SMA Pulau Rintis, tahun 21xx.

"Nah, hasil rapat hari ini, untuk merayakan ulang tahun sekolah akan diadakan tiga jenis kegiatan. Festival olahraga, pentas seni dan bazaar kelas. Festival olahraga meliputi 6 cabang olahraga. Sementara pentas seni ada 5 kategori yang dilombakan. Ada masukan?"

Hening sesaat. Pemuda yang memimpin rapat tersebut mengusap peluh yang mengalir di pelipis sembari melihat lagi catatan kecil di tangan kirinya. Suhu ruangan tempat dilaksanakannya rapat OSIS itu terasa begitu panas. Barangkali, tak seorang pun anggota OSIS di ruangan tersebut yang menyadari bahwa pendingin ruangan hanya disetel 22 derajat celcius.

"Ketua," seorang siswi berambut pirang angkat tangan menginterupsi keheningan.

"Ya, Amy?" Sang ketua menyahut menunjukkan gestur mempersilakan lawan bicara buka suara.

"Apa nggak sebaiknya jumlah kategori lomba ditinjau ulang? Kalau menyesuaikan dengan budget yang ada, apa mungkin kepsek akan menyetujui proposal nanti?"

Yang ditanya melihat lagi catatan kecilnya yang berisi hasil rapat sementara. Ada banyak coretan di tiap lembaran notes itu. Kebanyakan merupakan saran dan pendapat yang diajukan anggota OSIS beberapa saat sebelumnya.

"Kalau terlalu banyak dana yang dibutuhkan, mungkin kepsek akan ragu. Belum lagi, masalah sponsor yang dicari. Siapa yang tahu mereka mau memberi sokongan atau tidak?"

Mata sang ketua yang sewarna emas menerawang mendengarkan pendapat wakilnya, Amar Deep. Akhirnya, ia bersuara lagi, "Baiklah, ada saran untuk itu?"

Ruang perwakilan siswa-siswi SMA Pulau Rintis itu kembali riuh rendah. Suara tiap anggota bersahut-sahutan. Tentunya, masih terkontrol dengan baik oleh wakil yang sigap. Sementara, sang ketua sendiri masih manggut-manggut mendengar saran-saran yang diajukan beberapa anggota, sebelah tangannya sibuk mencatat opini-opini yang diajukan.

"Oke," ujar ketua OSIS setelah suasana tenang kembali. "Jadi, untuk meminimalisir pengeluaran, akan ada dua cabang olahraga dan dua kategori pentas seni yang ditiadakan," putusnya kemudian.

"Ya. Dikarenakan, ada reward yang harus diberikan kepada pemenang tiap kategori lomba." Wakil ketua menambahkan setelah atasannya bersuara.

"Baiklah, kalau begitu sekian rapat hari ini. Sekretaris, tolong laporan rapatnya setelah ini. Untuk proposalnya, bisa ditulis setelah bendahara menghitung total dana yang diperlukan," titah ketua kepada seorang gadis berambut hitam sebahu. Sekretaris OSIS tersebut hanya mengangguk.

"Nah, rapat hari ini cukup sampai di sini. Semua boleh bubar."


Boboiboy © Monsta

Terinspirasi dari anime Mahou Shoujo Madoka Magica dan Mahou Shoujo Ikusei Keikaku. Keduanya bukan punya oe.

Penulis tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini.

Enjoy~


Gempa, sang ketua OSIS yang baru saja memimpin rapat menyusuri koridor dengan hayati dan rohani lelah. Seragamnya terasa lembab dan lengket, padahal dia tidak habis olahraga. Ah, lain kali ia harus ingatkan anggota lain untuk menyetel suhu pendingin ruangan jadi 18 derajat celcius jika yang datang rapat seramai itu. Pasalnya, Gempa jarang sekali mengutak-atik inventaris sekolah yang memang sering diabaikannya itu.

Dilonggarkannya dasi belang hitam-putih yang melingkari leher, membiarkan udara segar masuk melalui kerah seragamnya yang sedikit lebih terbuka.

Tak lama, sepasang iris keemasannya menangkap sosok yang ia kenali muncul dari belokan koridor di depannya. Mereka akan berpapasan dalam hitungan belasan langkah lagi, tapi Gempa sudah menyapa lebih dulu, "Kak Hali, masih ada kegiatan klub?"

Hali—lengkapnya Halilintar—mendongakkan wajah yang sedari tadi terpekur menatap ubin krem koridor. Sang kembaran sulung menghentikan langkah, menatap sejenak pada adiknya yang juga berhenti melangkah. "Kau nggak lihat aku masih pakai seragam latihan?" tanya Halilintar retoris.

Gempa menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Baru ia sadar kalau kakak kembar pertamanya itu masih mengenakan dougi karatenya. "Eeh, terus, ini Kakak mau ke mana?"

"Gudang." Halilintar yang memang irit bicara menjawab seadanya. Setelahnya ia berlalu, melanjutkan langkahnya menuju tempat tujuan.

Gempa mengerjap-ngerjapkan mata. Ia memutar badan agar tetap bisa melihat kakak sulung yang kini berjalan melewatinya. Iris keemasannya menatap punggung pemuda sepantaran dirinya itu yang tampak berjalan tegap.

Sebenarnya, bukan hari ini saja Halilintar bersikap tak acuh. Sikap cuek bebek sang kakak yang tempramen itu memang sudah mengerak sampai DNA, kok. Padahal Gempa sendiri tidak demikian. Tapi, kenapa ya? Ia merasa ada yang sedikit berbeda dari Halilintar belakangan ini. Dan bukan cuma Halilintar saja, saudaranya yang lain pun dirasanya demikian.

