[START!]

By Riryzha

Fandom Kimetsu no Yaiba

MAIN PAIR

TANJIROU KAMADO

X

FEMALE ZENITSU AGATSUMA/ ZENKO

SURPRISE PAIR!

Genderbend

OOC, tentu saja~

.

.

.

Jemari yang sedikit kapalan itu membuka dan menutup perlahan. Kemudian manik berwarna keemasan itu mengamati tangan yang jauh lebih mulus dan lembut darinya dengan tatapan penuh iri.

"Uwaaa, Kanao-chan! Sungguh tidak adil! Bahkan hingga keujung kuku pun kau terlihat sempurna." Pujinya berlebih.

Yang dipuji memilih diam dengan senyum tipis di bibir. Menambah kesan elegan lagi penuh kharisma bak dewi kahyangan. Perempuan sebaya yang duduk bersamanya pun mendesah lelah.

"Aku tidak sanggup menjabarkan kecantikanmu."

Perempuan itu, Kanao Tsuyuri, tertawa tanpa suara akan pernyataan berlebih dari teman sesama tsuguko sekaligus lulusan yang sama dari tes seleksi akhir dua tahun lalu. Keduanya tengah berendam di pemandian air panas yang terkenal di desa penempa pedang. Mereka kesana bukan karena pedang salah satu di antara mereka patah ataupun mulai menumpul. Hanya demi pemandian air panas-lah mereka rela melewati lembah yang menutupi tempat strategis tersebut.

Kanao hendak melempar koin yang selalu berada digenggamannya kalau saja tidak ditahan oleh perempuan di sebelahnya.

"Ingat kata Tanjirou?" Ujar sosok itu sembari tersenyum tipis. Lagi miris jika seseorang benar-benar memperhatikan senyum yang dipaksakan dan binar mata yang meredup.

Kanao pun mengangguk dan meletakkan koin tersebut di sisi kolam pemandian sebelum menatap sosok di sebelahnya, "Zenko juga cantik."

Sosok dengan nama Zenko Agatsuma itu pun tertawa pelan, "bahagia rasanya dipuji seorang dewi."

Setelah keduanya berendam cukup lama, mereka pun keluar dari kolam dan menuju ruang loker untuk berganti baju.

"Zeniko!"

Kedua perempuan itu menoleh keasal suara. Inosuke sang pemburu iblis dengan pernapasan binatang buas itu pun berlari mendekati mereka disusul sosok laki-laki yang mereka kenal.

"Zenko, Inosuke!" Gerutu Zenko sembari menghalau tangan kasar yang hendak mengacak helai kuning panjangnya yang sedikit basah. Kanao menatap lelaki di sebelah Inosuke dengan rona tipis di wajahnya. Dalam hati, Zenko pun menghela napas pasrah dan mengabaikan sosok itu dan memilih meladeni segala bentuk keisengan Inosuke yang sepertinya sengaja.

"Zenko-san! Kanao-san!" Sapa sosok itu. Zenko pun mengangguk menjawab sapaan itu dan kembali fokus dengan cerita Inosuke tentang sepasang kakek-nenek yang merawatnya ketika ia terjatuh ke sungai saat misi kemarin. Sementara Kanao menjawab sapaan itu sedikit kaku,"T-tanjirou-kun, selamat malam."

"Selamat malam. Kalian juga baru selesai berendam?" Tanya Tanjirou.

Kanao pun mengangguk.

Tanjirou yang ingin sekali masuk kedalam percakapan kedua sahabatnya itu pun tiba-tiba saja didorong oleh Inosuke dan hampir saja menabrak Kanao kalau ia tidak buru-buru memegang pundak perempuan tersebut sembari menguatkan pijakan kakinya.

"Woah! Inosuke!"

"Aku dan Maniko ada urusan sebentar." Inosuke segera menarik lengan perempuan berambut kuning itu menjauh dari pemandian air panas. Meninggalkan Kanao yang seolah diberi kesempatan berduaan dengan cinta pertamanya, dan Tanjirou menatap tidak suka kedua sahabatnya yang tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Ketika mereka sudah menjauhi tempat itu, Inosuke pun tanpa ampun mengusak rambut yang setengah kering itu dengan gemas.

