"Maaf," mulai Harry, "kukira aku salah dengar. Bisa kau ulangi lagi?"

"Kau sudah mati, Harry," ulang Lupin dengan sabar.

Kepala Harry pening. Ternyata bukan hanya Black yang gila, Lupin juga.

"Pikir, Harry, pikir," dorong Lupin. "Apa yang terjadi padamu sebelum kau bangun di sini? Apa yang kau ingat?"

Tiba-tiba, begitu saja, Harry ingat segalanya. Memori-memori memasuki kepalanya dengan cepat bagai kilat. Ia ingat rasa hangat yang menerpa tubuhnya ketika sebuah ban truk menindihnya di atas aspal. Ia ingat ketika sebuah rasa sakit yang dahsyat menyerang tanpa belas kasih. Ia ingat terbangun di padang lili dan bertemu seseorang yang bukan Tony Stark. Ia ingat jatuh saat sebuah lubang muncul di bawahnya dan menyeretnya ke inti bumi.

"Oh, God," gumam Harry.

Harry meremas rambut hitamnya dengan frustasi. Dia benar-benar sudah mati, dan sialnya, dia mati perjaka. Dia bahkan belum pernah merasakan tubuh seorang wanita. Hubungannya dan Cho pun hanya sejauh berciuman dan tidak lebih, semua karena orangtua Cho yang masih menanamkan nilai-nilai ketimuran dalam hidup anaknya. Wow, Harry baru sadar bahwa dirinya sangat menyedihkan. Umurnya sudah 39 tahun namun berpacaran saja baru satu kali.

"Harry?"

Panggilan dari Black membangunkan Harry dari lamunannya.

"Apa," Harry menelan ludah, "apa ini semacam neraka atau-"

"Tidak," Lupin tersenyum, "Kau memang sudah mati, namun kau juga sudah hidup lagi."

Melihat ekspresi bingung Harry, Black menghela napas, "Dengar, Nak, mungkin kau harus mengambil bukumu itu. Bawa ke sini, kau akan mengerti."

Haus akan jawaban, Harry tak membuang waktu dan segera kembali ke lantai atas. Diambilnya buku tebal yang ia taruh di kasur itu. Hm ... Buku itu lebih ringan dari yang Harry kira.

"Ini," gerutunya ketika ia kembali menemui Black dan Lupin di lantai bawah. "Lalu apa?"

"Baca," perintah Black dan Harry membuka pun halaman pertama buku besar itu untuk membacanya.

Mr. Harry Potter,

Recently Deceased,

4 Privet Drive, Little Whinging

Surrey

Dengan surat ini, aku, Lady Death, memberikan penawaran kepadamu untuk bekerja di bawahku hingga waktu yang belum diketahui. Sebagai ganti, kau akan mendapatkan keabadian untuk memudahkanmu menjalankan tugas hingga waktumu melayaniku habis.

Lady Death

Harry menaikkan alis matanya. Orang macam apa yang menjuluki dirinya sendiri Lady Death? Gila.

Ia membuka halaman berikutnya.

Dengan menandatangani surat ini, aku, Harry James Potter, waktu kematian: 30 Juni 2019 pukul 3:17, bersedia melayani Lady Death hingga waktu yang belum diketahui. Sebagai ganti, Lady Death akan memberikan keabadian kecuali aku mati dalam tugas hingga kontrakku habis.

Di sana, di bawah, terdapat tanda tangannya dan entah kenapa Harry merasa ingin mengutuk si Bukan-Tony-Stark karena jelas, semua ini salah orang itu.

Harry melemparkan buku itu ke meja sebelum menggebraknya.

"Ini gila!" semburnya, dan Lupin dan Black tersentak, kaget akan akan ledakan amarahnya gang tiba-tiba. Well, sebenarnya bukan tiba-tiba juga, karena sepanjang hari ini ia merasa ingin menonjok sesuatu—atau seseorang.

"Ini gila," ucapnya lirih ketika dia kembali mengingat rasa sakit yang ia rasakan waktu itu. Kata gila terasa terlalu banyak diucapkannya hari ini hingga kata itu seakan kehilangan makna di pikiran Harry. "Ini gila."

Lupin beranjak dari kursinya dan mendekati Harry yang tak menghiraukannya. Ia memegang pundak Harry dan memanggil namanya dengan pelan.

"Harry ... "

Harry mendongak. Air mata mulai membendung di sudut matanya.

"Kalau aku mati, lalu," ia berkata dengan susah payah, "lalu, aku ini apa? Hantu? Roh? Apa?"