Ah, sudahlah. Mungkin cuma imajinasinya saja akibat keseringan khawatir. "Pulangnya hati-hati!" pesan Gempa sebelum akhirnya berbalik arah pulang.

.

.

.

"Assalamu'alaikum."

Gempa mengucap salam sambil memperhatikan seisi ruang tamu yang kosong. Tidak seorang pun menyambutnya pulang atau sekadar menjawab salam.

Oke, ini masih jam 3 siang. Seharusnya sudah ada yang tiba di rumah, karena khusus hari ini sekolah memulangkan siswa-siswi lebih cepat. Selain Gempa dan Halilintar yang memang berkepentingan di sekolah, aneh rasanya jika saudaranya yang lain tidak segera pulang. Terutama, salah seorang adiknya yang hobi tengkurap 15 jam itu.

Mencari solusi untuk mengetahui keberadaan saudaranya yang lain, Gempa membuka grup chat keluarga di ponselnya. Diketiknya pertanyaan kepada anggota grup yang isinya cuma saudara-saudara kembarnya.

[Udah ada yang pulang?]

Tak lama, muncul tanda centang biru yang menandakan pesan telah dibaca, diikuti salah satu anggota grup yang mulai mengetik.

[Aku, Blaze sama Thorn lagi keluar. Nggak tau yang lain]

Ini Taufan yang menjawab. Kakak kedua Gempa yang pecicilan.

Melihat jawaban Taufan, segera saja Gempa memeriksa kamar dua saudaranya yang eksistensinya tak diketahui. Kakinya melangkah menaiki tangga menuju kamar Ice, adiknya yang kedua sekaligus kembaran Blaze.

Sampai di depan kamar, Gempa mengetuk pintu yang terasa dingin itu dengan cukup kuat. Siapa tahu sang adik tengah terlena dalam bunga mimpi.

"Ice?" Gempa memanggil nama empunya kamar. Diketuk dan dipanggilnya lagi nama adiknya itu, tapi tak juga dijawab. Pelan-pelan, ia buka pintu tersebut dan hawa dingin dari AC segera menerpa dirinya.

"Kosong..." gumam Gempa setelah menyapu pandangan hingga ke sudut-sudut kamar yang sedingin Antartika. Ice pasti lupa lagi mematikan AC.

Setelah mematikan pendingin ruangan, Gempa meninggalkan kamar itu dengan secuil perasaan aneh di benaknya. Tumben Ice nggak kebo, pikir Gempa.

Putar haluan, anak ketiga keluarga Boboiboy itu mengecek keberadaan si bungsu, Solar. Hasilnya sama saja, nihil. Manusia yang dicari tak ditemukan. Eksistensi para Homo sapiens bermuka kembar di rumah itu raib semua, dengan keberadaan yang tak tentu rimbanya—selain Halilintar tentu saja.

Menghela napas, Gempa melangkah menuju kamarnya sendiri. Biarlah dulu saudara-saudaranya itu. Toh, ia yakin mereka tak akan berbuat macam-macam. Asal tahu saja, kalau Halilintar yang tempramental atau Gempa yang keibuan sampai mendengar mereka terlibat sesuatu yang tidak mengenakkan tanpa alasan yang bagus, siap-siap saja dihadiahi tendangan karate atau bogem mentah dari mereka berdua.

Mengabaikan keberadaan seluruh saudara kembar, Gempa merebahkan diri di kasur tersayang. Pekerjaan rumah yang menunggu diabaikannya dulu. Dirinya lelah lahir batin dengan semua tugas di sekolah.

Dibukanya kunci ponsel ber-casing hitam miliknya. Jarinya mengetuk layar untuk membuka aplikasi game yang beberapa waktu belakangan sering ia mainkan, atas ajakan Taufan tentu saja.

Kakak kembar keduanya itu bilang, Gempa itu terlalu kaku. Melebihi Halilintar malah. Bukan soal sosialisasi, tapi dalam menjalani kehidupan. Setiap harinya penuh jadwal kerja saja, macam pegawai kantoran. Jadi, Taufan yang senantiasa tersenyum itu akhirnya menyarankan sang adik pertama bermain game seperti dirinya.

"Nggak pa-pa lah, refreshing pikiran sesekali," ucap Taufan setelah menginstall game tersebut di ponsel Gempa dua bulan lalu. Tentu saja hingga sekarang, Gempa hanya memainkan game itu saat senggang atau jenuh saja. Hiburannya yang utama tetap konsumsi berita faktual di televisi.

[Welcome to Rising Heroes]

Itu tulisan yang ditemuinya setelah aplikasi dibuka. Setelah loading sebentar, muncul tampilan main menu. Gempa membuka local save data dan melanjutkan permainannya semalam.

Ya, tanpa sadar Gempa sudah memainkan game ini tiga hari berturut-turut. Namun, karakter yang dimainkannya masih bertahan di level 15. Memang tipikal Gempa. Tanggung jawab tetap tanggung jawab. Pekerjaan di realita tetap prioritas.

Tak lama setelah game dimulai, Gempa menerima sebuah misi dari salah satu NPC. Ia pun mengarahkan karakternya untuk melawan monster dengan rupa seperti yeti berbulu hitam bertaring tajam.

Monster itu boleh dibilang monster kelas rendah, mudah saja mengalahkannya. Tapi, EXP yang didapat setelah mengalahkan monster tersebut sedikit sekali. Sulit menaikkan level dengan mengalahkan monster kelas rendah jika jumlah monster yang dikalahkan hanya sedikit.

Untungnya, posisi karakter Gempa sedang berada di dungeon berupa hutan yang menjadi sarang para yeti. Dengan level dan skill yang sudah dimiliki Gempa, ia pasti bisa mengalahkan sepuluh, atau dua puluh monster.

