Sekaiichi Hatsukoi oleh Nakamura Shungiku
Honeymoon? Janai yo! oleh bellassson
Selamat membaca
Pagi ini, Onodera tak sedang berada di kantor Emerald. Ia bersama bosnya, Takano Masamune, sedang menunggu kereta cepat tujuan Tohoku. Takano menawarinya sandwich dan air mineral yang dibeli di minimarket karena bosnya tahu, Onodera tak sempat sarapan. Memang, Onodera hanya mengisi perut dengan minuman berenergi tadi pagi.
"Terima kasih." Onodera mulai makan. Perutnya tak bisa berbohong, Takano sangat peka terhadap kebutuhan nutrisi Onodera. Suasana kembali canggung. Tak ada yang memulai percakapan. Keduanya sibuk menikmati sarapan ditemani pemandangan sibuk di stasiun.
Dua hari sebelumnya, Onodera mendapat amanat untuk menjadi editor yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Takano, dengan alasan mencoba mangaka baru yang nantinya bisa berguna untuk perkembangannya. Onodera menyetujui. Jadwal pertemuan dengan mangaka yang bersangkutan sudah ditentukan. Lokasinya di wilayah Tohoku yang bisa ditempuh dengan kereta cepat selama lima jam dari Tokyo.
Oleh karena itu Onodera dan Takano melakukan perjalanan bisnis berdua selama dua hari satu malam.
"Begitulah situasinya..." gumam Onodera. Mulutnya tak berhenti mengunyah.
'Berdua dengan Takano-san masih saja membuatku gugup.' ekor matanya melirik Takano yang selesai makan sedang meremas bungkus onigiri.
'Padahal kita sudah resmi berpacaran.' Tanpa sadar Onodera merona. Sandwich yang sudah dikunyah jadi bubur hampir salah masuk ke paru-paru. Ia tersedak.
Takano reflek memberi minum.
"Makannya pelan-pelan." ujar Takano.
"Maaf." jawab Onodera setelah reda. Ia menghabiskan sesuap sandwich terakhir. Onodera mengalihkan pandangan. Memperhatikan petugas kebersihan yang sigap melakukan tugas sesaat setelah kereta cepat menuju Tohoku tiba.
Sepuluh menit menuju keberangkatan, Onodera dan Takano bersiap menuju gerbong kereta.
Lima jam perjalanan, cukup menyegarkan tubuh dengan istirahat. Pekerjaan sebagai editor komik cukup menyita jam tidur. Ditambah kali ini harus melakukan perjalanan jauh dan bertemu dengan mangaka. Harus terlihat segar di depan klien.
Kaitou-sensei, sudah menunggu di depan pintu keluar kereta cepat. Ia menyapa Takano dan Onodera. Onodera memberkenalkan diri dengan sopan.
Takano menambahkan, "dia editor baru, sedikit ceroboh yang akan banyak merepotkan." yang membuat Onodera merasa kesal.
'Kenapa sih dia selalu memperlakukanku seperti itu!?' batinnya sebal.
"Aku menemukan kafe yang nyaman di sekitar sini. Bagaimana kalau kita langsung kesana saja?" Kaitoi-sensei menawari.
"Baiklah," jawab Takano, "Akan kubawakan barangnya. Pasti berat membawanya sambil menunggu disini." Takano tersenyum ramah sambil membawakan sebagian barang yang dibawa oleh Kaitou-sensei.
"Takano-san selalu baik dan ramah. Seperti seorang host."
Ucapan Kaitou-sensei membuat telinga Onodera berdengung. Ingin ia teriakkan, "Hal itu tidak benar! Takano-san itu editor yang galak dan menyebalkan!" tapi ditahan karena ia sedang bersama seorang yang berjasa kepada perusahaan dan keuangannya.
Lagipula kesan pertama itu penting.
Onodera menghembuskan napas panjang kemudian menyusul Takano dan Kaitou-sensei yang sudah mendahului. Ia berjalan tepat di belakang mereka. Rasanya seperti melihat pasangan sedang berpacaran.
'Hei, apa-apaan senyuman itu? Kau sama sekali tak begitu saat bersamaku-AH!' Onodera menyadari keanehan ucapannya. "Gawat! Apa aku cemburu? Aku harus tenang!' batinnya.
'Tapi tetap saja aku merasa tak nyaman melihat Takano-san begitu akrab dengan orang lain." Onodera tenggelam dalam pikiran negatifnya.
Pertemuan dengan Kaitou-sensei berlangsung cukup lama. Membahas komik yang sedang dikerjakan. Keluar dari kafe, udara dingin langsung menusuk kulit. Musim dingin di wilayah Tohoku lebih dingin daripada Tokyo. Tapi sejak kedatangan mereka ke kafe, suasana di luar semakin banyak orang. Di dalam kafe juga ramai.