Black menghela napas, sebuah gestur simpel yang membuatnya terlihat 20 tahun lebih tua. Menatap sepasang bola mata bagai merkuri itu, Harry dapat merasakan kehangatan terpancar dari mereka. Ia merasa aman.

Aneh, pikir Harry. Bagaimana bisa sesuatu yang hangat dan menenangkan datang dari orang seperti Black? Bagaimana bisa perasaan nyaman ini datang dari seorang berandal kejam yang sudah pernah mengambil nyawa orang lain?

"Kau menandatangani kontrak itu. Kau ... kau sekarang adalah seorang pelayan Lady Death. Seorang bawahannya," jelas Black. Ia berhenti, bimbang. Saat ia membuka mulut, suaranya sedikit bergetar, seakan ia sendiri tak yakin dengan apa yang akan diucapkannya. "Kau adalah seorang Reaper."

separatelineseparatelineseparateline

"Reaper?" celetuk Harry. "Seperti, The Grim Reaper?"

Black mengangguk. "Ya, begitulah. Kau tahu, orang-orang yang ditugaskan Lady Death untuk mengambil nyawa?"

Holy effing cow, Harry sekarang adalah—bisa dibilang—malaikat pencabut nyawa yang bukan malaikat. Atau mungkin dia sebenarnya adalah seorang malaikat pencabut nyawa yang bukan sepenuhnya malaikat untuk bisa disebut malaikat oleh beberapa malaikat tertentu namun cukup malaikat untuk dianggap sebagai malaikat oleh malaikat-malaikat lainnya?

"Harry?" suara Lupin yang datang dari sampingnya membuat Harry terperanjat. Ia sudah lupa kalau Lupin ada di situ. "Kau tak apa?"

Harry mengabaikannya, "Tunggu, jadi Lady Death yang ada di buku tadi itu benar-benar The Lady Death yang itu dan bukannya semacam orang gila skizofrenia yang memanggil dirinya sendiri Lady Death?"

Black memberinya pandangan horor, "Wow, Harry, kurasa kau harus menghilangkan anggapan bahwa semua orang itu gila. Apalagi pada bosmu sendiri, kau bisa dipecat."

Bukannya mereka memang gila?

"Justru bagus! Aku memang mau dipecat!"

Harry melirik Lupin. Tatapannya jatuh pada buku yang tadi ia gebrak di meja. Dengan kalap ia mengambil buku itu, dan membukanya. Ia membuka sebuah halaman dan menunjukkannya pada Black dan Lupin.

"Ini yang mengikatku, 'kan? Kalau begitu sampai jumpa, buku sialan! Akan kusobek dan kubakar buku sialan ini dan dengan begitu aku bisa melanjutkan perjalananku ke akhirat, mungkin—"

"Neraka," potong Lupin. Pria—yang Harry curigai bukan manusia, karena ayolah, mana mungkin ada manusia biasa yang berada di tempat (limbo? persimpangan? akhirat? apa?) ini dan berdiskusi tentang sebuah entitas perwujudan konsep kematian dengan santai layaknya berbicara tentang sebuah perampokan insignifikan yang mereka lihat di televisi—kurus itu menaikkan ujung mulutnya untuk tersenyum pahit.

"Kalau kau tak mau memenuhi apa yang ada di kontrakmu, Death akan mengirim beberapa Hellhound dan menyeretmu ke neraka. Neraka yang, kau tahu, panas, gelap, merah, dan menakutkan seperti di berbagai literatur. Hanya saja lebih, lebih ... Bisa dibilang lebih intens."

"Oh ya? Bagaimana kau tahu?"

"Aku tahu saja."

Harry mengerutkan dahinya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Lupin.

"Kenapa aku?"

Black berdehem. "Mungkin kau spesial, mungkin tidak. Mungkin kau dipilih secara acak, atau mungkin Lady Death menyukaimu. Tidak ada yang pasti, tapi ... "

"Tapi ... ?" beo Harry.

"Tapi, yang pasti, adalah fakta Lady Death sedang kewalahan. Dia sedang gencar merekrut banyak orang. Mungkin beberapa hari ke depan, kita akan kedatangan tamu baru."

Kita? Apa Black baru saja mengimplikasi bahwa Harry akan tinggal di sini?

Seakan bisa membaca pikiran Harry, Black meringis kecut.

"Kau tak punya tempat lain untuk tinggal, Harry. Kau akan tetap di sini."

Harry menahan amarahnya yang meluap. Memangnya dia pikir siapa dia? Bisa-bisanya dia memberi perintah pada Harry. Black bukanlah siapa-siapa, hanya seorang pembunuh yang kini tengah di cari-cari polisi—se-Surrey? Se-Berkshire Se-London? Well, di manapun ini.