"Kau tidak mau memperjuangkannya, Zen?"

Zenko pun berkedip beberapa kali dan menggelengkan kepala, "tidak lagi. Aku berhenti."

Kening Inosuke berkerut, "kenapa tidak? Bukankah setahun lebih yang lalu kau sangat mengejarnya?"

"Lihat? Kau saja yang berisik dan tidak bisa diam pun tahu perasaanku pada Tanjirou. Tapi Tanjirou seolah mengabaikan perasaanku yang selama ini tidak pernah kututupi. Bukankah itu terlihat menyedihkan?" Racau Zenko sedikit terisak.

Inosuke pun menghela napas gusar dan menepuk-nepuk puncak kepala Zenko, "ya sudah kalau begitu. Aku lapar. Ayo makan."

Zenko yang hampir menangis pun tertawa.

"Inosuke dan perut karetnya."

Keduanya pun memasuki kedai terdekat dan mulai mencari tempat duduk. Tidak menyadari bahwa interaksi keduanya dilihat dua pasang mata dengan emosi yang berbeda.

"Tanjirou-kun? Ayo kita susul mereka. "

"A-a... Iya! Aku juga lapar."

.

.

.

Kejadian itu bermula setahun lebih yang lalu. Kala itu Tanjirou baru saja selesai menjalankan misi dan hendak beristirahat sejenak di kediaman kupu-kupu. Namun di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Zenko dan Chuntaro yang tengah berdebat.

"Chuntaro...aku tidak ingin pergi!"

"Chu! Chu! Chu!"

"Huh? Apa maksudnya?"

"Chu~"

"Hah, aku tidak mengerti- hai Tanjirou, aku pergi dulu." Zenko menghentikan langkah sejenak dan menyelipkan beberapa tangkai bunga mawar light pink dengan rona di wajahnya kemudian bergegas pergi dengan Chuntaro yang terbang menyusulnya. Meninggalkan Tanjirou yang kebingungan dengan bunga di tangannya.

Tanjirou yang baru datang pun segera disambut Naho, Sumi dan Kiyo. Ketiganya pun kemudian bersorak senang begitu melihat bunga mawar tersebut.

"TANJIROU-SAN! KAU HENDAK MENYATAKAN CINTA PADA SIAPA?" Pekik ketiganya dengan semangat. Tanjirou yang pada dasarnya tidak bisa berbohong pun memilih tidak menjawab dan menatap lamat-lamat bunga di tangannya.

'Jadi artinya cinta?'

Beberapa waktu kemudian, dengan bunga yang berbeda, sang sahabat perempuannya itu kembali memberikannya setangkai bunga mawar berwarna peach. Namun lagi-lagi Tanjirou tak bisa memberikan reaksi apapun meski Zenko tak pergi kabur. Menghela napas pasrah akan keterdiaman Tanjirou, ia pun memilih pergi dan menemui Nezuko.

Bulan demi bulan dilalui Tanjirou dengan bunga yang berbeda dari orang yang sama. Dan arti bunga yang tak jauh berbeda. Cinta, kasih sayang, kemurnian sebuah rasa dan sebagainya. Namun entah kenapa Tanjirou tak membalas gestur manis tersebut. Atau sebenarnya Tanjirou tak berani dan tak pernah berpikir bahwa akan ada kisah cinta selama ia belum menyembuhkan Nezuko. Tanjirou menyadari betapa dari hari kehari, bulan ke bulan selanjutnya, hingga setahun lebih berlalu pun aroma kecewa menguar semakin kuat dari sosok perempuan itu. Tapi Tanjirou tak tahu harus bersikap bagaimana. Tak tahu harus melakukan apa dan tak tahu hatinya harus berdetak seperti apa.

Ia tahu, sesekali jantungnya akan melambung keangkasa ketika setangkai bunga diberikan padanya. Pun ia akan merasa perutnya dipenuhi kupu-kupu, menanti bunga apa yang akan diberikan keesokan harinya. Namun ia tak bisa membalas. Tak bisa melakukan apapun seolah mulut, kaki dan tangannya dikunci. Tanjirou menyadari, Zenko sudah lelah. Zenko sudah dalam titik pemberhentiannya dan tak lagi bisa mengikuti langkah Tanjirou yang masih berambisi menuju rute berikutnya. Tanjirou pun tak bisa memaksanya. Tapi melihat Zenko benar-benar diam di titik terakhir dan melambaikan tangan pada Tanjirou sebelum membalikkan badan dan pergi meninggalkannya, ada rasa sakit, kecewa dan tidak sanggup melangkah.

