Kakinya melangkah menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Matanya menatap sekeliling mencari-cari. Di mana gadis itu? Perawat yang tidak sengaja ia temui bilang bahwa Sakura masih berada di rumah sakit. Tapi kenapa Sasuke tak bisa menemukannya?

Setelah Sakura pergi disusul dengan Gaara, seorang dokter datang ke kamar rawatnya. Dokter itu mengatakan jika ia ditugaskan Sakura untuk memeriksa keadaannya, Sasuke tak menolak dan menurut saja. Lalu Sasuke bertanya di mana Sakura, dan dokter menjawab tidak tahu.

Malam harinya, Sasuke keluar dari kamar rawatnya dan tidak sengaja bertemu dengan seorang perawat yang memberitahu jika Sakura masih berada di rumah sakit.

Sasuke tertunduk. Merasa bersalah pada Sakura karena sudah berkata tajam siang tadi. Apa Sakura sakit hati? Apa Sakura jadi membencinya? Kenapa saat pertemuan pertama mereka Sasuke malah berbicara seperti itu? Seharusnya ia berterima kasih, karena jika bukan Sakura yang menyelamatkannya, mungkin Sasuke sudah mati.

Langkah Sasuke terhenti tiba-tiba. Matanya mengerjap saat ia merasa tak salah lihat. Itu Sakura, sedang berada di taman rumah sakit dan sendirian. Masih dengan jas dokter yang melekat pada tubuhnya, gadis itu terlihat tengah melamun. Apa Sakura sedang melamunkannya?

Percaya diri sekali kau, Sasuke.

"Saku-" ucapannya terhenti selaras dengan kakinya yang hendak melangkah mendekati. Bagai ditusuk dengan ribuan pedang tak kasat mata, Sasuke merasa sakit pada hatinya.

Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, masih dengan menatap ke arah Sakura yang tengah tersenyum hangat pada Gaara yang baru saja datang. Dan tatapan Gaara yang sulit diartikan menatap Sakura.

Di matanya, Gaara dan Sakura terlihat serasi sekali. Seolah mereka memang memiliki sebuah hubungan khusus meskipun Sasuke sendiri tak yakin.

Apa ini karma untuknya karena sudah menyakiti perasaan Sakura berkali-kali? Seharusnya Sasuke sadar sejak dulu, jika Sakura memang tak pernah pantas untuknya.

Dengan perasaan campur aduk, Sasuke memutar tubuhnya kembali ke kamar rawatnya.

.

.

.

.

"Lebih baik?"

Sakura mengangguk semangat. "Ini enak sekali. Terakhir kali aku memakan ramen instan tiga minggu yang lalu. Aku jadi merindukan Naruto, padahal baru beberapa hari saja aku di sini," katanya senang.

Kembali ia memasukkan mie ke dalam mulutnya. Lalu meneguk kuahnya hingga tersisa setengah. Sakura menoleh. "Kenapa kau masih berada di rumah sakit? Ini sudah malam. Seharusnya kau pulang."

"Kau mengusirku?"

Ucapan Gaara membuat Sakura mengerutkan dahinya dalam. Ia salah bicara lagi, ya? "Tidak-tidak. Maksudku, kenapa kau tidak pulang dan beristirahat saja? Ini hampir tengah malam."

"Aku sudah terbiasa," ucap Gaara. "Kau sendiri kenapa tidak pulang? Aku yakin tukang air yang aku suruh ke apartemenmu sudah kembali pulang."

Sakura terperangah, kemudian matanya melebar. "Astaga! Aku lupa." Ia jadi tidak enak sekarang. Rasanya ia seperti merepotkan.

Gaara mendengus melihat ekspresi Sakura. "Besok akan aku suruh dia kembali ke apartemenmu."

"Aa, terima kasih." Sakura mengangguk. Saat ramennya sudah habis, kembali ia menoleh. "Apa kau sering bergadang?"

Gaara sedikit ragu untuk menjawab. "Ya. Memangnya kenapa?"

"Kau tahu, bergadang itu tidak baik untuk tubuhmu," kata Sakura lalu menaruh ramen instannya di bawah bangku. "Sini, taruh kepalamu di pahaku. Aku akan mengalirkan chakra pada kepalamu. Aku tidak sedang menggodamu, aku hanya ingin mengobatimu!"