"Hari ini sedang ada festival. Nanti akan ada kembang api juga. Kembang api musim dingin disini sangat terkenal, lho." ujar Kaitou-sensei sebelum berpamitan. Wanita itu melambai ke arah Takano dan Onodera sambil mengucapkan 'otsukaresama', kemudian menghilang diantara kerumunan.
"Kembang api di musim dingin? Aku baru pertama kali melihatnya." ujar Onodera antusias.
"Hei, pekerjaan sudah selesai, apa kau mau jalan-jalan dulu? Kebetulan hotelnya juga daerah sini."
"Oh, baiklah." Onodera mengikuti langkah Takano. Berduaan dengan Takano lagi, membuat suasana kembali canggung. Topik apa yang bagus untuk membuka percakapan? Onodera tak tahu harus bagaimana, akhirnya ia memutuskan untuk diam.
Padahal tadi ia sempat merasa cemburu melihat Takano akrab dengan orang lain. Padahal ia juga ingin bisa akrab dengan Takano-san. Padahal ia ingin tahu lebih banyak tentang Takano-san.
"Hei..." Takano-san memanggil. Langkahnya berhenti.
"Ya?" jawab Onodera, menjajari Takano.
"Apa yang kita bicarakan saat pacaran dulu?" tanya Takano. Onodera berpikir.
"Mungkin membahas buku yang disukai." jawabnya, "maaf aku tak begitu ingat."
Terdengar hela napas dari Takano. "Kalau dipikir sekarang kita lebih banyak membicarakan masalah pekerjaan." nada bicaranya terdengar kecewa, "aku ingin mengenalmu lebih jauh."
"Takano-sa...!" Onodera mencoba meraih tangan Takano yang berjalan mendahului. Sebuah bunyi melesat yang disusul bunyi ledakan, menghentikan langkah mereka. Di kegelapan malam musim dingin muncul kelap-kelip kembang api yang terlihat seperti kristal bercahaya. Berbeda dengan kembang api pada musim panas.
Keindahannya sangat memukau pejalan kaki yang sedang lewat, termasuk Onodera dan Takano. Onodera menarik lengan Takano, membawanya ke tempat yang lebih dekat, "Takano-san, disini lebih terlihat jelas..." Onodera menyadari telah melakukan kontak fisik dengan Takano. Rona merah menghiasi wajah. Seketika ia melepasnya, tapi gerakan Takano lebih cepat menggenggam tangan Onodera.
Hangat.
Meski udara dingin, tangan Takano sangat hangat.
"Sangat indah..." Takano menengadah ke langit. Pandangannya tak lepas dari kembang api berbagai bentuk yang bergantian muncul.
Lima belas menit berlalu, Onodera tak beranjak dari tempatnya duduk, di atas kasur hotel yang berukuran single-double size. Mereka baru check-in hotel dan sampai di kamar. Suara gemericik air shower terdengar jelas di telinga. Takano sedang mandi, tepat di kamar mandi sebelah.
'Bagaimana ini, aku sangat gugup.' batinnya. Sedari tadi merutuki pegawai kantor yang entah bagaimana memesankan satu kamar dengan satu kasur untuk dua orang. Meminta ganti atau menambah kamar ke pihak hotel pun percuma karena sedang ada festival, pesanan hotel menjadi penuh. Jadi mau tak mau Onodera harus berbagi tempat tidur dengan Takano.
Onodera melirik ke arah kasur kosong di belakangnya, "Padahal selama ini sudah beberapa kali tidur bersama Takano-san... Tuhan! Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini." batin Onodera semakin gugup.
Bunyi shower berhenti. Pertanda Takano selesai mandi.
"Mampus, jantungku tolong tenang!" Onodera semakin panik.
"Apa-apaan ini!?" Takano bersungut kesal keluar kamar mandi, "kenapa yukata-nya tidak pas!"
Onodera memperhatikan yukata yang masih terlihat rapi tergeletak di meja. Seharusnya yang akan dia pakai. 'Mungkin yang itu ukurannya lebih pas untuk Takano-san.' batinnya.
Onodera mengambilnya, memberikan ke Takano dan memakaikannya.
"Hei..." Takano menginterupsi keterkejutan Onodera, "kita seperti sedang berbulan madu." ujar Takano kalem.
"Ini perjalanan bisnis!" Onodera segera memberikan yukata kepada Takano, langsung pergi menuju kamar mandi.
'Astaga! Apa yang dikatakan Takano-san barusan? Bulan madu?" Onodera dilanda kepanikan. Jantungnya seperti mau meledak.
