarik napas, hendak menyibak selimutnya, namun sebelum tangannya bergerak, makhluk itu mengangkat sedikit selimutnya, mengintip, menampilkan wajah dengan robekan mulut dan mata kuningnya.

Selimut itu perlahan ditarik oleh mereka, Kaizo menggenggam tangan Fang kuat, menyuruhnya untuk tetap berbaring dan memejamkan mata, sementara Kaizo mendudukkan diri di kasurnya.

Mereka besar, lebih besar dari yang Kaizo duga, kepala mereka menyentuh langit-langit, tubuh yang tersusun dari tulang belulang itu bengkok dimana-mana, susunan-susunan rusuk mengisi seluruh tulang tubuh mereka, menyerupai kandang yang muat untuk memenjarakan tubuh orang dewasa, tangan mereka panjang menyentuh lantai, dengan mulut ternganga yang sepertinya telah patah namun ditahan oleh kulit agar tidak jatuh.

Kaizo ingin muntah, tubuhnya bergetar lebih parah, dia ingin berteriak memanggil orangtuanya saat mereka mendekatkan wajah kearahnya, ujung hidung Kaizo bersentuhan dengan lubang wajah mereka. Aroma daging gosong mengisi paru-parunya.

"Peeeeraaatuhhraaaan?"

Makhluk itu mengeluarkan pertanyaannya.

"Siaaaappppaaaahhhh?"

"Peraaatuuuurraaaann?"

Mereka mengeluarkan pertanyaan seolah bersahut-sahutan, kepala mereka bergerak berputar saat bicara.

"Darrrriiiii siiiaaappaaah?"

"Peraaaaturrraaahhnn"

Mulut Kaizo terbuka, dia mencerna pertanyaan mereka, dia tidak dapat berbohong.

"Sa… Sai dan Shilda" jawab Kaizo tergagap.

Mereka melolong. Tubuh mereka tertekuk berputar sehingga susunan tulang mereka seperti berubah karena patah.

"Siaapaaaaaa?" lolong mereka bersamaan.

"Sai dan Shielda." Jawab Kaizo.

Mereka berteriak, Kaizo tidak dapat menahan lengkingan suaranya sehingga menutup kedua telinganya kuat-kuat. Tanpa Kaizo duga, tubuh mereka seolah tersedot keluar jendela, mereka masih melolong seraya meronta ronta seolah tubuh mereka diikat hingga ketiganya menghilang tersedot keluar jendela.

Keadaan sunyi senyap setelahnya, Kaizo bahkan dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dia membaringkan diri di kasurnya, lega karena segalanya telah berakhir.

Setidaknya itu yang dia pikirkan.

Teriakan muncul dari rumah sebelah, Kaizo segera terduduk kembali, Fang menangis ketakutan mendengar teriakan itu. Kaizo tahu teriakan itu adalah teriakan manusia. Dengan susah payah, Kaizo mendorong tubuhnya untuk berjalan, dia menghampiri jendela, dari sana dia melihat makhluk-makhluk itu menerobos kamar si kembar.

Apa yang Kaizo lihat tidak dapat dia lupakan bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Bahkan setelah dia pindah dari kota itu dan menjalankan kehidupan baru di kota lain, bayang-bayang rasa bersalah selalu menghantuinya kemanapun dia pergi.

Semua orang di kota itu masih mengingat Sai dan Shielda, seluruh orang yang mengenal si kembar mengasihani kematian mereka. Kematian yang sangat tidak wajar. Kematian yang membuat orangtua si kembar menggila saat menemukan jasad anak-anak mereka. Kematian yang menyebabkan ayahnya mengajukan permintaan untuk segera di pindah ke kota lain. Kematian yang menjadi tragedi terbesar kota terkutuk itu.

Hanya Kaizo yang sepenuhnya tahu apa yang terjadi pada mereka. Malam itu dari jendela kamar, Kaizo menyaksikan bagaimana makhluk-makhluk itu menyedot sari kehidupan dari tubuh mereka, menyedot seluruh daging dan darah mereka hingga kering sehingga hanya meninggalkan tulang berbalut kulit kering kecoklatan.

.

.

.


Malam semua kawan pembaca. Fanfic kali ini saya menggunakan chara Kaizo dan Fang yang masih imut-imut. Kaizo 14 tahun dan Fang baru 4 tahun, sebenarnya jarak umur mereka di official 9 tahun, tapi saya gatel mau ngebuletin ehehehehe...

Fanfic kali ini agak lebih panjang memang dari yang kemarin... Saya harap kalian tidak jenuh...

Oya curhat dikit... author juga butuh asupan, kenapa langka banget ya fanfic yang di dalemnya tuh cerita soal abang beradik gogobugi ini... bisa diitung jadi, dri seluruh fandom BBB mungkin cuma 10% doang ini fanfic yg ada si abang kaizo dan adik fang... atau mungkin gk sampai 10%

hiks... hiks

#minorcharacterneedslovetoo

#givemefanficaboutthem

#pleasetriggerme

#reallyneedmotivation

ehem... dah itu ja

Semoga kawan pembaca selalu sehat, jangan banyak hang out dulu yaa, kalau ada keperluan aja keluar rumah.

Semoga terhibur.

Salam

Owloka