Dan rasa kecewa itu membuncah dan berganti rasa amarah ketika tangan yang selalu terulur dengan setangkai bunga kearahnya digenggam sosok yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, Inosuke. Inosuke pun menuntun Zenko menjauh, menariknya menuju dunia mereka yang tidak ada Tanjirou di dalamnya.

Sakit hati? Tentu.

Kecewa? Sangat.

Tapi Tanjirou sakit hati pada dirinya sendiri, kecewa pada sikapnya yang seperti pecundang. Dengan alasan fokus menyembuhkan sang adik, Tanjirou lupa dia harus menyelaraskan kehidupan sehari-harinya. Termasuk jatuh cinta dan memiliki pasangan. Dan kini tak ada lagi tangan yang mengajaknya berjalan beriringan dengan senyum merekah dan aroma bunga serta buah persik yang melingkupi mereka. Hanya ada dirinya, dan Nezuko dalam kotak yang lebih banyak tertidur demi mengisi tenaga.

Dan begitu Zenko pergi, ia seolah memberi sebuah jalan alternatif lain untuk Tanjirou pilih. Tentunya, jalan itu bukan lagi terdapat sosok berhelai kuning melainkan rambut hitam dengan mata indah berwarna merah muda yang sedikit mirip dengan adiknya. Zenko tidak pernah berbuat jahat padanya. Zenko tidak meninggalkannya sendirian bahkan ia mengganti sosoknya yang tak lagi mampu menghadapi Tanjirou dengan sosok yang akan selalu memujanya meskipun harus menunggu ribuan purnama sekalipun.

Tanjirou harus berbuat apa?

.

.

.

Kanao merasakan getaran itu kali pertama ketika tangan kasar yang syarat akan kekuatan dan keteguhan menyentuh tangannya hanya karena sebuah koin. Bukan koin biasa. Koin itu yang menentukan arah langkah serta sikap apa yang harus Kanao perbuat ketika Kanao kebingungan. Koin yang bertahun-tahun lalu diberikan sang penolongnya yang sudah pergi lebih dulu ketika misinya sudah selesai di dunia.

Kanao bersedih kembali, Kanao berduka. Namun ketika sosok secerah mentari itu datang, Kanao seolah dihinggapi ribuan kupu-kupu yang bernyanyi bersama alam.

'Jadi ini yang namanya jatuh cinta?'

Kanao tak pernah menyangka ia bisa berubah. Dan perubahan itu muncul karena rasa cinta yang merekah di hatinya yang pernah tandus lagi gersang akan kasih dan sayang. Maka dari itu Kanao bingung harus bersikap. Haruskah ia mendekati sang pemberi kehangatan? Atau merasa puas hanya berada di dekatnya?

Nyatanya Kanao tak pernah menentukan, kedua orang itulah yang membukakan gerbang menuju sang pemberi kehangatan. Zenko dan Inosuke. Seolah keduanya tahu Kanao haus akan kehangatan, haus akan sosok yang berteman dengan semuanya.

Kanao yang semakin dekat, justru semakin kehausan dan tak bisa menahan hasrat untuk menggenggam mentari. Keegoisan timbul namun siapa yang hendak melarangnya? Kanao adalah sosok yang independen. Yang bergerak sesuai hati menuruti perkataan mentarinya itu. Tapi semakin mendekat, mentarinya meredup seolah bulan menutupi sinar hangatnya.

Apa cara Kanao salah? Apa Kanao tidak boleh menggenggamnya? Kanao tak tahu. Tapi Kanao bingung harus bertanya pada siapa.

"Kanao-chan...cinta itu banyak jalannya layaknya kembang setaman. Banyak bunga dan tak jauh pula dari duri pada beberapa bunga. Maka dari itu, bijaklah memilih bunga."