Onodera bangkit, membuka pakaian lalu menuju shower. Guyuran air hangat mungkin bisa sedikit menenangkan pikiran dan melepas penat. Tetesan air mengalir mengikuti lekuk tubuh. Membiarkannya membasahi sekujur tubuh. Onodera menghela napas panjang.
Onodera tak bisa tidur. Suasana begitu tenang setelah Takano mematikan lampu. Begitu tenangnya, Onodera sampai bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri. Sedikit gerakan saja sudah menimbulkan suara yang mengusik ketenangan. Sayup-sayup tetangga kamar sedang asyik bercengkrama.
'Kelihatannya menyenangkan.' Rasa iri menyelinap saat suara gelak tawa terdengar riuh. 'Aku juga ingin bisa seperti itu dengan Takano-san...' sepintas bayangan tentang dirinya dengan Takano muncul, sedang tertawa bersama.
'Apakah kami terlihat cocok? Tapi rasanya aneh.'
Teringat ucapan Takano saat perjalanan menuju hotel tadi,
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh."
'Kalau saja aku bisa mengatakannya...'
'Baiklah!' Onodera menyemangati diri sendiri. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Onodera menghela napas panjang, lalu memanggil pria yang tidur di samping. "A-anu, Takano-san..."
Sunyi. Tak ada jawaban.
"Oh, sudah tidur rupanya." ada nada kecewa di dalamnya, "Selamat tidur, Takano-san..."
Sedetik kemudian sebuah tangan besar melingkari pinggang. Onodera terkejut. Takano mendekap dari belakang. "Bagaimana aku bisa tidur kalau ada kau di sampingku." bisik Takano tepat di telinga. Sejurus kemudian wajah Onodera dipenuhi warna merah.
"Tolong jangan membuatku terkejut!"
"Lalu, ada apa memanggilku?"
"Ah, mengenai tadi..."
"Hm? Bulan madu?"
"Bu-bukan..." Onodera merasa telinganya terasa panas mendengar kata itu terlontar lagi dari mulut Takano.
"Ada yang ingin aku tanyakan..." Takano tak menjawab, hanya 'hm' yang diberikan, "Be-berapa ukuran sepatumu?"
"HA?!" Takano memandang Onodera bingung.
'Ritsu bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa langsung menanyakan hal itu?!' Onodera menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan rasa malu atas kebodohannya sendiri.
Takano bangkit, meraih kedua tangan Onodera untuk memperlihatkan wajahnya. Onodera melihat wajah Takano dipenuhi rasa penasaran.
"Maksudku,"Onodera memberi penjelasan, "seperti kata Takano-san, aku juga merasa kalau topik pembicaraan kita tak jauh dari masalah pekerjaan, jadi aku ingin..."
Onodera memberi jeda. Takano menunggu.
"Aku juga ingin mengenal Takano-san lebih jauh."
Onodera gugup setengah mati. Bola matanya bergerak ke samping, tak berani menatap Takano.
Terdengar kekehan pelan dari arah Takano, "Astaga kau memang tak berubah, masih sangat menggemaskan."
Onodera cemberut, merasa kalau Takano sedang memperolok dirinya.
"Baiklah, 28." kata Takano.
"Eh?" Kali ini Onodera kebingungan.
"Ukuran sepatuku."
"Eh, oh... Begitu, ya." Onodera ber'oh', sampai melupakan pertanyaan awal.
"Kalau kau?" giliran Takano bertanya.
"26.5."
"Ada lagi?" Onodera menatap Takano yang sudah berbaring sambil memangku dagu. "Ada lagi yang ingin kautanyakan? Akan kujawab semuanya."
Onodera berbalik menghadap Takano, Pelajaran apa yang kausukai waktu sekolah?"
"Hm," Takano berpikir, "matematika mungkin."
"Kenapa?"
"Bukankah menyenangkan saat kita bisa menyelesaikan rumus yang rumit?"
"Oh, seperti itu..."
"Kau sendiri?"
"Kalau aku, bahasa Inggris."
"Apa karena kau pernah belajar ke luar negeri?"
"Mungkin seperti itu. Menyenangkan sekali kalau bisa berkomunikasi dengan banyak orang..." Onodera menggantung kalimatnya.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku takut..." Onodera terdiam, "aku tak tahu apa yang mereka pikirkan, aku takut mereka berpikiran yang negatif terhadapku."
"Kau pikir kau Dewa?" tanya Takano ketus. Terdengar seperti saat memarahinya.
"Hah?"
"Kau tak kan pernah tahu isi hati seseorang. Apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan. Kau akan stres kalau terlalu memikirkannya." Takano mengasak pelan rambut Onodera, "karena aku juga bukan Dewa." suara Takano terdengar lirih.
"Aku tak tahu apa yang kaurasakan atau pikirkan saat bersamaku, jadi..." Takano memberi jeda. Onodera penasaran. "aku ingin mendengar apapun yang kaupikirkan saat ini."