Perintah Sakura penuh penekanan. Gaara menatap Sakura sejenak, kemudian menurut saja. Ditaruhnya kepalanya di atas paha Sakura.

Ketika tangan Sakura mulai mengeluarkan cahaya pendar hijau, sensasi dingin menjalari kepala Gaara. Seiring dengan debaran jantungnya yang menggila. Perasaan apa ini? Ia tidak terkena serangan jantung, 'kan?

"Kau tegang sekali, Kazekage-sama," ujar Sakura di tengah keheningan. "Lemaskan saja tubuhmu. Santai."

Gaara mengangguk dan terpejam. Teringat di pertemuan tadi pagi dengan para Daimyou yang sedikit bersitegang saat membahas pernikahan untuknya.

Jika Gaara tidak segera menikah, maka para tetua akan menjodohkannya dengan ninja medis manapun agar Suna tidak terus berada di bawah kekuasaan Konoha. Pun karena ninja medis merupakan aset berharga mengingat Suna kekurangan ahli tenaga medis.

Dan jika Gaara tidak memiliki keturunan, maka secara tidak langsung anak dari Temari yang akan menjadi Kazekage. Gaara tidak masalah jika anak dari Temari nanti menjadi Kazekage, tapi kenapa rasanya para tetua menolak? Dimana ia harus mencari seorang ninja medis yang mau menikah dengannya?

"Anda tertidur?"

Gaara tersentak dan membuka matanya cepat. Saat tidak ada cahaya pendar hijau lagi yang mengalir, pandangannya terarah pada wajah heran Sakura. Sejenak Gaara terpaku menatapnya. Lalu buru-buru iya tersadar dan kembali duduk.

"Tidak."

Sakura memiringkan kepalanya penuh tanya pada Gaara, tapi ia memilih tidak terlalu peduli. Sinar bulan purnama yang menyinari taman menarik perhatian. Ia menengadah ke langit dan tersenyum tipis.

"Bulan yang indah," gumam Sakura senang. Semilir angin menerbangkan rambutnya. "Ternyata Suna seindah ini. Banyak sekali bintang, juga bulan purnama itu. Kurasa aku akan betah di sini."

"Bagaimana kabar Konoha?" Gaara bertanya tanpa menoleh. Ikut menengadah.

"Konoha sangat damai sekarang. Kakashi-sensei memerintah dengan sangat baik."

Gaara mengangguk. "Kudengar kau juga membangun Klinik Kesehatan Mental Anak, ya?"

"Ya, aku membangunnya dua tahun yang lalu," ujar Sakura. "Klinik itu untuk membantu anak-anak sepeninggal perang, mereka akan mendapatkan pengobatan khusus psikosomatik. Seiring berjalannya waktu gangguan yang mereka alami akan memudar."

Gaara terkagum dengan penjelasan Sakura. Ia pikir, gadis ini cukup hebat. Tidak heran jika dia menjadi kebanggaan Nona Tsunade. "Bisa kau juga membantu mengobati anak-anak yang ada di sini? Masih ada anak-anak yang sedikit trauma setelah perang berakhir. Aku khawatir akan mengganggu masa depan mereka nanti."

"Tentu saja aku akan membantu. Itu sudah menjadi tugasku seorang dokter!" Sakura berseru semangat dan tersenyum lebar. Sekali lagi, Sakura membuatnya terpukau.

"Sakura?" Kepala gadis itu menoleh. Gaara balas menatapnya. "Bisa kau tidak memanggil dengan formal? Panggil saja aku Gaara."

Mata Sakura melebar. "Tapi aku merasa tidak sopan. Kau adalah pemimpin desa ini, sudah seharusnya aku memanggilmu dengan hormat."

"Tidak masalah. Kau adalah temanku, sama seperti Naruto."

Sakura tersenyum canggung. "Baiklah ... Gaara-sama."

"Terlalu formal."

"Gaara-san?" Gaara menggeleng. "Baiklah, Gaara."

Gaara tersenyum tipis lalu mengangguk. Angin malam yang berhembus menusuk hingga ke tulang. Ia bangkit dari duduknya "Aku harus pergi. Tumpukan kertas sudah menungguku."