Kalimat lembut dan syarat pengertian itu mengalun layaknya bel pemberitahuan jikalau pagi tak selamanya mentari dan bulan hanya menutupi sosok pemberi hangat tersebut sementara. Kanao pun bimbang. Langkah apa yang harus ia tempuh?

.

.

.

Inosuke bukan seorang pembaca pikiran. Ia pun muak harus bermain kata dan bersilat lidah ketika hatimu berteriak sebaliknya. Namun panggung drama ini menyesakkan hatinya sehingga ia memilih bergerak sesuai instingnya. Menyelamatkan sosok yang seharusnya diselamatkan.

Zenko merupakan wanita terberisik di hidupnya. Bukan berarti hidup Inosuke diisi ribuan wanita. Tidak. Karena jarangnya wanita yang berada di sekitarnya itulah ia bisa mengkategorikan hal tersebut pada sosok Zenko Agatsuma. Wanita itu berisik, cerewet, cengeng dan penakut. Tapi sosok itulah yang paling kuat lagi tegar yang Inosuke kenal. Dan Inosuke akui, ia sepertinya terjatuh kedalam jurang penuh keindahan dinamakan cinta setiap ia mengabadikan momen di mana bahu itu kokoh menahan getaran tangis dan tangan itu bergerak tanpa celah tiap bertarung baik dalam urusan hati maupun urusan membasmi iblis.

Maka dari itu ketika Maniko memintanya meminjamkan bahu, Inosuke mana mungkin menolak. Dan ketika itulah ia menyadari, air yang turun tak mungkin bisa menghapus rasa sedih sosok yang dicintainya secara diam-diam itu. Inosuke bahkan heran mengapa Zenko yang diberkahi pendengaran yang tajam tak mendengar jantungnya yang bertalu-talu maupun perasaan resah Tanjirou ketika Inosuke merebut Juniko tepat di depan mata. Apa mungkin kesedihan bisa menumpulkan indera seseorang?

Tanjirou berusaha mendekati mereka yang baru selesai memesan makanan. Tiada percakapan berarti yang dilempar demi mengusir keheningan. Hanya jari jemari yang bermain tak tentu arah demi mengusir rasa bosan menunggu pesanan datang.

"Kalian pesan apa?" Tanya Tanjirou ramah seperti biasanya.

"Semuanya!" Ujar Inosuke bersemangat. Ia tak mungkin tak mencicipi setiap makanan yang ada ketika mereka sesantai itu. Di hadapan Inosuke, Zenko tertawa pelan.

"Kau itu memang pantas memakai topeng babi."

"Haaa? Kau memuji? Terima kasih!"

Zenko pun menepuk kening dengan wajah pasrah. Kanao tersenyum tipis melihat interaksi mereka. Tak diragukan mereka merupakan angkatan paling anti mainstream dari yang lainnya. Tanjirou tiba-tiba hendak mengarahkan diri di sebelah Zenko. Namun sebelum semua itu berhasil dilakukan, Inosuke menarik lengannya dan mendudukkannya tepat di sebelah Inosuke. Kanao menatap heran interaksi itu, namun sedikit mengabaikannya dan mengambil tempat duduk di sebelah Zenko. Zenko sendiri menatap heran kedua sahabatnya dan menatap Inosuke dengan pandangan penuh tanya.

'Apa itu tadi?'

'Abaikan saja. Toh tidak penting.'

Alis anehnya berkerut menandakan ia tidak suka ditinggalkan pada sebuah informasi dari kedua lelaki di hadapannya. Namun ia hanya bisa pasrah dan tak membahasnya lebih lanjut.

Makan malam pun selesai dengan kecanggungan yang tak berdasar. Zenko dan Kanao pun pamit undur diri menuju hotel tempat keduanya menginap. Meninggalkan Tanjirou dan Inosuke yang hampir melambungkan sebuah tinju di wajah satu sama lain.

"Apa maksudnya ini, Gonpachiro?"

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Inosuke."

Kerah yukata Tanjirou diremat kuat-kuat oleh Inosuke sebelum akhirnya dilepaskan secara kasar. Inosuke pun menyuruh Tanjirou untuk pergi menuju hotel tempat mereka menginap yang jaraknya cukup jauh dari hotel yang ditempati Kanao dan Zenko.