Gempa mengeluarkan skill yang dimiliki karakter gamenya, seperti: Tanah Tinggi, Tumbukan Tanah, atau Ombak Tanah. Karakter game-nya memang memiliki kekuatan elemen tanah. Ponselnya terus bergetar tiap berhasil mengalahkan satu monster. Jemarinya dengan semangat menekan-nekan attack button untuk mengeluarkan serangan dan skill. Sepuluh menit kemudian, dungeon dalam game RPG itu berhasil dibersihkannya.

[Mission succes!]

Tertulis demikian setelah Gempa mengalahkan bos monster. Sebagai reward, Gempa mendapatkan skill baru yang membuatnya dapat memanggil golem tanah. Selain itu, ia juga mendapat penambahan EXP yang cukup signifikan. Ditotal dengan jumlah monster yang dikalahkannya, jumlah poin EXP tersebut berhasil membuatnya naik ke level 16.

Gempa menghela nafas lega. Benar kata Taufan. Mengistirahatkan pikiran dengan cara seperti ini sesekali boleh juga, asal nggak kecanduan saja seperti kakak keduanya itu.

Gempa memutuskan menghentikan permainannya. Sekarang, waktunya istirahat beneran. Ia ingin memejamkan mata dan tidur nyenyak, melupakan lelah penat yang masih terasa di pundak. Belum sempat menekan tombol exit setelah menyimpan data permainan terakhir, suara dentingan pertanda notifikasi masuk terdengar dari ponselnya.

Layar ponsel yang semula menampakkan main menu, tiba-tiba gelap. Gempa spontan mengguncang-guncangkan ponselnya, berpikir mungkin saja gawainya itu nge-bug atau semacamnya. Sejenak kemudian, muncul rentetan kalimat seperti sedang diketik.

Gempa menaikkan sebelah alis. Game yang dimainkannya saat ini memang bisa dimainkan secara online atau pun offline. Jika sedang online, player yang menyimpan ID player lain bisa mengundangnya ke dalam sebuah chat room antarpemain atau mengajak party.

Maka, Gempa heran. Ia pernah diajak beberapa kali oleh Taufan dan Blaze—yang juga memainkan game ini—untuk menyelesaikan sebuah misi bersama. Namun, ruang chat-nya tidaklah hitam total seperti ini.

[Selamat! Anda telah terpilih sebagai Rising Hero selanjutnya. Hal ini tidak dapat diwakilkan oleh pihak mana pun. Apakah anda bersedia untuk menjadi Hero yang sesungguhnya?]

Itulah tulisan yang tiba-tiba muncul di tengah layar. Di bawah deretan kalimat itu, terdapat dua tombol pilihan berbeda warna. Hijau untuk tombol 'Yes', dan merah untuk tombol 'No'.

Mata emas Gempa menyipit curiga. Apa maksudnya pengumuman yang tiba-tiba ini? Ia sendiri juga tidak ingat pernah membeberkan ke orang selain Taufan dan Blaze bahwa dia bermain game seperti mereka. Lantas, siapa yang mengirim pesan ini? Apa ini salah satu teknik marketing yang dimiliki perusahaan yang menciptakan game ini?

Mata Gempa menatap lamat-lamat rangkaian kata yang masih terpampang nyata di layar ponselnya.

Menjadi hero yang sesungguhnya ... Tunggu,

Tunggu dulu! Gempa mencoba menggali lagi memori yang tertinggal dalam lobus temporal otaknya. Samar-samar ia ingat, beberapa bulan belakangan banyak berita yang terdengar aneh yang disiarkan di televisi. Di antaranya adalah penampakan gadis dan pemuda yang mampu terbang di angkasa layaknya super hero di serial kartun barat.

Ada juga acara berita yang menyiarkan kabar sejumlah korban kecelakaan yang berhasil selamat dengan cara yang boleh dibilang tak wajar. Dan masih ada beberapa berita lagi yang semuanya terdengar seperti sebuah keajaiban.

Memang hingga abad ke 22 kini, teknologi telah berkembang pesat selama beberapa dekade. Manusia bahkan bisa membuat robot yang tampilan dan sikapnya benar-benar persis seperti manusia asli. Kecerdasan buatan yang diprogram sudah berubah signifikan dibanding 10 dekade yang lalu.

Tapi, apa memang mungkin ada sebuah teknologi yang mampu membuat manusia terbang bebas di angkasa lepas tanpa membawa alat bantu teknologi itu sendiri? Teknologi yang mampu mengubah manusia menjadi super hero sejati?

"Hero yang sesungguhnya..." Gempa menggumamkan salah satu kalimat dalam pengumuman tersebut.

Ia tak pernah terpikir hal demikian. Baginya, menolong orang lain di sekelilingnya adalah suatu hal yang cukup menyenangkan. Tapi dewasa ini, Gempa tak pernah berangan-angan untuk dapat membantu orang lain dengan kekuatan luar biasa, seperti yang pernah ia lihat di kartun masa kecilnya dulu.

Gempa bimbang. Sisi logis dirinya memaksa jarinya bergerak menekan tombol merah. Ayolah! Mana mungkin super hero itu ada?

Robot yang katanya tidak perlu makan atau tidur itu—meskipun memiliki kekuatan yang terbilang luar biasa—tak pernah sekali pun digunakan untuk menolong manusia yang kesulitan. Mereka hanya semacam hardware yang digunakan sebagai alat kerja untuk manusia, seperti perbudakan yang pernah dilakukan di masa lampau.

Gempa tahu itu. Ia menyadari pikiran logisnya itu benar adanya. Namun, selogis apa pun pikirannya, ia tetap kalah setelah batinnya mempertanyakan, bagaimana kalau aku bisa menolong lebih banyak orang jika memiliki kekuatan?