"Baguslah, aku juga ingin pulang. Tubuhku lelah sekali." Sakura ikut bangkit dan merenggangkan otot-ototnya, ia menguap karena mengantuk. "Aku akan kembali ke ruanganku. Hati-hati di jalan, Gaara. Selamat malam!"

Gaara menatap Sakura hingga menghilang di koridor rumah sakit. Ia membalikkan badan pergi dari taman, mulutnya melengkung membentuk sebuah senyuman.

"Selamat malam juga, Sakura."

Duarrr!

Duarrr!

Suara ledakan itu membuat Gaara terkejut sekaligus membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat setelah berbalik. Gedung yang ada di depannya mengeluarkan asap dengan kobaran api kecil.

Mata Gaara melebar.

.

.

.

Para Shinobi dengan cepat mengevakuasi korban ledakan ke tempat yang lebih aman. Suara teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang selamat menghiasi keadaan saat ini.

Sebagian besar bangunan rumah sakit hancur lebur yang membuat orang-orang tertimbun di sana. Hal itu membuat para Shinobi bekerja keras untuk menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya.

"Lebih cepat!" Teriak Gaara pada Shinobi yang lewat. "Selamatkan pria itu, hentikan pendarahannya! Tutup luka di perutnya!"

Dokter mengangguk patuh mendengar perintahnya, mulai mengeluarkan cahaya pendar hijau dari tangannya. Semua dokter bekerja keras menyelamatkan nyawa korban yang selamat.

Kejadian tak terduga ini membuat Gaara sedikit kalang kabut, namun ia berusaha tenang menutup kekhawatirannya. Gaara membuang napasnya kasar. Api berhasil dipadamkan, menyisakan asap mengepul dan reruntuhan bangunan. Semua orang sudah dievakuasi ke tenda yang akan menampung mereka untuk sementara.

"Korban bertambah sepuluh orang, hanya luka ringan. Dan korban meninggal dua orang karena tertimpa reruntuhan bangunan." Seorang Shinobi melapor padanya. Gaara mengangguk.

Boommm!

Ia terkejut luar biasa ketika dentuman keras terdengar dari arah bangunan yang sudah runtuh. Gaara menyuruh Shinobi tadi agar tetap waspada sementara ia berlari mendekati asal suara tersebut.

Matanya menatap sekeliling dengan teliti. Sebuah bongkahan bangunan dengan ukuran sedang bergerak pelan tak jauh darinya. Ia mengangkat dan menyingkirkan bongkahan tersebut. Gaara kembali dibuat terkejut.

"Sasuke!"

Gaara membantu bungsu Uchiha itu berdiri. Pakaian rumah sakitnya penuh debu. Napasnya memburu karena kelelahan. Pelipisnya sedikit berdarah.

"Sakura," lirih Sasuke.

Belum sempat Gaara bertanya, suara tawa seseorang membuat kepalanya teralihkan. Tak jauh di depannya seorang pria dengan wajah yang ditutupi masker merangkul Sakura yang tak sadarkan diri. Punggung tangan kiri gadis itu mengeluarkan darah segar, membuat Gaara berpikir keras apa yang terjadi padanya.

"Ah, Uchiha sampah. Dasar lemah!" Tawanya kembali meluncur bebas.

Alis Sasuke menukik tajam, merasa tak suka. "Kau yang lemah. Beraninya menyerangku disaat aku belum pulih. Dasar pengecut!"

"Ya, mungkin bukan keberuntunganmu hari ini." Pria itu tersenyum miring dari balik maskernya.

"Beraninya kau masuk ke wilayahku! Lepaskan Sakura!" Gaara menggeram. Membuat segel tangan. "Gokusa Maisõ!"

"Terlalu lambat!"

Gaara mencoba memanipulasi pasir yang ada di bawah musuh. Ia mengendurkan tanah, bermaksud menangkap dan menenggelamkannya dalam pusaran pasir. Namun, pria itu berhasil melompat dan menghindar.

"Suiton: Suiben!"