"Aku tidak tahu kau bisa sejahat itu, Kamaboko." Kalimat itu menjadi permulaan perdebatan mereka di ruang kamar.

"Aku? Jahat bagaimana?"

Wajah rupawan itu berani menampilkan ekspresi tidak mengerti? Inosuke pun meninju lantai kayu dengan amarah yang memuncak.

"Dengar ini, Kamado Tanjirou. Jauhi Zenko, Agatsuma." Di kala serius, Inosuke benar-benar bisa menyebut nama seseorang dengan tepat.

Manik merah anggur itu memincing tak suka, "sebentar, Inosuke. Sejak kapan kau berhak menentukan langkahku?"

Inosuke membusungkan dada penuh kesombongan, "Maniko bilang ia sudah berhenti mengejarmu."

Tanjirou tersenyum kecut, "aku tahu. Tapi apa ada peraturan aku tidak boleh mengejarnya dengan pernyataan itu?"

Kerah yukata yang berantakan itu kembali diremas, dengan mata menyalang marah Inosuke pun menghunuskan pandangannya pada mata merah anggur yang seolah menemukan keteguhannya di akhir.

"Kau egois. Setahun lebih yang lalu kau di mana? Hatimu kemana? Kenapa kau baru menawarkannya ketika aku hendak meraihnya?"

Kalau Tanjirou tak diajarkan akan kasih sayang sejak dalam kandungan, mungkin wajah cantik nan rupawan milik Inosuke sudah babak belur oleh tangannya. Dengan tenaga sekuat mungkin, Tanjirou meremas tangan yang menarik kerahnya dan memaksa tangan itu lepas dari sana.

"Aku tahu aku salah. Aku hanya...belum siap."

"Belum siap atau kau haus perhatian sehingga ketika perhatian itu berhenti mengarah padamu, kau menjadi rakus?" Maki Inosuke.

"Aku belum siap! Aku memikirkan Nezuko, aku terlalu fokus menyelesaikan satu misi pentingku!" Balas Tanjirou lantang.

"Kalau begitu kenapa baru sekarang? Kenapa ketika aku hendak menangkapnya yang terjatuh, kau berusaha meraihnya dari atas?"

"AKU TIDAK TAHU JIKALAU AKU MENYUKAINYA JUGA! AKU TIDAK BISA MENJANJIKAN KEBAHAGIAAN KETIKA AKU MASIH MEMIKIRKAN NEZUKO!" Lolong Tanjirou setengah frustasi.

"Kalau begitu apa sekarang kau bisa menjanjikan hal itu padanya?" Tanya Inosuke setengah meremehkan.

Tanjirou terpaku di tempat.

"Kau punya seseorang yang bahkan rela menunggumu menyelesaikan misimu itu, Gonpachiro. Kenapa tidak menyambutnya saja?"

"A-aku menyukai Zenko! Bagaimana bisa aku menyambut perasaan seseorang yang bahkan tidak ada namanya di hatiku?!"

Inosuke kemudian tertawa, tawa yang teramat puas seolah ia tahu siapa yang akan jadi pemenangnya.

"Mari bertaruh siapa yang bisa memilikinya."

.

.

.

Kecanggungan terasa memekat di udara meski Zenko bukan pemilik indera penciuman yang tajam sekalipun. Di sebelahnya, Kanao yang biasa tenang dan tanpa ekspresi pun bahkan sedikit mengerutkan dahi ketika api permusuhan seolah berkobar di hadapan mereka. Menyikut pelan lengan Kanao, Zenko pun menyuruh wanita itu pergi menemani Tanjirou sementara Zenko mengurus pria emosional alias Inosuke Hashibira.

"Pssst! Inosuke, apa yang terjadi di antara kalian semalam? Mengapa aku seperti mendengar tabuh peperangan dari kalian berdua?" Bisik Zenko sembari menarik Inosuke menjauh. Ia mungkin tidak melihat ekspresi kedua pria itu. Namun terdengar sekali alunan semangat dan rasa kecewa dari Inosuke dan Tanjirou.

"Kau tidak perlu memusingkannya. Ini urusan laki-laki." Ujar Inosuke sembari memainkan helai rambut kuning yang hari ini diikat tinggi di belakang kepala.