Maka, jari telunjuknya seketika menekan tombol berwarna hijau di layar ponsel. Sesaat kemudian, muncul tulisan lain yang seperti menjawab pilihannya.

[Kami segera menjemput anda]

Gempa memosisikan dirinya duduk di atas ranjang. Tulisan tersebut telah hilang dan kembali menampilkan main menu seperti semula.

Tiba-tiba saja ia merasa bodoh. Bagaimana jika tadi itu hanya penipuan saja? Sial. Kekhawatiran di kepalanya membuncah. Gempa pun merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia bertindak senaif itu.

Namun, sebelum dapat memfokuskan lagi pikirannya, tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.

.

.

.

.

"Nak ... kamu nggak pa-pa?"

Tepukan pelan mendarat di bahu seorang pemuda. Pelan, tapi ia dapat mendengar suara bariton bernada lembut yang seolah memanggilnya.

"Nak," bahunya serasa ditepuk lagi. Bersamaan dengan kesadaran tubuhnya yang mulai ia dapat, matanya terbuka perlahan, mengerjap-ngerjap terhadap cahaya yang mulai merangsang sensor saraf optikusnya.

Kedua matanya terbelalak tiba-tiba, menampakkan iris matanya yang indah berwarna kuning keemasan. Ia terduduk kaget dan mendapati seorang pria berseragam security tengah menatap dirinya dengan ekspresi tak terbaca.

Boboiboy Gempa, 18 tahun, tengah mencerna situasi yang dialaminya saat ini.

Ia kini tengah duduk di atas bangku taman yang ia kenali sebagai Taman Pulau Rintis, sebuah tempat terbuka untuk umum yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumahnya.

Kedua netranya menyapu pandang ke sekitar. Tampak beberapa orang berlalu-lalang melintasi jalan setapak yang mengelilingi taman, sementara si bapak security yang membangunkannya kini tengah menatap dirinya dengan raut cemas.

"Kamu baik-baik aja?" tanya bapak penjaga keamanan itu memastikan. Merasa sekeliling dan kondisinya kini baik-baik saja, Gempa mengangguk meski masih agak ragu.

"Ya sudah, saya tinggal nggak apa-apa? Saya masih harus lanjut keliling."

Mendengar penjaga keamanan di hadapannya masih ada kepentingan, ia mengangguk lagi, kali ini dengan mantap. Pak security kemudian pamit meninggalkan Gempa yang kembali sibuk dengan pikirannya.

Ia merasa aneh. Kenapa dirinya bisa ada di taman? Gempa merasa tidak seharusnya ia di sini sekarang. Apalagi setelah tahu bahwa sebelumnya ia tertidur hingga dibangunkan penjaga keamanan setempat.

Gempa kembali menggali memorinya yang tergambar samar-samar. Sejauh yang bisa ia ingat, ia sempat berpapasan dengan kakak sulungnya, Halilintar, setelah selesai rapat OSIS. Rasanya setelah berpesan sedikit tentang hal yang tak begitu penting kepada Halilintar, ia terus pulang. Apa sebelum sampai ke rumah ia sempat mampir ke sini?

Tapi, untuk apa? Beristirahat sejenak hingga tertidur?

Membuang pikirannya yang terasa absurd, Gempa mencoba memastikan jam berapa sekarang.

"Eh?"

Jam tangan siapa ini? Jam tangan siapa yang melingkar di tangannya ini? Gempa yakin tak pernah memakai jam tangan sebelumnya. Jika perlu mengecek waktu, ia selalu membuka ponselnya atau melihat jam dinding di mana tempatnya berada.

Apakah Taufan sudah bosan dengan Halilintar dan mengganti target kejahilannya sekarang? Sampai-sampai melemparnya ke Taman Pulau Rintis saat dirinya tengah tertidur. Tapi, masa' benar Taufan yang melakukannya.

Ah, kepala Gempa pusing sekarang. Ia mengacak rambutnya frustasi dan menyadari ada sesuatu yang menutupi kepalanya.

Diambilnya benda itu dan melihat sebuah topi yang ia tahu itu bukan miliknya. Sebuah topi dino hitam dengan corak garis berwarna kuning emas di sisi kiri dan kanan. Di sisi belakang topi itu terdapat logo berwarna putih yang membentuk motif seperti batuan atau tanah.

Merasa semakin janggal, kali ini Gempa berdiri dan memastikan kondisinya dari atas sampai bawah.

Ia kini mengenakan jaket hitam tanpa hoodie dengan bagian lengan atas hingga bawah dada jaket itu berwarna oranye. Resleting jaket yang berbentuk sama seperti logo di topinya tidak terpasang, menampakkan kaus merah polos yang ia kenakan di baliknya. Celana dan sepatu boots pendek yang menjadi bawahannya juga memiliki corak dan warna senada.

Gempa makin bingung. Ia tidak sleepwalking dan mencuri di toko baju terdekat, kan?

Ah, ya, kali. Kalau memang begitu harusnya ketahuan orang lain, dong.

Rasanya tidak mungkin juga Taufan. Kalau memang kakak kembarnya itu pelakunya, maka Gempa tidak akan segan menonjok Taufan sampai bonyok.

Gempa kembali memasang topinya ke posisi semula, lalu meraba saku celananya. Ada. Ponselnya ada di sana. Segera ia menyalakan ponsel untuk melihat jam, lantas menepuk jidat. Kenapa harus melihat ponsel saat ada jam melingkar di tangannya? Ah, kebiasaan.

Gempa terbelalak. Jam menunjukkan pukul 5 sore, berarti sudah 2 jam ia meninggalkan sekolah. Artinya, selama itu pula ia di taman ini. Segera ia mengetik di group chat keluarga, menanyakan keberadaan saudara-saudaranya. Namun, tak ada yang menjawab.