Onodera terdiam. Tak mengira kalau Takano juga merasakan hal yang sama. Onodera merasa, selama ini mereka punya perasaan yang sama.
'Apa ini? Rasanya aku ingin menangis. Tapi aku juga merasa sangat bahagia.'
"Takano-san," panggil Onodera, "Lain waktu, maukah kau pergi liburan bersama..." Onodera sedikit gugup, "sebagai honeymoon?"
Detik berikutnya, Onodera sudah mengira kalau ia akan mendapat serangan mendadak di bibir. Akhirnya ia balas juga kecupan dari Takano.
"Dengan senang hati." kali ini kecupan di pipi, "aku merasa kau sedang mempersuntingku."
Onodera merona, tapi wajahnya segera tersembunyi di dada Takano.
Lembaran baru kehidupan mereka telah dimulai.
Omake
Kisa menggeser kursi lebih dekat ke Onodera. Departemen Emerald selalu sibuk dan penuh tumpukan berkas di atas meja, tapi Kisa selalu punya cara untuk 'kabur sejenak' dari tugas. Bergosip.
"Hei, Ricchan." panggilnya dalam bisikan. Menginterupsi Onodera yang asyik dengan naskah yang baru tiba.
"Ada apa Kisa-san?"
"Apa yang terjadi dengan Takano-san?" ekor matanya melirik ke arah bos yang sibuk berbicara dengan seseorang lewat telepon.
"Apa maksudmu? Kupikir tak ada yang aneh dengan Takano-san?" jawab Onodera, "Hari ini juga dia memarahiku seperti biasa karena naskah yang baru kuterima ini dibilang tak menarik." tangan Onodera hampir meremas kertas di tangan. Mengingat kejadian tadi pagi.
'Meskipun sudah resmi sepasang kekasih tapi di kantor sikapnya sebagai atasan-bawahan tetap tak berubah.' batin Onodera.
"Bukan itu maksudku!" sanggah Kisa. "Aku juga mendapat semprotan tadi." tambahnya. "Apa kau tidak merasa kalau akhir-akhir ini mood-nya sedang bagus? Aku tak pernah melihat Takano-san tersenyum seperti itu."
"Bahkan aku pernah mendengarnya menggumamkan lagu saat sedang mengecek naskah. Itu membuatku merinding." Kisa seperti mengingat sebuah adegan horor di film.
"Oh... begitu." ujar Onodera.
'Sebegitu menyeram kah seorang Takano Masamune?' batinnya. 'Tapi kalau diingat, dia memang menyeramkan. Bahkan suka tak kenal waktu dan tempat, main cium saja.' giliran Onodera yang mengingat kejadian tak mengenakkan.
"dan Takano-san jadi begitu sejak kepulangan kalian dari perjalanan bisnis." tambah Kisa,
DEG!
Wajah Onodera auto merona.
"Wait, what?"
"Hei, apa yang terjadi saat perjalanan bisnis kalian?" Kisa menekankan kata kalian. Onodera menoleh patah-patah. Tatapan menggoda Kisa membuat Onodera tak berkutik.
PLETAK!
Sebilah penggaris mendarat di kepala Kisa. Pelakunya, tentu saja si bos, Takano Masamune.
"KISA! TIDAK BERGOSIP DI WAKTU KERJA?!" Suara Takano menggelegar.
"Maaf." Kisa balik menuju meja sambil mengelus kepala.
"Apa kau begitu penasaran?" tanya Takano memecah keheningan setelah insiden pelemparan. "Kalau kau bertanya padaku, aku bisa memberitahumu."
Kisa langsung antusias, "HAH APA TAKANO-SANI CERITAKAN PADAKU!"
Saat itu juga Onodera ingin melempar penggaris tadi ke arah bosnya sambil berteriak, 'JANGAN CERITA MACAM-MACAM!" tapi ia urungkan karena tak mungkin dan Takano segera mengatakan,
"Tapi karena kau sudah bertanya kepada Onodera, sepertinya tak ada gunanya bertanya padaku." ujarnya sambil menyeringai. Kisa terduduk lemas. Astusiasmenya memudar. "lain cerita kalau kau bisa menyelesaikan semua pekerjaan sebelum jam enam."
"AKAN KULAKUKAN!" Semangat Kisa mendadak muncul. Separah itukah keingintahuannya mengenai cerita Takano dan Onodera saat perjalanan bisnis? Yang pasti semua pegawai editor Emerald tahu kalau mustahil bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum jam enam.
"Takano-san benar-benar menyeramkan." batin Hatori, Mino dan Onodera.
"Aku jadi mengkhawatirkan nasibku selanjutnya."
Terima kasih