Mata emas itu berkedip, berkedip, dan hampir memekik kalau saja Inosuke yang sudah hapal gerakan tubuh Zenko saat merespon sebuah keintiman dari orang lain pun meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

"Kau tidak pernah melarangku jatuh cinta, bukan?"

Otak Zenko memanas. Wajahnya tak kalah panas bak kepiting rebus. Bahkan mulutnya sampai membisu. Hanya gerakan absurd seolah gagu yang membuat Inosuke tertawa akan respon lucu tersebut.

Sementara itu Kanao mencoba menenangkan Tanjirou yang memerah, murka, melawan dirinya untuk meledak saat itu juga. Jemari kasar nan besar itu meremat tali tas kayu yang dibawanya kuat-kuat.

"Tanjirou-kun?"

"Maaf, Kanao."

Sebuah kata yang sederhana itu mampu memecahkan hati Kanao. Membuat tabung kaca itu pecah dan pasirnya berterbangan ditiup angin panas nan gersang. Kanao tak tahu ia memasang ekspresi apa saat itu. Tapi saat Tanjirou menatapnya dengan wajah meringis, Kanao tahu senyumnya pun menggambarkan retaknya hati.

"Aku pergi."

Tepukan di pundak kecilnya seolah mengiringi salam perpisahan, seolah menunjukkan gerbang penerimaan itu takkan terbuka untuknya meski Kanao menunggu di depannya untuk waktu yang lama. Dan tak terasa, air mata pun turun dengan deras.

"Kanao-chan?!" Pekik Zenko yang secara cepat menangkapnya yang tak sadar hampir jatuh ketanah. Kedua tangannya refleks menutupi telinga Kanao dan Kanao rasa, ia amat sangat berterima kasih karenanya ia tak perlu kembali hancur berantakan mendengar ucapan Tanjirou bahkan potongan kalimatnya sekalipun.

"Zenko Agatsuma. Tunggu aku memenangkan semua ini."

.

.

.

Dunianya seolah berputar, terlebih hatinya yang secara brutal tak mau berhenti berdetak canggung kala dua pasang netra, merah anggur dan hijau cerah, memakunya di tanah dengan afeksi dan determinasi yang besar. Zenko tak perlu bertanya apa yang terjadi. Karena melihat sosok Kanao yang hancur pun ia sadari Kanao tak bisa merebut hati Tanjirou sekalipun. Tapi kenapa Tanjirou malah menawarkannya pada Zenko?! Dan Inosuke juga?!

"Mmm, kita bahas ini setelah membawa Kanao-chan pulang."

Setelah mengatakan hal itu, tatapan penuh semangat terpancar dari dua pasang mata itu. Namun...kenapa mereka tidak berniat membantunya menggendong Kanao?!

Tanjirou sedikit meringis dan Inosuke membuang muka. Tahu betul perasaan kesal memenuhinya. Namun sebelum Zenko sempat mengamuk, seorang Kakushi datang dan membantunya membawa Kanao ke kediaman kupu-kupu.

"Terima kasih, Gotou-san."

"Tidak masalah, Zenitsu-sama."

Setelah beberapa jam perjalanan, mereka pun sampai di kediaman kupu-kupu.

"Apa yang terjadi?" Tanya Aoi yang kemudian menyuruh Gotou untuk membawa Kanao ke kamarnya.

"Maafkan kami, Aoi-chan." Zenko membungkukkan badan dengan wajah penuh penyesalan. Tanjirou yang berada di sebelah kirinya pun berbuat demikian. Namun Inosuke tetap pada gesturnya, yakni hanya membuang muka.

Aoi menghela napas pasrah dan menyuruh ketiganya untuk berbicara di ruang kerja yang Shinobu pakai selama ini.

"Jadi, ini akhirnya huh?" Tanya Aoi.

Zenko memilih diam. Tahu betul pertanyaan itu ditujukan pada Tanjirou.

"Maafkan aku, Aoi!" Hanya ucapan maaf yang diberikan Tanjirou. Aoi pun berdecak kesal dan menggebrak meja. Membuat ketiganya terlonjak kaget.