Merasa tidak ada gunanya menunggu, Gempa memutuskan meninggalkan taman menuju ke rumah.

.

.

.

.

Kepala Gempa masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada dirinya sendiri. Langkahnya seperti orang frustasi, pikirannya semrawut mencari solusi.

Gempa perlahan memperlambat tempo langkah, merasakan kepalanya pening. Akhirnya, ia berhenti berjalan di depan sebuah ruko. Tangannya bertopang pada tiang besi penyangga kanopi hijau di atasnya, berusaha menahan tubuhnya yang terasa letih. Saudara-saudaranya belum juga membalas pesannya.

Perlahan, ia menarik napas dalam, berusaha menetralkan pikirannya yang sedari tadi terus berkecamuk. Dipikirkan sekarang pun tak berguna. Ada baiknya ia segera menemui keluarganya dan menceritakan apa yang sudah ia alami.

Ketika Gempa berpikir demikian, netranya menangkap sebuah pemandangan tak menyenangkan yang tak terlalu jauh di depannya.

Di jalanan yang tidak ramai dan tidak sepi, terlihat seorang wanita—yang mungkin berusia kepala tiga—tengah berdiri di pinggir trotoar. Di belakang wanita itu tampak seorang pria tengah menatap sang wanita lekat-lekat, seperti predator yang telah menemukan mangsa. Gempa merasakan firasat yang tak enak.

Sebelum Gempa sempat mencegah, pria itu sudah merampas tas bermerk sekaligus perhiasan emas di tangan kiri sang wanita. Korban pencurian itu berteriak tanpa mampu mengejar tersangka.

Gempa yang saat itu melihat seluruh kejadian itu lantas berlari menuju arah yang ditempuh pencuri tersebut.

.

.

.

"Sekarang saya mencoba mengejar pelakunya. Sepertinya, pencuri itu menuju ke Tempat Pembuangan Akhir Pulau Rintis. Ya ... Saya akan berhati-hati. Terima kasih."

Gempa menyimpan lagi ponselnya ke saku celana setelah menelepon polisi. Kedua kakinya masih melangkah dalam tempo cepat, mengejar pencuri yang juga berlari tak jauh di depannya. Entah sudah berapa lama mereka berkejar-kejaran, tapi Gempa masih tak mampu menyusul targetnya. Memang tipikal pencuri, pandai sekali melarikan diri.

Sekarang, ia dan pria itu berada di daerah yang cukup jauh dari pemukiman. Nafas Gempa sudah terengah-engah, tapi masih terus berlari seolah tenaganya tak akan habis.

Tiba-tiba, pencuri itu mengubah arah, berbelok ke sebuah gang kecil yang cukup kumuh. Sesuai dugaan Gempa, ia tengah menuju ke TPA, tempat berbagai barang dan sampah yang tak berguna dibuang.

Lelaki itu menghentikan larinya begitu sampai di sebuah area yang kosong. Jauh dari posisinya ada besi-besi berkarat, kerangka mobil dan berbagai barang rongsokan lain bertumpuk tinggi mengelilinya.

Gempa pun berhenti berlari sekitar sepuluh meter di depan pria itu, tanpa berniat menyembunyikan keberadaannya. Toh, sedari tadi ia mengejar si pencuri tanpa sembunyi-sembunyi.

Pencuri itu menatap Gempa, kemudian menunjukkan seringainya. "Berani juga kau mengejarku sendirian," ujarnya sambil menyimpan emas ke dalam tas hasil curiannya.

"Berikan tas dan perhiasan itu padaku, akan kukembalikan ke pemiliknya! Kau tak punya hak sedikit pun atas semua barang di tanganmu itu!" balas Gempa ofensif dengan meninggikan suaranya. Pria itu tertawa-tawa.

"Bocah bodoh! Kaupikir kenapa aku terus berlari ke sini tanpa menyingkirkanmu dulu, hah!?" Pria itu membalas lagi. Detik selanjutnya, banyak orang muncul dari balik gunungan rongsokan di sekitar mereka, seolah mereka memang menunggu waktu untuk keluar.

Gempa menyapu pandang kepada orang-orang yang mulai berkerumun. Mereka semua lelaki yang tampak seperti berandal. Namun, bukan itu masalahnya. Jumlah mereka mungkin ada tiga puluhan.

Gempa bukan petarung elit macam Halilintar yang bahkan bisa melawan 50 lebih manusia dan pulang tanpa lecet berarti. Kalau harus bertarung sekarang, mungkin Gempa akan lelah duluan sebelum menumbangkan mereka semua.

Berusaha positif, Gempa menepis pikiran tersebut. Ia sudah terlanjur terlibat sampai sini. Setidaknya, ia harus mengulur waktu hingga polisi dan korban pencurian itu tiba.

Begitulah niat Gempa sebelum ia mendengar sebuah letusan benda yang tak asing di telinganya.

DOR!

Gempa yakin, dirinya merasa ada sesuatu yang melintas dengan kecepatan tinggi tepat di samping kepalanya. Ketika menoleh ke belakang, manik emasnya mendapati sebuah batangan besi yang lumayan tebal telah berlubang. Dari bekas lubang itu, cukup jelas terlihat asap putih yang mungkin akibat dari suatu material padat yang menembus batangan besi tersebut.

Mengalihkan lagi atensinya kepada musuh, pencuri yang ia kejar sebelumnya kini menggenggam pistol sambil tersenyum miring. Kemudian, beberapa temannya yang lain pun turut mengeluarkan benda serupa dari balik baju mereka.

Sial.

Kalau sudah begini, kemungkinan kemenangan Gempa jelas nol besar. Jangankan melumpuhkan musuh, mencoba melawan pun ia tak mungkin bisa. Salah-salah, bisa saja kepalanya yang berlubang selanjutnya.