"Tidak!" eyel Harry sambil berdiri.

"Aku mau pergi. Aku mau pulang. Ayah dan Ibuku pasti senang melihatku kembali."

Black ikut berdiri. Wajahnya memerah, dan Harry yakin hal itu bukan karena ia sedang malu. "Harry!" bentaknya, namun Lupin menggeleng.

"Padfoot, biarkan dia!"

"Tapi—"

"Biarkan dia, Sirius!"

Black dan Lupin menatap satu sama lain. Mereka kelihatannya sedang berargumen. Tentang apa, Harry tak tahu pasti, namun Harry berani bertaruh bahwa mereka pasti sedang berbicara—berpikir? Bertelepati?—tentang Harry. Setelah apa yang terasa seperti eterniti, akhirnya Black mengalah. Ia mengeluarkan dompetnya, mengambil uang sebanyak £500, dan memberikannya pada Harry.

Harry menaikkan alis, namun tetap menerima uang yang terbilang cukup banyak itu. Hei, uang adalah uang!

"Hati-hati, Harry," ucap Lupin dan Harry hanya mengangguk kecil.

"Kau juga."

Harry melangkah keluar dari 12 Grimmauld Place dan ia pun disapa oleh pemandangan jalanan Borough of Islington.

Oh, simpulnya dalam hati. Jadi, selama ini aku ada di London.

Ia merogoh sakunya, berharap ponselnya—yang kelihatannya sudah remuk ketika ia tertabrak—secara ajaib muncul di sana. Sayang, harapannya tak terkabul dan kini ia pun harus meminta tolong orang lain memesankan Uber untuk mengantarnya ke Godric's Hollow.

Setelah menunggu sekitar lima menit dan berterima kasih pada seorang wanita yang membantunya memesan UberX, Harry menaikki sebuah Fort Mondeo biru yang berhenti tepat di depannya. Selama perjalanan, Harry terus saja memandang ke luar jendela. Ia ingin mengalihkan perhatian pikirannya dari Black dan Lupin, dari kontraknya, dan dari fakta bahwa—katanya—dia sekarang bukan manusia. Oke, dia mati dan dia hidup lagi, dia tahu itu. Hal itu mungkin tak terlalu slit untuk dicerma dibandingkan dengan teori bahwa dia sekarang adalah seorang—Harry mendengus—"Reaper".

London terlihat ramai, gumam Harry dalam hati ketika melewati daerah Diagon Alley. Jalanan yang dipenuhi berbagai macam toko itu dipenuhi pejalan kaki. Harry mengedarkan pandang, dan sebuah kepala pirang menarik atensinya. Bagai dapat merasakan tatapan Harry, si Pirang melirik ke arahnya, dan Harry pun mengeluarkan suara yang mengekspresikan ketakjubannya.

Perak, pikirnya. Bahkan dari jauh, Harry bisa melihat betapa cemerlangnya warna perak yang terpancar dari iris si Pirang. Warna yang, entah mengapa, mengingatkannya pada Sirius Black.

Kekaguman Harry terhenti ketika si Pirang berbelok dan memasuki sebuah gang sepi, menghilang dari penglihatan.

Sayang sekali.

separatelineseparatelineseparateline

Perjalanan dari London ke Godric's Hollow memakan waktu dua setengah jam. Harry tiba di depan rumah Keluarga Potter setelah membayar Uber-nya yang menghabiskan £137. Waktu sudah hampir memasuki sore. Harry berjalan menuju pintu depan rumah yang sederhana itu dan mengetuknya dengan keras. Setelah tak henti mengetuk selama kurang lebih lima menit, seseorang membuka pintu. Di sana berdiri James dan Lily.

Harry tersenyum, kebahagiaan membanjirinya.

"Ayah, Ibu, aku pulang."

separatelineseparatelineseparateline

Author's Note:

1. Tadinya aku mau buat Harry naik kereta lewat Waterloo, tapi gak jadi karena sejujurnya aku gak pernah naik kereta (biasa aja gk pernah apalagi subway :'). Akhirnya aku buat dia pakai Uber aja :v

2. Godric's Hollow terletak di West Country, tapi gak tahu tepatnya di mana, jadi anggep aja dekat Wiltshire ya XD

3. Aku belum pernah (dan kayanya gak akan pernah) ke UK, jadi maaf kalau ada lokasi atau deskripsi yang tidak tepat. Feel free to correct me, I don't bite.

4. Kelihatannya apdetku bakal tidak jelas. Tapi aku usahakan paling lama seminggu sekali.

QoTD: siapa karakter yang paling kalian benci?

A: kalo aku sih jelas si umbitch