"Selama ini Shinobu-san selalu memberitahukan Kanao akan resikonya. Tapi tiap orang pasti butuh waktu untuk reda dari yang namanya patah hati." Mendengar nama Shinobu membuat mereka semua menunduk menahan kesedihan.

"Aku tidak akan banyak bertanya. Kalianlah yang harus menyelesaikan permasalahan ini."

Ketiganya mengangguk mantap dan keluar dari ruangan tersebut. Namun Aoi menahan tangan Zenko sebentar, "jangan dipaksakan jika masih bimbang. Aku tahu kau pasti sama bingungnya ketika perjuanganmu terbayar bahkan setelah kau berhenti memperjuangkannya."

Zenko tertawa miris, "entahlah Aoi-chan. Harusnya aku menjatuhkan diri lagi? Pada siapa?"

Aoi hanya menepuk bahunya dan mendorongnya keluar ruangan.

"Semangat!"

Dan di sinilah mereka bertiga. Duduk canggung di balkon kediaman kupu-kupu. Sesekali Tanjirou melirik kearah Zenko sementara Inosuke yang tak ambil pusing dengan suasana tersebut memilih memakan mochi dengan khidmat.

"Zen...maaf baru sekarang."

Bagus, Tanjirou! Sungguh kalimat pembuka yang menambah kecanggungan berkali lipat!

"Harusnya sejak awal kau tolak, bukan?" Tanya Zenko lirih.

"Aku tidak bisa menolak." Jawab Tanjirou malu.

"Tapi kau tidak bisa menerima. Lalu kenapa baru sekarang kau memberikan hatimu itu padaku?"

Tanjirou meringis.

"Itu karena dia tidak menyangka aku akan jatuh cinta padamu juga." Sahut Inosuke yang sudah memakan semua mochi yang disiapkan Sumi untuk mereka bertiga. Zenko sudah tak bisa mengomelinya karena lelah.

"A-aku tidak-"

"Akui saja, Mojiro. Kau merasa Zenuko akan selalu mengejarmu sehingga kau tak pernah berpikir ia akan berhenti."

"Aku tidak menyuruhnya mengejarku."

"Tapi kau membuatnya menunggu kalimat penolakanmu."

Tanjirou benar-benar terpojok. Semua perkataan selalu dibalikkan dengan kalimat yang mengena oleh Inosuke. Tepat keulu hati. Zenko pun bahkan diam tak menyanggah ataupun mengiyakannya.

"Hah! Akhirnya kau mengakuinya kan, Manjuro!"

Tanjirou berdiri, hendak meninju wajah Inosuke yang sudah bersiap. Zenko pun hampir meloncat dari duduknya untuk melerai mereka berdua. Namun sebuah suara memekakkan telinga membuat mereka berhenti bergerak.

"Cau! Kamado Tanjirou! Inosuke Hashibira! Zenko Agatsuma! Kanao Tsuyuri! Kalian semua menghadap Oyakata-sama! Cau! Cau!"

"ARGH! APALAGI SEKARANG?!

.

.

.

Kanao mematung di depan pintu ketika dua orang yang sama-sama menjadi pilar bersamanya itu saling membalas pukulan dengan tinjuan maupun tendangan yang tidak main-main tenaganya. Dengan air mata membasahi pipi, kedua pria yang merupakan pilar matahari dan pilar binatang buas itu saling memaki lewat bahasa tubuh. Namun Kanao tahu, keduanya meraung, menenggelamkan diri dalam kesedihan dengan cara yang demikian.

Kanao pun tak jauh sedihnya dengan mereka. Seseorang yang merupakan teman perjalanan semasa hidupnya itu harus terlelap dalam mimpi tak berujung setelah melawan iblis tingkat atas yang merupakan kakak seperguruannya sendiri. Kanao tak bisa membayangkan perasaan Zenko yang harus membunuh kakak seperguruannya itu dan harus kehilangan sosok gurunya yang melakukan seppuku akibat ulah Kaigaku di saat yang bersamaan harus menanggung beban sebagai seorang pilar guntur. Dan kini seolah penderitaannya belum berakhir, Zenko mengalami tidur yang entah berapa lama.

Tanjirou meraung, Inosuke meliar. Dan Kanao hanya bisa menunggu putri tidur terbangun demi mewaraskan dua pangeran gunung itu.