Gempa tak berkutik. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Kabur pun ia akan ditembak.

"Hei, hei, mana semangatmu yang tadi, HAH!?"

Gempa menggeretakkan giginya, merasa tak berguna. Sesaat kemudian, terdengar lagi letusan yang sama secara beruntun. Dan Gempa hanya mampu memosisikan tangannya untuk melindungi kepalanya.

"PERISAI TAUFAN!"

Gempa terbelalak. Alih-alih merasakan peluru bersarang di tubuhnya, ia malah mendengar riuh suara angin yang berputar kencang mengelilingi dirinya. Membuat seluruh peluru yang ditembakkan kepadanya menyasar ke segala arah.

Angin yang berputar kencang itu mengaburkan pandangannya, membentuk kubah tornado yang seakan melindungi dirinya.

Masih berusaha memahami apa yang terjadi, Gempa menengadah. Kedua netranya mendapati figur seorang pemuda sepantaran usianya tengah berdiri di atas sesuatu semacam skateboard yang melayang di udara.

Pemuda itu mengenakan jaket stormbreaker biru tanpa hoodie dengan lengan pendek berwarna putih. Terdapat corak berwarna biru neon yang berpendar pada jaketnya. Di kedua siku pemuda itu terpasang armband berwarna biru muda. Celananya sedikit melebihi lutut dengan motif dan warna senada jaketnya. Sepatu boots pendeknya pun demikian.

Namun, yang menarik perhatian Gempa adalah topi pemuda itu. Topi dino berwarna biru-putih dengan logo angin berwarna kuning yang diposisikan miring ke kanan.

"Kenapa bengong aja, Gem?"

Pertanyaan pemuda itu sontak membuat Gempa tercenung. Kubah angin yang melindungi mereka berdua lenyap, dan pemuda itu menoleh ke bawah di mana posisi Gempa berdiri tak jauh darinya.

Wajah dan senyum yang terpatri di wajah pemuda itu sangat familiar. Gempa reflek menyebutkan satu nama.

"Kak Taufan!?"

Yang namanya disebut tersenyum lebar, kemudian turun bersama skateboard terbangnya untuk menyamakan tinggi dengan Gempa. "Hehehe ... Kupikir kau nggak kenal aku karena tampilanku yang keren ini." Taufan mengoceh, masih berdiri di atas skateboard terbang yang melayang sepuluh senti di atas permukaan tanah.

Gempa masih melongo. Otaknya masih berusaha mencerna pemandangan yang ia saksikan di hadapannya. Taufan? Kakaknya yang super iseng itu bisa terbang? Apa kakaknya ini diam-diam menabung dan membeli benda canggih seperti ini?

"Tunggu, aku nggak ngerti..."

"Ah, ngobrolnya nanti dulu, Gem. Masih ada yang harus diurus."

Taufan mengganti atensinya kepada para berandal yang masih bersenjatakan pistol di tangan. Gempa dapat merasakan tatapan-tatapan beringas mereka kini seolah ciut mungkin setelah melihat apa yang sudah terjadi.

"Apa-apaan ini!? Siapa kalian, hah!?" Salah seorang di antara mereka berusaha tampak tegar dengan menodongkan pistol ke arah depan.

Taufan tertawa cekikikan. "Bukankah ini terasa seperti dalam film superhero? Iya kan, Gemgem?"

"Eh..." Tawa Taufan masih berlanjut, sementara Gempa tak tahu harus berkomentar apa.

"SIALAN KALIAN!"

"PUSARAN DAUN!"

Bersamaan dengan seorang berandal yang melepaskan tembakan, angin kencang bersama lembaran-lembaran daun hijau melingkupi Taufan dan Gempa, mementalkan proyektil mematikan itu ke arah rongsokan di sisi kanan mereka.

Gempa tercenung lagi. Suara yang ia dengar sesaat itu juga ia kenal. Suara yang ringan dan menggemaskan milik salah seorang adiknya.

"Kak Gem~ Kakak nggak pa-pa, kan~?" Thorn, salah satu dari Boboiboy bersaudara yang kini berpenampilan serba hijau-hitam tiba-tiba datang menerjang, memeluk Gempa dari belakang.

"Thorn!? Kau di sini juga!?" Gempa yang terkejut bercampur heran menoleh ke arah adik ke tiganya yang kini tersenyum lebar. Berbeda dengan senyum Taufan yang terlihat jahil bin ngeselin, senyuman Thorn adalah senyuman yang mampu menghangatkan sanubari.

Tunggu, kalau ada Taufan dan Thorn, berarti...

"Akhirnya, Kak Gem ketemu juga!"

"Kau lambat, Blaze!"

Taufan baru saja membalas ucapan seseorang yang datang dari arah gang kumuh menuju tempat mereka berdiri sekarang. Tak jauh dari mereka, adik pertama bagi Gempa tengah berdiri dengan wajah riang. Blaze kini mengenakan setelan jaket armless dengan kerah tinggi berwarna merah dan celana hitam selutut yang bercorak seperti api di bagian bawahnya.

Blaze segera menghampiri mereka bertiga. "Woah~ Kak Gem sekarang mirip dengan kita!" Mata Blaze berbinar kagum menatapi penampilan Gempa dari atas sampai bawah.

Gempa menggaruk pipi masih tidak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kepalanya terasa pening lagi.

"Masih buta arah, Blaze? Padahal udah pakai navigasi."

"Hehe, aku masih bingung cara pakainya, Kak."

Taufan dan Blaze malah berbicara dengan akrab, sedangkan Thorn masih bergelayut di pundak Gempa. Para berandal yang masih berkurumun diabaikan. Salah satu di antara mereka yang tak memegang senjata api meraih tongkat besi yang cukup besar, kemudian menerjang lawan di hadapan.