Sebuah cambuk yang terbuat dari air membuat Gaara terbelalak. Dengan cepat ia merangkul Sasuke dan melompat menghindar mundur ke belakang. Sekarang jarak dirinya dengan musuh terpaut cukup jauh.

"Apa maumu sebenarnya?"

"Sakura." Gaara dan Sasuke terkejut. "Aku menginginkan Haruno Sakura menjadi milikku. Dan aku sudah mendapatkannya."

Gaara menggeram tertahan ketika tangan itu mengelus pipi Sakura. Lalu pria itu menggendong Sakura, mendekatkan wajahnya dengan wajah Sakura. Mencium pipi Sakura lembut.

Gaara tak tahu. Tapi ada sesuatu yang bergejolak aneh di dalam hatinya. Rasa tak suka dengan pri itu ketika menyentuh Sakura.

"Ah, kalian merasa cemburu karena aku mencium calon istriku, ya?"

Sasuke berdecih kesal.

"Aku berharap kalian datang ke pernikahan kami nanti, tapi kurasa itu tidak mungkin. Sampai jumpa!"

"Tunggu!"

"Katon: Goukakyuu no jutsu!"

"Suiton: Suijinheki!"

Dinding air muncul saat Sasuke menyemburkan api lewat mulutnya. Ketika dinding air mulai luruh, pria itu dengan Sakura telah menghilang.

"Gaara!"

"Kankuro? Temari?"

"Para Shinobi mendengar suara pertempuran kalian dari sini. Apa yang sebenarnya terjadi?" Temari menatap Gaara dan Sasuke khawatir. "Kalian baik-baik saja?"

Gaara mengangguk, melirik Sasuke yang terdiam dan menunduk. "Tapi Sakura diculik, Temari. Kita harus menyelamatkannya."

"Kita bahkan tidak tahu siapa pelakunya. Bagaimana bisa kita menyelamatkan Sakura?" Temari berdecak kesal. "Sebaiknya kita melapor pada Hokage, bagaimanapun juga ia berhak tahu mengenai kejadian ini."

"Tidak! Kita akan menyelamatkan Sakura sendiri. Aku sudah menyelidiki apa yang kau perintahkan, Gaara," ujar Kankuro. Ia berjongkok, menyentuh bahu Gaara. "Hokage sudah mempercayakan Sakura pada kita, tidak mungkin kita merusak kepercayaan mereka. Nama baik Desa Suna akan buruk di mata mereka."

Gaara menatap Kankuro serius. Kepalanya mengangguk. "Jadi bagaimana hasilnya?"

Kankuro menghela pelan. "Kau akan terkejut bila mendengarnya."

.

.

.

Diletakkan tubuh Sakura di atas ranjang dengan hati-hati. Ia duduk di sampingnya, membenarkan letak rambut Sakura yang berantakan. Turun ke pipi dan mengusapnya, lalu berakhir dengan di bibir Sakura.

Bibir itu terlihat menggoda, membuatnya penasaran akan bagaimana rasanya. Ia memangkas jarak di antara dirinya dan Sakura. Mendekatkan wajahnya.

"Cantik. Kau hanya milikku."

Napasnya berubah berat dan ia memejamkan mata. Ketika bibir mereka hanya berjarak beberapa senti saja, ketukan pintu membuat segalanya buyar. Ia tersadar.

"Aku sudah menyiapkan apa yang kau suruh. Pendeta juga sudah menyetujui, upacara akan dilaksanakan besok."

Pria itu bangkit. Mendekat ke arah sang gadis yang berdiri di ambang pintung. "Bagus. Aku ingin dia tampil cantik besok. Obati luka di tangannya, setelah itu ikat tangannya dengan benang chakra. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun."

Selepas pria itu pergi, mata ruby gadis itu menatap Sakura dengan sendu. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, kemudian pandangannya berubah. Menyiratkan kebencian yang mendalam.

"Maafkan aku, Sakura."


Bersambung...

Ps: Tadinya saya mau balik maret, tapi sekarang aja :v

Banyak yang terjadi sejak awal tahun hingga saat ini. Mulai dari rumah saya yang terkena banjir sampai home alone T_T

Terima kasih yang sudah mau menunggu :) Jangan heran ya, saya suka ganti-ganti username.