"TERIMA INI!" suaranya sambil mengayunkan tongkat besi. Blaze, Gempa dan Thorn reflek melompat ke belakang. Taufan yang masih berada di atas papan luncurnya memilih menghindar ke atas.

"Uwah, nyaris! Hahaha!" Taufan cekikikan. Dia mulai berputar-putar di udara dengan papan luncurnya. "Ayo pukul sini! Sini, sini! Ahahaha!" ujar Taufan memprovokasi sambil menunjuk-nunjuk pipinya, setelah itu ia terbahak macam kerasukan dedemit. Menyebalkan sekali tawanya itu.

"Kurang ajar kau, bocah!" geram si berandal dengan tongkat besi itu.

"Heh, kalau mau berantem, ayo sini!" Ganti Blaze yang menantang. Ia langsung memasang kuda-kuda siap bertarung.

"KEPARAT!" Pria itu berlari ke arah Blaze dan mengayunkan tongkat di tangannya cepat, namun Blaze dengan mudahnya menghindar.

Blaze mengepalkan tinjunya yang seketika diselimuti kobaran api jingga. Merasakan bahaya meningkat, berandal itu mengambil langkah mundur. Namun, tetap terlambat karena Blaze dengan cepat melepaskan serangannya ke wajah lawan.

"TINJU BERAPI!"

Pria berandal itu terlempar ke belakang, menghempas beberapa temannya yang masih berkerumun. Ia meringis. Wajahnya terasa panas sekali, malah mungkin akan melepuh.

"Haha! Itu sih, belum seberapa!" Blaze kembali memyelimuti tangannya dengan kobaran api dan berlari ke arah kerumunan musuh.

"Ah, tunggu, Blaze!" titah Taufan. Adiknya yang hiperaktif itu spontan mengerem langkah.

"Hah!? Kenapa pula!?"

Taufan segera menggerakkan papan luncurnya mendekati tanah. "Jangan kau habisi mereka. Mumpung ini debutnya Gemgem, biar dia aja yang urus."

Gempa menunjuk dirinya sendiri, "Hah? A... Aku? Debut?"

"Ah, iya, ya!" Blaze kembali menghampiri saudaranya. "Ayo, Kak Gempa! Kakak juga tunjukkan kuasa Kakak!" Blaze berseru semangat dengan tangan terkepal.

"Tunggu, ini nggak masuk akal! Aku sendiri nggak mengerti kenapa kalian bisa punya kekuatan seperti itu. Dan sekarang, kalian minta aku melakukan hal yang sama?" Gempa menatap saudaranya satu persatu. Sejenak kemudian, Taufan terkekeh.

"Ah, ayolah, Gem~ Masa' kau nggak menyadarinya, sih? Coba ingat lagi! Bukankah penampilanmu sekarang terasa familiar?"

"Eh...?" Gempa mengingat lagi atribut yang ia kenakan kini. Topi dino, jaket, celana dan boots pendek berwarna dasar hitam dan corak oranye dengan sedikit garis-garis kuning keemasan yang berpendar. Mata Gempa membulat.

"Ini... persis seperti karakter gameku!" ujar Gempa yang dibalas senyum simpul oleh kakaknya.

"Wah~ Jadi, Kak Gem juga main Rising Heroes sama seperti kami!?" Thorn tampak antusias. Terlihat dari iris zamrudnya yang membulat lebar.

"Ah... iya, hehe. Umm... Jadi, aku juga bisa menggunakan skill dari karakter gameku?"

"Yup, benar sekali!" balas Taufan masih semringah. "Sekarang, coba kau tunjukkan kemampuanmu, Gem!"

Gempa mengingat-ingat kemampuan paling sederhana yang dimiliki karakter game yang dimainkannya. "Oke, kalau begitu ..."

Gempa berlutut dan meninju permukaan tanah di depannya. "TANGAN TANAH!"

Tangan Gempa seketika diselimuti cahaya keemasan. Kemudian, lengan bawahnya tertutupi oleh lapisan bebatuan hitam yang menyatu dengan lava merah. Dirinya memandang takjub apa yang baru saja dibuatnya.

"Ini... sungguhan?"

"Kak Gem keren!"

"YEAAHHH! SEKARANG KAK GEMPA JUGA SUPER HEROOO!"

"Nice, Gemgem~"

Mereka berempat masih asyik berbincang, mengabaikan para berandal yang mulai meradang. "WOI, JANGAN ABAIKAN KAMI LAH!" teriak salah satu dari mereka.

Taufan dan Blaze memutar badan dan melihat lawan-lawan yang tampak kesal.

"Berisik! Kami sedang membicarakan hal penting, tahu! Lagipula, pistol rakitan amatir milik kalian bisa apa untuk melawan kekuatan kami!?"

"Betul, betul! Mending kalian pulang ke rumah dan merengek ke ibu kalian sana!"

Para berandal itu tampak masih ingin berdebat. Namun, nyali mereka sepertinya semakin ciut setelah melihat kekuatan bocah-bocah di depan mereka. Rombongan penjahat itu segera putar arah dan lari tanpa mengucapkan apa pun lagi.

Taufan menghela nafas dan tersenyum miring. "Gem, ini giliranmu. Gunakan skill yang kau punya untuk menahan mereka."

"Eh?" Gempa berpikir lagi. Karakter dirinya dalam game memiliki gaya bermain defensif. Tapi kalau harus mengalahkan musuh dalam jumlah banyak, pilihan Gempa saat ini cuma satu skill.

"Baiklah." Gempa berlutut. Dengan kedua tangan yang masih ditutupi bebatuan, Gempa meninju lagi tanah di depannya.

"OMBAK TANAH!"

Tiba-tiba, bumi berguncang. Para berandal yang belum lari terlalu jauh pun merasakan dampaknya. Beberapa dari mereka kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.

Taufan yang mengingat serangan salah satu adiknya ini segera mengangkat Blaze dan Thorn ke atas papan luncurnya, lalu terbang setinggi mungkin.

Sedetik kemudian, tanah di depan Gempa mencuat, meninggi, kemudian membentuk gulungan-gulungan ombak pasir raksasa, menyapu semua hal di depannya. Penjahat-penjahat kelas teri itu pun tak luput dari sapuan ombak pasir, memperdengarkan teriakan nelangsa bak orkestra yang sungguh menyayat hati. Gempa ketar-ketir.

"AAAHHH! STOOOPPPP! SETOP, WOI!" Gempa teriak frustasi. Kalau ada yang mati terkubur bisa gawat, dong.

"Kak Gem, fokus!" Thorn berteriak sekeras mungkin dari atas.

Gempa berusaha menetralkan pikirannya dari kepanikan. Beberapa saat kemudian, ombak tanah tersebut turun dan lenyap, menampakkan manusia-manusia yang terkubur setengah badannya.

Taufan menurunkan lagi kedua adiknya ke bumi. Kemudian, Thorn menggunakan kekuatannya. Ia mengeluarkan sulur-sulur tanaman dan menarik para musuh keluar dari timbunan pasir. Gempa menghitung jumlah mereka semua. Setelah dirasa tidak ada yang kurang barulah ia merasa lega.

Tak lama setelah mereka membuat pingsan penjahat-penjahat itu, terdengar sirine mobil polisi yang sudah dekat.

Para polisi menanyai rentetan kejadian yang mereka alami selama berhadapan dengan rombongan berandal tersebut. Tas milik wanita korban pencurian berhasil ditemukan agak jauh dari mereka, mungkin akibat tersapu ombak pasir sebelumnya. Dan mereka cuma bisa menggaruk tengkuk sambil tersenyum kikuk saat ditanyai kenapa rongsokan di sana tertimbun pasir hampir semuanya.

Mana mungkin lah mereka cerita tentang kemampuan di luar nalar manusia. Walau teknologi sudah sangat berkembang, kenyataannya belum ada manusia yang bisa mengendalikan unsur-unsur alam.

Para polisi pergi setelah meringkus para berandal. Wanita korban pencurian yang telah ditolong Gempa pun demikian, masih ada yang harus diurus ke kantor polisi katanya. Sekarang, manusia yang ada di TPA Pulau Rintis itu hanya tinggal empat Boboiboy bersaudara.

"Ng..." Gempa bergumam, mencoba buka suara. "Jadi, kenapa kita bisa punya kekuatan sepeti ini?"

Taufan menatap Gempa. Senyum masih setia terpatri di wajahnya. "Bukannya kau juga dapat pengumuman itu?"

Gempa mengangguk mendengar pertanyaan Taufan. Saat bertarung melawan para penjahat sebelumnya, ia berhasil mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum tersadar di Taman Pulau Rintis. Gempa bisa mengingat jelas cahaya putih menyilaukan yang membuat dirinya tak sadar diri setelah bermain game.

"Tapi, kenapa aku bisa ada di taman setelah itu?" tanya Gempa lagi.

"Ah... Soal itu, mending tanya langsung ke biang keroknya."

Telunjuk Taufan kemudian mengarah ke salah satu tumpukan besi berkarat yang tertutup pasir. Dari sana muncul sesosok benda bundar berwarna kuning yang memiliki dua tangan.

Melihat dua bulatan biru yang terpampang di atas sesuatu semacam layar di sisi depan benda tersebut membuat Gempa menyimpulkan bahwa apa yang disaksikannya terbang mendekat itu adalah sebuah robot.

Robot bundar itu berhenti sesaat di hadapan Gempa. "Kalian bertiga baik-baik saja?" tanya robot bundar itu dengan suara khas robot yang terdengar ringan. Tentu saja Gempa tahu, pertanyaan itu tidak ditujukan untuk dirinya juga.

"Nggak perlu khawatir dengan kami bertiga. Sekarang, jelaskan aja ke Kak Gempa." Blaze menyahuti perkataan robot kuning tersebut. Robot itu memutar arahnya menatap kembaran Boboiboy yang kini memiliki kekuatan elemen tanah, seperti menunggunya berbicara.

"Jadi, kau yang―"

"Iya. Aku yang membawamu ke taman," sela robot itu sebelum Gempa menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.

"Errrr, sebenarnya kau siapa?"

"Namaku Ochobot. Aku adalah salah satu AI yang ditugaskan untuk memantau perkembangan game yang penerbit kami telah buat. Dan juga..." Robot tersebut memperkenalkan diri, lalu mendekati tiga saudaranya.

"AI yang memilih player untuk menjadi Rising Hero yang baru."

.

.

.

To be continued


nah, baru chapter 1 udah 5k panjangnya fuuhhh

uhuk. tes tes... ada yang kenal oe? *krik

kali aja ada yang pernah liat sekilas nama oe di kolom review cerita author lain... iya, oe baru pertama nulis ff :v Salken~ :)

btw, ini ada catatan kalau ada yang nggak dimengerti~

EXP= poin yang dibutuhkan untuk naik ke level selanjutnya. biasanya makin tinggi level player, makin banyak EXP yang diperlukan

NPC= non playable chara. karakter yang bukan player. ngerti kan?

Dungeon= suatu tempat dimana misi game dilaksanakan.

Party= main bareng player lain

udah gitu aja. kalau ada saran, tanggapan atau kripik(?) silakan tinggalkan jejak di kolom riview~

bubye~